5.3 Penyadapan Getah Pinus
Penyadapan pinus di Perhutani menggunakan metode quare yaitu proses pelukaan pada permukaan kayu dengan koakan yang diawali sadap berupa bujur
sangkar ukuran 6 x 10 cm, dalam koakan 1,5 cm, dengan pembaharuan koakan setiap 3 hari sekali, dengan panjang 5 cm. Menurut buku Pedoman Penyadapan
Getah Pinus 2009 dari Perum Perhutani, ada tiga tahapan dalam melakukan penyadapan pinus yaitu :
1. Prasadap, merupakan kegiatan sadapan pada areal yang belum pernah di
sadap yang dilaksanakan pada triwulan III dalam tahun sebelum sadap buka T-1. Adapun jenis kegiatan persiapan adalah : pembuatan batas petak
sadapan, pembagian blok, sensus pohon, pembersihan lapangan sadapan, pengadaan alat-alatperlengkapan, pembuatan rencana quare.
2. Sadap Buka, ialah sadap awal pada tegakan pinus yang berumur 11 tahun
keatas yang pada umunya pohon-po honnya telah mencapai keliling ≥ 63 cm
tanpa kulit, setelah melalui proses prasadap. 3.
Sadap Lanjut, yaitu kegiatan pembaharuan sadapan setelah sadap buka termasuk kegiatan pembuatan quare baru pada bidang lain pada pohon yang
sama. Sadap lanjut dilakukan dengan ketentuan : a.
3 hari sekali bila tidak menggunakan CAS b.
5 hari sekali bila menggunakan CAS Pemungutan getah dilakukan setiap 7 hari sekali dan langsung disetor ke
Tempat Pengumpulan Getah TPG. Di TPG getah pinus ditimbang dan di masukkan ke dalam drum plastic sebelum diangkut ke Pabrik Gondorukem dan
Terpentin PGT. Di TPG pula getah disaring dan dilakukan penyortiran guna menentukan mutu getah.
5.4 Produksi Getah Pinus.
Berdasakan Berita Acara Sensus Pohon Pinus pada bulan Mei 2009 yang dilakukan Perhutani bersama dengan LMDH Kemuning Asri dan LMDH Rukun
Makmur di RPH Gombeng areal tegakan pinus yang siap sadap memiliki luas sebesar 463,5 ha dengan jumlah pohon 81.850. Areal tersebut terbagi dalam 16
anak petak dengan 5 tempat pengumpulan getah.
Dari Tabel 6 dapat diketahui kerapatan tegakan mempengaruhi produksi getah pinus. TPG 1 dan TPG 2 memiliki kerapatan yang tinggi sebesar 26 dan 21
pohon per plot. Jika dibandingkan TPG 3 dan TPG 4 yang kerapatannya 18 dan 16 pohon per plot, TPG 1 dan TPG 2 rata-rata getah pinus yang dihasilkannya
lebih rendah. Menurut HadiPoernomo 1980, kerapatan jumlah pohon per hektar pada tegakan yang terlalu rapat akan banyak menyebabkan pohon pinus tertekan.
Pohon yang tertekan ini tidak banyak mengeluarkan getah, bahkan sering tidak mengeluarkan getah sama sekali pada waktu disadap.
Tabel 6. Rata –rata produksi getah pinus di tempat pengumpulan getah tiap
pungutan satu kali dalam seminggu
TPG Luas
Banyak pohon
Plot Rata-rata
pohon per plot
Rata-rata produksi
getah per plot
Rata - rata produksi getah
per pohon per plot
Produksi getah
per ha Ha
0,1 ha kg
kg 1
159,4 32.294
8 26
3,2 0,12
32,13 2
118,4 23.669
6 21
3,5 0,17
35 3
65 8.263
3 18
4,3 0,24
43 4
24,2 4.168
1 16
4,2 0,26
42 5
96,5 13.456
5 16
2,7 0,17
27,4 jumlah
463,5 81.850
23 96
18,0 0,97
179,53 Sumber : Data Primer Hasil Pengukuran Di Lapangan 2010
Tabel 7. Produksi getah pinus per bulan
TPG Luas
Produksi getah per ha per minggu
Produksi getah per ha per
bulan Produksi getah
total di TPG per bulan
Produksi rata-rata per tahun per ha
Ha kg
kg kg
kg 1
159,4 32,13
128,5 20.482,9
1.542 2
118,4 35
140 16.576
1.680 3
65 43
172 11.180
2.064 4
24,2 42
168 4.065,6
2.016 5
96,5 27,4
109,6 10.576,4
1.315,2 Jumlah
463,5 179,53
718,1 62.880,9
8.617,2 Rataan
35,905 143,62
12.576,18 1.627,98
Sumber : Data Primer Hasil Pengukuran Di Lapangan 2010
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa produksi getah pinus tertinggi tiap bulannya terdapat di TPG 3 dengan rata-rata produksi getah per 172 kgha.
Sedangkan produksi terendah sebesar 109,6 kgha tiap bulannya terdapat di TPG 5. Namun jika dilihat produksi getah per pohon di tiap plotnya TPG 1 merupakan
yang terendah yaitu sebesar 0,12 kg. Secara keseluruhan, produksi di TPG 5
masih lebih rendah dari TPG 1 karena TPG1 memiliki areal lebih luas dengan jumlah pohon dua kali lipat lebih banyak.
Dari hasil produksi getah per bulannya di konversi ke dalam satuan Kgtahunha kemudian dibuat perbandingan antara produksi nyata di hutan, di
TPG, dengan data sekunder yang di dapat. Produksi dihutan merupakan hasil dari getah yang di pungut sendiri kemudian langsung di timbang, sedangkan produksi
di TPG merupakan hasil dari pungutan yang dilakukan penyadap kemudian dilakukan penimbangan di TPG. Hasil dari perbandingan tersebut sebagai berikut:
Tabel 8. Perbandingan produksi getah pengukuran di hutan, TPG dan data sekunder
Sumber data Luas
Keterangan Produksi getah rata-rata
ha Hutan
TPG Data Primer
463,5 Kgtahunha
1.627,98 1.161,90
Data Sekunder Penelitian Syamsu 2009
2.231,72 1.872,62
Data Perhutani 2003-2007
1.582,31 Sumber : Data Primer Pengukuran di Lapangan 2010 dan Data Sekunder Hasil Penelitian
Syamsu 2009 dan Laporan Kemajuan Sadapan Getah Pinus KPH Banyuwangi Utara Tahun 2003-2007
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa hasil pengukuran produksi getah di hutan cenderung lebih tinggi di bandingkan dengan pengukuran di TPG
ataupun data sekunder dari Perhutani. Perbedaan ini terjadi karena penimbangan getah di TPG tidak dilakukan untuk setiap tempatalat angkut getah yang dibawa
penyadap melainkan dengan asumsi bahwa penimbangan satu emberjirigen penuh getah mampu mewakili berat emberjirigen berikutnya setiap ember penuh
getah dianggap memiliki berat yang sama. Sedangkan yang ditimbang hanya ember dengan getah yang tidak penuh. Hal tersebut mereka lakukan agar
menghemat waktu dalam penimbangan karena alat angkut yang digunakan sama dan merupakan pembegian dari Perhutani sendiri. Hal ini mengakibatkan banyak
getah pinus yang tidak terukur secara nyata pada saat penimbangan. Perbedaan lain yang tampak dari Tabel 8 adalah penurunan produksi di tahun 2010. Hal ini
dikarenakan ada perubahan musim yang terjadi di tahun 2010, yang biasanya di bulan Juli sampai November mengalami kemarau, di tahun 2010 terdapat hujan
hampir sepanjang tahun. Bahkan di bulan Oktober dan November di RPH Gombeng mengalami curah hujan yang cukup tinggi.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan produksi getah tidak konstan tiap bulannya, namun yang paling berpengaruh adalah perubahan musim. Perubahan
musim yang terjadi akan mempengaruhi potensi tegakan pinus dan pola aktifitas masyarakat, dimana pola aktifitas masyarakat tersebut secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap produksi getah pinus tersebut. Musim kemarau merupakan musim yang paling ideal untuk melakukan penyadapan getah pinus. Umumnya di
musim kemarau produksi getah yang dihasilkan jauh lebih banyak dibandingkan di musim penghujan. Hal ini dikarenakan pada musim kemarau getah pinus lebih
bersifat cair sehingga luka yang diberikan di pohon pinus akan banyak mengeluarkan getah. Selain itu masyarakat, dalam hal ini penyadap, cenderung
lebih giat beraktifitas di kegiatan penyadapan getah. Menurut Kloot 1951 dalam Suharlan 1983 musim panas akan memberikan produksi yang tinggi. Tetapi
musim panas yang terus menerus menyebabkan getah cepat kering dan aliran getah dapat terhenti. Bukan hanya aktifitas di areal sadapan saja yang meningkat
di musim kemarau, kegiatan di areal tebangan juga meningkat. Hal ini dikarenakan tanah yang kering memudahkan kegiatan tebangan dan proses
pengangkutan. Kondisi ini dapat menyebabkan masyarakat mencari sumber mata pencaharian baru sebagai tukang rencek pencari kayu bakar. Pada musim
penghujan, biasanya terjadi di bulan Desember sampai bulan April, menyebabkan kondisi lahan sering basah sehingga para penyadap tidak masuk ke dalam hutan
untuk memperbaharui luka dan mengumpulkan getah. Unsur iklim lain yang berpengaruh terhadap produksi getah pinus adalah suhu dan kelembaban. Cuaca
yang dingin akan membuat getah lebih kental sehingga memperlambat aliran getah.
Selain itu pola aktifitas masyarakat serta adanya fenomena yang terjadi di dalam masyarakat yang berkaitan dengan perayaan hari keagamaan dan hari besar
lainnya juga akan berpengaruh terhadap produksi getah pinus. Pada tahun 2010, Idul Fitri yang jatuh di bulan September, menyebabkan kebutuhan masyarakat
meningkat dibandingkan hari-hari biasa sehingga memotivasi para penyadap untuk menghasilkan getah sebanyak-banyaknya setelah perayaan Idul Fitri selesai.
Hal ini dilakukan untuk menutupi pengeluaran rumah tangga selama Idul Fitri berlangsung. Sedangkan di bulan Ramadhan, sebulan sebelum Idul Fitri, terjadi
penurunan produksi getah karena energi yang dikeluarkan para penyadap berkurang.
Pada waktu musim tanam yang biasanya jatuh pada musim penghujan, para penyadap yang memiliki sawah akan mengerjakan sawahnya, sedangkan
penyadap yang tidak memiliki sawah biasanya bekerja sebagai buruh tani. Musim panen kopi yang biasanya jatuh pada bulan Januari dan Februari juga berpengaruh
terhadap berkurangnya kegiatan penyadapan sehingga hasil getah yang diperoleh berkurang.
5.5 Pendapatan dan Konstribusinya terhadap Kebutuhan Rumah Tangga Penyadap