Kebijakan Fiskal di Indonesia tahun 2001 – 2008

20

3. Kebijakan Fiskal di Indonesia tahun 2001 – 2008

Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah di bidang pendapatan dan pengeluaran negara dengan tujuan untuk perbaikan ekonomi. Kebijakan fiskal mempengaruhi kondisi perekonomian, tingkat pengangguran, inflasi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, pemerataan pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Kebijakan fiskal ditetapkan oleh pemerintah dan legislatif melalui anggaran pendapatan dan belanja negara. Ada 3 tiga tujuan kebijakan fiskal, yaitu : a. Untuk memantapkan stabilitas ekonomi makro, b. Untuk mengurangi ketergantungan pada bantuan luar negeri, c. Untuk meningkatkan pendapatan perkapita. Dalam tahun 2001, proses pemulihan ekonomi masih dipengaruhi oleh ketidakpastian, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah belum pulih, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing masih lemah, inflasi cenderung meningkat, dan pertumbuhan nilai ekspor khususnya nonmigas cenderung meningkat. Dengan pengaruh tersebut, kebijakan ekonomi makro diarahkan pada upaya untuk meningkatkan stabilitas ekonomi terutama dalam mengurangi tekanan inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah serta memelihara ketahanan fiskal. Peranan pemeritah dalam perekonomian dan pembangunan menjadi sangat penting, yaitu : a. Merumuskan instrumen kebijakan fiskal dan pengeluaran, b. Menganalisa pengaruh penerimaan dan pengeluaran negara terhadap kondisi perekonomian, tingkat pengangguran, dan inflasi, c. Mewujudkan sasaran ekonomi seperti pendapatan perkapita, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, stabilitas ekonomi dan sasaran sosial seperti pemerataan, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Setelah sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau DPR-RI tanggal 30 April 2001 pandangan masyarakat terhadap ketidakpastian masih berlaku dan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah semakin melemah sehingga kurs dolar Amerika terhadap rupiah meningkat menjadi Rp. 11.000,00 dan terjadi sentimen konsumen terhadap situasi dengan kinerja ekonomi yang semakin melemah dan ekspektasi terhadap perekonomian 21 yang semakin memburuk. Ekspektasi masyarakat terhadap meningkatnya inflasi lebih didorong oleh rencana pemerintah yang akan menaikan harga bahan bakar minyak atau BBM, tarif dasar listrik atau TDL, dan pajak pertambahan nilai atau PPN dalam semester I tahun 2001. Bersamaan dengan itu, mulai bulan Januari 2001, bangsa dan negara Indonesia melalui babak baru penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan dasar otonomi di seluruh daerah tingkat II yang jumlahnya mencapai 336. Babak baru tersebut menuntut peningkatan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan atau penyediaan barang publik dan pembangunan ekonomi di tingkat daerah sangat besar, khususnya dalam bidang pendidikan yang merupakan unsur esensial dalam pembangunan daerah yang telah menjadi salah satu bagian utama kebutuhan penduduk. Walaupun telah digalakkan otonomi, kemampuan daerah untuk mempertahankan dan meningkatkan penyelenggaraan pendidikan masih sangat terbatas karena pendapatan asli daerah atau PAD masih rendah dalam penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD daerah tingkat II dan kesiapan sumber daya manusia serta kemampuan manajemen sektor pendidikan tingkat daerah masih terbatas. Secara umum diyakini bahwa desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila langsung diatur oleh pemerintah pusat. Saat ini kesejahteraan masyarakat belum terwujud karena efektifitas pengeluaran APBD tidak mampu mengimbangi peningkatan PAD berupa pajak dan restribusi. Desentralisasi pajak di Indonesia merupakan komponen utama dari program otonomi daerah yang dijalankan sejak tahun 2001. Undang-undang tentang desentralisasi pajak tidak mengatur penyediaan barang publik dan pelayanan masyarakat khususnya kesehatan dan pendidikan. Aspek penting dari sistem sosial masyarakat adalah nilai masyarakat setempat terhadap profesi atau pedagang dan penghargaan terhadap kerja. Dengan kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika masih lemah dan laju inflasi cenderung meningkat, maka kebijakan ekonomi makro dalam tahun 2001 diarahkan pada dua 2 upaya pokok, yaitu : 22 a. Meningkatkan stabilitas ekonomi terutama untuk mengurangi tekanan inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Hal ini dapat dicapai dengan kebijakan fiskal yang konsisten dalam rangka penyesuaian harga BBM, TDL dan PPN. Konsistensi kebijakan fiskal akan mengurangi ekspektasi dan reaksi masyarakat yang berlebihan, b. Memelihara ketahanan fiskal melalui penyesuaian APBN 2001 karena penyesuaian ini sangat penting untuk mewujudkan kepastian pembiayaan bagi pengeluaran negara yang pada gilirannya akan membantu dalam pemulihan kepercayaan masyarakat. Dalam tahun 2002, peranan pemerintah sangat signifikan dalam pembangunan ekonomi melalui instrumen fiskal dan moneter. Sebagaimana diketahui bahwa, tujuan pemerintah melakukan intervensi dalam sistem perekonomian adalah : a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi, b. pemerataan hasil-hasil pembangunan, dan c. mempertahankan stabilisasi. Instrumen yang utama dalam kebijakan moneter adalah kebijakan suku bunga dan jumlah uang beredar sedangkan instrumen yang utama dalam kebijakan fiskal adalah pengenaan pajak dan subsidi. Kebijakan fiskal yang dilaksanakan pemerintah tertuang dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau APBN yang disusun setiap tahun. Alokasi anggaran pemerintah antar sektor merupakan indikator keberpihakan pemerintah dalam memicu pertumbuhan sektor tersebut. Pada awal pembangunan sebagian besar perhatian pemerintah diarahkan untuk pembangunan sektor pertanian terutama dalam mencapai swasembada pangan. Untuk itu, berbagai program dilaksanakan dalam rangka mendorong produksi pertanian terutama tanaman pangan mulai dari subsidi pupuk dan output, subsidi kredit pertanian, kelembagaan sampai pada investasi pemerintah untuk pembangunan infrastruktur seperti saluran irigasi dan pencetakan areal baru. Seiring dengan pergeseran paradigma perekonomian dan setelah mencapai swasembada beras pada tahun 1984, arah kebijakan pembangunan mulai bergeser 23 pada sektor industri dengan harapan mampu memicu pertumbuhan ekonomi dan mempercepat transformasi ekonomi dari sektor primer atau pertanian ke sektor industri. Berbagai kebijakan baik fiskal maupun moneter diarahkan untuk memacu pertumbuhan sektor industri mulai dari deregulasi sektor perbankan, kebijakan luar negeri, dan alokasi anggaran untuk mengembangkan infrastruktur sektor industri. Perubahan kebijakan makro ini menimbulkan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap berbagai sektor penting lainnya. Dampak langsung yang dirasakan adalah stimuli pada sektor turunannya yang secara relatif menjadi berkurang meskipun secara tidak langsung terdapat dampak positif dengan meningkatnya permintaan pada produk non migas karena pertumbuhan sektor industri. Pada dasawarsa terakhir, perubahan lingkungan strategis baik internal maupun eksternal sangat cepat dan besar pengaruhnya terhadap kebijakan pemerintah baik fiskal maupun moneter. Beberapa perubahan lingkungan strategis telah terjadi baik domestik maupun internasional, seperti 1 dinamika ekonomi global dengan segala manfaat dan kelemahannya, 2 perubahan sistem manajemen pembangunan ke arah desentralisasi dan otonomi daerah di kabupaten atau kota, dan 3 reorientasi peran pemerintah dalam pembangunan dari sebagai pelaku menjadi pemicu dan pemacu pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat. Perubahan lingkungan strategik tersebut mendorong Indonesia pada suatu situasi transisi berkepanjangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu hal terpenting yang telah dilakukan yaitu transisi dari suatu sistem sentralistis manuju sistem yang lebih terdesentralisasi. Arus desentralisasi itu sendiri merupakan sebuah proses yang dapat diciptakan menjadi sebuah kesempatan yang harus dikelola dengan baik agar dapat memberikan hasil yang diinginkan. Perubahan paradigma ini diharapkan mampu mengakomodasikan aspirasi terhadap ketidakmerataan yang merupakan tuntutan penting sehingga terciptanya otonomi daerah untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi bagi daerah yang memang memiliki kelebihan. 24 Sementara itu perubahan lingkungan strategis domestik yang sangat besar mempengaruhi kebijakan perekonomian adalah desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Perubahan lingkungan strategis tersebut berdampak pada perubahan kebijakan yang diambil pemerintah serta pada penerimaan dan belanja pemerintah. Dalam hubungan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sebagian penerimaan dalam negeri diserahkan penggunaannya kepada daerah. Sebagai konsekwensinya jumlah anggaran pembangunan yang dikelola pemerintah pusat menurun drastis. Secara garis besar, fiskal dalam keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua 2, yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut sangat menentukan kedudukan suatu pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan otonomi. Implementasi desentralisasi fiskal dan otonomi daerah yang didasarkan pada Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang direvisi dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 dan Undang-undang nomor 33 tahun 2004, memberikan kewenangan yang luas dan nyata kepada Pemerintah Daerah untuk mengelola dan mengatur sumber daya sesuai dengan kepentingan masyarakat daerahnya. Pemerintah Daerah berwenang untuk menetapkan prioritas pembangunan sesuai dengan potensi dan sumberdaya yang dimiliki. Dengan adanya perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik yang dimulai pada tahun anggaran 2001 tersebut membawa konsekwensi perlunya diadakan perubahan pendekatan pada manajemen keuangan daerah terutama pada sisi pengelolaan fiskal. Kebijakan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah juga perlu disesuaikan dengan semangat pelaksanaan otonomi daerah yakni dengan menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal. Sementara itu dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, kebijakan pengalokasian anggaran belanja daerah dalam bentuk dana perimbangan maupun dana alokasi khusus diupayakan tetap konsisten dengan kebijakan fiskal nasional Abimanyu, 2003. Kebijakan dimaksud lebih diarahkan untuk memperkecil 25 ketimpangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan tetap menjaga netralitas fiskal, memperkecil ketimpangan, serta meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas kinerja Pemerintah Daerah Mardiasmo, Sidik, 2002. Kondisi sosial ekonomi dan politik dalam negeri juga menyebabkan terjadinya persaingan kepentingan atau competition urgency yang sangat besar dari kegiatan-kegiatan yang dibiayai Pemerintah Pusat. Masalah-masalah tersebut berupa pengentasan kemiskinan, pengangguran, masalah politik dan pembayaran utang. Akibatnya, alokasi anggaran pembangunan menjadi lebih rendah. Akibat perubahan yang sangat dinamis pada aspek lingkungan strategis internal maupun eksternal dengan berbagai konsekwensi terhadap kebijakan pemerintah dan arah kebijakan pembangunan di Indonesia sehingga peneliti tertarik mengkaji dampak perubahan kebijakan Pemerintah terhadap kinerja Pemerintah Daerah. Pemberian kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menentukan arah kebijakan pembangunan daerah diharapkan akan sangat mempengaruhi target- target pembangunan nasional antara lain penciptaan lapangan kerja, penanggulangan kemiskinan, peningkatan daya saing dan pertumbuhan sektor- sektor primer dan sekunder. Pada sisi lain, pemberian kewenangan kepada daerah yang memiliki potensi pengelolaan sumberdaya lebih efisien mampu menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi. Dengan diberikannya kewenangan yang lebih besar ini, daerah harus mampu melaksanakan dan mempertanggungjawabkan kewenangannya tersebut dalam bentuk peningkatan kinerja Pemerintah Daerah dalam arti menjadi lebih efisien, efektif, akuntabel, transparan, dan responsif secara berkesinambungan Mardiasmo, 2002. Oleh karenanya, pengukuran kinerja suatu daerah sangat penting dilakukan guna mengevaluasi dan sebagai informasi yang akurat bagi perencanaan dan perumusan kebijakan selanjutnya Dwiyanto, 2003. Beberapa jenis informasi yang digunakan disiapkan dalam rangka menjamin bahwa pekerjaan yang telah ada dilakukan secara efektif dan efisien. Dalam masa proses pertumbuhan suatu daerah selalu diukur kinerjanya melalui informasi formal dan non formal, informasi pengendalian tugas, laporan anggaran dan laporan 26 nonfinansial, laporan penggunaan dan pengendalian biaya, laporan kinerja pegawai dan sebagainya. Konsep pengukuran kinerja atau scorecard yang hanya mengandalkan pada aspek finansial saja, saat ini mulai ditinggalkan karena dianggap hanya mengejar tujuan kemampuan laba jangka pendek semata. Terlebih jika pengukuran kinerja dilakukan bagi organisasi pemerintah yang tidak berorientasi profit, maka sangat diperlukan ukuran-ukuran yang lebih komprehensif. Kinerja pemerintah tidak hanya diukur melalui perspektif finansial saja, tetapi juga diukur dari perspektif nonfinansial seperti masalah kinerja pegawai yang dihubungkan dengan prestasi produksi dan kualitas pelayanan publik. Kecenderungan yang selalu menilai kinerja organisasi hanya berdasarkan pada perspektif finansial mengikuti paradigma rational goal model yang mudah diukur secara kuantitatif. Bahkan dalam kegiatan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau BUMN yang bersifat setengah mencari laba, tingkat kesehatan atau kinerja organisasi pada umumnya diukur berdasarkan tiga kriteria utama seperti rentabilitas, likuiditas, dan solvabilitas. Dari semua ukuran tersebut, secara organisatoris aspek eksternal organisasi kurang diperhatikan seperti tingkat kepuasan pelanggan, loyalitas pelanggan, employee retention, dan lain sebagainya sehingga organisasi yang hanya berorientasi pada laba tidak dijamin kelanggengannya dalam persaingan global yang mengarah pada hypercompetitive. Oleh karenanya muncul pemikiran baru yang dipelopori oleh Kaplan dan Norton tahun 1996 untuk memperkenalkan Balance Scorecard Concept sebagai suatu measurement system yang mencoba menyeimbangkan alat ukur lama yang hanya berdimensi pada profitabilitas dengan dimensi-dimensi baru seperti aspek kualitas yang memiliki elemen-elemen penyeimbangnya. Dengan pengukuran kinerja yang seimbang diharapkan dapat mengintegrasikan energi, kemampuan dan pengetahuan organisasi yang spesifik dari organisasi agar dapat mencapai long-term strategic goals. Upaya penyeimbangan ini menyangkut pihak-pihak di dalam dan di luar organisasi yang dijadikan tolok ukur guna mengimbangi scorecard yang berdimensi ukuran profitabilitas. Biasanya tolok ukur yang dikembangkan 27 adalah aspek customer satisfaction, employee retention, dan lain sebagainya. Peningkatan sales atau penurunan cost tidak ada artinya apabila menimbulkan ketidakpuasan di mata masyarakat yang pada akhirnya menurunkan tingkat kepuasan masyarakat. Demikian pula karena manajemen pengencangan ikat pinggang untuk menurunkan cost, sehingga pengiritan ini akan berdampak pada turn-over pegawai yang tinggi ataupun employee retention yang menurun sehingga banyak pegawai handal yang meninggalkan organisasi sehingga untuk pemulihannya memerlukan waktu lagi untuk recruitment, training, dan lain sebagainya. Secara konsepsional, kebijakan pemerintah di bidang hubungan keuangan pusat dan daerah akan mengacu pada beberapa konsep pembaharuan untuk mewujudkan clean dan good governance. Salah satunya akan dikembangkan balanced scorecard concept. Balanced scorecard consept yang meskipun tidak seratus persen tepat, tetapi secara filosofis dapat dianalogkan seperti hanya dengan perencanaan strategis yang telah menjadi acuan dalam perencanaan pemerintah di tingkat pusat maupun daerah. Secara formal, pengukuran kinerja pemerintah daerah diatur dalam Inpres Republik Indonesia nomor 7 tahun 1999 tentang Pedoman Penyusunan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yaitu untuk meningkatkan kinerja organisasi. Inpres ini mengamanatkan agar setiap pengalokasian atau pengeluaran anggaran pemerintah harus didasarkan pada pencapaian tujuan sesuai dengan visi dan misi setiap unit organisasi yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Ukuran kinerja didasarkan pada pencapaian output, outcome, benefit, dan impact. Model pengukuran kinerja Pemerintah Daerah untuk mendukung desentralisasi fiskal adalah balance score yang merupakan metode yang mengungkapkan betapa pentingnya untuk melihat aspek keuangan maupun non keuangan guna tercapainya keseimbangan dalam pengukuran kinerja. APBN tahun 2002 merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan rencana pembangunan tahunan atau Repeta tahun 2002 di samping mengacu kepada arah kebijakan yang digariskan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat nomor IVMPR1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN tahun 1999-2004 dan Undang-undang nomor 25 tahun 2000 28 tentang Program Pembangunan Nasional atau Propenas tahun 2000-2004, juga merupakan kelanjutan dari kebijakan fiskal tahun anggaran sebelumnya. APBN tahun 2002 di samping diselaraskan dengan kebijakan program pembangunan ekonomi yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran 2002 juga mempertimbangkan kinerja perekonomian dalam tahun anggaran 2001. Berbagai perkembangan dibidang ekonomi dan non ekonomi memberikan dampak yang kurang menguntungkan terhadap proses pemulihan ekonomi dalam tahun anggaran 2001. Di sisi ekonomi, depresiasi nilai tukar rupiah dan meningkatnya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia atau SBI yang cukup jauh dari asumsi dasar yang digunakan, memberikan tekanan dan hambatan yang cukup berat terhadap pelaksanaan APBN tahun anggaran 2001. Terhambatnya beberapa kebijakan fiskal seperti tertundanya beberapa pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan, tidak dapat diberlakukannya secara penuh rencana kebijakan kenaikan harga BBM pada awal April 2001, serta adanya pembatalan sebagian pencairan pinjaman program untuk mendukung pembiayaan pembangunan juga turut memperberat pelaksanaan APBN tahun anggaran 2001. Kondisi politik, sosial, dan keamanan di dalam negeri yang kurang kondusif yang ditandai dengan ketidakstabilan situasi politik dan terjadinya gejolak sosial dibeberapa daerah juga merupakan salah satu faktor penghambat upaya percepatan proses pemulihan ekonomi. Dengan mempertimbangkan beberapa hal di atas, kebijakan APBN tahun anggaran 2002 diarahkan pada beberapa sasaran pokok terutama upaya untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan, menciptakan stabilisasi ekonomi makro, kebutuhan memberikan stimulus terhadap kegiatan perekonomian dalam batas-batas kemampuan keuangan negara, serta mendukung proses pemulihan ekonomi. Kebijakan tersebut juga diarahkan untuk memantapkan proses desentralisasi dengan tetap mengupayakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan dengan penyerahan beberapa wewenang kepada Pemerintah Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. Sejalan dengan kebijakan tersebut, dana perimbangan diupayakan dapat mencerminkan asas keadilan dan pemerataan, termasuk dalam 29 rangka mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah. Berbagai hal tersebut, sejauh mungkin diupayakan agar dapat berjalan seiring dengan kebijakan di bidang moneter, perdagangan luar negeri dan neraca pembayaran, nilai tukar dan lalu lintas devisa, serta kebijakan sektor riil. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan belanja negara dan sekaligus untuk menjaga kemantapan dan kestabilan pendapatan negara, pengerahan dan penggalian sumber-sumber penerimaan dalam negeri terutama dari penerimaan perpajakan akan terus ditingkatkan melalui berbagai langkah seperti penyisiran terhadap kegiatan usaha di sentra-sentra ekonomi tertentu, penyisiran terhadap berbagai objek pajak atau transaksi tertentu yang dapat dijadikan petunjuk tingkat kemampuan masyarakat dalam membayar pajak, pengembangan sistem informasi dan monitoring perpajakan yang terintegrasi, serta peningkatan kualitas aparatur, pengawasan administrasi, pemeriksaan, penyidikan, penagihan secara aktif, dan penegakan hukum. Optimalisasi sumber-sumber penerimaan negara bukan pajak atau PNBP tetap akan dilaksanakan melalui berbagai langkah seperti peningkatan pencegahan dan penanggulangan pencurian atau penebangan kayu secara tidak sah, pemberantasan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia, peninjauan kembali bagian pemerintah atas laba BUMN atau pay out ratio dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan kelangsungan investasi BUMN yang bersangkutan. Khusus untuk PNBP yang berasal dari bagian pemerintah atas laba Pertamina pada tahun 2002 juga direncanakan mengalami perubahan yang cukup berarti yaitu dari 10 menjadi 50 dari keuntungan bersih Pertamina. Di bidang belanja negara, kebijakan alokasi anggaran belanja negara diarahkan untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal, percepatan restrukturisasi perbankan, penyediaan subsidi yang tepat sasaran dan berkaitan langsung dengan masyarakat luas, serta pelaksanaan program-program sosial lainnya yang diprioritaskan bagi pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Di sisi pengeluaran rutin, efisiensi dalam pengalokasian anggaran belanja tersebut terus ditingkatkan tanpa mengabaikan penyelenggaraan kajian pemerintahan dan upaya peningkatan kualitas pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat. Selain itu, dalam rangka mengurangi beban 30 subsidi BBM dalam tahun anggaran 2002 harga BBM dalam negeri akan dinaikkan yang seiring dengan peningkatan efisiensi Pertamina serta langkah- langkah yang tegas dalam pemberantasan penyelundupan BBM. Di sisi pengeluaran pembangunan dalam tahun anggaran 2002 pengeluaran pembangunan hanya terdiri dari pengeluaran pembangunan yang dikelola Pemerintah Pusat yang meliputi anggaran pembangunan departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen dan lain-lain pengeluaran pembangunan. Dalam situasi terbatasnya kemampuan penyediaan anggaran belanja pembangunan, pemanfaatan pengeluaran pembangunan dalam tahun anggaran 2002 cepat menghasilkan dan menyentuh kepentingan masyarakat luas. Searah dengan arah kebijakan yang digariskan dalam Rencana Pembangunan Tahunan atau Repeta tahun 2002, prioritas anggaran belanja pembangunan dalam tahun anggaran 2002 dititikberatkan pada : a. Pembangunan sektor pendidikan yang lebih difokuskan pada peningkatan partisipasi pendidikan dasar melalui penuntasan program wajib belajar pendidikan 9 tahun dan peningkatan mutu pendidikan. b. Pembangunan sektor kesehatan dan kesejahteraan sosial yang diarahkan untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelaksanaan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan seluruh penduduk, terutama bagi penduduk miskin, serta peningkatan dan perluasan pelayanan kesehatan sosial terutama bagi penduduk miskin, anak terlantar, lanjut usia, penyandang cacat, tuna sosial, korban bencana alam dan para pengungsi korban kerusuhan sosial di berbagai wilayah termasuk pemukimannya kembali, serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Republik Indonesia dan Pensiunan. c. Pembangunan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan melalui kegiatan yang mendukung peningkatan ketahanan pangan dan perbaikan gizi, peningkatan kesejahteraan petani dan perbaikan kehidupan pedesaan, pengembangan peternakan dalam rangka peningkatan gizi, pengembangan perkebunan rakyat yang berorientasi ekspor, serta pembangunan perikanan 31 dan kelautan dalam rangka meningkatkan potensi ekonominya, dan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir, kelautan, pulau-pulau kecil, dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan. d. Pengembangan usaha skala mikro, kecil, menengah dan koperasi melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, peningkatan akses kepada sumber daya produktif, serta pengembangan kewirausahaan dan koperasi yang memiliki keunggulan komparatif. e. Pembangunan sektor perhubungan, dengan arah kegiatan pemeliharaan, pembangunan dan pengembangan aksesibilitas, serta pelayanan jaringan perhubungan dalam rangka untuk meningkatkan mobilitas barang dan orang. f. Pembangunan penegakan hukum, keamanan, dan ketertiban masyarakat yang diarahkan untuk menanggulangi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat melalui peningkatan kekuatan, serta kemampuan Kepolisian Republik Indonesia dan aparat penegak hukum lainnya dengan melaksanakan beberapa kegiatan seperti penyelenggaraan operasi penegakan hukum dan keamanan serta ketertiban masyarakat. g. Peningkatan ketahanan, melalui kegiatan meningkatkan profesionalisme Tentara Nasional Indonesia dan kemampuan operasi dalam upaya mencegah disintergrasi nasional dan menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan membantu Kepolisian Republik Indonesia dalam menciptakan stabilitas dalam negeri. h. Penguatan politik luar negeri dan diplomasi yang ditujukan untuk memulihkan citra Republik Indonesia didunia internasional dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi nasional. Kecenderungan peningkatan transfer dana ke daerah pada tahun 2003 dan 2004 terus terjadi baik secara absolut maupun proporsi tertentu terhadap produk domestik bruto. Pada tahun 2003 jumlah dana perimbangan mencapai Rp. 116,9 trilyun atau 6 dari PDB dan pada tahun 2004 jumlah tersebut direncanakan akan diturunkan menjadi Rp 114,9 trilyun atau 5,7 dari PDB. Secara rata-rata jumlah alokasi dana perimbangan secara absolut mengalami pertumbuhan rata-rata 25 32 pada periode anggaran 19992000 sampai tahun 2004, sementara rasio PDB mengalami pertumbuhan sebesar 13,6 pertahun anggaran Kuntjoro, 2004. Dalam tahun 2003 telah dilakukan kebijakan konsolidasi fiskal oleh Direktorat Bea dan Cukai tentang reformasi kebijakan fiskal untuk meningkatkan penerimaan pajak dan iklim investasi yang lebih baik, kebijakan cukai rokok untuk mengatasi cukai palsu atas rokok sehingga penerimaan negara meningkat, reformasi administrasi kepabeanan tentang perluasan jalur prioritas dan penyempurnaan prosedur verifikasi kepabeanan untuk meningkatkan kepatuhan. Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan telah menentukan kebijakan jaring pengaman sektor keuangan atau Finansial Safety Net dan membuat draft tentang RUU Lembaga Penjamin Simpanan, dan membuat draft amandemen UU Bank Indonesia. Kebijakan asuransi dan dana pensiun juga ditentukan yaitu tentang usaha perasuransian ijin, tingkat kesehatan perusahaan asuransi, dan penyelenggara. Kebijakan kinerja BUMN juga ditetapkan dalam hal audit BUMN dan juga kebijakan tentang pasar modal. Dalam tahun 2004, kebijakan fiskal lebih dikaitkan dengan kebijakan moneter, neraca pembayaran, dan sektor riil. Keterkaitan dengan kebijakan moneter adalah karena anggaran negara merupakan salah satu komponen dari uang primer yang perubahannya berdampak kepada jumlah uang beredar. Keterkaitannya dengan neraca pembayaran tercermin dari sebagian komponen penerimaan negara yang berasal dari penerimaan ekspor migas, defisit APBN, dan transaksi berjalan yang ditutup oleh utang luar negeri dan pembayaran atas utang luar negeri juga tercermin dalam neraca pembayaran. Keterkaitan dengan sektor riil seperti belanja rutin, dana pembangunan, merefleksikan alokasi yang mempengaruhi langsung pertumbuhan ekonomi baik dari sisi permintaan maupun penawaran agregat. Keterbatasan kebijakan fiskal disebabkan oleh adanya stock utang yang sangat besar karena sebelumnya dilakukan kebijakan fiskal yang ekspansif yaitu terlalu besarnya defisit anggaran. Ada kekhawatiran dengan defisit anggaran yang terlalu besar dapat menimbulkan crowding out efect sehingga mempersempit perkembangan sektor swasta. Untuk mengatasi efek tersebut, perlu adanya pengurangan defisit anggaran, pengurangan subsidi dan 33 pengurangan pinjaman luar negeri secara bertahap, peningkatan penerimaan pajak dan penghematan pengeluaran. Dalam tahun 2004, Pemerintah menargetkan defisit anggaran sekitar 1 dari Produk Domestik Bruto serta ratio utang terhadap Produk Domestik Bruto kurang dari 60. Angka tersebut merupakan bagian dari konsolidasi fiskal jangka pendek yang mengupayakan anggaran berimbang pada tahun 2005. Strategi penurunan defisit anggaran ditempuh dengan dua 2 langkah : a. meningkatkan penerimaan negara terutama dari pajak, b. pengendalian dan penajaman prioritas alokasi belanja negara. Sementara itu, penurunan ratio utang publik terhadap PDB dilakukan dengan cara optimalisasi pengelolaan utang dan pemilihan pembiayaan alternatif yang tepat dan meningkatkan pertumbuhan PDB. Dari data yang ada, penurunan ratio utang dapat ditunjukkan bahwa tahun 2000 penurunan ratio utang 1,6 dari PDB, tahun 2001 penurunannya 2,8, tahun 2002 penurunannya 1,7, tahun 2003 penurunannya 1,8 dan tahun 2004 diperkirakan 1. Permasalahan yang berat dihadapi dalam tahun 2004 sehingga pembaharuan kebijakan pajak terus dilakukan berupa pembaharuan administrasi perpajakan sebagai kelanjutan dari pembaharuan administrasi perpajakan tahun 2003. Tujuan pembaharuan itu adalah untuk meningkatkan efektifitas pemungutan pajak serta memperluas basis pajak tanpa harus menunggu perubahan undang-undang perpajakan yang ada. Pemerintah terus menggiring wajib pajak yang belum melakukan kewajiban perpajakan dan menggiring mereka menjadi wajib pajak yang patuh. Untuk itu, dilakukan upaya : a. menyempurnakan peraturan perpajakan untuk mengakomodasikan perkembangan dunia usaha dan menciptakan iklim yang kondusif bagi masuknya investasi dan perdagangan, b. melanjutkan program ekstensifikasi wajib pajak orang pribadi atau badan yang telah memenuhi syarat dan ekstensifikasi yang sempat tertunda pada tahun 2003, c. meningkatkan low enforcement dan intensifikasi wajib pajak, 34 d. meningkatkan pelayanan terhadap wajib pajak antara lain dengan memperluas penerapan sistem e-filling dan e-payment, e. menegakkan kode etik di jajaran Ditjen Pajak. Efisiensi belanja negara merupakan aspek penting dalam kebijakan fiskal sehingga dalam tahun 2004 anggaran belanja negara difokuskan kepada : a. peningkatan efisiensi dan efektifitas pengelolaan belanja negara, b. alokasi belanja pembangunan yang cukup untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional, c. konsolidasi pelaksanaan desentralisasi fiskal. Anggaran belanja rutin ditujukan untuk : a. menjaga kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara dan meningkatkan kualitas pelayanan publik, b. memenuhi kewajiban pembayaran bunga utang, c. melaksanakan program subsidi dalam rangka mengurangi beban masyarakat miskin, membantu usaha kelompok kecil dan menengah, d. mendukung kelancaran pelaksanaan Pemilu 2004. Prioritas alokasi pengeluaran rutin lebih diarahkan kepada : a. pembelian kembali obligasi negara yang belum jatuh tempo guna mengurangi stok utang, b. pengembangan pasar sekunder obligasi yang likuid dan efisien, c. mengalihkan subsidi dari subsidi harga ke subsidi langsung kepada masyarakat yang betul-betul membutuhkan, d. menyediakan dana cadangan umum untuk mengantisipasi tidak tercapainya sasaran ekonomi makro dan untuk menghadapi berbagai keadaan darurat seperti bencana alam dan lain-lainnya. Prioritas alokasi pengeluaran pembangunan dipertajam dengan mengarahkan kepada : a. kegiatan-kegiatan penting yang bersifat mendesak untuk segera dilaksanakan, b. proyek-proyek yang cepat berfungsi dan menghasilkan manfaat bagi masyarakat, 35 c. proyek-proyek yang sedang berjalan, d. penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan bagi prasarana dan sarana umum. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, kebijakan pengalokasian anggaran belanja bagi daerah baik dalam bentuk dana perimbangan maupun dana otonomi khusus dan penyeimbang diupayakan tetap konsisten dengan kebijakan fiskal nasional. Kebijakan dimaksud adalah lebih diarahkan untuk memperkecil ketimpangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dengan tetap menjaga netralitas fiskal, memperkecil ketimpangan keuangan antar daerah, meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas kinerja Pemerintah Daerah. Krisis ekonomi menjadikan utang pemerintah meningkat menjadi 97 dari PDB dalam tahun 2000 dimana sebelum krisis hanya 24 dari PDB. Dengan utang yang tinggi sangat menyulitkan upaya konsolidasi fiskal. Pemerintah telah berusaha menurunkan tingkat utang sehingga dalam tahun 2002 menjadi 74 dari PDB dengan upaya peningkatan pajak maupun dengan retrukturisasi melalui Paris Club dan London Club dengan penjadwalan kembali pokok utang terhadap negara-negara kreditur. Tentang utang dalam negeri, pemerintah melakukan reprofiling yaitu suatu program penawaran pertukaran antar obligasi yang jatuh tempo 2004-2009 dengan obligasi seri baru yang jatuh tempo lebih panjang 2010- 2020. Maksud dilakukannya reprofiling adalah untuk mengurangi jumlah pokok obligasi yang jatuh tempo dalam periode 2004-2009 atau mengurangi ketidakmampuan membayar pokok utang. Saat ini atau dalam tahun 2004, pemerintah telah melakukan reprofiling obligasi pemerintah di empat bank BUMN. Di samping melakukan reprofiling, pemerintah juga menukar dengan asset Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN, membeli kembali obligasi dari hasil penjualan asset BPPN dan privatisasi BUMN, memperkecil kewajiban kontijensi, merestruktur utang kepada Bank Indonesia, dan meningkatkan kapasitas pengelolaan utang. Tentang pembiayaan defisit, dilakukan langkah pengendalian yang komprehensif yaitu dilakukan dalam aspek penerimaan dan pengeluaran anggaran 36 serta melalui aspek pembiayaan dan mamajemen makro ekonomi secara menyeluruh. Dari sisi pembenahan fiskal dalam jangka pendek dilakkukan pemenuhan kebutuhan pembiayaan APBN dengan pembayaran pokok utang dalam negeri dan luar negeri yang jatuh tempo tahun 2004 mencapai lebih dari Rp.65 triliun atau 3,4 dari PDB. Pembiayaan defisit dipenuhi dengan menggunakan dana di rekening pemerintah yang ada di Bank Indonesia, menargetkan penerimaan dari privatisasi dan penjualan asset yang masih ada secara optimal, menerbitkan surat utang didalam negeri, menjajagi kemungkinan penerbitan obligasi negara diluar negeri, mengelola utang dalam negeri melalui buy back obligasi negara dengan dana yang tersedia, serta melakukan debt switching yaitu penerbitan obligasi jangka penjang untuk membeli obligasi negara jangka panjang untuk membeli obligasi negara yang akan jatuh tempo dalam tahun 2004 dan mengusahakan dengan maksimal pinjaman lunak dari Consultative Group on Indonesia atau CGI dan melakukan debt swaps utang luar negeri. Di tahun 2005, APBN terdiri dari pola pendapatan negara dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer, surplusdefisit anggaran, dan pembiayaan. Pendapatan negara dan hibah, terdiri dari : a. pendapatan dalam negeri : a. penerimaan perpajakan : - pajak dalam negeri : - pajak penghasilan : - migas - non migas - pajak pertambahan nilai - pajak bumi dan bangunan - BPHTB - cukai - pajak lainnya - pajak perdagangan internasional : - bea masuk - pajak pungutan ekspor b. penerimaan bukan pajak : - penerimaan sda - migas - non migas - bagian laba BUMN 37 - PNBP lainnya. b. hibah. Belanja negara dikelompokkan menjadi : a. belanja pemerintah pusat : a. belanja pegawai b. belanja barang c. belanja modal d. pembayaran bunga uang : - utang dalam negeri - utang luar negeri e. subsidi : - perusahaan negara : - lembaga keuangan - lembaga non keuangan - perusahaan swasta f. belanja hibah g. bantuan sosial h. belanja lainnya b. belanja daerah : a. dana perimbangan : - dana bagi hasil - dana alokasi umum - dana alokasi khusus b. dana otonomi khusus dan penyesuaian : - dana otonomi khusus - dana penyesuaian Kemudian keseimbangan primer dengan angka tersendiri, surplus atau defisit adalah pendapatan negara dikurangi dengan belanja negara, dan pembiayaan. Pembiayaan terdiri dari : a. pembiayaan dalam negeri : a. perbankan dalam negeri b. non perbankan dalam negeri : - privatisasi dan penjualan asset prog retsrukturisasi perbankan - Surat utang negara - penyertaan modal negara. b. pembiayaan luar negeri : a. penarikan pinjaman luar negeri - pinjaman program - pinjaman proyek b. pembayaran cicilan pokok utang luar negeri 38 Kebijakan fiskal tahun 2005 adalah kebijakan sebagai penerusan kebijakan fiskal tahun 2004 seperti kebijakan melakukan kampanye sadar dan peduli pajak melalui billboard, videotron, highway information system, dan komik pajak untuk konsumsi anak-anak serta melalui media elektronik, pengembangan dan pengawasan terhadap e-filling, e-registration, e-payment, dan e-counseling, peningkatan kinerja tim optimalisasi penerimaan pajak, dan melanjutkan program canvassing, manajemen pemeriksaan pajak, dan penagihan tunggakan pajak. Agar kemampuan ekonomi masyarakat dapat terdorong, telah dilakukan kebijakan intensifikasi perpajakan seperti penyesuaian besaran penghasilan tidak kena pajak untuk tiap wajib pajak sehingga mengubah penerimaan gaji bersih yang dibawa pulang oleh pegawai atau karyawan, pemberian fasilitas fiskal bagi perusahaan yang membantu korban bencana alam berupa deductible expense. Peningkatan pelayanan administrasi terus dilakukan baik dalam bidang PPN, PBB, cukai, bea masuk dan lain-lainnya.

4. Kebijakan Fiskal di Indonesia tahun 2009 – 2011