dalam penurunan fungsi dari tingkatan yang dimiliki individu dan menambah kondisi nyeri Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007..
Perilaku nyeri merupakan tanda-tanda dari nyeri dan kekuatan dalam memperoleh perhatian dan respon dari yang lain. Anderson, Keefe, dan Bradkley
dan kolega 1985 dalam Harahap 2007 telah mengobervasi bahwa pasien dengan penderita nyeri sering sekali menunjukkan penjagaan guarding,
menggosok pasif passive rubbing dan kekakuan rigidity sebagai ekspresi- ekspresi dari rasa nyeri mereka. Perilaku nyeri ini mungkin dipelihara, paling
sedikit sebagian, oleh konsekuensi kekebelannya mungkin luar biasa, seperti perilaku rasa khawatir dari yang lain, atau fakta dari pengalaman menentang,
seperti situasi pekerjaan yang tertekan atau konflik dengan kepentingan lainnya.
5.8.2. Jenis-jenis Perilaku Nyeri
Perilaku nyeri kronis secara khusus berdasarkan atas dasar pikiran sekurang-kurangnya di bagi dua jenis yaitu: perilaku responden dan perilaku
operant Harahap, 2007. Perilaku responden merupakan salah satu jenis perilaku refleks sebagai
respon terhadap stimulus yang datang Kats, 1998 dalam Harahap, 2007
apakah individu itu menyadarinya atau tidak
Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007. Stimulus yang muncul biasanya spesifik dan dapat diprediksi Fordyce, 1976
dalam Harahap, 2007. Perilaku responden merupakan perilaku secara spontan. Ketika stimulus muncul dengan adekuat seperti stimulus nosiseptif, respon
perilaku kemungkinan akan terjadi. Dalam perbandingan, ketika stimulus muncul tidak dengan adekuat, perilaku yang nampak tidak akan terjadi. Oleh karena itu,
Universitas Sumatera Utara
perilaku responden secara keras merupakan faktor-faktor dari stimuli Harahap, 2007.
Perilaku operant biasanya tidak berhubungan dengan spesifik respon terhadap stimulus Kats, 1998 dalam Harahap, 2007. Ini akan muncul sebagai
respon secara langsung dan otomatis terhadap stimulus yang muncul, sama juga sebagai perilaku responden. Tetapi perilaku operant mungkin muncul karena
perilaku-perilaku tersebut telah diikuti dengan positif atau konsekuensi yang kuat Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007. Perilaku operant sering kali tidak
berhubungan dengan spesifik respon terhadap stimulus yang muncul Kats, 1998 dalam Harahap, 2007.
5.8.3. Respon Perilaku Nyeri
Respon perilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat bermacam-macam. Menurut Brunner dan Suddart 2003 bahwa, respon perilaku
yang biasa terhadap nyeri mencakup: 1 Pernyataan verbal seperti mengaduh, menangis, sesak nafas, mendengkur, 2 Ekspresi wajah seperti meringis,
menggeletukkan gigi, menggigit bibir, 3 Gerakan tubuh seperti gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari tangan, 4 kontak
dengan orang laininteraksi sosial seperti menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan
nyeri. Dimensi perilaku nyeri mencakup berbagai perilaku yang dapat diamati berkaitan dengan rasa sakit dan bertindak sebagai sarana komunikasi dengan
orang lain untuk menunjukkan bahwa pasien mengalami nyeri Fordyce, 1976
Universitas Sumatera Utara
dalam Harahap 2007. Gambaran perilaku nyeri tersebut yaitu menjaga, menguatkan, meringis, keluhan verbal dan mencari pengobatan Harahap, 2007.
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau
menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri
hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri BrunnerSuddart, 2001.
Meinhart McCaffery 1983 dalam Potter Perry 2005 mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri, yaitu fase antisipasi, fase sensasi, dan
fase akibat.
Fase antisipasi terjadi sebelum nyeri diterima. Fase ini mungkin bukan
merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya
untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
Fase sensasi terjadi saat nyeri terasa. Fase ini terjadi ketika klien
merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subjektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda
antara satu orang dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya
orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan
Universitas Sumatera Utara
stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya
rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Fase akibat terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini
klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien
mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat aftermath dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh
kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
5.8.4. Perilaku Nyeri Rheumatoid Arthritis