SALURAN TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DAN PENGENDALIAN INFLASI DI INDONESIA

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dalam memenuhi tujuan akhir kebijakan moneter yang adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil maka Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time lag).

Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variabel ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.

Oleh karena itu, dibutuhkan transmisi kebijakan moneter yang pada dasarnya menggambarkan bagaimana kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral dapat mempengaruhi berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan sehingga pada akhirnya dapat mencapai tujuan akhir yang ditetapkan.


(2)

Berdasarkan latar belakang diatas, maka akan di rumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Apa saja saluran transmisi kebijakan moneter? 2. Bagaimana pengertian inflasi secara utuh? 3. Bagaimana pengendalian inflasi di Indonesia?

4. Bagaimana koordinasi pengendalian inflasi di Indonesia? 1.3 TUJUAN PENULISAN

Penulisan ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui saluran transmisi kebijakan moneter. 2. Untuk mengetahui inflasi secara utuh.

3. Untuk mengetahui bagaimana koordinasi pengendalian inflasi.

1.4 MANFAAT PENULISAN

Penulisan makalah ini memberi manfaat antara lain : 1. Bagi penulis :

a) Memberikan wawasan dan pengalaman dalam menyusun makalah.

b) Mampu memahami apa saluran transmisi kebijakan moneter dan bagaimana pengendalian inflasi di Indonesia.

2. Bagi pembaca :

a) Memberi informasi mengenai apa itu inflasi dan penangannya b) Memberi informasi bagaimana pengendalian inflasi di Indonesia c) Memberi infomasi mengenai saluran transmisi kebijakan moneter

BAB 2

PEMBAHASAN


(3)

Secara spesifik Taylor (1995) menyatakan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah “the process through which monetary policy decision are transmitted into changes in real GDP and inflation”. Artinya, MTKM merupakan jalur-jalur yang dilalui oleh kebijakan moneter untuk dapat mempengaruhi sasaran akhir kebijakan moneter yaitu pendapatan nasional dan inflasi. Pada Skema 1 terlihat kotak hitam yang merupakan area MTKM atau jalur-jalur yang dilalui oleh suatu kebijakan moneter hingga terwujudnya tujuan akhirnya kebijakan moneter yaitu inflasi.

Secara teoritis, konsep standar mekanisme transmisi kebijakan moneter dimulai dari ketika bank sentral mengubah instrumen-instrumennya yang selanjutnya mempengaruhi sasaran operasional, sasaran antara dan sasaran akhir. Misalnya Bank Sentral (BI) menaikkan rSBI. Peningkatan tersebut akan mendorong naiknya Suku Bunga Pasar Uang Antar Bank (rPUAB), suku bunga deposito, kredit perbankan, harga aset, nilai tukar dan ekspektasi inflasi di masyarakat. Perkembangan ini mencerminkan bekerjanya jalur-jalur transmisi moneter yang akan selanjutnya berpengaruh terhadap konsumsi dan investasi, ekspor dan impor yang merupakan komponen permintaan eksternal dan keseluruhan permintaan agregat.

2.1.1 Jalur-Jalur Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time lag).

Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini


(4)

menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.

Transimi Lima Jalur Versi BI

Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin bergairah. Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank Indonesia


(5)

merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk mengerem aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.

Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini sering disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.

Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi.

Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.

Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu (time lag). Time lag masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain. Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat. Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan tarnsmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat. Juga, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya permintaan


(6)

kredit belum tentu direspon dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter.

1. Jalur Suku Bunga (Interest Rate Channel)

Jalur ini dinamakan jalur suku bunga karena jalur ini menekankan peranan perubahan struktur suku bunga di sector keuangan yang ditransmisikan ke suku bunga menengah/panjang yang selanjutnya memengaruhi permintaan dan akhirnya berpengaruh terhadap inflasi. (Taylor , 1995) dan Biofinger (2001:80).

Jalur suku bunga pada dasarnya merupakan pandangan Keynesian dimana suku bunga riil jangka panjang paling berpengaruh dalam perekonomian dan dapat dijelaskan dengan skema IS-LM. Pandangan tradisional ISLM Keynesian tentang mekanisme transmisi moneter dapat ditandai dengan skema berikut ini yang menunjukkan efek dari ekspansi moneter:

M ↑ => ir ↓=> I↑ => Y ↑

Dimana M ↑ menunjukkan kebijakan moneter ekspansif yang mengarah ke penurunan suku bunga riil (ir ↓), yang pada gilirannya menurunkan biaya modal, menyebabkan

kenaikan pengeluaran investasi (I ↑), sehingga mengarah ke peningkatan permintaan agregat dan kenaikan output (Y ↑).

Meskipun Keynes menekankan awalnya saluran ini sebagai operasi melalui keputusan bisnis tentang pengeluaran investasi, penelitian terakhir diketahui bahwa keputusan konsumen tentang perumahan dan pengeluaran konsumen untuk barang tahan lama juga merupakan keputusan investasi. Dengan demikian, tingkat bunga saluran transmisi moneter diuraikan dalam skema di atas juga berlaku untuk belanja konsumen di mana (I) mewakili perumahan dan pengeluaran konsumen terhadap barang tahan lama.


(7)

Faktanya adalah tingkat bunga riil yang berdampak pada pengeluaran daripada tingkat nominal memberikan mekanisme penting untuk bagaimana kebijakan moneter dapat menstimulasi ekonomi, bahkan jika tingkat bunga nominal menghantam batas bawah (floor) selama episode inflasi. Dengan tingkat bunga nominal pada batas bawah nol, ekspansi jumlah uang beredar (M ↑) dapat meningkatkan tingkat harga yang diharapkan (Pe ↑) inflasi dan karenanya diharapkan (Πe ↑), sehingga menurunkan tingkat bunga riil (ir ↓) , bahkan ketika tingkat bunga nominal adalah tetap nol, dan pengeluaran merangsang melalui saluran suku bunga di atas: yaitu

M ↑ => Pe ↑ => Πe ↑ => ir ↓ => I ↑ => Y ↑

Mekanisme ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter masih bisa efektif, bahkan ketika tingkat bunga nominal telah didorong ke nol oleh otoritas moneter. Memang, mekanisme ini adalah elemen kunci dalam diskusi monetaris mengapa perekonomian AS tidak terjebak dalam perangkap likuiditas selama Depresi Besar dan mengapa kebijakan moneter ekspansif bisa mencegah penurunan tajam dalam output selama periode ini.

Dalam konteks interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku ekonomi proses perputaran uang, mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Tahap pertama, kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral akan berpengaruh terhadap suku bunga jangka pendek (misalnya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia dan Pasar Uang Antar Bank) di pasar uang rupiah. Perkembangan ini selanjutnya akan mempengaruhi suku bunga deposito yang diberikan perbankan pada simpanan masyarakat dan suku bunga kredit yang dibebankan bank kepada para debiturnya. Proses transmisi suku bunga tersebut biasanya tidak berlangsung secara segera, artinya ada tenggat waktu, terutama karena kondisi internal perbankan dalam manajemen aset dan kewajibannya.


(8)

2. Tahap kedua, transmisi suku bunga dari sektor keuangan ke sektor riil akan tergantung pada pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi terjadi terutama karena bunga deposito merupakan komponen dari pendapatan masyarakat (income effect) dan bunga kredit sebagai pembiayaan konsumsi (substitution effect). Sementara itu, pengaruh suku bunga terhadap permintaan investasi terjadi karena suku bunga kredit merupakan komponen biaya modal (cost of capital), di samping yield obligasi dan dividen saham, dalam pembiayaan investasi. Pengaruh melalui investasi dan konsumsi tersebut selanjutnya akan berdampak pada besarnya permintaan agregat dan pada akhirnya akan menentukan tingkat inflasi dan output riil dalam ekonomi.

2. Jalur Kredit (Credit Channel)

Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit berasumsi bahwa fungsi intermediasi perbankan tidak selalu berjalan normal, sehingga yang lebih berpengaruh terhadap ekonomi riil adalah kredit perbankan. Selain dana yang tersedia, perilaku penawaran kredit perbankan juga dipengaruhi oleh persepsi bank terhadap prospek usaha debitur dan kondisi perbankan itu sendiri seperti permodalan (CAR), jumlah kredit macet, Loan to Deposit Ratio (LDR). Selain itu, tidak semua permintaan kredit debitur dapat dipenuhi oleh bank, khususnya karena kondisi keuangan debitur yang dinilai oleh bank tidak feasible antara lain karena tingginya rasio utang terhadap terhadap modal (leverage), risiko kredit macet, moral hazard, dan sebagainya. Adanya informasi yang tidak simetris antara bank dengan debitur seperti itu menyebabkan pasar kredit tidak selalu berada dalam keseimbangan.

Dalam konteks interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku ekonomi dalam tahapan proses perputaran uang dalam ekonomi, mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit adalah sebagai berikut.

1. Interaksi antara bank sentral dengan perbankan terjadi di pasar uang rupiah. Interaksi ini terjadi karena di satu sisi bank sentral melakukan operasi moneter untuk pencapaian sasaran operasionalnya baik


(9)

berupa uang primer ataupun suku bunga jangka pendek, dan di sisi lain bank melakukan transaksi di pasar uang untuk pengelolaan likuiditasnya. Interaksi ini akan mempengaruhi tidak saja perkembangan suku bunga jangka pendek di pasar uang, tetapi juga besarnya dana yang akan dialokasikan bank dalam bentuk instrumen likuiditas maupun untuk penyaluran kreditnya

2. Jalur kredit lebih menekankan pentingnya pasar kredit dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter yang tidak selalu berada dalam kondisi keseimbangan karena adanya informasi yang tidak simetris (asymmetric information) atau sebab lain. Dalam kaitan ini, terdapat dua jenis jalur yang mempengaruhi transmisi moneter dari sektor keuangan ke sektor riil, yaitu jalur kredit bank dan neraca perusahaan. Jalur kredit bank lebih menekankan pada perilaku bank yang cenderung melakukan seleksi kredit karena informasi asimetris atau sebab-sebab lain tersebut. Di sisi lain, saluran neraca perusahaan lebih menekankan pada kondisi keuangan perusahaan yang berpengaruh dalam penyaluran kredit, khususnya kondisi leverage perusahaan.

3. Jalur Harga Aset (Asset Price Channel)

Jalur harga aset merupakan pandangan Monetarist yang menyatakan bahwa pengaruh kebijakan moneter terjadi melalui pergeseran portfolio investasi yang dimiliki masyarakat.Kebijakan moneter akan mempengaruhi jumlah dana dalam portfolio para pelaku ekonomi (wealth effect) dan relokasi dari suatu jenis aset ke jenis aset lain dalam portfolio sesuai dengan expected returns and risks dari masing-masing bentuk aset.

Pengetatan moneter meningkatkan suku bunga yang mengakibatkan pelaku ekonomi lebih suka memegang aset dalam bentuk obligasi atau deposito daripada saham. Minat untuk berinvestasi dalam kegiatan ekonomi riil menjadi berkurang sehingga laju pertumbuhan ekonomi menurun.


(10)

Kebijakan moneter berpengaruh terhadap perkembangan harga-harga aset lain, baik harga aset finansial seperti yield obligasi dan harga saham, maupu harga aset fisik khususnya harga aset properti dan emas. Transmisi ini terjadi karena penanaman dana oleh para investor dalam portofolio investasinya tidak saja berupa simpanan di bank dan instrumen lainnya di pasar uang rupiah dan valuta asing, tetapi juga bentuk obligasi, saham, dan aset fisik. Dengan demikian, perubahan suku bunga dan nilai tukar maupun besarnya investasi di pasar uang rupiah dan valuta asing akan berpengaruh pula terhadap volume dan harga obligasi, saham, dan aset fisik tersebut.

Pengaruh kebijakan moneter terhadap perkembangan harga aset selanjutnya akan berdampak pada berbagai aktifitas sektor rill. Mekanisme transmisi melalui jalur harga aset ini terjadi melalui pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi bagi para investor, baik karena perubahan kekayaan yang dimiliki maupun perubahan tingkat pendapatan yang dikonsumsi yang timbul dari penerimaan hasil penanaman aset finansial dan asset fisik tersebut. Selain itu, pengaruh harga aset terhadap sektor riil juga terjadi pada permintaan investasi oleh perusahaan. Hal ini disebabkan oleh perubahan harga aset tersebut, baik yield obligasi, return saham, dan harga set properti, berpengaruh terhadap biaya modal yang harus dikeluarkan dalam produksi dan investasi oleh perusahaan. Selanjutnya, pengaruh harga aset pada konsumsi dan investasi tersebut akan mempengaruhi pula permintaan agregat dan pada akhirnya akan menentukan tingkat output riil dan inflasi dalam ekonomi.

4. Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate Channel)

Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini sering disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrumen-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka


(11)

akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.

Mengenai interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku ekonomi dalam proses perputaran uang dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Pada tahap awal, operasi moneter oleh bank sentral akan mempengaruhi, baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap perkembangan nilai tukar. Pengaruh langsung terjadi sehubungan dengan operasi moneter melalui intervensi, jual atau beli, valuta asing dalam rangka stabilisasi nilai tukar. Sementara itu, pengaruh tidak langsung terjadi karena operasi moneter yang dilakukan oleh bank sentral mempengaruhi perkembangan suku bunga dipasar uang dalam negeri sehingga mempengaruhi perbedaan suku bunga didalam negeri dan suku bunga di luar negeri (interest rate differential), yang selanjutnya akan mempengaruhi besarnya aliran dana dari dan ke luar negeri.

2. Pada tahap kedua, perubahan nilai tukar berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan harga-harga barang


(12)

dan jasa di dalam negeri. Pengaruh langsung terjadi karena perubahan nilai tukar mempengaruhi pola pembentukan harga oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi oleh masyarakat, khususnya terhadap barang impor. Sementara itu, pengaruh tidak langsung terjadi karena perubahan nilai tukar mempengaruhi kegiatan ekspor dan impor, yang pada gilirannya berdampak pada output dan perkembangan harga-harga barang dan jasa.

5. Jalur Ekspektasi Inflasi (Expectation Inflation Channel)

Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.


(13)

Efektivitas MTKM diukur dengan dua indikator, yaitu: (1). Berapa kecepatan atau tenggat waktu (time lag) dan (2). Kekuatan variabel-variabel pada jalur tranmsisi moneter dalam merespons shock SBI hingga terwujudnya sasaran akhir. Indikator kecepatan diukur dari berapa time lag yang dibutuhkan oleh variable-variabel dalam suatu jalur untuk merespons shock instrumen kebijakan hingga tercapainya sasaran akhir (inflasi).

Indikator kekuatan variabel dalam merespons shock suatu variabel diukur dengan order of magnitude. Jika order of magnitude suatu variabel semakin lebar (jauh dari titik keseimbangan), maka semakin kuat variabel tersebut merespons shock instrumen moneter atau perubahan variabel lainnya. Indikator untuk kekuatan respons juga dapat dilihat dari Uji VD.

2.2 PENGENDALIAN INFLASI DI INDONESIA

Pertama yang dimaksud dengan Inflasi adalah suatu keadaan dimana terdapat kenaikan harga barang atau jasa umum secara terus-menerus berkaitan dengan mekanisme pasar yang disebabkan oleh berbagai faktor baik konsumsi masyarakat yang meningkat, kelebihan likuiditas, hingga ketidaklancaran proses distribusi barang. Dengan kata lain inflasi bisa dikatakan proses penurunan nilai mata uang secara kontinu. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain.

2.2.1 JENIS-JENIS INFLASI Berdasarkan Sifatnya

1. Inflasi merayap (creeping inflation)

Ditandai dengan laju inflasi yang rendah (kurang dari 10% per tahun). Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan persentase yang kecil serta dalam jangka yang relatif lama.


(14)

Ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar, (biasanya double digit atau bahkan triple digit) dan kadang kala berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Artinya, harga-harga minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan lalu dan seterusnya. Efeknya terhadap perekonomian lebih berat daripada inflasi yang merayap (creeping inflation). 3. Inflasi tinggi (hyper inflation)

Merupakan inflasi yang paling parah akibatnya. Harga-harga naik sampai lima atau enam kali. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan uang. Nilai uang merosot dengan tajam, sehingga ingin ditukarkan dengan barang. Perputaran uang makin cepat, harga naik secara akselerasi. Biasanya keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja (misalnya ditimbulkan oleh adanya perang) yang dibelanjai/ditutup dengan mencetak uang.

Berdasarkan kepada sumber atau penyebab kenaikan harga-harga yang berlaku

1. Inflasi Tarikan Permintaan

Inflasi ini biasanya terjadi pada masa perekonomian berkembang dengan pesat. Kesempatan kerja yang tinggi mencipkan tingkat pendapatan yang tinggi dan selanjutnya menimbulkan pengeluaran yang melebihi kemampuan ekonomi mengeluarkan barang dan jasa.


(15)

Grafik menunjukkan hubungan antara harga barang (P), jumlah yang diminta dan ditawarkan (Q) dan keseimbangan harga (E). Terjadinya Demand Pull Inflation ketika permintaan akan barang dan jasa meningkat, maka kurva permintaan total (D) bergeser dari D1D1 ke D2D2. Ketika itu para pedagang akan mengambil

keuntungan dengan menaikkan harga barang dari P1 ke P2. Sehingga pada saat itu,

terjadi inflasi dan menimbulkan harga keseimbangan baru dari E1 ke E2.

2. Inflasi Desakan Biaya

inflasi yang terjadi karena kenaikan biaya produksi. Biaya produksi yang naik akan mendorong naiknya harga-harga barang dan jasa. Selain itu, kenaikan biaya produksi akan mengakibatkan turunnya jumlah produksi sehingga penawaran menjadi berkurang, jika penawaran berkurang sedangkan permintaan diasumsikan tetap, maka akibatnya harga-harga akan naik.

Grafik diatas menunjukkan perilaku produsen ketika menghadapi situasi dimana harga produksi mengalami peningkatan. Ketika terjadi kenaikan harga produksi maka menaikkan harga dari P1 ke P2 tetapi dia justru akan menurunkan jumlah barang/jasa yang dihasilkan dari Q1 ke Q2 sehingga akan menggeser kurva penawaran dari S1S1 menjadi S2S2. Hal ini dilakukan agar produsen tidak terus merugi sambil menunggu harga produksi kembali turun.

Berdasarkan Asal dari Inflasi


(16)

Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul misalnya karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, gagal panen dan sebagainya. 2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation)

Inflasi yang terjadi karena pengaruh inflasi dari luar negeri karena adanya perdagangan antarnegara. Jika suatu negara mengalami inflasi maka inflasi tersebut dapat menular ke negara-negara lain yang memiliki hubungan dagang dengannya. Contohnya, jika negara kita mengimpor faktor-faktor produksi (berupa bahan baku dan mesin) serta mengimpor barang-barang jadi (seperti motor, mesin cuci, dan kipas angin) dari Jepang, maka jika di Jepang harga faktor-faktor produksi dan barang jadi tersebut naik (inflasi), otomatis negara kita juga akan mengalami inflasi. Sebab barang-barang yang kita buat dengan faktorfaktor produksi dari Jepang tentu akan dijual lebih mahal, dan barangbarang jadi dari Jepang pun dijual lebih mahal.

2.2.2 PENYEBAB INFLASI

Setiap negara pasti mengalami inflasi, inflasi yang terjadi dapat disebabkan oleh faktor yang berbeda-beda. Beberapa penyebab inflasi diantaranya bisa disebabkan oleh sektor ekspor-impor, tabungan atau investasi, pengeluaran dan penerimaan negara, sektor pemerintah dan swasta. Untuk lebih jelasnya, perhatikan beberapa uraian berikut:

1. Inflasi Karena Kenaikan Permintaan (Demand Pull Inflation)

Inflasi seperti ini terjadi karena adanya kenaikan permintaan untuk beberapa jenis barang. Dalam hal ini, permintaan masyarakat meningkatkan secara agregat (aggregate demand). Peningkatan permintaan ini dapat terjadi karena peningkatan belanja pada pemerintah, peningkatan permintaan akan barang untuk diekspor, dan peningkatan permintaan barang bagi kebutuhan swasta. Kenaikan permintaan masyarakat (aggregate demand) ini mengakibatkan harga-harga naik karena penawaran tetap. .


(17)

2. Inflasi Karena Biaya Produksi (Cost Pull Inflation)

Inflasi seperti ini terjadi karena adanya kenaikan biaya produksi. Kenaikan pada biaya produksi terjadi akibat karena kenaikan harga-harga bahan baku, misalnya karena keberhasilan serikat buruh dalam menaikkan upah atau karena kenaikan harga bahan bakar minyak. Kenaikan biaya produksi mengakibatkan harga naik dan terjadilah inflasi.

3. Inflasi Karena Jumlah Uang Yang Beredar Bertambah

Teori ini diajukan oleh kaum klasik yang mengatakan bahwa ada hubungan antara jumlah uang yang beredar dan harga-harga. Bila jumlah barang itu tetap, sedangkan uang beredar bertambah dua kali lipat maka harga akan naik dua kali lipat. Penambahan jumlah uang yang beredar dapat terjadi misalnya kalau pemerintah memakai sistem anggaran defisit. Kekurangan anggaran ditutup dengan melakukan pencetakan uang baru yang mengakibatkan harga-harga naik.

2.2.3 DAMPAK INFLASI

Setelah mengetahui mengenai inflasi, Inflasi sebagai suatu gejala ekonomi tentunya akan memiliki dampak terhadap kegiatan ekonomi masyarakat. Untuk membahas ini tentunya terlebih dahulu kita ingat kembali tentang kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi terdiri atas kegiatan konsumsi, produksi dan distribusi. Adapun dampak inflasi dapat dijelaskan di bawah ini:

Dampak Positif Inflasi :

1. Masyarakat akan semakin selektif dalam mengkonsumsi

2. Produksi akan diusahakan seefisien mungkin dan konsumtifisme dapat ditekan 3. Tingkat pengangguran cenderung menurun karena masyarakat akan tergerak

untuk melakukan kegiatan produksi dengan cara mendirikan atau membuka usaha 4. Bagi pengusaha barang-barang mewah (high end) yang mana barangnya lebih


(18)

Dampak Negatif :

1. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat.

2. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.

3. Distribusi barang relative tidak stabil dan terkonsentrasi dalam jangka pangjang akan membangkrutkan produsen.

4. Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilaimata uang semakin menurun. Memang tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.

5. Bagi orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam.

6. Bagi produsen, inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan bila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha kecil).

7. Dampak Inflasi Terhadap Ekspor. Pada keadaan inflasi, daya saing untuk barang ekspor berkurang. Berkurangnya daya saing terjadi karena harga barang ekspor semakin mahal. Inflasi dapat menyulitkan para eksportir dan negara. Negara mengalami kerugian karena daya saing barang ekspor berkurang, yang mengakibatkan jumlah penjualan berkurang. Devisa yang diperoleh juga semakin kecil.


(19)

Secara umum inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat

2.2.4 CARA PENGENDALIAN INFLASI DI INDONESIA

Kebijakan moneter Bank Indonesia ditujukan untuk mengelola tekanan harga yang berasal dari sisi permintaan aggregat (demand management) relatif terhadap kondisi sisi penawaran. Kebijakan moneter tidak ditujukan untuk merespon kenaikan inflasi yang disebabkan oleh faktor yang bersifat kejutan yang bersifat sementara (temporer) yang akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.

Sementara inflasi juga dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari sisi penawaran ataupun yang bersifat kejutan (shocks) seperti kenaikan harga minyak dunia dan adanya gangguan panen atau banjir Dari bobot dalam keranjang IHK, bobot inflasi yang dipengaruhi oleh faktor kejutan diwakili oleh kelompok volatile food dan administered prices yang mencakup kurang lebih 40% dari bobot IHK.

Dengan demikian, kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi sangat terbatas apabila terdapat kejutan (shocks) yang sangat besar seperti ketika terjadi kenaikan harga BBM di tahun 2005 dan 2008 sehingga menyebabkan adanya lonjakan inflasi.

Dengan pertimbangan bahwa laju inflasi juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat kejutan tersebut maka pencapaian sasaran inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi antara pemerintah dan BI melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi baik dari kebijakan fiskal, moneter maupun sektoral. Lebih jauh, karakteristik inflasi Indonesia yang cukup rentan terhadap kejutan-kejutan (shocks) dari sisi penawaran memerlukan kebijakan-kebijakan khusus untuk permasalahan tersebut.

Dalam tataran teknis, koordinasi antara pemerintah dan BI telah diwujudkan dengan membentuk Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat sejak tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan departmen teknis


(20)

terkait di Pemerintah seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Bidang Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008 pembentukan TPI diperluas hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah sehingga dapat terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan berkelanjutan.

2.2.5 KOORDINASI PENGENDALIAN INFLASI DI INDONESIA Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, sumber tekanan inflasi Indonesia tidak hanya berasal dari sisi permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia. Dari hasil penelitian, karakteristik inflasi di Indonesia masih cenderung bergejolak yang terutama dipengaruhi oleh sisi suplai (sisi penawaran) berkenaan dengan gangguan produksi, distribusi maupun kebijakan pemerintah. Selain itu, shocks terhadap inflasi juga dapat berasal dari kebijakan pemerintah terkait harga komoditas strategis seperti BBM dan komoditas energi lainnya (administered prices).

Berdasarkan karakteristik inflasi yang masih rentan terhadap shocks tersebut, untuk mencapai inflasi yang rendah, pengendalian inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi lintas instansi, yakni antara Bank Indonesia dengan Pemerintah. Diharapkan dengan adanya harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan tersebut, inflasi yang rendah dan stabil dapat tercapai yang pada gilirannya mendukung kesejahteraan masyarakat.


(21)

Gambar I. Koordinasi Antara Bank Indonesia dan Pemerintah Dalam Pengendalian Inflasi

Menyadari pentingnya peran koordinasi dalam rangka pencapaian inflasi yang rendah dan stabil, Pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di level pusat sejak tahun 2005. Penguatan koordinasi kemudian dilanjutkan dengan membentuk Tim Pengendalian Inflasi di level daerah (TPID) pada tahun 2008. Selanjutnya, untuk menjembatani tugas dan peran TPI di level pusat dan TPID di daerah, maka pada Juli 2011 terbentuk Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) TPID yang diharapkan dapat menjadi katalisator yang dapat memperkuat efektivitas peran TPID. Keanggotaan Pokjanas TPID adalah Bank Indonesia, Kemenko Perekonomian dan Kemendagri.


(22)

Gambar II. Keterkaitan Antara TPI, Pokjanas TPID dan TPID

2.2.6 UPAYA PEMERINTAH DALAM PENGENDALIAN INFLASI

Koordinasi BI dan pemerintah yang semakin baik berperan penting dalam mengendalikan inflasi tahun ini. Inflasi kelompok volatile food tercatat cukup rendah seiring dengan terjaganya kecukupan pasokan bahan pangan. Kondisi tersebut didukung koordinasi Bank Indonesia dan Pemerintah, antara lain melalui Tim Pengendali Inflasi (TPI) dan TPI daerah (TPID). Yaitu mendorong peningkatan produksi dan memperbaiki distribusi, serta meminimalkan berbagai distorsi harga bahan pangan.

Sejalan dengan itu, kelompok administered prices atau harga yang dikendalikan pemerintah diperkirakan mengalami inflasi yang rendah, bahkan berpotensi deflasi. Pencapaian tersebut ditopang oleh menurunnya harga energi dunia sejalan dengan penurunan harga Solar dan diskon tarif listrik industri golongan tertentu melalui paket kebijakan ekonomi jilid III. Sementara itu, inflasi inti tetap terkendali berkat dukungan ekspektasi inflasi yang terjaga, pelemahan nilai tukar rupiah yang terbatas dan permintaan domestik yang relatif lemah.

Untuk memperkuat pengendalian inflasi tahun 2016, khususnya yang berasal dari sisi harga yang dikendalikan dan harga bahan makanan bergejolak (volatile food), diperlukan sinkronisasi kebijakan yang lebih kuat, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Pasalnya,


(23)

rencana kenaikan tarif listrik tahun depan berpotensi mendorong kenaikan inflasi dari sisi administered prices.

Sementara itu, tekanan inflasi volatile food diperkirakan dapat berasal dari keterbatasan pasokan sejumlah bahan pangan, termasuk beras. Penyebabnya adalah dampak El Nino yang akan berpengaruh terhadap produksi pertanian.

Berdasarkan kondisi dan gambaran itulah, BI dan pemerintah merumuskan enam langkah strategis untuk mengendalikan inflasi tahun depan.

1. Menerapkan peta jalan (roadmap) pengendalian inflasi sebagai acuan program TPI dan TPID.

2. Mengaktifkan sekretariat pengendalian inflasi di Kementerian Koordinator Perekonomian untuk mempermudah koordinasi di antara pusat dan daerah.

3. Melibatkan KPPU dan penegak hukum untuk mengatasi permasalahan struktur pasar komoditas pangan.

4. Menyelenggarakan Rakornas VII TPID pada Agustus 2016, yaitu setelah penetapan kepala daerah baru hasil pemilihan umum kepala daerah (Pilkada).

5. Berupaya mengendalikan inflasi komoditas pangan sebagai antisipasi tantangan inflasi harga yang diatur pemerintah (administered prices) tahun 2016.

6. Memperkuat bauran kebijakan BI untuk memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi, khususnya pencapaian target inflasi tahun depan.


(24)

BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter (MTKM) merupakan jalur-jalur yang dilalui oleh kebijakan moneter untuk dapat mempengaruhi sasaran akhir kebijakan moneter yaitu pendapatan nasional dan inflasi.

2. Bahwa Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.

3.2 SARAN

Melalui pemaparan mengenai saluran transmisi kebijakan moneter dan pengendalian inflasi di Indonesia tersebut sudah kita ketahui berbagai macam upaya bank sentral dalam mengendalikan inflasi. Selanjutnya adalah bagaimana mengimplementasikan dan mengaplikasikan setiap upaya-upaya yang direncanakan pemerintah khususnya untuk tahun depan agar inflasi di Indonesia tetap stabil.


(25)

DAFTAR PUSTAKA

http://www.bi.go.id

Warjiyo, Perry. (2004). Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia. Buku Seri Kebanksentralan No. 11, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK). Bank Indonesia

https://aeyogy.wordpress.com/tag/saluran-transmisi-kebijakan-moneter/


(1)

terkait di Pemerintah seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Bidang Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008 pembentukan TPI diperluas hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah sehingga dapat terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan berkelanjutan.

2.2.5 KOORDINASI PENGENDALIAN INFLASI DI INDONESIA Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, sumber tekanan inflasi Indonesia tidak hanya berasal dari sisi permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia. Dari hasil penelitian, karakteristik inflasi di Indonesia masih cenderung bergejolak yang terutama dipengaruhi oleh sisi suplai (sisi penawaran) berkenaan dengan gangguan produksi, distribusi maupun kebijakan pemerintah. Selain itu, shocks terhadap inflasi juga dapat berasal dari kebijakan pemerintah terkait harga komoditas strategis seperti BBM dan komoditas energi lainnya (administered prices).

Berdasarkan karakteristik inflasi yang masih rentan terhadap shocks tersebut, untuk mencapai inflasi yang rendah, pengendalian inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi lintas instansi, yakni antara Bank Indonesia dengan Pemerintah. Diharapkan dengan adanya harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan tersebut, inflasi yang rendah dan stabil dapat tercapai yang pada gilirannya mendukung kesejahteraan masyarakat.


(2)

Gambar I. Koordinasi Antara Bank Indonesia dan Pemerintah Dalam Pengendalian Inflasi

Menyadari pentingnya peran koordinasi dalam rangka pencapaian inflasi yang rendah dan stabil, Pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di level pusat sejak tahun 2005. Penguatan koordinasi kemudian dilanjutkan dengan membentuk Tim Pengendalian Inflasi di level daerah (TPID) pada tahun 2008. Selanjutnya, untuk menjembatani tugas dan peran TPI di level pusat dan TPID di daerah, maka pada Juli 2011 terbentuk Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) TPID yang diharapkan dapat menjadi katalisator yang dapat memperkuat efektivitas peran TPID. Keanggotaan Pokjanas TPID adalah Bank Indonesia, Kemenko Perekonomian dan Kemendagri.


(3)

Gambar II. Keterkaitan Antara TPI, Pokjanas TPID dan TPID

2.2.6 UPAYA PEMERINTAH DALAM PENGENDALIAN INFLASI

Koordinasi BI dan pemerintah yang semakin baik berperan penting dalam mengendalikan inflasi tahun ini. Inflasi kelompok volatile food tercatat cukup rendah seiring dengan terjaganya kecukupan pasokan bahan pangan. Kondisi tersebut didukung koordinasi Bank Indonesia dan Pemerintah, antara lain melalui Tim Pengendali Inflasi (TPI) dan TPI daerah (TPID). Yaitu mendorong peningkatan produksi dan memperbaiki distribusi, serta meminimalkan berbagai distorsi harga bahan pangan.

Sejalan dengan itu, kelompok administered prices atau harga yang dikendalikan pemerintah diperkirakan mengalami inflasi yang rendah, bahkan berpotensi deflasi. Pencapaian tersebut ditopang oleh menurunnya harga energi dunia sejalan dengan penurunan harga Solar dan diskon tarif listrik industri golongan tertentu melalui paket kebijakan ekonomi jilid III. Sementara itu, inflasi inti tetap terkendali berkat dukungan ekspektasi inflasi yang terjaga,


(4)

rencana kenaikan tarif listrik tahun depan berpotensi mendorong kenaikan inflasi dari sisi administered prices.

Sementara itu, tekanan inflasi volatile food diperkirakan dapat berasal dari keterbatasan pasokan sejumlah bahan pangan, termasuk beras. Penyebabnya adalah dampak El Nino yang akan berpengaruh terhadap produksi pertanian.

Berdasarkan kondisi dan gambaran itulah, BI dan pemerintah merumuskan enam langkah strategis untuk mengendalikan inflasi tahun depan.

1. Menerapkan peta jalan (roadmap) pengendalian inflasi sebagai acuan program TPI dan TPID.

2. Mengaktifkan sekretariat pengendalian inflasi di Kementerian Koordinator Perekonomian untuk mempermudah koordinasi di antara pusat dan daerah.

3. Melibatkan KPPU dan penegak hukum untuk mengatasi permasalahan struktur pasar komoditas pangan.

4. Menyelenggarakan Rakornas VII TPID pada Agustus 2016, yaitu setelah penetapan kepala daerah baru hasil pemilihan umum kepala daerah (Pilkada).

5. Berupaya mengendalikan inflasi komoditas pangan sebagai antisipasi tantangan inflasi harga yang diatur pemerintah (administered prices) tahun 2016.

6. Memperkuat bauran kebijakan BI untuk memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi, khususnya pencapaian target inflasi tahun depan.


(5)

BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter (MTKM) merupakan jalur-jalur yang dilalui oleh kebijakan moneter untuk dapat mempengaruhi sasaran akhir kebijakan moneter yaitu pendapatan nasional dan inflasi.

2. Bahwa Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.

3.2 SARAN

Melalui pemaparan mengenai saluran transmisi kebijakan moneter dan pengendalian inflasi di Indonesia tersebut sudah kita ketahui berbagai macam upaya bank sentral dalam mengendalikan inflasi. Selanjutnya adalah bagaimana mengimplementasikan dan mengaplikasikan setiap upaya-upaya


(6)

DAFTAR PUSTAKA

http://www.bi.go.id

Warjiyo, Perry. (2004). Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia. Buku Seri Kebanksentralan No. 11, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK). Bank Indonesia

https://aeyogy.wordpress.com/tag/saluran-transmisi-kebijakan-moneter/