Pembaharuan Kebijakan Pajak Kebijakan Fiskal di Indonesia tahun 1950-2000

15 mengintensifkan pajak atas pendapatan perorangan atau perseroan dan pajak tanah permukiman di perkotaan. Pada periode ini tidak dilaksanakan pajak ekspor karena untuk meningkatkan perdagangan luar negeri dibalik peningkatan pajak impor. Pajak merupakan salah satu pendapatan Pemerintah disamping bantuan luar negeri. Rata-rata bantuan luar negeri terhadap pengeluaran pembangunan dalam Pelita I berkisar 57, dalam Pelita II berkisar 36, dalam Pelita III berkisar 30 dan dalam Pelita IV berkisar 50 Umar Basalim, 1993. Dalam awal Pelita III atau tahun 197980- 198081 muncul harapan yang cerah akan pendapatan pajak pendapatan atau PPh karena ditetapkannya pembaharuan pajak tahun 1981. Dalam tahun berikut yaitu tahun 1988 atau dalam akhir Pelita IV atau 198889 pajak pertambahan nilai atau PPN meningkat 3 kali dibanding dengan tahun 1983 walaupun pajak bumi dan bangunan atau PBB masih kecil. Selama tahun 1983 hingga tahun 1988 potensi dalam meningkatkan PPN masih tinggi yaitu 53 dan PPh 35 Marie Muhammad, 1988. APBN awal Pelita V atau 198990 sejalan dengan Paket 27 Oktober 1988 atau Pakto 27, 1988 yaitu suatu APBN yang diupayakan untuk meningkatkan daya beli masyarakat luas atau untuk pemerataan dan penyehatan neraca pembayaran. Pengeluaran dalam APBN ditujukan untuk meningkatkan kemampuan golongan ekonomi lemah, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan pendapatan nasional. Suatu kenyataan bahwa dalam APBN tahun 198990 pengeluaran pembangunan yang dibiayai dengan tabungan sebesar 13,75 dan 86,25 dibiayai dari pinjaman luar negeri. Oleh karena itu, peranan kebijakan pajak masih sangat lemah sehingga kenaikan penerimaan pajak sangat diharapkan hingga saat ini.

c. Pembaharuan Kebijakan Pajak

Keadaan yang teruraikan di atas merupakan suatu tanda keberhasilan dan pembaharuan kebijakan pajak yang dimulai sejak tahun 1981. Pembaharuan itu dilakukan oleh Pemerintah karena didorong oleh suatu pandangan yang kuat 16 bahwa dalam Pelita berikutnya khususnya mulai Pelita V atau 198990 sd 199394 akan terjadi penurunan yang cepat dalam ketergantungan pada bantuan luar negeri dan pada pajak minyak sehingga pengumpulan pajak non minyak diintensifkan. Dalam bulan Desember 1983 dan 1985 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui undang-undang perpajakan, seperti : a Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Peraturan dan Prosedur Pajak Umum, b Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Pendapatan dan pajak pertambahan nilai terhadap barang dan jasa serta pajak penjualan barang mewah, c Undang-undang nomor 12 tahun 1985 tentang PBB, d Undang-undang nomor 13 tahun 1985 tentang pajak materai. Penerimaan dalam negeri yang berupa pajak sangat diandalkan oleh Pemerintah karena penerimaan dalam negeri lainnya seperti minyak tergantung pada pasaran dunia dan kebijakan OPEC dan penerimaan ekspor nonmigas juga tergantung pada kebijakan quota impor, retribusi impor, dumping, dan kebijakan lainnya. Kebijakan pajak dapat bersifat fleksibel atau kenyal dalam pengaturan perekonomian. Reformasi perpajakan meliputi aspek perumusan dan pembuatan peraturan perundang-undangan pajak yang menyangkut utility ekonomi, meningkatkan keadilan, pemerataan beban, peningkatan kepatuhan pajak, penyempurnaan administrasi pajak dengan kepastian hukum, memberikan kemudahan dan pelayanan yang prima kepada masyarakat wajib pajak dan berusaha meningkatkan pendapatan negara dari pajak. Sesungguhnya jauh sebelum jaman reformasi pembaharuan perpajakan nasional I telah dilakukan yaitu dalam tahun 1983 sd 1985, pembaharuan perpajakan yang ke II dilakukan dalam tahun 1994 dan 1997. Dalam pembaharuan perpajakan yang I melahirkan undang-undang perpajakan : a Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, b Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, 17 c Undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang PPN barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah, d Undang-undang nomor 12 tahun 1985 tentang PBB, e Undang-undang nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Materai. Dalam pembaharuan perpajakan yang II, melahirkan undang-undang perpajakan : a Undang-undang nomor 9 tahun 1984 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, b Undang-undang nomor 10 tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan, c Undang-undang nomor 11 tahun 1994 tentang PPN barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah, d Undang-undang nomor 12 tahun 1994 tentang PBB. Pembaharuan perpajakan yang ke III melahirkan undang-undang perpajakan : a Undang-undang nomor 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Negara yang mengundangkan tatacara sengketa pajak diantara wajib pajak dan Pemerintah, b Undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang memerinci pendapatan dari pajak dan retribusi. Jenis pajak daerah tingkat I berupa pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor, serta jenis pajak daerah tingkat II berupa pajak hotel dan restaurant, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian C dan pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Retribusi terdiri dari jasa umum, jasa usaha dan perijinan tertentu. c Undang-undang nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dan Surat Paksa yang diterbitkan karena wajib pajak atau penanggung tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Melakukan penyitaan jika wajib pajak atau penanggung tidak memenuhi surat penagihan pajak. d Undang-undang nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara bukan Pajak yang terdiri dari penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah, penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam, penerimaan 18 dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah, penerimaan berdasarkan keputusan pengadilan dan berasal dari pengenaan denda administrasi, penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah dan penerimaan yang diatur dalam undang-undang tersendiri. e Undang-undang nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas tanah dan bangunan. Pajak dikenakan kepada yang menerima pribadi atau badan hal atas tanah atau bangunan yang terdiri dari pemindahan hak dan pemberian hak baru. Hak atas tanah atau bangunan adalah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan. Perekonomian menjelang tahun 2000 yang telah diwarnai oleh krisis ekonomi yang dimunculkan dengan krisis moneter mulai tahun 1997, membuat Pemerintah harus mengatasinya dengan memulai suatu strategi kebijakan fiskal yang baru agar masyarakat percaya dengan pengelolaan fiskal yang sehat. Langkah awal yang dilakukan oleh Pemerintah adalah konsolidasi fiskal untuk memulihkan kepercayaan dan penurunan kebangkrutan fiskal, kemudian dilanjutkan dengan reformasi fiskal yang lebih mengakar, reformasi perpajakan, reformasi kepabeanan, reformasi anggaran dan reformasi departemen keuangan Budiono, 2004. Dengan krisis moneter tahun 1997 telah mengubah kondisi anggaran pendapatan dan belanja negara menjadi defisit, ekonomi sektor riil macet dan terjadi inflasi sekitar 78, kurs mata uang asing meningkat, dan PDB anjlog 13. Setelah rekapitalisasi perbankan, utang pemerintah menjadi 96 dari PDB atau sebesar Rp.1.226,1 triliun setara dengan US 60,8 miliar. Sebagian utang itu adalah akibat dari kebijakan bantuan likuiditas Bank Indonesia BLBI, kebijakan penjaminan bank, kebijakan rekapitalisasi bank, dan kebijakan diversifikasi. Kebijakan BLBI adalah untuk mengatasi situasi darurat berupa kelangkaan likuiditas bank akibat arus dana keluar yang tidak terbendung yang dipicu oleh krisis di Thailand. Pembelian dolar terjadi besar-besaran dan dana rupiah nasabah bank ditarik untuk ditukarkan dengan dolar sehingga bank-bank kesulitan rupiah. Dana keluar dari bank- bank ditambah dengan peristiwa-peristiwa ekonomi yang 19 tidak mendukung seperti penutupan 18 bank sekaligus Nopember 1997, inflasi, orang enggan menyimpan uang rupiah, kegiatan ekonomi macet, terjadi pemutusan hubungan kerja, kehidupan semakin berat, dan meledaknya kerusuhan di berbagai daerah. Kondisi secara keseluruhan tersebut sangat menekan dunia perbankan yaitu bank satu tidak dapat meminjam dari bank lain, pinjaman luar negeri tidak mungkin. Kalau hal tersebut dibiarkan, bank-bank akan hancur total. Oleh karena itu, satu-satunya yang dapat menyelamatkan bank adalah Bank Indonesia. Kebijakan penjaminan bank dimulai Maret 1998 dimaksudkan untuk mengatasi situasi perbankan yang sudah benar-benar kehilangan kepercayaan dari para nasabahnya berupa penarikan rupiah untuk membeli mata uang asing atau simpanannya dipindahkan ke bank asing. Kebijakan ini sangat tepat terbukti sewaktu likuidasi banyak bank tidak terjadi kondisi sewaktu penutupan 16 bank sebelumnya. Kebijakan penjaminan bank ini merupakan sumber kedua timbulnya utang dalam negeri pemerintah. Kebijakan rekapitalisasi bank dilakukan setelah proses penutupan bank tahun 1998-1999 selesai sehingga bank yang masih bertahan dapat beroperasi secara normal kembali. Bank yang bertahan yang dibebani kredit macet dan tidak mempunyai modal yang memadai harus melewati proses penyehatan khusus BPPN termasuk pembersihan neracanya dari kredit macet dan penambahan modal atau rekapitalisasi. Tindakan rekapitalisasi dipandang sebagai pasyarat pentingnya bagi pemulihan ekonomi. Bank diwajibkan memenuhi rasio kecukupan modal minimal 4 akhir tahun 1998, jika ada kekurangan, pemilik lama diminta menyetor paling tidak seperlimanya dan sisanya ditutup oleh pemerintah dalam bentuk obligasi pemerintah. Ternyata yang kekurangan modal terbesar adalah bank-bank pemerintah. Rekapitalisasi inilah sebagai sumber utang pemerintah yang sangat besar. Dengan kebijakan rekapitalisasi menyebabkan kepemilikan saham bank sebagaian terbesar dimiliki oleh pemerintah. Hal ini tidak baik dan tidak akan sehat karena risiko yang ada di bank. Oleh karena itu, kebijakan ini diikuti dengan kebijakan menjual kembali saham tersebut atau disebut divestasi. 20

3. Kebijakan Fiskal di Indonesia tahun 2001 – 2008