Pola Aktivitas dan Perilaku Nyeri Rheumatopid Arthritis pada Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat

(1)

POLA AKTIVITAS DAN PERILAKU NYERI RHEUMATOID ARTHRITIS PADA LANSIA DI KELURAHAN TANJUNG SELAMAT

KECAMATAN PADANG TUALANG KABUPATEN LANGKAT

Skripsi

Dendi Purnama 091101051

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

(3)

Judul : Pola Aktivitas dan Perilaku Nyeri Rheumatoid Arthritis pada Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat

Nama : Dendi Purnama

NIM : 091101051

Jurusan : Keperawatan

Tahun Akademik : 2013

Abstrak

Jumlah lansia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Saat ini, di seluruh dunia jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan mencapai 500 juta orang, dengan usia rata-rata 60 tahun, Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang yaitu sebanyak 1.032 orang. Masalah-masalah kesehatan akibat penuaan terjadi pada berbagai sistem tubuh, salah satunya adalah rheumatoid arthritis. Bertambah beratnya gejala penyakit rheumatoid arthritis mengakibatkan terjadi perubahan aktivitas pada pasien. Salah satunya adalah adanya rasa nyeri dan menimbulkan perilaku nyeri yang berbeda-beda pada setiap penderita. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada lansia. Sampel penelitian ini adalah 56 orang lansia dengan rheumatoid arthritis di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang kabupaten langkat yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan mulai 26 Mei-16 Juni 2013. Hasil analisa data menunjukkan 91,1% lansia terganggu aktivitasnya disebabkan oleh keterbatasan gerak pada sendi. Pada perilaku nyeri, 60,8% responden menunjukkan perilaku nyeri sedang. Hasil penelitian ini digunakan sebagai gambaran bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan rheumatoid arthritis.


(4)

Title : Activity Pattern and Pain Behavior of Rheumatoid Arthritis

in Old-Aged People at Kelurahan Tanjung Selamat, Padang

Tualang Subdistrict, Langkat District

Name : Dendi Purnama

Std. ID Number : 091101051 Study Program : Nursing Academic Year : 2013

Abstract

The number of old-aged people is increasing each year. Today, the number of old-aged people is estimated to reach 500 million with an average of 60 years old throughout the world. There are 1,032 old-aged people at Kelurahan Tanjung Selamat, Padang Tualang Subdistrict. Health problems, caused by aging, occur in various body systems, and one of them is rheumatoid arthritis. The worst symptom of rheumatoid arthritis will cause the change of activity in patients. One of them is the feeling of pain and causes different kinds of pain in different patients. This descriptive study was aimed to identify activity pattern and pain behavior of rheumatoid arthritis in old-aged people. The samples consisted of 56 old-old-aged people suffered from rheumatoid arthritis at Kelurahan Tanjung Selamat, Padang ualang Subdistrict, Langkat District, taken by using purposive sampling technique. The data were gathered from May 26 to June 16, 2013. The result of the analysis of data showed that 91.1% of old-aged people’s activity was disturbed because the movement of the joints was limited. In the pain behavior, 60.8% respondents indicated moderate pain. The result of the study was used as the example for nurses in providing nursing care to old-aged people who suffer from rheumatoid arthritis.

Keywords: Activity Pattern, Pain Behavior, Rheumatoid Arthritis, Old-Aged People


(5)

PRAKATA

Puji syukur peneliti ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya proposal penelitian dengan judul “Pola Aktivitas dan Perilaku Nyeri Rheumatopid Arthritis pada Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat” sebagai tugas akhir yang harus dipenuhi di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada saat penyelesaian proposan penelitian ini peneliti mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan serta dorongan kepada peneliti.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada yang terhormat :

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

2. Pembantu Dekan I, II, III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan kepada Penulis.

3. Ka.Kelurahan dan Ka. Puskesmas Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang yang telah memberikan izin kepada penulis.

4. Bapak Ismayadi, S.Kep, Ns, M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.

5. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku dosen pembimbing akademik.

6. Kepada Bapak Mula Tarigan, S.Kp, M.Kes dan Ibu Cholina Trisa Siregar S.Kep, Ns. M.kep. Sp.KMB selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak nasihat dan saran dalam penulisan skripsi ini.


(6)

7. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

8. Kepada kedua orangtua penulis, ayahanda Marsono, Ibunda Radiah dan saudara-saudara penulis mas Bambang, dek Bowo, yang senantiasa selalu mendoakan, memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.

9. Kepada sahabat-sahabat chandra, pandi, lukas, tengku, gerhard, eby, dwi, adel, ginna, debby, irna, lia, bg agung, kak dona, bg ang, bg win serta orang-orang yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dan mendukung penulis, terima kasih atas segala kritik dan saran yang kalian berikan semuanya. 10.Rekan – rekan stambuk 2009 seperjuangan.

11.Kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu yang telah mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.

Peneliti menyadari dalam pembuatan proposal penelitian ini masih dirasakan kurang sempurna. Karena itu peneliti menerima segala kritik dan saran dari semua pihak guna penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam

penyelesaian skripsi ini.

Medan, Juli 2013

Peneliti


(7)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Persetujuan ... ii

Prakata ... iii

Daftar Isi ... iv

Daftar Tabel ... viii

Daftar Skema ... ix

Abstrak ... vii

BAB 1. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Pertanyaan Penelitian ... 5

3. Tujuan Penelitian ... 6

4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. Lansia ... . 7

1.1. Pengertian Lansia ... . 7

1.2. Klasifikasi Lansia ... 8

1.3. Karakteristik Lansia ... 8

1.4. Tipe Lansia ... 9

1.5. Teori-Teori Proses Menua ... 9

1.6. Tugas Perkembangan Lansia ... 10

2. Rheumatoid Arthritis ... 11

2.1. Pengertian Rheumatoid Arthritis ... 11

2.2. Klasifikasi Rheumatoid Arthritis ... 11

2.3. Etiologi ... 12

2.4. Patofisiologi ... 12

2.5. Manifestasi Klinis ... 13

2.6. Evaluasi Diagnostik ... 14

2.7. Penatalaksanaan ... 15

2.7.1. Penatalaksanaan Farmakologis ... 15

2.7.2. Penatalaksanaan Non Farmakologis ... 17

3. Pola Aktivitas ... 18

3.1. Pengertian Aktivitas ... 18

3.2. Jenis-jenis Aktivitas ... 19

3.3. Mekanika Tubuh ... 20

3.4. Pola Aktivitas Rheumatoid Arthritis ... 22

4. Perilaku ... 23

4.1. Pengertian Perilaku ... 23

4.2. Domain Perilaku ... 23

5. Nyeri ... 25

5.1. Pengertian Nyeri ... 25


(8)

5.3. Klasifikasi Nyeri ... 26

5.4. Stimulasi Nyeri ... 27

5.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri ... 28

5.6. Intensitas Nyeri ... 30

5.7. Intensitas Pengukuran Nyeri ... 30

5.8. Perilaku Nyeri ... 33

5.8.1. Pengertian Perilaku Nyeri ... 33

5.8.2. Jenis-jenis Perilaku Nyeri ... 34

5.8.3. Respon Perilaku Nyeri ... 35

5.8.4. Perilaku Nyeri Rheumatoid Arthritis ... 37

BAB 3. KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual ... 38

2. Definisi Operasional ... 39

BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 40

2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 40

2.1. Populasi ... 40

2.2. Sampel ... .40

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... .41

4. Pertimbangan Etik ... .41

5. Instrumen Penelitian ... .42

5.1. Kuesioner Data Demografi ... 42

5.2. Kuesioner Pola Aktivitas Pasien Rheumatoid Arthritis ... 43

5.3. Lembar Observasi Perilaku Nyeri ... 43

6. Uji Validitas dan Reabilitas Instrumen ... 44

6.1. Validitas ... 44

6.2. Reabilitas ... 45

6. Pengumpulan Data ... .46

7. Analisa Data ... .47

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian ... 48

1.1. Karakteristik Demografi ... 48

1.2. Pola Aktivitas lansia dengan Rheumatoid Arthritis ... 50

1.3. Perilaku Nyeri Rheumatoid Arthritis pada Lansia ... 51

2. Pembahasan ... 51

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 57

2. Saran ... 58


(9)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Persetujuan Responden 2. Kuisioner Data Demografi

3. Kuisioner Pola Aktivitas Pasien Rheumatoid Arthritis 4. Lembar Observasi Perilaku Nyeri

5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Pola Aktivitas Lansia dengan Rheumatoid Arthritis

6. Lembar Analisis Data SPSS 7. Lembar Persetujuan Uji Validitas

8. Lembar Persetujuan Menggunakan Instrumen 9. Surat Izin Survey Awal

10. Surat Izin Uji Reabilitas

11. Surat Izin Melakukan Penelitian

12. Surat Pernyataan Telah Melakukan Penelitian 13. Jadwal Penelitian

14. Taksasi Dana

15. Daftar Riwayat Hidup                              


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Defenisi Operasional ... 39 Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi dan Presentase Berdasarkan Karakteristik

Data Demografi ... 49 Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Presentase Pola aktivitas Lansia dengan

Rheumatoid Arthritis ... 50 Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi dan Presentase Perilaku Nyeri Rheumatoid


(11)

DAFTAR SKEMA

Skema 3.1. Kerangka Konseptual Pola Aktivitas dan Perilaku Nyeri

Rheumatoid pada Lansia ... 38


(12)

Judul : Pola Aktivitas dan Perilaku Nyeri Rheumatoid Arthritis pada Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat

Nama : Dendi Purnama

NIM : 091101051

Jurusan : Keperawatan

Tahun Akademik : 2013

Abstrak

Jumlah lansia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Saat ini, di seluruh dunia jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan mencapai 500 juta orang, dengan usia rata-rata 60 tahun, Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang yaitu sebanyak 1.032 orang. Masalah-masalah kesehatan akibat penuaan terjadi pada berbagai sistem tubuh, salah satunya adalah rheumatoid arthritis. Bertambah beratnya gejala penyakit rheumatoid arthritis mengakibatkan terjadi perubahan aktivitas pada pasien. Salah satunya adalah adanya rasa nyeri dan menimbulkan perilaku nyeri yang berbeda-beda pada setiap penderita. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada lansia. Sampel penelitian ini adalah 56 orang lansia dengan rheumatoid arthritis di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang kabupaten langkat yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan mulai 26 Mei-16 Juni 2013. Hasil analisa data menunjukkan 91,1% lansia terganggu aktivitasnya disebabkan oleh keterbatasan gerak pada sendi. Pada perilaku nyeri, 60,8% responden menunjukkan perilaku nyeri sedang. Hasil penelitian ini digunakan sebagai gambaran bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan rheumatoid arthritis.


(13)

Title : Activity Pattern and Pain Behavior of Rheumatoid Arthritis

in Old-Aged People at Kelurahan Tanjung Selamat, Padang

Tualang Subdistrict, Langkat District

Name : Dendi Purnama

Std. ID Number : 091101051 Study Program : Nursing Academic Year : 2013

Abstract

The number of old-aged people is increasing each year. Today, the number of old-aged people is estimated to reach 500 million with an average of 60 years old throughout the world. There are 1,032 old-aged people at Kelurahan Tanjung Selamat, Padang Tualang Subdistrict. Health problems, caused by aging, occur in various body systems, and one of them is rheumatoid arthritis. The worst symptom of rheumatoid arthritis will cause the change of activity in patients. One of them is the feeling of pain and causes different kinds of pain in different patients. This descriptive study was aimed to identify activity pattern and pain behavior of rheumatoid arthritis in old-aged people. The samples consisted of 56 old-old-aged people suffered from rheumatoid arthritis at Kelurahan Tanjung Selamat, Padang ualang Subdistrict, Langkat District, taken by using purposive sampling technique. The data were gathered from May 26 to June 16, 2013. The result of the analysis of data showed that 91.1% of old-aged people’s activity was disturbed because the movement of the joints was limited. In the pain behavior, 60.8% respondents indicated moderate pain. The result of the study was used as the example for nurses in providing nursing care to old-aged people who suffer from rheumatoid arthritis.

Keywords: Activity Pattern, Pain Behavior, Rheumatoid Arthritis, Old-Aged People


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Manusia dalam hidupnya akan mengalami perkembangan dalam serangkaian periode yang berurutan, mulai dari periode prenatal hingga lansia. Semua individu mengikuti pola perkembangan dengan pasti yang diramalkan. Setiap masa yang dilalui merupakan tahap-tahap yang yang saling berkaitan dan tidak dapat diulang kembali. Hal-hal yang terjadi di masa awal perkembangan individu akan memberikan pengaruh terhadap tahap-tahap selanjutnya. Salah satu tahap yang akan dilalui oleh individu tersebut adalah masa lanjut usia atau lansia (Hurlock, 1999).

Jumlah lansia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Saat ini, di seluruh dunia jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan mencapai 500 juta, dengan usia rata-rata 60 tahun, dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar (Nugroho, 2000). Berdasarkan data penduduk mutakhir, jumlah lansia di Indonesia sekarang sekitar 16 juta jiwa (Sabdono, 2007). Pada tahun 2025, jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 273 juta jiwa, dan hampir seperempat dari jumlah penduduk tersebut atau sekitar 62,4 juta jiwa tergolong sekelompok penduduk lanjut usia. Bahkan, jika menggunakan model proyeksi penduduk PBB, jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2050 menjadi dua kali lipat atau sekitar 120 juta jiwa lebih (Sardjunani, 2007). Sedangkan di Sumatera Utara berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2007, jumlah penduduk yang berumur


(15)

60 tahun ke atas mencapai 693.494 jiwa, atau 5,4% dari jumlah penduduk di Sumatera Utara (12.834.371 jiwa). Peningkatan jumlah lansia yang tinggi tersebut berpotensi menimbulkan berbagai macam permasalahan baik dari aspek sosial, ekonomi, budaya, maupun kesehatan (Nugroho, 2002).

Masalah-masalah kesehatan akibat penuaan terjadi pada berbagai sistem tubuh, salah satunya adalah penyakit rematik (Chairuddin, 2006). Rematik yang terbanyak terdapat diseluruh dunia adalah osteoarthritis. Gangguan lain adalah osteoporosis, tendinitis/nursitis, lumbago, atropati kristal, rheumatoid arthritis, polymyalgia reumatica, dan arthritis karena keganasan (Darmojo & Martono, 2006). Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis, yang berarti dapat berlangsung selama bertahun-tahun, pasien mungkin mengalami waktu yang lama tanpa gejala. Penyakit ini telah lama dikenal dan tersebar luas di seluruh dunia serta melibatkan ras dan kelompok etnik. (Reeves, Roux & Lockhart, 2001).

Walaupun arthritis bukan merupakan penyakit yang mendapat sorotan seperti penyakit jantung, kanker, atau AIDS, namun arthritis adalah masalah kesehatan yang terjadi di mana-mana. Fakta statistik mengenai arthritis sangat mengejutkan yaitu 14,3 % dari populasi Amerika Serikat (Gordon, 2002). Data di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi dari rheumatoid arthritis adalah pada suku Amerika Indian dibanding dengan yang Non Indian. Lebih dari 36 juta penduduk Amerika menderita 1 dari 100 jenis artritis (Reeves, Roux & Lockhart, 2001). Selain itu, rheumatoid arthritis mempengaruhi sekitar 580.000 orang di Inggris, dengan kejadian 26.000 kasus baru yang didiagnosis setiap tahun (NAO, 2009 dalam Walker, 2012). Di Indonesia sendiri diperkirakan


(16)

kasus rheumatoid arthritis berkisar 0,1 % sampai dengan 0,3 % dari jumlah penduduk Indonesia (Smeltzer & Bare, 2002).

Gangguan yang terjadi pada pasien rheumatoid arthritis lebih besar kemungkinannya untuk terjadi pada suatu waktu tertentu dalam kehidupan pasien. Bertambah beratnya gejala penyakit rheumatoid arthritis sehingga mengakibatkan terjadi perubahan aktivitas pada pasien (Smeltzer & Bare, 2002). Bahkan kasus rheumatoid arthritis yang tidak begitu parah pun dapat menghilangkan kemampuan seseorang untuk produktif dan fungsional seutuhnya. Rheumatoid arthritis dapat mengakibatkan tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari seutuhnya (Gordon, 2002). Sebuah laporan dari British Journal of Nursing 2012 menyebutkan bahwa kelelahan merupakan gambaran utama pada banyak pasien, yaitu 42-80% dari mereka yang menderita rheumatoid arthritis. Kelelahan tersebut mengakibatkan hambatan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Repping Wuts et al, 2009 dalam Walker, 2012).

Aktivitas merupakan suatu energi atau keadaaan bergerak di mana manusia memerlukan hal tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan hidup (Tarwoto,& Wartonah, 2004). Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi, kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Rasa nyeri, pembengkakan, panas,


(17)

eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis (Smeltzer & Bare, 2002).

Nyeri merupakan sensasi ketidaknyamanan yang bersifat individual (Potter & Perry, 2001). Klien merespon nyeri yang dialaminya dengan beragam cara, misalnya berteriak, meringis, dan lain-lain (Potter & Perry, 2001). Nyeri bersifat subjektif, tidak ada dua individu yang mengalami nyeri yang sama dan tidak ada dua kejadian nyeri yang sama menghasilkan respons atau perasaan yang identik pada seorang individu (Brunner & Suddarth, 2001).

Perilaku nyeri merupakan beberapa dan semua produksi dari individu yang mana observasi itu layak akan digolongkan sebagai nyeri yang berkesan seperti: gerakan tubuh, ekspresi wajah , pernyataan verbal, perebahan badan, minum obat, pencarian resep obat dan menerima kerugian (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007). Hasil penelitian epidemiologi reumatik di Malang menunjukkan, 64% penduduk malang yang mengalami nyeri persendian akibat rematik melakukan berobat sendiri, baik menggunakan obat bebas, jamu atau mencampurnya, yang berobat ke dokter hanya 26% dan 16,6% sisanya berobat ke bukan dokter. Banyaknya masyarakat khususnya lansia yang mengobati nyeri rematik dengan cara yang dianggap mampu mengatasi atas meringankan nyeri persendian (Handoko, 2000 dalam Putra, 2009).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Waters dkk, (2009) menyebutkan 104 pasien rheumatoid arthritis (81,5% perempuan), yang terdiri dari orang kulit putih dan Afrika-Amerika. Kemudian enam perilaku nyeri diobservasi, yaitu menjaga (guarding), menahan nyeri (bracing), menggosok (rubbing), ekspresi


(18)

wajah (grimacing), menghela napas (sighing), dan kekakuan (rigidity). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada subkelompok homogen dalam populasi pasien rheumatoid arthritis yang menunjukkan perilaku nyeri yang berbeda . (Waters dkk, 2009).

Kelurahan Tanjung Selamat adalah salah satu kelurahan binaan Kecamatan Padang Tualang. Di kelurahan yang terdiri dari 2.325 KK ini umlah lansia sebanyak 1.032 orang. Berdasarkan survey awal yang telah dilakukan di Puskesmas Kecamatan Padang Tualang, jumlah lansia yang menderita rheumatoid arthritis di kelurahan tanjung selamat yaitu sebanyak 224 orang, dan menurut hasil wawancara dari 5 orang yang mengalami rheumatoid arthritis, mereka mengeluhkan tidak dapat melakukan aktivitas saat nyerinya kambuh seperti berjalan, bangun dari tempat tidur, juga sholat.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan dari penelitian ini adalah: Bagaimana pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arhritis pada lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat?


(19)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini sebagai berikut : 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat.

1.3.2 Tujuan Khusus

a) Untuk mengetahui gambaran pola aktivitas lansia dengan rheumatoid arthritis di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat.

b) Untuk mengetahui gambaran perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang digunakan adalah :

1.2.1. Bagi praktek keperawatan, hasil penelitian ini dapat dijadikan media informasi tentang pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat.

1.2.2. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah wawasan pengetahuan mengenai pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Lanjut Usia

1.1. Pengertian Lanjut Usia

Menurut Undang- Undang No.4 tahun 1965, lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari- hari (Nugroho, 2000). Menurut Undang- Undang No.13 tahun 1998, lanjut usia adalah mereka yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Nugroho, 2000). Sedangkan menurut Hurlock (1980), lanjut usia adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat.

1.2. Klasifikasi Lansia

Terdapat beberapa pendapat dari berbagai sumber tentang klasifikasi lansia, diantaranya menurut Maryam (2008) yang menklasifikasikan lansia dalam lima kelompok yaitu pralansia, lansia, lansia resiko tinggi, lansia potensial, dan lansia tidak potensial. Pralansia yaitu seseorang yang berusia antara 45–59 tahun. Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Lansia resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih. Lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan


(21)

barang/jasa. Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

Selain itu, menurut World Health Organitation (WHO) menggolongkan lansia menjadi 4 yaitu usia usia pertengahan (middle age), lanjut usia (elderly),

lanjut usia tua (old), usia sangat tua (very old). Usia pertengahan (middle age)

adalah 45 -59 tahun, lanjut usia (elderly) adalah 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho, 2000).

Menurut Hurlock (1980) dalam Nugroho (2000), lansia dibagi dalam 2 tahap, yaitu early old age (usia 60-70 tahun), advanced old age ( usia 70 tahun ke atas). Burnside (1979, dalam Nugroho, 2000) membagi lansia menjadi 4 tahap, yaitu : young old (usia 60-69 tahun), middle age old (usia 70-79 tahun), old-old

(usia 80-89 tahun), dan veryold-old (usia 90 tahun ke atas).

1.3.Karakteristik Lansia

Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan), kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif, lingkungan tempat tinggal bervariasi (Maryam, 2008).


(22)

1.4. Tipe Lansia

Beberapa lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, sosial dan ekonominya (Nugroho, 2000). Tipe lansia tersebut sebagai berikut :

Tipe arif bijaksana, yaitu kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, beresikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.

Tipe mandiri, yaitu menggantikan kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dan mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.

Tipe tidak puas, yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut.

Tipe pasrah, yaitu menerima dan menungggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.

Tipe bingung, yaitu kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.

1.5. Teori – Teori Proses Menua

Teori Aktivitas. Teori ini berpendapat bahwa jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. Havighurst yang pertama kali menulis tentang pentingnya tetap aktif secara sosial sebagal alat untuk penyesuain diri yang sehat untuk€ lansia pada tahun 1952 (Potter and Perry, 2005). Kemudian teori ini dikembangkan oleh Palmore (1965)


(23)

dan Lemon et al (1972) yang menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung dari bagaiman seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan. Di satu sisi aktivitas lansia dapat menurun, akan tetapi di lain sisi dapat dikembangkan (Maryam, 2008).

Teori Kesinambungan. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia (Potter and Perry, 2005). Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambaran saat ia menjadi lansia (Maryam, 2008).

Teori Perkembangan. Teori ini menekankan pentingnya mempelajari apa yang telah dialami oleh lansia pada saat muda hingga dewasa, dengan demikian perlu dipahami teori Freud, Buhler, Jung, dan Erickson. Sigmund Freud meneliti tentang psikoanalisis serta perubahan psikososial anak dan balita (Maryam, 2008). Erickson (1930), membagi kehidupan menjadi delapan fase, yaitu lansia yang menerima apa adanya, lansia yang takut mati, lansia yang merasakan hidup penuh arti, lansia yang menyesali diri, lansia yang bertanggung jawab dengan merasakan kesetian, lansia yang kehidupannya berhasil, lansia yang merasa terlambat untuk memperbaiki diri, lansia yang menemukan integritas diri melawan keputusasaan (Stanley, 2006).

1.6. Tugas Perkembangan Lansia

Adapun tugas perkembangan pada lansia dalam adalah: beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan,


(24)

menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, menemukan cara mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2005).

2. Rheumatoid Arthritis

2.1. Pengertian Rheumatoid Arthritis

Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002).

Menurut WHO dalam Atiqah (2010), rheumatoid artritis adalah suatu penyakit sistemik kronik yang melibatkan persendian, jaringan penghubung, otot, tendon, dan jaringan fibrosa. dan merupakan kondisi kecacatan kronik yang biasanya menyebabkan rasa nyeri dan deformitas.

2.2. Klasifikasi Rheumatoid Arthritis

Buffer (2010) dalam Nasution (2009) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu: Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus


(25)

menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.

2.3. Etiologi

Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor metabolik, dan infeksi virus (Suratun, Heryati, Manurung & Raenah, 2008).

2.4. Patofisiologi

Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun, terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degenerative dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer & Bare, 2002).

Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada


(26)

sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus (Long, 1996).

2.5. Manifestasi Klinis

Rasa nyeri merupakan gejala penyakit reumatik yang paling sering menyebabkan seseorang mencari pertolongan medis (Brunner & Suddarth, 2001). Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala kembali (Reeves, Roux & Lockhart, 2001).

Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi, kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi klinis rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis (Smeltzer & Bare, 2002). Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu, takikardi, berat badan menurun, anemia (Long, 1996).

Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu stadium sinovitis, stadium destruksi, stadium deformitas. Pada stadium sinovitis, terjadi


(27)

perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak dan kekakuan. Pada stadium destruksi, selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon. Sedangkan pada stadium deformitas, terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi secara menetap (Smeltzer & Bare, 2002).

Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada lanjut usia menurut Buffer (2010) dalam Nasution (2009), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi berulang.

2.6. Evaluasi Diagnostik

Beberapa faktor yang turut dalam memeberikan kontribusi pada penegakan diagnosis rheumatoid arthritis, yaitu nodul rheumatoid, inflamasi sendi yang ditemukan pada saat palpasi dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaaan laboratorium menunjukkan peninggian laju endap darah dan factor rheumatoid yang positif sekitar 70%; pada awal penyakit faktor ini negatif. Jumlah sel darah merah dan komplemen C4 menurun. Pemeriksaan C- reaktifprotein (CRP) dan antibody antinukleus (ANA) dapat menunjukan hasil yang positif. Artrosentesis akan memperlihatkan cairan sinovial yang keruh, berwarna mirip susu atau kuning gelap dan mengandung banyak sel inflamasi,


(28)

seperti leukosit dan komplemen (Smeltzer & Bare, 2002). Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis dan memantau perjalanan penyakitnya. Foto rongen akan memperlihatkan erosi tulang yang khas dan penyempitan rongga sendi yang terjadi dalam perjalanan penyakit tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).

2.7. Penatalaksanaan

2.7.1. Penatalaksanaan Farmakologis

Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS, coxib, analgetika opioid atau non opioid, dan analgetika adjuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat (Adnan, 2008 dalam Wisdanora, 2005).

Pengobatan secara simpomatik terdiri dari: Simple analgesik, misalnya: paracetamol, aminopyrin, acetophenethidin. Obat anti inflamasi non-steroid, misalnya: Indomethacin, phenylbutazon, ketoprofen, sodium diclofenac, indoprofen. Obat anti inflamasi golongan steroid, misalnya: prednison. Pada pengobatan secara simptomatik hanya bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, sedangkan progresivitas penyakitnya akan berjalan terus. Obat-obat simptomatik ini seringkali dipakai sampai berbulan-bulan sambil menunggu sampai obat remitif cukup tinggi kadar yang diperlukannya di dalam darah untuk memberikan efek pengobatan. Oleh sebab itu memilih obat yang aman dan menilai keadaan


(29)

darah dan alat-alat badan yang lain secara laboratoris pada waktu-waktu tertentu amat penting guna melihat adanya efek samping sedini mungkin. Efek samping yang paling umum terjadi pada alat pencernaan, misalnya gastritis, nausea, muntah maupun diare ringan.

Pemakaian obat-obat simptomatik golongan steroid secara sistemik tidak dianjurkan karena dapat mengalami ketergantungan. Sedangkan pemakaiannya dalam jangka waktu yang lama akan lebih banyak merugikan penderita. Penderita dapat mengalami super-infeksi oleh kuman lain yang dapat membahayakan penderita yang memang sudah dalam keadaan lemah, lebih-lebih bila didapati infeksi dengan virus. Juga akan timbul moonface, tulang-tulang semakin menjadi porotik, iritasi terhadap lambung makin hebat. Bila pemakaian steroid dihentikan, obat analgetika jenis apapun tak akan mampu menghilangkan rasa sakit pada sendi-sendinya. Dalam keadaan-keadaan tertentu memang digunakan golongan steroid, misalnya untuk menyelamatkan hidup penderita rheumatoid arthritis yang berat atau pemakaian suntikan setempat (local/intra-articular) (Shiel, 1999 dalam Wisdanora, 2007).

Selain pengobatan simtomatik, pengobatan remitif juga dapat menghambat faktor rheumatoid arthritis menjadi negatif, sehingga perjalan penyakitnya ikut dihambat dan dalam waktu yang lama penderita akan sembuh atau remisi penuh. Golongan obat remitif ini memang lebih bermanfaat bagi penderita, namun tergolong jenis obat yang lambat bekerjanya. Harus hati-hati karena jangka pemakaian yang lama sampai berbulan dan diperlukan monitoring dengan


(30)

pemeriksaan laboratorium pada waktu-waktu tertentu (Adnan, 2008 dalam

Wisdanora 2005).

2.7.2. Penatalaksanaan Nonfarmakologis

Fisioterapi perlu dalam menangani kasus rheumatoid arthritis, yakni mencegah kerusakan sendi, mencegah kehilangan fungsi sendi, mengurangi nyeri, dan mencapai remisi secepat mungkin. Sendi yang meradang harus dilatih secara lembut dan perlahan sehingga tidak terjadi kekakuan atau cedera. Setelah peradangan mereda, bisa dilakukan latihan yang lebih aktif secara rutin, tetapi jangan sampai berlebihan supaya tidak terlalu lelah (Junaidi, 2006). Pada pengobatan fisioterapi pembidaian sering dilakukan untuk meregangkan sendi secara perlahan (Adnan, 2008 dalam Wisdanora 2005).

Bila berbagai cara pengobatan sudah dilakukan namun belum berhasil juga dan alasan untuk tindakan operatif cukup kuat, maka dilakukanlah pembedahan. Berbagai jenis pembedahan ini pada penderita rheumatoid arthritis umumnya bersifat ortopedik misalnya: synovectomia, arthrodese, total hip replacement, memperbai-ki deviasi ulnar (Junaidi, 2006).

Peranan ahli psikologi dan petugas sosial medis (social worker) diperlukan untuk menangani mental penderita agar tetap gigih dan sabar dalam pengobatan serta tidak merasa rendah diri sehingga penderita mampu melakukan tugas sehari-hari terutama untuk mengurus dirinya sendiri. Juga petugas sosial medis yang ikut membuat penilaian terhadap suasana lingkungan, penilaian kamampuan penderita (Adnan, 2008 dalam Wisdanora 2005).


(31)

Terapi panas atau dingin dapat digunakan untuk mengurangi nyeri rheumatoid arthritis. Pada prinsipnya cara kerja terapi panas pada rheumatoid arthritis meningkatkan aliran darah ke daerah sendi yang terserang sehingga proses inflamasi berkurang (Junaidi, 2006). Selain itu terapi panas akan melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan kelenturan jaringan sehingga mengurangi rasa nyeri serta memungkinkan hasil terapi didapat secara optimal (Kusumaastuti, 2008 dalam Wisdanora 2005). Terapi panas dapat dilakukan dengan air panas. Bisa dengan handuk hangat atau kantong panas yang ditempelkan pada sendi yang meradang atau dapat juga dengan mandi atau berendam dalam air yang panas. Terapi dingin bertujuan untuk membuat baal bagian yang terkena rheumatoid arthritis sehingga mengurangi nyeri, peradangan, serta kaku atau kejang otot. Cara terapi dingin adalah dengan menggunakan kantong dingin, atau minyak yang mendinginkan kulit dan sendi (Junaidi, 2006).

Pola diet dapat digunakan untuk mendapatkan berat badan yang ideal dengan menerapkan pola makan secukupnya sesuai dengan energi yang diperlukan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Pola makan pada pasien

rheumatoid arthritis adalah sayur dengan porsi yang lebih banyak, buah, rendah lemak, dan kolesterol (Junaidi, 2006 dalam Wisdanora, 2005).

3. Pola Aktivitas

3.1. Pengertian Aktivitas

Aktivitas adalah suatu energi atau keadaaan bergerak di mana manusia memerlukan hal tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan hidup (Tarwoto &


(32)

Wartonah, 2004). Menurut Asmadi (2008), Aktivitas fisik (mekanik tubuh) merupakan irama sikardian manusia. Tiap individu mempunyai irama atau pola tersendiri dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan kerja, rekreasi, makan, istirahat, dan lain-lain (Asmadi, 2008).

3.2. Jenis-jenis Aktivitas

Aktivitas sehari-hari terbagi dua yaitu, aktivitas sehari-hari dasar, yang meliputi kegiatan membersihkan diri, mandi, berpakaian, berhias, makan, toileting, berpindah, dan aktivitas sehari-hari instrumental meliputi kegiatan pekerjaan rumah, menyediakan makanan, minum obat, menggunakan telepon (Darmojo, 2006).

Menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI (2006) dalam Rizky (2011), Ada 3 tipe/macam/sifat aktivitas fisik yang dapat kita lakukan untuk mempertahankan kesehatan tubuh yaitu ketahanan (endurance),

kelenturan (flexibility), dan kekuatan (strength).

Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan, dapat membantu jantung, paru-paru, otot, dan sistem sirkulasi darah tetap sehat dan membuat kita lebih bertenaga. Untuk mendapatkan ketahanan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (4-7 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti: Berjalan kaki, lari ringan, berenang, senam, bermain tenis, berkebun dan kerja di taman.

Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat membantu pergerakan lebih mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lemas (lentur) dan sendi berfungsi dengan baik. Untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan


(33)

selama 30 menit (4-7 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti: Peregangan, mulai dengan perlahan-lahan tanpa kekuatan atau sentakan, lakukan secara teratur untuk 10-30 detik, senam taichi, yoga, mencuci pakaian, mobil, dan mengepel lantai.

Aktifitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja otot tubuh dalam menahan sesuatu beban yang diterima, tulang tetap kuat, dan mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan terhadap penyakit seperti osteoporosis. Untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (2-4 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti: Push-up, naik turun tangga, angkat berat/beban, membawa belanjaan, mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur (fitness). Aktivitas fisik tersebut akan meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi (pembakaran kalori), misalnya: Berjalan kaki (5,6-7 kkal/menit), berkebun (5,6 kkal/menit), menyetrika (4,2 kkal/menit), menyapu rumah (3,9 kkal/menit), membersihkan jendela (3,7 kkal/menit), mencuci baju (3,56 kkal/menit), mengemudi mobil (2,8 kkal/menit). Aktivitas yang dapat dilakukan antara lain: Berdiri, berrbaring, menyapu, mengepel, mencuci baju, menimba air, berkebun/bercocok tanam, membersihkan kamar mandi, mengangkat kayu atau memikul beban, mencangkul, dan kegiatan lain dalam kehidupan sehari-hari (Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006 dalam Rizky, 2011).

3.3. Mekanika Tubuh

Mekanika tubuh adalah penggunaan organ secara efisien dan efektif sesuai dengan fungsinya. Melakukan aktivitas dan istirahat pada posisi yang benar akan


(34)

meningkatkan kesehatan (Tarwoto & Wartonah, 2004). Melakukan aktivitas secara benar dan beristirahat dalam proses yang benar dapat meningkatkan kesehatan tubuh dan mencegah timbulnya penyakit. Gangguan mekanika tubuh dapat terjadi pada individu yang menjalani tirah baring lama karena dapat menjadi penurunan kemampuan tonus otot. Tonus otot sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan kontraksi otot rangka (Mubarok, Nurul & Chayatin, 2007).

Mekanika Tubuh mempunyai aspek-aspek penting. Menurut Mubarok, Nurul & Chayatin (2007), aspek penting dalam mekanika tubuh adalah kesejajaran tubuh dan postur, keseimbangan, dan gerakan tubuh yang terkoordinasi.

Kesejajaran tubuh (body alignment) adalah susunan geometrik bagian-bagian tubuh dalam hubungannya dengan bagian-bagian-bagian-bagian tubuh lainnya. Kesejajaran tubuh dan postur tubuh yang baik akan menempatkan tubuh pada posisi tubuh yang meningkatkan keseimbangan yang optimal dan fungsi tubuh yang maksimal, baik dalam posisi berdiri, duduk maupun tidur. Kesejajaran tubuh yang baik dilihat dari keseimbangan persendian, otot, tendon dan ligamen. Kesejajaran tubuh penting untuk meningkatkan fungsi tangan yang baik, mengurangi jumlah energi yang digunakan dalam mempertahankan keseimbangan, mengurangi kelelahan, memperluas ekspansi paru, meningkatkan sirkulasi ginjal dan fungsi pencernaan. Sedangkan kesejajaran tubuh yang buruk dapat mengganggu penampilan dan mempengaruhi kesehatan karena ada beberapa bagian tubuh yang terbatas kemampuannya. Faktor- faktor yang mempengaruhi


(35)

kesejajaran tubuh yaitu pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan fisik, status mental, gaya hidup, sikap dan nilai personal, nutrisi, stress, dan faktor sosial.

Mekanisme yang berperan dalam mempertahankan keseimbangan dan postur tubuh cukup rumit untuk dipahami. Secara umum perasaan seimbang bergantung pada input informasi yang diterima dari labirin (telinga bagian dalam), penglihatan (input vestibulo-okular), dan dari reseptor otot dan tendon (input verstibulospinalis). Pada keadaan normal, reseptor keseimbangan di apparatus vestibular mengirimkan sinyal menuju otak yang akan mengawali refleks yang dibutuhkan untuk mengubah posisi. Sedangkan pada keadaan lain, misalnya pada perubahn posisi kepala informasi yang diterima langsung dikirim ke pusat refleks di batang otak sehingga memungkinkan respon refleks yang lebih cepat guna mempertahankan keseimbangan tubuh. Selain mekanisme di atas, keseimbangan tubuh juga dipengaruhi oleh pusat gravitasi, dan fondasi penyokong seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Gerakan yang halus dan seimbang merupakan hasil dari kerjasama yang baik antara korteks serebri, serebrum, dan ganglia basalis. Dalam mekanisme ini korteks serebri bertugas melakukan aktivitas motorik volunter, sedangkan serebrum bertugas mengatur aktivitas gerakan motorik, dan ganglia basalis bertugas mempertahankan postur tubuh. Misalnya serebrum, gerakan menjadi kaku, tidak terarah, dan tidak terkoordinasi (Mubarok, Nurul & Chayatin, 2007).

3.4. Pola Aktivitas Pasien Rheumatoid Arthritis

Berdasarkan dari pengalaman para pasien rheumatoid arthritis aktivitas yang dilakukan sehari-hari dapat terganggu. Sumber utama dari perubahan


(36)

aktivitas ini adalah rasa tidak nyaman pada fisik penderita rheumatoid arthritis karena sendi yang kaku dan sakit. Saat pasien mengeluh rasa lemah dan lelah pada dokter mereka, mereka disarankan untuk mengurangi jumlah kegiatan mereka, dan bukannya mendorong untuk menambahnya tetapi untuk istirahat yang banyak. Fakta lain menunjukkan bahwa istirahat yang berlebihan dapat merusak kesehatan. (Gordon, 2002).

Menurut laporan Repping wuts (2009) dalam Walker (2012), kelelahan adalah keluhan yang paling banyak dirasakan, dimana kelelahan itu mempengaruhi kemampuan individu untuk mengelola aktivitas sehari-hari yang berdampak besar pada kualitas hidup.

Pola aktivitas pasien rheumatoid arthritis yang tergaggu diterjemahkan dalam kapasitas fungsional yang semakin rendah atau kemampuan melakukan aktivitas semakin berkurang. Kemampuan yang menurun seperti : membungkuk untuk memungut sesuatu, membersihkan kebun, menyisir rambut, bangun dari tempat tidur pada pagi hari, berjalan, dan berdiri (Gordon, 2002).

4. Perilaku

4.1. Pengertian Perilaku

Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri (Notoatmojo, 2007).

4.2. Domain Perilaku

Perilaku dalam konteks pendidikan kesehatan memiliki tiga ranah atau kawasan (domain), yaitu ranah pengetahuan (knowledge), ranah sikap (afektif),


(37)

dan ranah keterampilan (psikomotor). Ranah perilaku ini dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengidentifikasi atau mengamati perubahan yang terjadi di masyarakat.Benyamin Bloom membagi tiga ranah menjadi tiga tahap sebagai berikut: (1) enam tahap ranah kognitif, yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisa, sintesa, dan evaluasi, (2) empat tahap ranah afektif yaitu menerima, merespon, menghargai, dan bertanggung jawab, dan (3) empat tahap ranah psikomotor, yaitu persepsi, respon terpimpin, mekanisme, dan adopsi (Nurhidayah, 2010).

Ranah kognitif berorientasi kepada kemampuan berpikir, mencakup kemampuan intelektual, yang paling sederhana yaitu mengingat, sampai dengan kemampuan untuk memecahkan suatu masalah (problem solving). Semakin tinggi tahapan dari ranah kognitif ini menunjukkan semakin sulitnya tingkat berpikir atau tuntutan berpikir sesorang. Ranah afektif yang berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai dan sikap hati (attitude) yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Tahapan ranah afektif dari dari yang paling sederhana, yaitu memperhatikan fenomena sampai dengan yang kompleks yang merupakan faktor internal seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani. Ranah psikomotor berorientasi pada keterampilan motorik yang Berhubungan dengan anggota tubuh, atau tindakan (action) yang memerlukan koordinasi antara saraf dan otot. Biasanya dihubungkan dengan kemampuan mengungkapkan pendapat, mendemonstrasikan kembali, serta hal-hal yang berhubungan dengan keterampilan teknis (Nurhidayah, 2010).


(38)

5. Nyeri

5.1. Pengertian Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emsional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Brunner & Suddarth, 2003). Menurut Potter & Perry (2005), nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Sedangkan menurut pendapat Kozier dan Erb (1983) dalam Tamsuri (2007), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan fantasi luka.

5.2. Fisiologi Nyeri

Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Cara yang paling baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan membantu menjelaskan tiga komponen fisiologis berikut yakni: resepsi, persepsi, dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan implus melalui serabut saraf perifer. Serabut saraf memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam massa berwarna abu-abu di medulla spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali stimulus mencapai korteks cerebral, maka otak menginterpretasikan kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman


(39)

dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri (Mc. Nair, 1990 dalam Potter dan Perry, 2005).

5.3. Klasifikasi Nyeri

Menurut Asmadi (2008), Nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan berdasarkan pada tempat, sifat, berat dan ringannya nyeri, dan waktu lamanya serangan.

Berdasarkan tempatnya nyeri dibedakan menjadi pheriperal pain, deep pain, refered pain, dan central pain. Pheriperal pain adalah nyeri yang terasa pada permukaan tubuh, misalnya kulit, dan mukosa. Deep pain adalah nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau pada organ-organ tubuh visceral. Refered pain adalah nyeri yang disebabkan karena penyakit organ/struktur dalam tubuh yang ditransimisikan ke bagian tubuh di daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri. Central pain adalah nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus, dan lain-lain.

Berdasarkan sifatnya, nyeri dibedakan menjadi incidental pain, yaitu incidental pain, steady pain, dan paroxysmal pain. Incidental pain adalah nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang. Steady pain adalah nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu yang lama. Paroxymal pain adalah nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap lebih kurang 10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi.


(40)

Berdasarkan berat ringannya nyeri dibedakan menjadi nyeri ringan, nyeri sedang, dan nyeri berat. Nyeri ringan adalah nyeri dengan intensitas rendah. Nyeri sedang adalah nyeri yang menimbulkan reaksi. Nyeri berat adalah nyeri dengan intensitas tinggi.

Berdasarkan waktu lamanya serangan, nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut adalah nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan berakhir kurang dari enam bulan. Sumber dan daerah nyeri diketahui dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti luka operasi, ataupun pada suatu penyakit arteriosklerosis pada arteri koroner. Nyeri kronis adalah nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Nyeri kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ragam pola tersebut ada yang nyeri timbul dengan periode yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu timbul kembali, nyeri lagi, dan begitu seterusnya. Ada pula nyeri kronis yang konstan, yang artinya nyeri tingkat tersebut terus menerus terasa makin lama semakin meningkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan. Misalnya pada nyeri karena neoplasma (Asmadi, 2008).

5.4. Stimulasi Nyeri

Ada beberapa jenis stimulus nyeri menurut Alimul (2006), diantaranya adalah: (1) Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah (operasi) akibat terjadinya kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor, (2) Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya penekananpada reseptor nyeri, (3) Tumor, dapat juga menekan pada reseptor


(41)

nyeri, (4) Iskemia pada jaringan, misalnya terjado blockade pada arteria koronaria yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat, (5) Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.

5.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri.

Menurut Potter & Perry (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri terdiri atas usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri, perhatian, dan ansietas.

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalamia kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan (Potter&Perry, 2005).

Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya dan faktor biokimia. (Gil, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin. Misalnya, €menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Potter & Perry, 2005).


(42)

Budaya dan etnisitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespons terhadap nyeri, bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespons terhadap nyeri. (Zatzick&Dimsdale, 1990 dalam Brunner&Sudart, 2003). Menurut Calvillo & Flaskerud (1991) dalam Potter & Perry (2005), Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri.

Riwayat sebelumnya berpengaruh terhadap persepsi seseorang tentang nyeri. Orang yang sudah mempunyai pengalaman tentang nyeri akan lebih siap menerima perasaan nyeri. Sehingga dia merasakan nyeri lebih ringan dari pengalaman pertamanya (Taylor, 1997 dalam Wardani, 2007).

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri., perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Konsep ini merupakan salah satu konsep yang digunakan dalam keperawatan (Gill 1990 dalam Potter&Perry, 2005).

Ansietas pada umumnya akan meningkatkan nyeri, penggunaan rutin medikasi ansietas pada seseorang dengan nyeri dapat merusak kemampuan pasieen untul melakukan napas dalam. Secara umum, cara yang lebih efektif untuk menghilangkan nyeri adalh dengan mengarahkan pengobatan pada nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare, 2001).


(43)

5.6. Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Seseorang dalam mengekspresikan nyeri mereka hanya mampu menilai suatu intensitas nyeri secara akurat, dua jenis skala penilaian intenstas nyeri yang digunakan adalah skala verbal dan skala numerical (Suza, 2007).

5.7. Intensitas Pengukuran Nyeri

Skala intensitas nyeri menurut Agency for Health Care Policy dan Research (AHCPR). Acute Pain Management: Operative or medical Prosedures and Trauma, 1992, dalam Brunner dan Suddart, 2001 terdiri atas tiga bentuk, yaitu:


(44)

Keterangan: Pada skala verbal : 0 = tidak nyeri, 1-3 = nyeri ringan, 4-6 = nyeri sedang, 7-9 = nyeri terkontrol, 10 = nyeri hebat tidak terkontrol.

Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan. Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Tamsuri, 2007).


(45)

Keterangan: 0 = tidak nyeri, 1-9 = nyeri sedang yang kriterianya dapat ditentukan, 10 = nyeri hebat tak tertahankan.

Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992 dalam Tamsuri, 2007).

c. Skala analog visual

Keterangan: 0 = tidak nyeri, 10 = nyeri sangat hebat.

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka. Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya.


(46)

Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter Perry, 2005).

5.8. Perilaku Nyeri

5.8.1. Pengertian Perilaku Nyeri

Perilaku nyeri merupakan suatu aspek dari pengalaman nyeri. Ini merupakan perilaku jelas dan kelihatan seperti lemah atau ekspresi wajah yang meringis (Fordyce 1976 dalam Harahap 2007). Nyeri yang muncul sering ditandai dengan beberapa jenis perilaku dari kelihatan atau kedengaran yang ditafsirkan sebagai perilaku nyeri (Pilowski, 1994 dalam Harahap, 2007). Perilaku nyeri mungkin atau juga tidak mungkin dianggap sebagi kesesuaian untuk tingkatan dari ilmu penyakit tubuh yang diobservasi (Lofvander, 2002 dalam Harahap, 2007).

Perilaku nyeri merupakan beberapa dan semua produksi-produksi dari individu yang mana observasi itu layak akan digolongkan sebagai nyeri yang berkesan seperti: (1) gerakan tubuh, (2) ekspresi wajah, (3) pernyataan verbal, (4) perebahan badan, (5) minum obat, (6) pencarian resep obat dan (7) menerima kerugian. Perilaku-perilaku nyeri adalah tindakan-tindakan yang berhubungan dengan ketidakmampuan (kecacatan) dan kegelisahan (contoh: kejang, lemas, aktivitas yang menurun) dan telah muncul untuk memainkan peranan penting di


(47)

dalam penurunan fungsi dari tingkatan yang dimiliki individu dan menambah kondisi nyeri (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007)..

Perilaku nyeri merupakan tanda-tanda dari nyeri dan kekuatan dalam memperoleh perhatian dan respon dari yang lain. Anderson, Keefe, dan Bradkley dan kolega (1985) dalam Harahap (2007) telah mengobervasi bahwa pasien dengan penderita nyeri sering sekali menunjukkan penjagaan (guarding), menggosok pasif (passive rubbing) dan kekakuan (rigidity) sebagai ekspresi-ekspresi dari rasa nyeri mereka. Perilaku nyeri ini mungkin dipelihara, paling sedikit sebagian, oleh konsekuensi kekebelannya mungkin luar biasa, seperti perilaku rasa khawatir dari yang lain, atau fakta dari pengalaman menentang, seperti situasi pekerjaan yang tertekan atau konflik dengan kepentingan lainnya.

5.8.2. Jenis-jenis Perilaku Nyeri

Perilaku nyeri kronis secara khusus berdasarkan atas dasar pikiran sekurang-kurangnya di bagi dua jenis yaitu: perilaku responden dan perilaku operant (Harahap, 2007).

Perilaku responden merupakan salah satu jenis perilaku refleks sebagai respon terhadap stimulus yang datang (Kats, 1998 dalam Harahap, 2007) apakah

individu itu menyadarinya atau tidak (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007).

Stimulus yang muncul biasanya spesifik dan dapat diprediksi (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007). Perilaku responden merupakan perilaku secara spontan. Ketika stimulus muncul dengan adekuat seperti stimulus nosiseptif, respon perilaku kemungkinan akan terjadi. Dalam perbandingan, ketika stimulus muncul tidak dengan adekuat, perilaku yang nampak tidak akan terjadi. Oleh karena itu,


(48)

perilaku responden secara keras merupakan faktor-faktor dari stimuli (Harahap, 2007).

Perilaku operant biasanya tidak berhubungan dengan spesifik respon terhadap stimulus (Kats, 1998 dalam Harahap, 2007). Ini akan muncul sebagai respon secara langsung dan otomatis terhadap stimulus yang muncul, sama juga sebagai perilaku responden. Tetapi perilaku operant mungkin muncul karena perilaku-perilaku tersebut telah diikuti dengan positif atau konsekuensi yang kuat (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007). Perilaku operant sering kali tidak berhubungan dengan spesifik respon terhadap stimulus yang muncul (Kats, 1998 dalam Harahap, 2007).

5.8.3. Respon Perilaku Nyeri

Respon perilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat bermacam-macam. Menurut Brunner dan Suddart (2003) bahwa, respon perilaku yang biasa terhadap nyeri mencakup: (1) Pernyataan verbal seperti mengaduh, menangis, sesak nafas, mendengkur, (2) Ekspresi wajah seperti meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir, (3) Gerakan tubuh seperti gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan, (4) kontak dengan orang lain/interaksi sosial seperti menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri. Dimensi perilaku nyeri mencakup berbagai perilaku yang dapat diamati berkaitan dengan rasa sakit dan bertindak sebagai sarana komunikasi dengan orang lain untuk menunjukkan bahwa pasien mengalami nyeri (Fordyce, 1976


(49)

dalam Harahap 2007). Gambaran perilaku nyeri tersebut yaitu menjaga, menguatkan, meringis, keluhan verbal dan mencari pengobatan (Harahap, 2007).

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri( Brunner&Suddart, 2001).

Meinhart & McCaffery (1983) dalam Potter & Perry (2005) mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri, yaitu fase antisipasi, fase sensasi, dan fase akibat.

Fase antisipasi terjadi sebelum nyeri diterima. Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

Fase sensasi terjadi saat nyeri terasa. Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subjektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan


(50)

stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Fase akibat terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

5.8.4. Perilaku Nyeri Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid arthritis menyediakan model yang sangat baik untuk mempelajari variasi dalam perilaku nyeri. Rheumatoid arthritis menyebabkan timbulnya rasa sakit, kelemahan, dan berhubungan dengan berbagai perilaku nyeri yang dapat dikodekan secara handal dan valid. Selain itu, ada bukti bahwa pasien dengan rheumatoid arthritis sangat bervariasi dalam cara mereka mengekspresikan perilaku nyeri (Waters, 2008).

Perilaku nyeri rheumatoid arthritis yang dapat diperiksa yaitu, terjaga (guarding), menahan nyeri (bracing), menggosok bagian yang nyeri (active rubbing), meringis (grimacing), mendesah (sighing), dan kekakuan (rigidity) (Waters, 2008).


(51)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konseptual

Kerangka konsep dalam penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthriris pada lansia di Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang. Bertambah beratnya gejala penyakit rheumatoid arthritis mengakibatkan terjadinya perubahan aktivitas pada penderitanya. Salah satu penyebabnya adalah adanya rasa nyeri yang menampilkan perilaku nyeri yang berbeda-beda pada setiap orang. Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dibuat kerangka penelitian yang menjelaskan tentang pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthriris pada lansia di Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang. yang dijabarkan dalam skema dibawah ini :

Skema 3.1.Kerangka Konseptual Pola Aktivitas dan Perilaku Nyeri Rheumatoid Arthritis pada Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat

Lansia dengan Rheumatoid Arthritis

Pola Aktivitas

Perilaku Nyeri

-Terganggu -Tidak

Terganggu -Tinggi -Sedang -Rendah


(52)

2. Defenisi Operasional

Defenisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:

Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala Pola Aktivitas Segala sesuatu yang

berhubungan dengan aktivitas seperti berdiri, duduk, berjalan, berbaring, perawatan diri, dan melakukan pekerjaan rumah. Kuisioner dengan menggunakan skala Likert, yang terdiri dari 27 pernyataan a.Terganggu (54-81) b.Tidak terganggu (27-53) Interval Perilaku Nyeri Respon psikologis yang dapat ditampilkan dalam

bentuk tingkah laku positif maupun negatif yang dapat

diamati dan dideskripsikan,

seperti menjaga, menahan nyeri, menggosok bagian yang nyeri, meringis, dan mendesah. Lembar observasi Perilaku Nyeri (Pain Behavior Obsevation Protocol (PBOP) a. Rendah (0-3) b. Sedang (4-7) c. Tinggi (8-10) Interval


(53)

BAB 4

METODE PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada lansia di Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat.

2. Populasi dan Sampel Penelitian 2.1. Populasi

Populasi penelitian adalah Keseluruhan subjek penelitian yang diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi lansia yang menderita rheumatoid arthritis dirada di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat pada tahun 2012 berjumlah 224 orang.

2.2. Sampel

Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki populasi (Hidayat, 2009). Karena jumlah populasi lebih dari 100, maka peneliti mengambil 25% dari jumlah populasi (Arikunto, 2000). Sampel pada penelitian ini adalah 56 orang.


(54)

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan cara purposive sampling dengan kriteria inklusi, yaitu: (1) Lansia yang tinggal di Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat. (2) Berumur 60-74 tahun. (3) Mampu melihat, membaca, dan mendengar dengan baik, (4) Mampu berbahasa Indonesia dengan baik, (5) Mau menjadi responden.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, karena berdasarkan survey awal didapatkan data sebanyak 224 lansia yang menderita rheumatoid arthritis. Selain itu juga, karena lokasi yang dipilih dapat dijangkau dengan menggunakan transportasi.

4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari institusi Pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan mengajukan permohonan izin penelitian kepada Lurah Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, dan Kepala Puskesmas Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat. Setelah mendapat persetujuan, peneliti melakukan pengumpulan data dimana peneliti mengukur langsung kepada pasien rheumatoid arthritis.

Sebelum melakukan penelitian, responden diberi penjelasan terlebih dahulu tentang tujuan, manfaat dari penelitian, dan kegiatan dalam penelitian, hak-hak responden dalam penelitian dan kerahasiaan terjaga. Jika responden bersedia untuk diteliti, maka responden terlebih dahulu menandatangani lembar


(55)

persetujuan yang telah dibuat peneliti. Responden berhak untuk menentukan sendiri kesediaan berpartisifasi sampai akhir penelitian walaupun penelitian masih berlangsung dan belum selesai. Hal tersebut tercantum dengan jelas dalam

informed consent yang berupa persetujuan partisipasi secara lisan atau yang ditandatangani oleh responden sebelum penelitian di laksanakan. Sebelum menandatangani informed consent tersebut, responden diberi waktu hingga benar paham sepenuhnya atas apa yang akan dijalaninya dalam penelitian. Jika responden tidak bersedia atau menolak untuk berpartisifasi, maka peneliti tidak boleh memaksa dan harus tetap menghormati hak-hak responden. Dalam menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan namanya pada lembar pengumpulan data, cukup dengan memakai inisial atau kode yang hanya diketahui oleh peneliti dan responden. Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti (Nursalam, 2003).

5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner data demografi, kuesioner pola aktivitas pasien rheumatoid arthritis yang dimodifikasi sesuai kebutuhan, dan lembar observasi perilaku nyeri (The Pain Behavior Obsevation Protocol (PBOP).

5.1. Kuesioner Data Demografi

Kuesioner data demografi yang meliputi inisial, jenis kelamin, umur, agama, suku, pendidikan terakhir, dan pekerjaan.


(56)

5.2. Kuesioner Pola Aktivitas Pasien Rheumatoid Arthritis

Kuesioner ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola aktivitas pasien rheumatoid arthritis yang berisi bentuk pernyataan. Kuesiner ini terdiri dari 27 pernyataan, dan menngunakan skala Likert dengan pilihan jawaban sering (SR), kadang-kadang (KD), dan tidak pernah (TP). Pengisian jawaban berupa tanda checklist (√). Jawaban untuk sering (SR) diberi skor 3, kadang-kadang (KD) diberi skor 2 dan tidak pernah (TD) diberi skor 1. Ini terdiri dari 2 kelas interval nilai minimum adalah 27 dan nilai maksimum adalah 81.

Data mengenai pola aktivitas pada lansia dikategorikan atas 2 kelas interval. Nilai terendah yang mungkin dicapai adalah 27 dan nilai tertinggi adalah 81. Berdasarkan rumus statistika (Sudjana, 1992), di mana p merupakan panjang kelas, dengan rentang ( nilai tertinggi dikurang dengan nilai terendah) sebesar 54 dan dibagi atas 2 kategori kelas, yaitu terganggu dan tidak terganggu, maka diperoleh panjang kelas sebesar 27. Dengan p = 27 dan nilai terendah adalah 27 sebagai batas bawah kelas pertama, maka pola aktivitas rheumatoid arthritis pada lansia dikategorikan dalam kelas interval, yaitu 27-53 = tidak terganggu, 54-81 = terganggu.

5.3. Lembar Observasi Perilaku Nyeri (The Pain Behavior Obsevation Protocol (PBOP)

Observasi perilaku nyeri terdiri dari enam item perilaku nyeri yaitu, menjaga (guarding), menahan nyeri (bracing), menggosok bagian yang nyeri (rubbing), meringis (grimacing), dan mendesah (sighing). Observasi dilakukan


(57)

selama 10 menit oleh peneliti secara langsung dengan memberikan instruksi kepada responden untuk melalukan serangkaian 8 tes yang berbeda, meliputi berdiri selama satu periode satu menit dan selanjutnya 2 menit, duduk selama satu periode satu menit dan selanjutnya untuk 2 menit, berbaring dua kali selama tiap-tiap satu menit, dan berjalan dua periode, masing-masing periode selama satu menit (McDaniel, Anderson, Bradley, 1986 dalam Waters, 2008) Lembar observasi perilaku nyeri diadopsi dari Waters (2008) lalu kemudian dimodifikasi sesuai kebutuhan peneliti .

Tingkat perilaku nyeri menggunakan skala Likert dengan 0 untuk tidak ada perilaku nyeri, nilai 1 untuk yang kadang-kadang terjadi dan nilai 2 untuk yang selalu terjadi. Total perilaku nyeri merupakan jumlah enam perilaku nyeri. Skor tertinggi (12) mengindikasikan ekspresi perilaku nyeri tingkat tertinggi. Untuk interpretasi skor laporan observasi perilaku nyeri, jumlah skor perilaku nyeri dibagi ke dalam 3 tingkatan yaitu rendah (skor 0-3), sedang (skor 4-7) dan tinggi (skor 8-10).

6. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

6.1. Validitas

Uji validitas dan reliabilitas pada instrument penelitian akan dilakukan oleh yang ahli di bidangnya. Prinsip validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keandalan instrumen dalam mengumpulkan data (Nursalam, 2008). Kuesioner ini divalidasi dengan menggunakan validitas isi (Content validity) yang dilakukan oleh dosen ahli dari Fakultas Keperawatan USU. Uji


(58)

validitas dilakukan dengan mengajukan instrumen dan proposal penelitian kepada penguji validitas. Ahli diminta untuk mengamati secara cermat semua item dalam tes yang hendak divalidasi. Kemudian mengoreksi semua item yang telah dibuat. Pada akhir perbaikan, ahli diminta untuk memberikan pertimbangan tentang bagaimana tes tersebut menggambarkan cakupan isi yang akan diukur. Pertimbangan ahli tersebut juga menyangkut apakah semua aspek yang hendak diukur telah dicakup melalui item pertanyaan dalam tes (Sukardi, 2009). Pernyataan yang tidak valid akan langsung diganti oleh peneliti sesuai dengan petunjuk dari ahli validitas.

6.2. Reliabilitas

Uji reliabilitas instrument bertujuan untuk mengetahui seberapa besar derajat atau kemampuan alat ukur untuk mengukur secara konsisten sasaran yang akan diukur. Uji reliabilitas akan dilakukan terhadap 30 orang yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebagai sampel tetapi tidak akan menjadi sampel pada penelitian. Uji reliabilitas dalam penelitian ini dicari dengan menggunakan analisis Cronbach alpha. Menurut Djemari (2003) dalam Riwidikdo (2008), kuesioner dikatakan reliabel jika memiliki alpha minimal 0,7.

Uji reabilitas instrument pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada lansia dilakukan terhadap 30 orang lansia yang telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebagai sampel pada penelitian yang tinggal dekat dengan lokasi penelitian, yaitu Kecamatan Sawit Seberang, Kabupaten Langkat. Hasil uji reabilitas pola aktivitas pasien rheumatoid arthritis adalah 0,75.


(59)

7. Pengumpulan Data

Prosedur yang dilakukan dalam pengumpulan data yaitu pada tahap awal peneliti mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Setelah mendapatkan izin dari Fakultas Keperawatan USU, peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada Lurah Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang, dan Puskesmas Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat. Kemudian peneliti mengidentifikasi calon responden berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan mengumpulkan responden pada suatu tempat. Peneliti menjelaskan terlebih dahulu tujuan, manfaat, dan prosedur penelitian kepada calon responden. Lalu peneliti memberikan lembar persetujuan (informed consent) kepada kelompok responden, dan mempersilahkan calon responden yang bersedia menjadi responden menandatangani lembar persetujuan (informed consent) tersebut, dilanjutkan dengan pengisian kuisoner data demografi oleh responden.

Pengkajian pola aktivitas rheumatoid arthritis dilakukan dengan memberikan kuisioner pada responden. Setelah kuisioner dibagi, kemudian peneliti menjelaskan cara pengisian kuesioner kepada responden, dan responden diminta untuk menjawab pertanyaan peneliti dengan mengisi kuisioner yang telah diberikan oleh peneliti. Setelah diisi, data kuesioner dikumpulkan kembali oleh peneliti dan diperiksa kelengkapannya. Apabila ada kuesioner yang tidak lengkap, maka responden diminta untuk melengkapi disaat itu juga. Waktu yang diberikan untuk mengisi kuisiner adalah 20 menit.


(60)

Pengkajian perilaku nyeri dilakukan dengan menggunakan lembar observasi perilaku nyeri. Sebelumnya peneliti nengukur intensitas nyeri responden, lalu kemudian meminta responden melakukan kegiatan sesuai dengan intruksi dari peneliti, lalu peneliti mengamati selama 10 menit. Data yang terkumpul dipaparkan sesuai dengan hasil yang didapatkan. Adapun kegiatan yang diperintahkan meliputi duduk selama 1 menit, dan selanjutnya 2 menit, berbaring tiap-tiap 1 menit sebanyak 2 kali, lalu berdiri selama 2 menit, dilanjutkan berjalan selama 2 menit.

8. Analisa Data

Setelah semua data pada kuesioner terkumpul, maka dilakukan analisa data melalui beberapa tahap. Pertama mengecek kelengkapan data dari responden dan memastikan bahwa semua jawaban telah terisi (edting), kemudian data yang sesuai diberi kode untuk memudahkan peneliti dalam melakukan tabulasi dan analisa data (coding), selanjutnya, data yang telah dikumpulkan disimpan untuk selanjutnya diolah (Entry), tahap selanjutnya Cleaning yaitu pengecekan kembali terhadap kelengkapan data. kemudian Processing yaitu proses pengelompokan data kedalam variabel yang sesuai.

Analisa data yang digunakan adalah analisa univariat untuk menggambarkan pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada lansia. Data-data ini kemudian diolah dengan menggunakan program komputerisasi SPSS dan ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi.  


(61)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian serta pembahasan mengenai pola aktivitas dan perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada lansia di Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang.

1. Hasil Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan mulai tanggal 26 Mei 2013 sampai dengan 16 Juni 2013. Penelitian ini melibatkan sejumlah 56 responden. Penelitian ini memaparkan karakteristik demografi responden, pola aktivitas lansia dengan rheumatoid arthritis, dan perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada lansia.

1.1 Karakteristik Demografi

Deskripsi karakteristik demografi mencakup jenis kelamin, umur, agama, suku, pendidikan terakhir, dan pekerjaan. Responden penelitian ini berada pada rentang usia 60-74 yang tinggal di Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten langkat, lebih dari setengah responden (69,7%) berada pada rentang usia 60-65. Berdasarkan jenis kelamin, responden yang paling banyak adalah perempuan (71,4%), sedangkan laki-laki (28,6%). Agama yang dianut responden dalam penelitian ini Islam (96,4%) dan Buddha (3,6%). Menurut kategori suku bangsa, responden yang bersuku jawa (58,9%), melayu (33,9%), minang (5,4%), dan lain-lain (1,8%). Untuk pendidikan terakhir, responden yang tidak bersekolah (32,1%), SD (41,1%), SMP (10,7%), dan SMA


(62)

(16,1%). Menurut kategori pekerjaan, lebih dari setengah dari total responden mempunyai pekerjaan sebagai ibu rumah tangga (62,5%), selanjutnya wiraswasta (17,9%), kemudian petani (16,0%), dan yang terakhir pegawai/karyawan (3,6%).

Tabel 5.1. Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan karakteristik data demografi lansia dengan rheumatoid arthritis di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat (n=56).

Karakteristik Demografi

Frekuensi (n) Persentase (%)

Jenis kelamin

Laki-laki 16 28,6

Perempuan 40 71,4 56 100,0

Umur Responden

60-65 tahun 39 69,7

66-70 tahun 12 21,4

71-74 tahun 5 8,9 56 100,0 Agama

Islam 54 87,8

Kristen 0 12,2

Hindu 0 0

Budha 2 0

56 100,0 Suku

Batak 0 0

Melayu 19 33,9

Jawa 33 58,9

Minang Lain-lain 1 1 5,4 1,8 56 100,0 Pendidikan

Tidak sekolah 18 32,1

SD 23 41,1

SMP 6 10,7

SMA Perguruan Tinggi 9 0 16,1 0 56 100,0


(63)

1.2. Pola Aktivitas Lansia dengan Rheumatoid Arthritis di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten langkat

Untuk mengetahui pola aktivitas lansia dengan rheumatoid arthritis di lakukan dengan cara membagi 2 kelas interval yaitu, tidak terganggu dan terganggu. Dari hasil yang dilakukan oleh peneliti selama melakukan penelitian mulai dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013 di Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat diperoleh bahwa mayoritas pola aktivitas lansia yang menderita rheumatoid arthritis terganggu, yaitu 51 responden (91,1%).

Tabel 5.2. Distribusi frekuensi persentase pola aktivitas lansia dengan rheumatoid arthritis di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat (n=56)

Pola Aktivitas Lansia dengan Rheumatoid

Arthritis

Tidak Terganggu Terganggu

Frekuensi Presentase (%)

Frekuensi Presentase (%)

5 8,9 51 91,1

Pekerjaan

Pegawai/Karyawan 2 3,6

Wiraswasta Petani

Ibu Rumah Tangga

10 9 35 17,9 16,0 62,5 56 100,0


(64)

1.3. Karakteristik Perilaku Nyeri Rheumatoid Arthritis pada Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten langkat

Berdasarkan hasil penjumlahan perilaku nyeri yang diobservasi pada saat kegiatan protokol nyeri yang diterapkan selama 10 menit untuk setiap responden, lebih dari setengan dari keseluruhan responden (60,7%) mengekspresikan perilaku nyeri pada tingkat sedang.

Tabel 5.3. Distribusi frekuensi dan persentase perilaku nyeri rheumatoid arthritis pada lansia di kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan padang tualang Kabupaten Langkat (n=56)

2. Pembahasan

Hasil penelitian berdasarkan karakteristik data demografi rata-rata responden berusia 60-65 tahun. Ini sesuai dengan penjelasan Hembing (2006) dalam Putra (2009) bahwa serangan rheumatoid arthritis sering terjadi pada umur di atas 60 tahun. Pendapat sama juga dikatakan oleh Dana Kings (2009) dalam Walker (2012) yang menyebutkan bahwa usia yang paling sering terjadi rheumatoid arthritis adalah diatas 40 tahun. Sedangkan berdasarkan karakteristik jenis kelamin mayoritas responden adalah wanita 40 orang (71,4%) dan hasil

Perilaku Nyeri Frekuensi (n) Presentase (%)

Skore Perilaku Nyeri Rendah

Sedang Tinggi

11 34 11

19,6 60,8 19,6


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Taksasi Dana

1. Persiapan Proposal dan Perbaikan proposal

- Biaya kertas print proposal Rp 120.000,-

- Fotokopi sumber-sumber tinjauan pustaka Rp 30.000,-

- Biaya internet Rp 100.000,

- Perbanyak proposal dan penjilidan Rp 100.000,-

- Konsumsi saat sidang proposal Rp 100.000,-

2. Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

- Izin penelitian Rp 20.000,-

- Penggandaan kuesioner Rp 20.000,-

- Transportasi Rp 300.000,-

- Cendramata untuk Lansia Rp 200.000,-

- Transportasi Rp 200.000,-

3. Persiapan Skripsi

- Biaya kertas dan tinta print Rp 150.000,-

- Penggandaan skripsi dan penjilidan Rp 100.000,-

- Biaya sidang skripsi Rp 150.000,-

- Biaya Konsumsi Sidang Rp 200.000,-

4. Biaya tidak Terduga Rp 150.000,- Jumlah Rp 1.940.000,-


(6)

Daftar Riwayat Hidup

Nama : Dendi Purnama

Tempat/Tanggal Lahir : Stabat, 13 Desember 1990

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jl. Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang,

Kabupaten Langkat

Riwayat Pendidikan :

1. SDN 050699 Padang Tualang (1996-2002)

2. SLTP N 1 Padang Tualang (2002-2005)

3. SMA N 1 Padang Tualang (2005-2008)


Dokumen yang terkait

Prospek Usaha Pengolahan Tape (Ubi Dan Pulut) (Studi Kasus : Desa Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara)

0 39 93

Prospek Pengembangan Komoditi Rambutan Di Kabupaten Langkat (Studi Kasus: Desa Tanjung Putus dan Tanjung Selamat Kec. Padang Tualang Kab. Langkat Propinsi Sumatera Utara)

1 48 119

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Akseptor KB dengan Pemakaian Alat Kontrasepsi Mantap di Desa Tebing Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat 2009

1 66 69

Respon Masyarakat Desa Tebing Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat Terhadap Program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat oleh PMI Cabang Langkat

2 39 126

Peran istri dalam membantu perekonomian keluarga di desa Tanjung Selamat kecamatan Padang Tualang kabupaten Langkat Repository UIN Sumatera Utara

2 17 76

Kajian Laju Infiltrasi Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan di Desa Tanjung Putus Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat

0 0 10

Kajian Laju Infiltrasi Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan di Desa Tanjung Putus Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat

0 0 11

Pola Aktivitas dan Perilaku Nyeri Rheumatopid Arthritis pada Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat

0 1 32

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Lanjut Usia 1.1. Pengertian Lanjut Usia - Pola Aktivitas dan Perilaku Nyeri Rheumatopid Arthritis pada Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat

0 1 31

POLA AKTIVITAS DAN PERILAKU NYERI RHEUMATOID ARTHRITIS PADA LANSIA DI KELURAHAN TANJUNG SELAMAT KECAMATAN PADANG TUALANG KABUPATEN LANGKAT

0 0 11