masyarakat di Desa ini cukup memiliki rasa toleransi. Warga Desa yang menganut agama Islam mendiami dusun I, dusun III dan sebagian kecil pada dusun II.
Warga Desa yang menganut agama Kristen sebanyak 10, 57 dan keseluruhannya mendiami dusun IV. Sedangkan sisanya merupakan etnis
Tionghoa yang menganut agama Budha dan keseluruhannya tinggal di dusun II.
4.2 Profil Informan
1. Bapak Kastari
Bapak Kastari 47 Tahun adalah sesosok petani padi yang cukup ulet, ia menanam padi di lahan miliknya yang tidak terlalu luas. Tidak hanya bergantung
pada hasil panen padi dari lahan miliknya saja, tetapi ia juga memanfaatkan waktu luangnya dengan melakukan berbagai kegiatan lain, yg dapat menjadi penghasilan
tambahan baginya kelak. Bapak Kastari bukan warga asli Desa Denai Kuala, ia lahir di Desa Sialang Bangun Purba. Pada tahun 1964 ketika ia masih bayi, kedua
orangtuanya membawanya pindah dari Bangun Purba ke Desa Denai Kuala Lama. Bapak Kastari menjadi penduduk Desa Denai Kuala pada tahun 1982, ketika ia
menikahi seorang gadis asli Desa Denai Kuala lalu kemudian mereka tinggal di dusun III, Desa Denai Kuala.
Bapak Kastari dan istri yang bersuku jawa dikaruniai 4 orang anak, 3 orang perempuan dan 1 orang laki-laki. 2 orang anaknya yang perempuan sudah
menikah dan memiliki anak, hal ini dikarenakan umumnya warga Desa Denai Kuala menikah pada usia muda. Anaknya yang laki-laki belum menikah dan saat
ini masih tinggal bersama bapak Kastari, dahulu anak bapak Kastari yang laki-laki
Universitas Sumatera Utara
bekerja sebagai buruh pabrik tetapi sekarang sudah berhenti dan hanya membantu orangtuanya di ladang. Sementara putri bapak Kastari yang bungsu saat ini masih
Sekolah di bangku SMA. Ketiga orang anak Bapak Kastari telah menamatkan pendidikannya hingga bangku SMEA dan STM. Hal ini cukup baik, karena tidak
banyak anak dari tetangganya yang mau menamatkan pendidikannya hingga jenjang SMA. Bapak Kastari menginginkan anak-anaknya memiliki kehidupan
yang lebih baik darinya, tetapi karena hanya tamatan STM anaknya hanya bekerja sebagai buruh pabrik dan sekarang juga telah berhenti. Sementara dua orang anak
perempuannya telah menikah dan sibuk mengurus keluarganya. Hanya anak perempuannya yang bungsu menjadi harapan terakhir baginya untuk dapat lebih
maju. Bapak Kastari semenjak kecil telah diajarkan oleh orang tuanya bercocok
tanam. Bapak Kastari tidak memiliki pendidikan yang tinggi, ia hanya tamatan Sekolah dasar SD. Ia sangat bergantung pada keahliannya ketika di ladang,
yang sudah menjadi mata pencaharian utamanya. Ia memiliki lahan seluas 7 rante, yang sebagian merupakan warisan dari kedua orangtuanya dan sisanya adalah
ladang yang dibelinya sedikit demi sedikit setelah ia menikah dengan istrinya, dari tabungannya yang dikumpulkan mereka. Bapak Kastari sejak muda tidak pernah
melakukan pekerjaan utama lain selain sebagai petani. Sebenarnya ia ingin sekali merubah nasibnya tetapi karena pendidikan yang dimilikinya, ia tidak memiliki
kesempatan untuk bekerja yang lain selain sebagai petani. Dahulu ketika masih muda untuk mencari tambahan uang belanja dan biaya Sekolah anaknya, Pak
Kastari masih sering mencari ikan, kepiting, kerang dan udang di laut. Namun
Universitas Sumatera Utara
karena usianya sudah tidak muda lagi, sekarang ia hanya memilih menjadi petani sebagai pekerjaan utamanya.
Bapak kastari memiliki ladang sendiri seluas 7 rante, dan ia juga menyewa ladang seluas 3 rante yang ditanaminya sayur mayur.
Pada sebagian lahan yang dimilikinya Bapak Kastari menanam padi, jenis padi yang ia tanam adalah serang. Sebagian lainnya yakni ± 2 rante, sudah sejak 2
tahun ini ditanaminya sawit karena letak ladangnya tersebut terlalu tinggi sehingga sulit mendapatkan air jika ditanam sayuran atau padi, apalagi sekitar
ladang tersebut sudah ditanami sawit hal itu membuat padi tidak akan hidup jika ditanam diladang tersebut. Dalam menanam padi di ladangnya ia dibantu oleh
anak laki-lakinya, sementara istrinya sudah tidak dapat lagi membantunya di ladang. Tetapi ketika ia dan anaknya sudah keletihan atau sedang ada kegiatan
yang tidak dapat ditinggalkan, biasanya ia menyuruh orang lain untuk menanam dengan upah sebesar Rp 25.000 per rantai, sementara untuk mengolah tanahnya ia
selalu menggunakan jetor yang disewanya dengan upanya Rp 30.000 per rantenya. Untuk perawatan selanjutnya seperti pemupukan dan mencabuti rumput,
dikerjakannya berdua dengan anak laki-lakinya. Bapak Kastari menghabiskan waktunya untuk bekerja di ladang selama 7 jam per harinya, ia berangkat pada
pukul 07.00 sd 12.00 kemudian ia pulang kembali kerumahnya untuk istirahat dan makan siang, ia berangkat kembali ke ladangnya pada pukul 15.00 sd 17.00.
Sementara hari minggu dihabiskannya untuk beristirahat dirumah dan berkumpul dengan keluarganya.
Dengan kemampuan utamanya hanya bercocok tanam, baginya terkadang sulit untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarganya. Panen padi yang hanya dua
Universitas Sumatera Utara
kali dalam setahun, membuat ia dan istrinya terkadang sulit untuk mengatur pengeluaran rumah tangga. Sementara dari sawit yang ditanamnya juga belum
menghasilkan, sebab tanaman tersebut baru berusia 2 tahun.Untungnya saja di Desanya terdapat lahan tambak milik perusahaan swasta yang sudah tidak
dipergunakan lagi. Sehingga banyak warga yang menyewa lahan bekas tambak tersebut dengan harga sewa yang lebih murah daripada mereka harus menyewa
lahan sawah biasa. Hanya saja tidak semua warga dapat menyewa bekas lahan tambak tersebut karena keterbatasan luas lahan tambak, dan mereka pun hanya
membayar sepihak kepada penjaga tambak, sehingga mereka pun harus siap ketika perusahaan pemilik lahan bekas tambak itu akan mengambilnya. Bapak
Kastari juga ikut menyewa lahan bekas tambak tersebut, ia menyewa seluas 3 hektar.
“Habis mau dibilang apalagi, kalau penghasilan dari panen padi di ladang sendiri saja nggak cukup untuk menutupi kebutuhan dapur dan Sekolah anak,
belum lagi sering ada kebutuhan mendadak seperti harus memberi sumbangan untuk hajatan, untuk berobat dan macam-macam
lagi”.WawancaraFebruari2011.
Bapak Kastari menyewa ladang dengan ongkos sewa sebesar Rp 15.000 per rantainya, biaya sewanya cukup murah karena ladang yang di sewa adalah ladang
bekas tambak milik perusahaan yang sudah tidak digunakan lagi. Bapak Kastari menanam cabai pada ladang yang disewanya tersebut. Sebelumnya Bapak Kastari
sering menanam timun pada ladang sewaannya, ini yang kedua kalinya ia mencoba menanam cabai. Menurut Bapak Kastari menanam cabai cukup
menguntungkan karena harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan timun apalagi sekarang cabai sedang naik harganya, tetapi menurut beliau hal ini
Universitas Sumatera Utara
sebenarnya seimbang dengan modal yang dikeluarkan oleh bapak Kastari untuk menanam cabai. Modal untuk menanam cabai sebenarnya cukup tinggi, selain
harus mengeluarkan modal untuk membeli bibit, tanaman cabai juga membutuhkan perawatan yang lebih seperti harus beberapa kali diberi pupuk dan
disemprot dengan anti hama. “Untuk nanam cabai, modalnya dari awal nanam sampai dengan panen
untuk 3 rantenya bisa sampai 2 juta rupiah malah lebih, itu belum memperhitungkan tenaga kami yang keluar”.
Wawancara Februari 2011 Menurutnya menanam cabai relatif sulit dan harus mengeluarkan modal
besar, belum lagi resikonya yang cukup tinggi apabila gagal panen. Dalam menanam cabai ia mendapatkan bibit dengan membeli cabai dari hasil panen
petani lain yang kemudian dijemur dan didedernya sendiri, hal ini dilakukan sebagai upaya penghematan. Untuk pemupukan ia menggunakan pupuk kandang
yang dicampur dengan pupuk kimia seperti NPK dan pupuk warna dengan perbandingan 5:1. Tanaman ini juga memerlukan penyemprotan pestisida hingga
beberapa kali, karena itu ia menggolongkannya sebagai tanaman yang cukup sulit dalam perawatannya. Panen cabai menurutnya tidak dilakukan secara sekaligus,
tergantung dari masaknya buah cabai yang ditanamnya, sehingga uang yang didapatkannya juga tidak sekaligus. Tetapi menurutnya jika ditotal dari panen
cabai yang sebelumnya, dari 3 rante ladang yang ditanaminya ia bisa mendapatkan 1 kuintal buah cabai, dahulu harga cabai per kilonya masih
Rp10.000 – Rp 15.000,- Berbagai tantangan dalam menjalani pekerjaannya sebagai petani padi pernah
dialaminya, ketika panen yang didapatkannya tidak sesuai. Menurutnya itu
Universitas Sumatera Utara
merupakan masa yang cukup sulit, untuk kebutuhan sehari-hari ia harus kasbon ke kedai karena uang yang didapatkan dari penjualan hasil panen tidak dapat
mencukupi kebutuhannya. Apalagi menanam padi hanya bisa dilakukan setahun dua kali, tentu tidak akan cukup apabila ditambah dengan hasil panen yang tidak
sesuai dengan target mereka. Terkadang mereka juga sering kehabisan modal untuk menanam padi pada masa tanam yang selanjutnya, sehingga ia harus
meminjam uang ke pemilik kilang padi sebagai modalnya yang akan dibayarnya pada masa panen berikutnya. Untung saja ia juga menyewa lahan tambak yang
digunakannya untuk menanam sayuran, sehingga hasil panennya bisa digunakannya untuk menambah kebutuhan sehari-hari serta ia juga masih dapat
sedikit menyisihkannya sebagai simpanan. Ia juga mengeluhkan seringkali kesulitan mencari pupuk, kalaupun ada harganya pun cukup mahal. Bantuan dari
dinas pertanian sebenarnya juga ada yang diberikan kepada kelompok tani untuk disalurkan bagi anggotanya, dan itu memang biasanya berupa pupuk subsidi tetapi
menurutnya bantuan pupuk subsidi tersebut tidak selalu ada, dan jumlahnya juga terbatas biasanya hanya 3 goni.
Pak Kastari menanam sayuran di lahan bekas tambak sewaannya itu untuk menambah penghasilannya, karena masa tanam cabai ataupun sayuran yang tidak
terlalu lama sudah dapat dipanen hasilnya. Penghasilan utamanya sebagai petani padi tidaklah besar, apalagi masa tanam padi hanya dua kali setahunnya, jika
hanya mengandalkan penjualan hasil panen padi tentunya tidak akan mencukupi kebutuhan keluarganya, belum lagi untuk modal tanam yang selanjutnya serta
kebutuhan lain. Untuk pengeluaran perharinya saja menurut istrinya bisa mencapai Rp 50.000, menurutnya itu belum untuk uang Sekolah dan uang listrik
Universitas Sumatera Utara
per bulannya. Jika tahun ajaran baru menurutnya pengeluaran akan lebih banyak, karena bertepatan dengan masa tanam padi yang kedua sehingga mereka
mengeluarkan modal untuk menanam padi kembali, belum lagi biaya Sekolah anak bungsunya yang besar karena selain harus membayar uang Sekolah ia juga
diharuskan untuk membeli buku-buku pelajaran. Menurut ibu Kastari sekarang sudah lebih ringan tanggung jawab mereka daripada sebelumnya, karena hanya
tinggal anak bungsunya saja yang bersekolah. Tetapi ia dan suami memiliki cita- cita bisa menyekolahkan anak bungsunya ini hingga kuliah, karena mereka ingin
memperbaiki kehidupannya, minimal salah satu anak mereka ada yang bisa menjadi sarjana dan kelak memiliki pekerjaan yang lebih baik dari mereka. Maka
itu sekarang ini mereka berusaha untuk lebih berhemat pengeluaran, demi keinginan mereka untuk menyekolahkan anak bungsu mereka hingga sarjana.
Mereka juga berharap pada tanaman sawit yang sudah dua tahun ditanam mereka, semoga beberapa tahun kedepan sudah dapat menghasilkan.
“Lumayan dek, bisa buat tambahan biaya kuliah anak gadis kami yang bungsu ini. Sebenarnya ini pun baru mencoba, ladang sekitarnya juga sudah mulai
menanam sawit jadi kami pun ikut nanam, karena kalau dipaksakan menanam padi gak akan bisa hidup. Walaupun gak banyak yang ditanam tetapi setahun
atau dua tahun lagi sudah bisa menghasilkan meskipun masih buah pasir, karena juga gak boleh sembarangan nanam sawit disini.” Wawancara Februari 2011
Bapak Kastari betah tinggal di Desa ini karena menurutnya kekeluargaannya antar warga cukup erat terutama di dusun 3. Gotong royong juga masih ada di
Desa ini, seperti ketika ada pihak tetangga mereka yang baru mau membangun
Universitas Sumatera Utara
rumah sebagian warga juga ikut membantunya minimal mereka membantu membangun pondasi dasarnya, untuk yang selanjutnya dikerjakan oleh tukang
bangunan yang sudah ahli. Warga di Desa ini juga masih mengenal rewangan, rewangan adalah gotong royong yang dilakukan oleh tetangga atau kerabat yang
akan mengadakan hajatan. Selain itu di Desa ini untuk warganya yang muslim juga ada wirid yasin setiap minggunya, sehingga mereka dapat mengenal antar
warga satu sama lain meskipun dari dusun yang berbeda. Khusus untuk di dusun 3 ketika juga masih ada upacara adat yang hingga kini masih dilestarikan, yakni
pada tanggal 1 suro mereka mengadakan acara penanaman kepala kambing yang disertai dengan pembacaan do’a pada Tuhan agar tanaman mereka subur dan
panen mereka ditahun tersebut berhasil. Upacara tersebut biasanya selalu dilakukan oleh warga dusun 3, dan dipimpin oleh sesepuh Desa yang sekaligus
sebagai kepala dusunnya.
2. Mardi
Bang mardi merupakan warga asli Denai Kuala, karena sejak lahir ia tinggal dan besar di Desa ini. Bang Mardi menikah tahun 1996 dan beristrikan warga asli Desa Denai
Kuala. Ia dikarunia dua orang anak, yang pertama adalah laki-laki berusia 14 tahun dan masih duduk dikelas dua SMP, dan anak bungsunya perempuan masih berusia 6 tahun.
Bang mardi sejak kecil sudah diajak ke ladang oleh orang tuanya untuk membantu sekaligus belajar bertani. Bertani merupakan kemampuan yang dikuasainya, sehingga
menjadi mata pencaharian utamanya. Bang Mardi tidak pernah memiliki pekerjaan lain selain bertani ataupun berusaha mencoba pekerjaan yang lain, buatnya petani
merupakan pilihan utama pekerjaan untuknya karena ia sadar pendidikannya tidaklah
Universitas Sumatera Utara
tinggi dan bertani merupakan keahlian yang dimilikinya untuk mencari nafkah. Karena hanya bertani kemampuannya maka Bang Mardi berusaha maksimal untuk melakukan
pekerjaannya,ia menginginkan anaknya memiliki pendidikan yang lebih tinggi daripada ia yang hanya tamat SMP dan istrinya yang tamatan SMA.
Bang Mardi mengolah tanah yang diberikan oleh orangtuanya, sebesar 10 rante. Awalnya ia sendiri yang mengolah tanah tersebut, sebenarnya dari tanah yang
dikelolanya tersebut cukup menghasilkan karena saat itu ia baru memiliki seorang anak saja yang masih kecil. Tetapi semenjak lahir putri bungsunya 6 tahun lalu, ia pun
menyadari jika hanya mengandalkan hasil dari tanah miliknya tersebut pastinya kelak tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan memenuhi cita-citanya
untuk menyekolahkan anaknya hingga jenjang yang tinggi, apalagi saat itu saja anaknya yang pertama sudah Sekolah SD yang makin lama kebutuhannya makin meningkat.
Sehingga sudah beberapa tahun belakangan ini ia menggadaikan tanah miliknya pada saudaranya, dengan ongkos gadainya sebesar Rp 4.000.000,-. Perjanjian penggadaian
tanah itu berlaku hingga Bang Mardi menebusnya kembali, dengan membayar kembali uang gadai yang sudah dibayarkan oleh saudaranya tersebut.
Menggadaikan tanah sebenarnya bukanlah jalan keluar yang diinginkan oleh Bang Mardi, tetapi ia menggunakan uang hasil gadai tanah miliknya untuk menyewa
lahan tambak milik perusahaan swasta yang saat ini sudah tidak dipergunakan lagi dengan ongkos sewa sebesar Rp 15.000 per rantenya, ia menyewa lahan seluas 30 rante.
Uang sisa hasil menggadaikan tanah miliknya digunakan olehnya untuk modal menanam padi dan sayuran pada lahan sewaannya tersebut. Ketika itu ia ditawari lahan tersebut
untuk digarapnya, karena ongkos sewanya yang murah banyak warga diDesa tersebut ingin menyewanya, sehingga ia pun menyetujui untuk menyewa lahan tersebut sebelum
diambil oleh petani yang lain.
Universitas Sumatera Utara
“ Waktu itu saya ditawari untuk menyewa lahan tambak punya perusahaan yang sudah tidak dipakai, sehingga daripada lahan menganggur disewakan sama warga
yang mau mengolahnya. Ongkos sewanya murah dibandingkan harus nyewa ladang sawah yang lain, jadi begitu ditawari langsung saya ambil sebelum diambil oleh orang
lain karena lahannya juga terbatas. Tapi kami penyewanya ini pun harus siap, kalau nanti perusahaan ambil kembali ladang itu” .
Wawancara Februari 2011 Dari 30 rante luas lahan yang diolah Bang Mardi, sebanyak 18 rante ditanaminya
padi dan sisanya ditanaminya dengan timun dan cabai. Ia tidak menanami seluruh ladang sewaannya dengan padi, karena ia menyadari padi memiliki jangka masa tanam
hingga panen yang relatif lebih lama dibanding sayuran dan dalam setahun hanya dua kali masa tanam saja dengan waktu yang sudah ditentukan. Sementara sayuran jangka
waktu mulai dari penanaman hingga panen tidaklah terlalu lama, dan biasanya dalam sekali tanam saja sayuran bisa hingga dua kali panen. Bagi Bang Mardi bertani
merupakan hobi dan juga pilihan hidupnya, terkadang jika ia tidak berangkat ke ladang sehari saja sudah membuatnya tidak betah. Ia menanam padi setahun dua kali, dan itu
pun sudah ada musim-musimnya tertentu. Pada akhir tahun sekitar bulan November dan Desember biasanya adalah musim tanam yang pertama, dan pada bulan Februari
atau Maret padi yang ditanam sudah dapat dipanen. Musim tanam kedua masuk pada bulan Mei dan Juni, sehingga padi sudah dapat ditanam pada bulan Agustus atau
September. Seperti itulah kebiasaan petani padi di Desa Denai Kuala, mereka sangat mematuhi waktu-waktu tersebut karena masa tanam yang dilakukan oleh mereka
diperhitungkan berdasarkan musim. Untuk mengolah tanah di ladang padinya, ia menggunakan jetor yang disewanya
dari tetangga yang memilikinya. Untuk ongkos sewa jetor per rantenya, Bang Mardi membayar sebesar Rp 25.000. Hanya dalam mengolah tanah saja ia menggunakan
bantuan orang lain, tetapi pekerjaan selanjutnya dikerjakan bersama keluarganya.
Universitas Sumatera Utara
Setelah tanah di ladangnya diolah, atau istilah lainnya dibajak dengan menggunakan jetor maka pekerjaan selanjutnya adalah menanami ladangnya atau sawahnya dengan
padi. Untuk pekerjaan menanami bibit padi ke ladangnya ini, ia dibantu oleh istri dan anak laki-lakinya. Hal ini dilakukannya agar lebih mengirit pengeluarannya, daripada ia
harus mengeluarkan biaya ekstra jika harus mengupah orang lain untuk menanami ladangnya dan juga waktu yang lebih efisien dalam mengerjakannya. Untuk pekerjaan
yang lainnya seperti memberikan pupuk dan menyirami tanaman dengan pestisida dilakukannya bersama dengan anaknya. Jika semua pekerjaan tersebut telah selesai,
maka sudah tidak banyak lagi yang dapat dilakukan di ladang padinya atau di sawahnya tersebut. Pekerjaan selanjutnya hanya merumputi ladangnya atau membersihkan
rumput dan gulma yang mengganggu tanaman padinya, dan itu hanya dilakukan sekali atau dua kali saja. Setelah itu Bang Mardi hanya mengawasi tanaman padinya saja agar
tidak diganggu oleh burung ataupun tikus, terlebih menjelang masa panen tiba. Setelah selesai menanam padi tidak banyak lagi pekerjaan yang dapat dilakukan
di ladangnya tersebut, tugasnya hanya sesekali mengawasi padi yang sudah ditanamnya higga 4 bulan kemudian padi tersebut siap untuk dipanen. Tidak terlalu banyaknya
pekerjaan yang dilakukannya ketika ia telah selesai menanam padinya, membuatnya mencari kegiatan yang lain. Hal itulah yang menjadi salah satu faktornya ia menanam
sayuran di sebagian ladangnya yang lain, dan hal ini juga yang menjadi latar belakang sebagian petani lain melakukan hal yang sama. Bagi Bang Mardi bertani itu bukan hanya
sekedar bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarga saja, tetapi sebagai bentuk hobi dan kegiatan dirinya. Memang jika dilihat dari latar belakang keadaan keluarganya, ia
tidak perlu terlalu ngoyo dalam bekerja di ladang. Tetapi bertani baginya adalah bentuk aktualisasi dirinya, walaupun tidak dapat dipungkiri hasil yang didapatkannya dari
bertani digunakannya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Bertani merupakan
Universitas Sumatera Utara
keahlian yang dikuasainya, maka ketika pekerjaannya di ladang padi sudah tidak terlalu banyak, maka ia pun mencari pekerjaan lain sebagai kegiatan bagi dirinya agar tidak
terlalu banyak waktu yang terbuang. Kegiatan tamabahan yang dilakukannya diluar menanami padi pun tidak jauh-jauh dari bertani, meskipun dengan jenis tanaman yang
berbeda. Dan ketika ada hasil yang didapatkannya dari hal tersebut, itu merupakan nilai tambah baginya.
“sebenarnya jika dibandingkan dengan petani lain yang banyak anaknya, wajar mereka berusaha keras karena hasil dari ladang sendiri tidak cukup untuk keluarga
mereka. Tetapi awak ini tidak mau egois walaupun jika hemat pengeluaran bisa dicukup- cukupi, mumpung masih muda yang awak kerjakan sebisanya semua ladang itu.
Kemampuan awak bertani, ya bertani lah yang awak kerjakan, karena hasil yang awak kerjakan ini semuanya untuk masa depan keluarga agar anak bisa Sekolah tinggi
nantinya.” Wawancara Februari 2011 Pada sebagian lahannya yang disewanya yakni seluas 12 rante, ia menanaminya
dengan dua macam sayuran. Ladang yang ditanaminya padi seluas 5 rante dan sisanya ditanaminya dengan timun. Tidak seperti timun yang penanaman dan perawatannya
relatif lebih mudah sehingga tidak membutuhkan modal tinggi, untuk menanam cabai sebenarnya membutuhkan modal yang besar, karena sulitnya perawatan yang
dilakukan. Tetapi hasil yang didapatkan seimbang dengan modalnya, bahkan bisa mendapatkan untung yang besar jika harga cabai dipasaran melonjak tinggi. Ia biasanya
menghemat pengeluaran modal untuk menanam cabai dengan cara membeli bibit cabai dari hasil petani lain, karena jika harus membeli bibit yang sudah jadinya harganya akan
lebih mahal. Selanjutnya cabai yang sudah dibelinya, dijemur dan didedernya sendiri. Jika sudah keluar tunasnya hingga berusia 3 minggu, baru bibit cabai tersebut akan
dipindahkan ke tanah yang sebelumnya sudah digemburkan dan diberi campuran pupuk
Universitas Sumatera Utara
kandang dan kimia. Tanah tersebut juga dibuat per bedengan dan ditutupi dengan plastik khusus, dalam per rantenya ditanam kira-kira 1000 pokok bibit cabai. Untuk
pekerjaan selanjutnya cabai perlu diberi pupuk kimia, yang berguna untuk membuat buahnya lebat dan bagus. Tanaman cabai merupakan tanaman yang cukup rawan
penyakit dan serangan hama, maka itu setiap dua minggu sekali tanaman ini perlu disemprot dengan obat derek, obat keriting dan antrakol secara bergantian. Untuk per 2
rantenya biaya yang dikeluarkan Bang Mardi untuk membeli obat hama minimal bisa mencapai Rp 200.000.
Hasil panen yang didapatkan biasanya tidak sekaligus karena buah cabai biasanya masaknya tidak bersamaan. Tetapi kalau ditotal-total dari panen cabai
sebelumnya bisa mencapai 70-100 kg, dengan kisaran harga saat itu Rp15.000-Rp 20.000. Sementara untuk panen buah timun dari 3 rante ladang yang ditanaminya
dengan timun, bisa menghasilkan kira-kira 15 goni timun yang setiap goninya berisi 50 kg buah timun, dengan harga jual saat itu Rp 1.000kg. Untuk menjual hasil panennya,
biasanya Bang Mardi tidak perlu repot-repot karena sudah ada pedagang pengepul yang mengambilnya sendiri kerumahnya. Tetapi kalau hasil panen padi, biasanya ia
mengantarkannya sendiri ke kilang dengan harga jual gabah basah Rp 3.800kg. Selain menanam cabai dan timun di sebagian ladang yang disewanya, ia juga memelihara ayam
dirumahnya jumlahnya mencapai 30 ekor. Ia memelihara ayam dibelakang rumahnya karena halaman belakang rumahnya masih ada, daripada tidak dimanfaatkan maka ia
gunakan sebagai tempat memelihara ayam. Hasil dari ayam yang dipelihara bisa dipergunakan untuk tambahan uang belanja, karena telur ayam kampung yang
didapatkan sering dijual Bang Mardi ke kedai atau tetangganya. Jika ia dan keluarga ingin makan daging ayam terkadang mereka tidak perlu lagi membelinya, atau jika uang
Universitas Sumatera Utara
belanja sudah habis atau ia mendapatkan undangan pesta sementara uang simpanan mereka sudah menipis, maka ia sering menjual ayam peliharaannya pada orang lain.
“Lumayan iseng-iseng dapat menghasilkan juga meskipun tidak banyak, tetapi dapat menutupi kebutuhan jika uang simpanan kami sudah menipis.” Wawancara
Februari 2011
Pengeluaran keluarga kecilnya cukup banyak untuk uang belanja, uang jajan anak,dan lainnya per harinya mencapai Rp 40.000, itu belum termasuk membayar uang
listrik, uang wirid dan uang SPP anak tiap bulannya, serta pengeluaran tak terduga lainnya. Dalam setiap bulannya jika ia dan istrinya mengkalkulasi pengeluarannya, bisa
mencapai Rp 1.500.000. Upaya penghematan pengeluaran cukup sering ia lakukan dan istrinya, hanya saja terkadang pengeluaran yang tidak direncanakan membuat
pengeluarannya semakin banyak, seperti misalnya dalam sebulannya ia mendapatkan undangan pesta minimal 4 kali dan itu wajib untuk dihadiri mereka. Terkadang karena
kebutuhan yang banyak dan serba mahal membuat istrinya harus dapat mengatasinya ia berusaha menghemat pengeluaran , seperti berhemat-hemat ketika belanja dan
untungnya saja mereka tidak perlu membeli beras karena mereka memiliki persediaan beras dari hasil panen di ladang mereka.
Bang Mardi dan istri sangat betah tinggal di Desa ini, bukan saja karena mereka lahir dan besar disini, tetapi kekeluargaan di Desa ini yang masih terjaga membuat
mereka nyaman selain karena memang lokasi ladang yang mereka miliki berada di Desa ini. Kekeluargaan di Desa ini masih cukup baik melalui STM dan perwiridan, sehingga
mereka cukup mengenal warga lain yang juga tinggal di Desa ini. Selain itu melalui kebiasaan rewangan pada warga yang akan memiliki hajatan atau pesta, serta beramai-
ramai membantu membangun pondasi rumah bagi warga yang akan membangun
Universitas Sumatera Utara
sebuah rumah, menurutnya hal tersebut membuat budaya gotong royong masih cukup terlaksana dengan baik dan hal ini belum tentu dapat ditemuinya di kota.
3. Sahpudin
Bang Sahpudin lahir dan besar di Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai, ia tinggal di Desa Denai Kuala semenjak 8 tahun yang lalu, tepatnya sejak ia menikahi
seorang gadis dari Desa Denai Kuala. Ia tinggal di Desa ini bersama istrinya semenjak menikah, dan mereka masih tinggal menumpang pada rumah orang tua istrinya. Bang
Pudin memiliki dua orang anak perempuan dari pernikahannya, yang pertama berusia 6,5 tahun bersekolah di SD inpres dan duduk di kelas 1, anak yang kedua masih berusia
3,5 tahun. Bang Pudin bekerja sebagai petani yang sudah digelutinya semenjak ia kecil. Semenjak kecil ia telah membantu orang tuanya di ladang, hal ini karena ia adalah anak
laki-laki maka orang tuanya mewajibkannya untuk membantu di ladang sehabis pulang Sekolah. Karena semenjak kecil telah diajarkan untuk bekerja di ladang, membuatnya
tidak mau melanjutkan Sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Ia hanya menamatkan Sekolah hingga tingkat SMP saja, dan ketika diminta orang tuanya untuk melanjutkan
hingga ke SMA ia menolaknya. Saat itu dia berpikir jika ia sudah mampu bekerja dan menghasilkan uang sendiri, maka ia tidak perlu lagi melanjutkan Sekolah, dan
selanjutnya ia bekerja di ladang milik orang tuanya. Keputusan Bang Pudin ketika remaja untuk tidak melanjutkan Sekolah hingga ke
tingkat SMA membuatnya menyesal saat ini. Saat itu dia beranggapan apabila sudah bekerja dan mencari uang, itu sudah cukup baginya. Keterbatasan kemampuan dan
pendidikan, membuatnya sulit mencari pekerjaan lain yang lebih baik dengan gaji yang lebih tinggi. Saat masih lajang ia pernah bekerja di kota sebagai pekerja bangunan,
tetapi dengan gaji yang kecil dan resiko yang cukup besar membuatnya meninggalkan
Universitas Sumatera Utara
pekerjaan tersebut. Belum lagi biaya hidup di kota yang ternyata lebih mahal daripada di Desa, membuat keputusannya semakin bulat untuk kembali ke Desanya dan
melanjutkan pekerjaannya dahulu sebagai petani. Setelah kembali ke Desanya di Perbaungan Bang Pudin kembali bekerja di
ladang sebagai petani. Bersama dengan adiknya, ia bekerja di ladang pemberian orangtua mereka seluas 7 rante. Semenjak ia masih lajang, ia bekerja di ladang dibantu
oleh adik laki-lakinya yang juga masih lajang. Bersama-sama mereka mengolah tanah di ladang pemberian orangtua mereka untuk masa depan mereka. Di ladang tersebut
mereka menanam padi dan mengerjakan seluruh pekerjaannya bersama-sama, mulai dari menanam padi, merumput, hingga memanen hasilnya. Hasil panen padi selanjutnya
mereka jual ke kilang dan uang yang didapatkan mereka bagi dua, setelah sebelumnya disisihkan untuk modal mereka menanam padi selanjutnya. Uang yang mereka dapatkan
tidak terlalu banyak, apalagi saat itu mereka masih lajang sehingga uang tersebut terkadang habis untuk hal-hal yang tidak penting. Terkadang untuk mencari tambahan
uang, apalagi saat padi mereka belum panen tidak ada hasil yang mereka dapat, ia sering menanam kacang panjang di pinggir ladangnya.
Setelah ia menikah dan tinggal di Denai Kuala, ia pun menyewa ladang milik salah seorang warga Desa tersebut. Saat ia telah menikah, maka dia tidak hanya
memikirkan kebutuhannya seorang tetapi sudah ada tanggungan bagi dirinya yaitu istrinya dan anaknya setelah mereka dikaruniai anak. Semenjak itu selain mengerjakan
ladangnya di Perbaungan bersama dengan adiknya, ia juga menyewa tanah di Denai Kuala untuk ditanaminya padi dengan ongkos sewanya saat itu Rp30.000- Rp 40.000 per
rantenya. Tetapi semenjak hampir dua tahun yang lalu, ia menyewa tanah yang digadaikan oleh salah satu warga. Ia menyewa tanah seluas 7 rante dengan bayaran Rp
4.000.000 dan dibayarkan kepada si pemilik tanah yang digadaikan. Lama masa gadai
Universitas Sumatera Utara
tanahnya tidak ditentukan, masa gadai hanya akan habis jika si pemilik tanah dapat mengembalikan uang gadai yang sudah dibayarkan oleh si pengguna tanah.
Pada tanah yang digadaikan oleh pemiliknya tersebut, Bang Pudin sebanyak 4,5 rante ia tanami dengan padi dan sisanya ditanami cabai. Sebelumnya Bang Pudin
menanami tanah gadai tersebut dengan padi dan kacang panjang, tetapi sekarang ini sudah kedua kalinya Bang Pudin menanaminya dengan cabai. Saat bekerja di ladang
Bang Pudin tidak ada yang membantunya, karena ia hanya memiliki anak perempuan yang masih kecil dan tidak memiliki anak laki-laki. Istri dari Bang Pudin juga tidak terlalu
banyak membantu, hanya sesekali membantu di ladang saat menanam bibit padi ataupun cabai saja, selebihnya istri Bang Pudin hanya bekerja dirumah saja. Semenjak
kecil istri Bang Pudin memang tidak pernah terbiasa untuk bekerja di ladang, ia hanya dibiasakan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga saja oleh orang tuanya. Hal ini
membuat Bang Pudin cukup kerepotan, tetapi ia tidak memiliki pilihan lain. Ketika mengolah tanah di sawahnya sebelum ditanami Ia biasa menyewa mesin
Jetor milik tetangganya, dan ketika Ia benar-benar sudah kelelahan atau tidak enak badan biasanya ia sering mengupah orang lain untuk membantunya membersihkan
rumput di ladang, sedangkan untuk pekerjaan lainnya ia kerjakan sendiri. Mengupah orang lain dilakukannya jika ia sedang merasa tidak enak badan dan masih banyak
pekerjaan, tetapi jika tidak biasanya ia sanggup mengerjakannya sendiri. Terkadang ketika pekerjaan di ladang telah selesai untuk mencari uang tambahan ia juga sering
bekerja di ladang milik orang lain, jika ada orang yang membutuhkan bantuannya. Pada ladang miliknya sendiri yang di Perbaungan, untung saja ada adiknya sehingga untuk
mengerjakannya ia cukup terbantu, tetapi hasilnya tidak banyak karena harus dibagi dua dengan adiknya sebab ladang tersebut merupakan milik berdua. Untuk bantuan dari
dinas pertanian ataupun kelompok tani tidak pernah didapatkan oleh Bang Pudin,
Universitas Sumatera Utara
karena ia tidak pernah bergabung dengan kelompok tani pada Desa Denai Kuala. Hal ini karena ia tidak memiliki tanah di Desa tersebut, sementara syarat utama untuk
bergabung dalam kelompok tani maka ia harus memiliki tanah, jika hanya petani penyewa maka ia tidak dapat menjadi anggota sebuah kelompok tani. Tekadang ingin
sekali Bang Pudin memiliki tanah sendiri di Desa Denai Kuala, tetapi harganya cukup mahal apalagi semenjak berjalannya proyek Bandara Kuala Namu membuat harga tanah
makin melonjak naik membuat ia tidak mampu untuk membelinya. Istri dari Bang Pudin memang tidak banyak membantu pekerjaannya di ladang
karena ia memang tidak terbiasa untuk bekerja di ladang. Tetapi istri Bang Pudin juga ikut membantu suaminya dalam mencari nafkah, memang tidak banyak pendapatannya
tetapi cukup membantu untuk menambah uang belanja ataupun untuk jajan anaknya. Di pekarang rumahnya istri Bang Pudin berjualan bensin eceran, dalam seharinya ia
mampu menjual minimal 10 liter bensin dengan untung per liternya sebanyak Rp 500. Selain itu ia juga sesekali ia membantu warga yang membutuhkan bantuannya untuk
membantu-bantu dirumahnya, seperti: mencuci, menyetrika ataupun pekerjaan rumah tangga lainnya.
Bang Pudin sangat menikmati pekerjaannya sebagai petani yang merupakan keahliannya dan juga ia tidak perlu bekerja pada orang lain ataupun diperintah oleh
orang lain. Meskipun begitu ia tidak menginginkan anaknya mengikuti jejaknya menjadi petani seperti dirinya apalagi lahan yang dimilikinya tidaklah luas, pendapatannya pun
pas-pasan saja. Jika boleh bermimpi, Bang Pudin ingin sekali anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik lagi. Memiliki pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang jauh
lebih baik agar kehidupan anak-anaknya kelak lebih sejahtera. Tetapi sekarang anaknya masih kecil-kecil, masih banyak hal yang harus dilakukan oleh Bang Pudin untuk
mewujudkan keinginannya. Saat ini tugas dari Bang Pudin dan istrinya adalah mendidik
Universitas Sumatera Utara
anaknya dengan budi pekerti yang baik, berusaha memberikan pendidikan formal yang cukup agar kelak merek dapat hidup lebih baik daripada kedua orang tuanya.
Tinggal di Desa Denai Kuala menurutnya tidak jauh berbeda daripada Desa tempat kelahirannya di Perbaungan. Kehidupan masyarakatnya sebagian besar
bergantung pada pertanian, dengan tingkat kekerabatan yang cukup erat karena budaya orang di Desa yang tingkat kepeduliannya masih tinggi. Diwadahi oleh STM perwiridan
sehingga antar warga Desa masih saling mengenal dengan baik satu dan yang lainnya ataupun kebiasaan saling membantu antar warga yang membuat budaya gotong royong
masih terlaksana.
4. Ibu Ngatilah
Ibu Ngatilah lahir di Desa Denai Kuala pada tahun 1968 dan dibesarkan di Desa tersebut. Ia dan suaminya merupakan warga asli Desa Denai Kuala. Dari pernikahannya
Bu Ngatilah dikaruniai oleh 4 orang anak yang keempatnya merupakan anak laki-laki. Anak pertama Bu Ngatilah berusia 23 tahun, sekarang anak pertamanya bekerja di
ladang membantu Bapaknya. Anak pertama ibu Ngatilah hanya bersekolah hingga tamat SD saja, saat diminta untuk melanjutkan Sekolah kembali ia tidak bersedia. Anak kedua
Ibu Ngatilah saat ini tinggal di Jambi bersama Pamannya, selepas tamat SMP anak kedua Ibu Ngatilah tidak mau melanjutkan Sekolah lagi dan memilih ikut bersama Pamannya ke
Jambi untuk kerja bangunan. Anak ketiga Ibu Ngatilah saat ini masih SMP dan anak bungsunya masih kelas 1 SD. Kedua orang anak Ibu Ngatilah yag tidak mau melanjutkan
Sekolah membuat ia pasrah, meskipun begitu ia tetap berharap agar dua orang anaknya yang lain tidak mengikuti jejak abangnya untuk putus Sekolah. Apalagi ia dan suaminya
juga tidak memiliki pendidikan yang tinggi, Ibu ngatilah bersekolah hingga tamat SMP saja dan suaminya hanya tamatan SD.
Universitas Sumatera Utara
Ibu Ngatilah bersama keluarganya tinggal dirumahnya sendiri yang merupakan pemberian dari kedua orang tuanya. Awalnya rumahnya merupakan bangunan semi
permanen, tetapi sedikit demi sedikit ia mampu membangun rumahnya meskipun sangat sederhana. Pekerjaan suami Ibu Ngatilah adalah petani, karena semenjak kecil
suaminya sering membantu orang tuanya di sawah. Ibu Ngatilah mengenal suaminya semenjak ia kecil, karena mereka lahir dan dibesarkan di Desa yang sama bahkan
mereka merupakan tetangga satu dusun. Mereka memiliki ladang seluas 9,5 rante, sebagian merupakan warisan dan sebagian lagi ibu Ngatilah dan suami yang
membelinya. Dahulu suaminya pernah menanami sebagian ladang mereka kacang hijau, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Suami Ibu Ngatilah menanami seluruh ladang mereka
dengan padi, jenis padi yang ditanamnya adalah padi serang karena sawah mereka merupakan sawah tadah hujan. Saat ini ladang padinya sudah seluruhnya dipanen, dan
pada 4 rante ladangnya yang tidak jauh dari kediaman mereka ditanami dengan timun oleh suaminya. Sebelumnya ia pernah menanam timun pada ladangnya, dan hasilnya
cukup lumayan dari per rantenya minimal 100 kg timun yang dapat dipanen, dengan harga jualnya Rp 1.000kg. Hasil yang didapatkan dari menanam timun cukup lumayan,
modal untuk menanam dan perawatannya pun tidak sulit dengan masa tanam hingga panen yang tidak terlalu lama, sehingga suaminya kembali menanam timun di ladang
mereka. Suami Ibu Ngatilah juga menanam kacang panjang pada 3 rante ladang milik mereka.
Dahulu ia dan suaminya hanya memiliki ladang seluas 5 rante, sehingga untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka dengan 4 orang anak suaminya sering bekerja
upahan diladang milik orang lain. Selain itu mereka saat itu juga menyewa ladang milik orang lain untuk ditanami padi. Pada masa itu Ibu Ngatilah juga sering membantu
suaminya di ladang, ketika masa tanam tiba ia membantu menanam di ladang dan
Universitas Sumatera Utara
merumput di pertengahan masa tanam, saat tiba waktunya untuk memanen ia juga turut membantu suaminya di ladang. Beruntung ibu Ngatilah memiliki anak laki-laki,
ketika itu anaknya yang bungsu belum lahir dan anak ketiga Bu Ngatilah masih berusia 2 tahun. Kedua orang anak laki-laki Ibu Ngatilah juga turut membantunya bekerja di
ladang, sehingga pekerjaan mereka menjadi lebih ringan. Pada tahun 2000 akhir Ibu Ngatilah pernah bekerja di Malaysia menjadi TKW,
selama 2 tahun ia mengadu nasib disana untuk mengumpulkan uang. Ibu Ngatilah bersyukur sekali ketika bekerja menjadi pembantu di Malaysia ia mendapatkan majikan
yang baik, per bulannya ia digaji sebesar 350 Ringgit saat itu 1 Ringgit nilainya adalah Rp 3500, sehingga kalau dirupiahkan gaji Ibu Ngatilah saat itu per bulannya Rp 1.225.000.
Sebelas tahun yang lalu gaji sebesar itu sudah cukup banyak baginya, apalagi jika dibandingkan selama ia bertani pendapatannya tidak sampai sebanyak itu. Ibu Ngatilah
berusaha berhemat saat tinggal di negeri tetangga, untung saja selama ia bekerja di Malaysia semua biaya hidup dan tempat tinggal menjadi tanggungan majikannya. Gaji
Ibu Ngatilah dikumpulkannya untuk memperbaiki kehidupannya atau menjadi modalnya ketika ia pulang ke kampung halamannya. Saat bekerja di Malaysia ia meninggalkan
suaminya bersama ketiga orang anaknya, saat itu anak pertamanya baru saja lulus SD dan tidak mau melanjutkan Sekolah lagi, sehingga sang abanglah yang bertugas untuk
menjaga adik-adiknya serta membantu bapaknya bekerja di ladang. Sebenarnya ibu Ngatilah tidak ingin meninggalkan keluarganya, tetapi ia tidak punya pilihan selain untuk
mencari pengalaman ia juga menginginkan kehidupan yang lebih baik. Setelah pulang bekerja di Malaysia ia sangat bersyukur, dari gaji yang dikumpulkan ia mampu membeli
ladang seluas 4,5 rante sehingga dapat menopang kehidupan keluarganya agar lebih baik lagi.
Universitas Sumatera Utara
Setelah kepulangannya dari bekerja di Malaysia, Ibu Ngatilah dan suami kembali bekerja di ladang menanam padi dan sayuran. Setelah ia pulang bekerja di Malaysia dan
berhasil membeli ladang seluas 4,5 rante, suaminya hanya bekerja di ladang milik sendiri dan pada ladang yang disewa oleh suaminya untuk ditanam padi, tidak lagi bekerja
upahan di ladang milik orang lain. Tetapi semenjak 3 tahun yang lalu, suami ibu Ngatilah sudah tidak lagi menyewa ladang milik orang lain untuk ditanami. Karena suami Ibu
Ngatilah sudah tidak sekuat saat muda, mampu mengerjakan seluruh ladang miliknya dan ladang sewaannya. Setahun sebelumnya Ibu Ngatilah baru saja memulai berjualan
mi sop di halaman rumahnya, keuntungan yang didapatkan olehnya cukup untuk menambah penghasilannya, sehingga ketika suami Ibu Ngatilah sudah mulai tidak sehat
ia memutuskan agar suaminya tidak terlalu kelelahan bekerja di ladang. Oleh sebab itu suami ibu Ngatilah sudah tidak lagi menyewa ladang untuk digarapnya, dan hanya
mengerjakan ladang miliknya dibantu oleh anak pertamanya serta anak ketiganya jika ia telah pulang Sekolah.
Berjualan mi sop di rumahnya dilakukan Ibu Ngatilah untuk menambah penghasilannya sebagai ibu rumah tangga, sekaligus membantu suaminya. Bekerja di
ladang buat Ibu Ngatilah tidak ada masalah, tetapi jika harus terus menerus bekereja di ladang tentunya ia sudah tidak seperti saat ia muda. Dengan pendapatan dari berladang
yang tidak setiap hari dan juga penghasilan yang didapatkan bergantung dari berhasil atau tidaknya panen saat itu, membuat Ibu Ngatilah mencoba mencari cara yang lain
untuk menambah penghasilannya. Berjualan mi sop untuk Ibu Ngatilah juga dilakukannya untuk mengisi kegiatannya dirumah agar tidak terlalu banyak waktu
terbuang, karena ladangnya telah dikerjakan oleh suami dan anaknya sehingga Ibu Ngatilah tidak lagi banyak kesibukan selain memasak dirumah. Dari kegiatannya
berjualan mi sop untuk pengisi waktu luangnya sebagai ibu rumah tangga, ternyata
Universitas Sumatera Utara
hasilnya cukup lumayan untuk menambah uang belanja, apalagi jika warga baru saja panen di ladang dan mereka tidak mengalami paceklik maka dagangan Ibu Ngatilah pun
sangat laris. Pendapatan bersih ibu Ngatilah per harinya dapat mencapai Rp 40.000 tetapi jika warga sudah panen maka pendapatannya meningkat menjadi diatas Rp
100.000. Suami Ibu Ngatilah baru saja memanen padinya di ladang, modal yang
dihabiskan untuk menanam padi di ladangnya mencapai Rp 2.000.000. Untuk menggarap tanah sebelum ditanami, suami Ibu Ngatilah biasanya menyewa jetor milik
tetangganya dengan sewa Rp 30.000 rante, sebab jika harus mencangkulnya sendiri akan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan menggunakan jetor, meskipun
biaya yang akan dikeluarkannya akan lebih banyak. Bibit yang digunakan oleh suami Ibu Ngatilah, biasanya didapatkan dari hasil panen sebelumnya, tetapi jika hasil panen
sebelumnya gabah yang dihasilkan kurang bagus kualitasnya, ia biasa membeli bibit baru dari Dinas Pertanian. Dari ladangnya tersebut sebanyak 2,3 ton padi di panennya. Padi
yang dipanen sebagian dijemur oleh Ibu Ngatilah untuk kebutuhan keluarganya dan sisanya sebanyak 2 ton dijual oleh suami Ibu Ngatilah ke kilang padi. Suami Ibu Ngatilah
menjual padinya dalam bentuk gabah basah dengan harga jual Rp 3.600kg. Jika menjual dalam kondisi gabah kering harga jualnya akan lebih tinggi, tetapi bagi suami ibu
Ngatilah hal tersebut lebih beresiko karena musim yang tidak menentu terkadang membuat gabahnya lama untuk kering.
Hambatan yang sering dialami oleh suami Ibu Ngatilah biasanya dalam hal mencari pupuk, karena terkadang pupuk menjadi sulit dicari ketika didapatkan maka
harganya pun akan lebih tinggi. Bantuan-bantuan pernah didapatkan olehnya berupa pupuk bersubsidi, tetapi bantuan yang diberikan tidak mampu mencukupi kebutuhan
mereka. Penyaluran pupuk bersubsidi ataupun bantuan lainnya biasanya didapatkan
Universitas Sumatera Utara
melalui kelompok tani, sehingga jika ada petani yang tidak bergabung dengan kelompok tani maka ia tidak akan mendapatkan bantuan dari dinas pertanian. Suami Ibu Ngatilah
bergabung dengan kelompok tani Harapan, sehingga jika dinas pertanian memberikan bantuan bagi petani yang disalurkan oleh kelompok-kelompok tani, maka ia akan
mendapatkan bantuan tersebut. Kesulitan lain yang sering dialami oleh suami Ibu Ngatilah adalah sedikitnya bantuan teknik bertani atau panduan dari penyuluh pertanian
setempat untuk cara bertani yang lebih baik, sehingga teknik-teknik dalam bertani hanya mengandalkan dari kemampuan sendiri.
Biaya untuk kebutuhan bagi Ibu Ngatilah semakin lama menjadi lebih tinggi, dalam per bulannya pengeluaran keluarganya mencapai Rp 1.000.000 bahkan lebih
karena itu hanya kebutuhan pokok saja, belum uang listrik perbulannya dan iuran air bersih serta kebutuhan lainnya. Tinggal di Desa Denai Kuala merupakan satu-satunya
pilihan karena ia lahir dan dibesarkan di Desa tersebut, selain karena hal tersebut juga kekeluargaan yang terjalin baik dan juga ia memiliki mata pencaharian di Desa tersebut.
5. Pak Rusik
Bapak Rusik 56 tahun tinggal di Desa Denai Kuala sejak usia 12 tahun atau tepatnya semenjak ia menyelesaikan pendidikan dasarnya. Bapak Rusik
menyelesaikan pendidikan dasarnya hanya sampai tingkat SMP saja, setelah itu ia tidak lagi melanjutkan Sekolah ke tingkat yang lebih tinggi karena ketiadaan
biaya. Bapak Rusik menikahi seorang gadis asal Bangun Purba bernama Samsiah pada tahun 1980, saat itu ia berusia 25 tahun. Pada pernikahannya tersebut Bapak
Rusik dan Ibu Samsiah dikaruniai 4 orang anak, seorang anak perempuan dan 3 orang anak laki-laki. 2 orang Bapak Rusik telah menamatkan Sekolah hingga
Universitas Sumatera Utara
SMA, dan 2 orang lagi masih Sekolah masing-masing SMA dan SD. Anak kedua Bapak Rusik adalah seorang putri, telah menikah dan tinggal di Desa yang
berbeda dengan Bapak Rusik. Bapak Rusik bekerja sebagai seorang petani, karena memang itu
adalah keahliannya yang semenjak kecil sudah dikuasai olehnya, karena sering membantu orang tuanya di ladang. Bapak Rusik memiliki ladang seluas lebih
kurang 3 rante yang merupakan warisan dari orang tuanya. Pada ladangnya sendiri ia menanaminya dengan padi jenis serang, yang beberapa hari yang lalu baru saja
selesai di panennya. Pada panennya kali ini padi yang dihasilkan tidak sebanyak panen sebelumnya karena musim yang tidak menentu, seperti seringnya hujan
tiba-tiba membuat hal tersebut berpengaruh pada tanaman padinya. Menurut Bapak Rusik jika biasanya dari per rantenya gabah basah yang mampu
dipanennya sebanyak 250 kg sd 300 kg, pada panen kali ini hasilnya tidak sebanyak itu. Dari tanahnya yang seluas 3 rante biasanya ia mendapatkan hasil
sebanyak 8 kuintal gabah basah, kali ini ia hanya mendapatkan 6 kuintal saja. Untung saja selain menggarap tanah di ladangnya sendiri, ia juga menyewa tanah
milik orang lain seluas 15 rante. Jika hanya bergantung pada hasil panen dari ladang miliknya sendiri tidak akan mencukupi kebutuhan hidup Pak Rusik dan
keluarganya, karena hal tersebut maka ia harus mencari berbagai macam cara untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Bapak Rusik membayar Rp 50.000 sebagai ongkos sewa untuk per rante ladangnya. Dari 15 rante ladang yang disewanya sebanyak 12,5 rante ditanami
Pak Rusik dengan Padi dan sisanya sebanyak 2,5 rante ditanami dengan cabai. Bapak Rusik baru saja menanam cabai di ladang sewaannya, sehingga hasilnya
Universitas Sumatera Utara
belum dapat dipanen. Padi pada ladang sewaanya baru saja dipanennya dan ia mendapatkan hasil 2,2 ton, yang dijualnya dalam bentuk gabah basah dengan
harga jual Rp 3.600 kg. Hasil panen padinya kali ini tidak sebanyak panen sebelumnya, jika ditotal dari ladangnya sendiri dan ladan sewaannya adalah
sebanyak 2,8 ton, sebanyak 3 kuintal gabah basah akan dijemur oleh istri Bapak Rusik sebagai kebutuhan keluarga mereka dan sisanya dijual dalam bentuk gabah
basah oleh Bapak Rusik ke kilang padi. Hasil penjualan panen inilah yang akan digunakan oleh Pak Rusik untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Hasil panen yang didapatkan merupakan harapan bagi kelangsungan kehidupan keluarga Bapak Rusik. Meskipun demikian ia sangat menyadari hail
panen dari ladang miliknya sendiri tidak akan cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarganya. Terbatasnya lahan yang dimiliki oleh Bapak Rusik,
tentunya akan berpengaruh pada hasil yang didapatkan oleh Bapak Rusik yang sedikit. Maka itu ia juga menyewa ladang milik orang lain, sehingga ladang
tersebut dapat digarapnya dan hasilnya dapat dijual olehnya. Bapak Rusik sangat ingin membeli ladang di Desanya, agar ladangnya bertambah luas sehingga ia
tidak perlu lagi menyewa ladang milik orang lain. Tetapi harga tanah ladang di Desanya kian lama semakin mahal, sehingga ia kurang mampu untuk
menjangkaunya. Selain menyewa ladang di Desanya, Bapak Rusik juga memiliki sebuah
mesin Jetor yang dipergunakannya untuk menambah penghasilannya. Jetor yang ia miliki tersebut ia beli dari toko alat-alat dan mesin pertanian dengan harga Rp
19.000.000, dan dibayar dengan cara mencicil selama 3 tahun. Ia memilih untuk membeli mesin jetor tersebut daripada membeli sebuah ladang, dikarenakan jetor
Universitas Sumatera Utara
tersebut dapat dibayarnya dengan cara dicicil selama 3 tahun sehingga hal tersebut lebih meringankan dirinya. Selanjutnya Jetor tersebut disewakan oleh Bapak
Rusik kepada warga yang akan menggarap tanah saat memasuki masa tanam, dengan ongkos sewa Rp 30.000 per rantenya. Pada Desanya dan lebih tepatnya
pada dusun 3 tidak banyak warga yang memiliki mesin Jetor dari 186 KK yang tinggal di dusunnya, hanya sekitar 5 orang saja yang memiliki mesin Jetor,
sehingga banyak warga yang menyewa jetor miliknya. Saat waktunya sedang senggang Bapak Rusik sering mencari ikan di
sungai atau sawah, hal tersebut dilakukannya sebagai hobi untuk mengisi waktu luang, meski hasilnya seringkali dijualnya untuk menambah uang belanja.
Mencari ikan di sungai atau sawah pernah menjadi pekerjaan utamanya pada awal tahun 1985-1990 akhir, kala itu banjir akibat luapan sungai ular sering merusak
ladang dan tanaman warga, bahkan merendam rumah warga sehingga mencari ikan di sungai dan sawah menjadi pekerjaan utamanya dan juga sebagian warga.
Saat ini mencari ikan juga sering menjadi tambahan penghasilan baginya, apalagi jika ada kebutuhan yang menDesak sementara ia sudah tidak memiliki simpanan
uang. Bertani merupakan pekerjaan utamanya, karena hal tersebut adalah
keahlian Bapak Rusik dan juga hobinya. Semenjak kecil ia diajarkan oleh kedua orang tua nya untuk bekerja di ladang, hal ini juga diterapkan oleh Pak Rusik
kepada anak laki-lakinya, semenjak kecil ketiga anak laki-lakinya turut membantu Bapak Rusik bekerja di ladang. Bahkan jika ada warga yang ingin menyewa jetor
miliknya sementara Pak Rusik sedang berhalangan, pekerjaan tersebut akan digantikan oleh anak sulungnya atau anaknya yang ketiga. Pak rusik menerapkan
Universitas Sumatera Utara
hal tersebut agar ketiga anak laki-laki Pak Rusik terbiasa mandiri dan mau bekerja, serta agar anak-anaknya mampu menghargai jerih payah yang sudah
dilakukan oleh orang tua nya. Istri Pak Rusik tidak banyak membantu di ladang, karena ia tidak terbiasa bekerja di ladang sehingga ia hanya melakukan pekerjaan
rumah tangga saja. Bekerja bagi Bapak Rusik bukan saja sebagai jalan untuk mencari nafkah
bagi keluarganya, tetapi juga sebagai aktifitas utamanya sebagai perwujudan aktualisasi diri baginya. Bapak Rusik bukanlah orang yang dapat berdiam diri saja
dirumah, meskipun pekerjaannya di ladang telah selesai. Sehingga untuk mengisi waktu luangnya ia sering mencari rumput untuk makanan 6 ekor kambing
miliknya, kambing tersebut merupakan bantuan dari sebuah yayasan hekper. Yayasan tersebut meminta warga untuk membentuk sebuah kelompok yang
selanjutnya akan diberi bantuan pinjaman sepasang kambing, dengan cara bagi hasil kepada yayasan tersebut jika kambing-kambing tersebut memiliki anak.
Tetapi kelompok kambing tersebut tidak berlangsung lama, karena banyak bantuan kambing yang diberikan kepada warga, telah mati sebelum mereka
mengembalikannya kepada pihak yayasan Hekper.
6. Bang Ilham
Bang Ilham merupakan warga asli Desa Denai Kuala, karena ia lahir dan dibesarkan di Desa tersebut. Pada 15 tahun yang lalu Bang Ilham menikah dengan
seorang gadis yanng juga berasal dari Desa Denai Kuala bernama Raihanun. Dari pernikahannya, Bang Ilham memiliki 2 orang anak laki-laki dan seorang anak
perempuan. Anak laki-laki pertama Bang Ilham bersekolah di kelas 2 Mts, Anak kedua Bang Ilham duduk di bangku kelas 5 SD dan anak perempuan bungsunya masih Sekolah
Universitas Sumatera Utara
di TK. Bang Ilham dan Kak Raihanun menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih baik daripada kedua orang tuanya yang hanya tamat SMP dan SMA.
Bang Ilham memiliki mata pencaharian sebagai petani, dari 2 rante ladang miliknya yang tidak terlalu luas ia menanaminya dengan padi. Padi yang ditanam di
ladangnya berjenis Serang, dan seminggu yang lalu baru saja dipanen olehnya. Dari 2 rante ladang miliknya ia mendapatkan hasil panen sebanyak 5,5 kuintal gabah basah,
sebanyak 2 kuintal disimpan olehnya untuk kebutuhan keluarganya dan sisanya dijual oleh Bang Ilham untuk kebutuhan keluarganya. Bang Ilham sangat menyadari jika hanya
bergantung pada ladang miliknya, hasil yang diperoleh tidak akan mencukupi Bang Ilham untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Maka itu ia juga menyewa ladang milik orang
lain yang akan ditanaminya, dan hasilnya akan dijual untuk menambah penghasilannya sebagai kepala keluarga. Ia menyewa ladang milik orang lain seluas 5 rante dengan uang
sewa per rantenya sebesar Rp 50.000, ladang yang disewanya selanjutnya akan ditanami Bang Ilham dengan padi. Padi yang ditanam di ladang sewaannya tersebut juga baru saja
dipanen oleh Bang Ilham, dan ia mendapatkan hasil sebanyak 1,3 ton yang dijualnya dalam bentuk gabah basah dengan harga jual Rp 3.600 per rantenya.
Bang Ilham bekerja di ladangnya dengan dibantu oleh istri dan anak pertamanya, sebab jika harus mengupah orang lain untuk bekerja di ladangnya, ia akan
kesulitan untuk membayarnya. Belum lagi ketika mulai menanam, maka ia juga harus mengeluarkan modal untuk membeli bibit, pupuk, pestisida dan sebagainya. Hal yag
cukup memberatkan Bang Ilham adalah ketika pupuk yang digunakan menjadi sulit dicari, jika kondisinya sudah seperti itu harga pupuk akan semakin tinggi. Bantuan dari
pemerintah jarang didapatkan oleh Bang Ilham sebagai petani, baik itu berupa pupuk, bibit ataupun berupa penyuluhan dari dinas pertanian setempat. Jikalau ada biasanya
Universitas Sumatera Utara
bantuan yang diberikan juga sangat terbatas dan disalurkan melalui kelompok tani yang ada.
Untuk menghemat pengeluaran sekaligus juga agar anaknya terbiasa untuk bekerja, ia mewajibkan anak laki-lakinya untuk membantunya di ladang ketika telah
pulang dari Sekolah. Kak Raihanun juga turut membantu Bang Ilham di ladang, ketika seluruh tugas rumah tangganya sudah selesai dikerjakan ia akan ikut membantu Bang
Ilham di ladang jika pekerjaan di ladangnya sedang banyak. Bang Ilham dan istri hingga saat ini masih sering bekerja upahan di ladang milik orang lain. Ada sebagian warga yang
memiliki tanah cukup luas sering mengupah jasa orang lain untuk bekerja di ladangnya, biasanya pemilik ladang mengupahkan orang lain untuk menanam dan merumput di
ladangnya. Bang Ilham sadar kebutuhan hidup semakin banyak dan mahal, jika hanya mengandalkan hasil panen dari ladangnya yang terbatas dan ladang sewaannya tidaklah
mencukupi, apalagi panen hanya dua kali dalam setahun. Menjadi tenaga upahan di ladang milik orang lain merupakan salah satu alternatif yang dijalankan oleh Bang Ilham,
disaat pekerjaan di ladangnya telah selesai. Bersama dengan istrinya, ia mengerjakan ladang milik orang lain dengan upah Rp 30.000 per rantenya.
Bekerja bagi Bang Ilham merupakan sebuah kewajiban, karena selain ia adalah seorang kepala keluarga yang wajib menafkahi keluarganya, bekerja juga merupakan
tempat baginya untuk lebih produktif. Apabila pekerjaan di ladangnya telah selesai dan tidak ada lagi orang lain yang menyuruhnya untuk membantu di ladang, maka Bang
Ilham memanfaatkan waktunya dengan mencari pekerjaan lain yang mampu dikerjakannya. Seringkali juga Bang Ilham mencari ikan di sungai atau parit besar dengan
menggunakan bubu dan jaring, atau di saat air laut sedang surut ia juga mencari udang dan kepiting di parit aliran air untuk tambak. Mencari ikan dimanfaatkan Bang Ilham
untuk mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, jika
Universitas Sumatera Utara
hasil yang didapatkannya banyak ia sering menjualnya, tetapi jika sedikit ia memberikan ikan tangkapannya kepada istrinya untuk dimasak.
Dalam mendidik anak-anaknya Bang Ilham mengajarkan pentingnya nilai-nilai agama dan norma, selain itu baginya mengenyam pendidikan formal sangat diutamakan.
Bang Ilham menginginkan anaknya mampu memiliki pendidikan yang lebih tinggi, agar kelak masa depan mereka akan lebih baik. Meski Bang Ilham mewajibkan anak lelakinya
untuk ikut membantu di ladang, ketika telah pulang Sekolah tetapi tidak berarti akan mengabaikan Sekolah mereka. Setelah pulang membantu di ladang anak-anak Bang
Ilham wajib untuk belajar mengulang pelajaran mereka saat di Sekolah. Membantu di ladang tidak setiap hari dilakukan anak-anak Bang Ilham, hanya ketika pekerjaan di
ladang sedang banyak yakni ketika awal masa menanam dan masa panen saja, selebihnya mereka tidak perlu bekerja di ladang. Bang Ilham membiasakan anak-
anaknya untuk membantu di ladang, agar mereka terbiasa untuk bekerja keras dan menghargai jerih payah orang lain.
Desa Denai Kuala merupakan lingkungan tempat tinggal yang nyaman bagi Bang Ilham, meskipun ia tidak pernah mencoba tinggal di lingkungan yang lain, tetapi ia lebih
menyukai tinggal di Desa yang memiliki ikatan kekeluargaan yang erat dibanding di kota. Budaya gotong royong yang telah jarang ditemui di kota, tetapi di Desanya hal tersebut
sudah menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan untuk saling membantu akan semakin terlihat jika ada warga yang akan mengadakan hajatan atau membangun rumah,
beramai-ramai warga akan membantunya, atau jika ada yang sedang tertimpa kemalangan maka warga akan datang untuk membantunya.
Universitas Sumatera Utara
4.3. Interpretasi Data