lxix
menanggung kerugian sebagai akibat dari adanya suatu peristiwa atau kejadian yang menimpa obyek perjanjian dan bukan karena kesalahan dari
salah satu pihak “.
35
1. Tidak dapat diduga sebelumnya Dalam Pasal 1237 KUH Perdata yang berbunyi “ dalam hal adanya
perikatan untuk memberikan sesuatu kebendaan tertentu maka sejak perikatan itu dilahirka adalah atas tanggungan kreditur atau si berpiutang.
Dengan demikian maka sejak lahirnya perjanjian untuk menyerahkan sesuatu itu, sejak saat itu resiko ada di tangan pihak yang berhak menerima
penyerahan itu. Dan yang dimaksudkan oleh pasal itu adalah suatu perjanjian yang
meletakkan kewajiban kepada satu pihak saja, misalnya Hibah. Selanjutnya ayat 2 dari pasal itu mengatakan “ Apabila pihak yang berhutang lalai
maka sejak saat kelahirannya itu resiko atas barang yang dibebankan kepadanya meskipun ada kemungkinan ia bebankan untuk mengganti
kerugian “. Hal ini karena suatu perikatan untuk memberikan sesuatu barang tertentu adalah suatu perikatan yang sepihak.
Dalam pengertian resiko sebagaimana sudah dikemukakan di atas, disana dikatakan “kewajiban untuk menanggung suatu kerugian sebagai
akibat suatu peristi-wa atau kejadian diluar kesalahan kedua belah pihak”, disini yang dimaksudkan adalah “overmacht”.
Ciri-ciri overmacht tersebut antara lain : 2. Tidak dapat dihindari
3. Tidak dapat diperhitungkan sebelumnya sehingga orang tidak
dapat melepaskan diri dari peristiwa.
36
35
Meliala A. Qirom Syamsuddin, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta: Liberty, hal 49.
36
Ibid, hal 50.
lxx
Perlu pula diingat, bahwa overmacht yang dimaksudkan disini adalah overmacht yang absolut, yaitu sama sekali peristiwa itu tidak dapat dihindari
lagi sehingga barang yang menjadi obyek dari perjanjian itu menjadi musnah, jadi yang dimaksudkan disini bukan overmacht yang relatif, karena
overmacht yang relatif itu tidak mengakibatkan barang yang menjadi objek perjanjian musnah, melainkan karena sesuatu hal maka barang itu tidak
dapat dibawa, misalnya karena ada peperangan dan setelah perang tersebut usai barang tersebut dapat dibawa, jadi hanya tertentu untuk sementara
waktu saja. Selanjutnya dapat pula kita lihat dalam Pasal 1460 KUH Perdata, yang
menyatakan “ Jika barang yang dijualnya berupa suatu barang yang sudah ditentukan maka barang itu sejak saat pembelian adalah tanggungan si
pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan pihak penjual berhak menuntut harganya “.
Sebaliknya Pasal 1545 KUH Perdata mengatakan “ Jika suatu barang tertentu yang telah diperjanjikan untuk ditukar, musnah di luar kesalahan
pemiliknya maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan pihak yang telah memenuhi perjanjian dapat menuntut kembali barang yang telah
diberikannya dalam tukar-menukar itu“. Kalau dilihat kedua pasal tersebut, maka satu sama lain adalah
berbeda atau dapat pula kita katakan “ kedua pasal tersebut adalah bertentangan. Pasal 1460 KUH Perdata meletakkan resiko pada pundaknya
pihak pembeli sedangkan Pasal 1545 KUH Perdata meletakkkan resiko pada pundak masing-masing yang dipertukarkan. Pemilik adalah debitur terhadap
lxxi
barang yang dipertukarkan dan musnah sebelum diserahkan. Melihat peraturan tentang resiko yang saling bertentangan ini,
penulis lalu bertanya manakah yang dapat kita jadikan sebagai pedoman dalam perjanjian timbal balik pada umumnya dan manakah yang merupakan
pengecualian , terutama dalam hal perjanjian jual beli barang ? Dalam hal ini harus dijawab, apa yang ditentukan untuk perjanjian
tukar-menukar itu harus dipandang sebagai azas yang berlaku pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian timbal balik karena peraturan yang
diletakkan dalam pasal 1545 KUH Perdata itu memang setepatnya dan seadilnya, bahwa resiko mengenai suatu barang itu dipikulkan kepada
pemiliknya. Seorang pembeli barang yang baru menyetujui menurut Pasal 1460
KUH Perdata, dia sudah dibebani dengan resiko mengenai barang itu, ini memang tidak adil oleh karena itu maka Pasal 1460 KUH perdata, banyak
para sarjana yang mengajukan keberatan. Dalam hal ini kita misalkan barang. Barang dalam suatu jumlah tertentu belum diserahkan kepada
pihak pembeli lalu barang tersebut sudah menjadi tanggungan pihak pembeli adalah suatu yang tidak adil. Kalau demikian, lalu mengapa Pasal
1460 dimasukkan dalam KUH Perdata ? Ini kalau dilihat dari sejarahnya, Pasal 1460 KUH Perdata, sebenarnya
dikutip dari Code Civil Perancis, padahal saat berpindahnya hak milik dalam Code Civil Perancis berbeda dengan KUH Perdata.
Menurut sistem Code Civil Perancis dalam suatu jual-beli barang tertentu, hak milik berpindah pada saat ditutupnya perjanjian jual-beli,
sedangkan menurut sistem KUH Perdata dalam segala macam jual-beli, hak milik itu berpindah kalau barangnya sudah diserahkan kepada pihak
lxxii
pembeli. Barang adalah contoh suatu barang yang diperjual-belikan dengan
tata cara pengukuran atau dihitung banyaknya. Dalam hal yang demikian ini sebelum dihitungnya sejumlah barang yang diperjual-belikan maka resiko
masih ada pada pihak penjual Pengusaha, tetapi setelah barang itu dihitung jumlahnya, maka saat itu resiko berpindah pada pihak pembelinya.
Jadi disini tergantung pada sudah dihitung, diukur. Kalau barang semen itu sudah dihitung, barang dianggap sudah disendirikan Pasal 1461 KUH
Perdata. Perlu pula diketahui, sehubungan dengan Pasal 1460 KUH Perdata
sebagaimana sudah kita uraikan di muka, bahwa terdapatnya suatu keadaan yang tidak adil itu, maka sejak saat timbulnya Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 3 Tahun 1963, resiko yang diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata itu dianggap tidak berlaku lagi. Dalam menghadapi resiko sebagaimana
yang tersebut dalam pasal 1460 KUH Perdata itu, setelah adanya Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut kita melihat secara kasuistis, bahkan
kalau perlu kerugian itu dapat dipikul oleh kedua belah pihak. Dengan demikian maka pembeli hanya membayar separuh saja dari harga, dan si
penjualpun menerimanya. Jadi masing-masing menderita 50. Inilah jalan keluar yang diambil oleh Mahkamah Agung.
Dalam hal perjanjian jual-beli barang misalnya penyerahan belumlah dilakukan oleh pihak Pengusaha kepada pembeli, tetapi barang barangyang
ingin dibeli oleh pihak pembeli telah dihitung dan akan dikirimkan dan diserahkan kepada pihak pembeli, hanya saja belum dibayarkan secara
tunai oleh pembeli. Ketika barang yang akan diserahkan barang tersebut kepada pihak
lxxiii
pembeli, di dalam perjalanan timbul hujan yang sangat lebat, dan kemudian usaha sudah semaksimal mungkin telah dilakukan oleh Pengusaha untuk
melindungi barang tersebut dari resiko tetapi tetap saja barang yang akan diserahkan tersebut mengalami kerusakan karena terkena air. Dalam hal
tersebut maka timbullah resiko. Pada uraian di atas maka kerugian yang diderita ditanggung secara
bersama-sama baik oleh Pengusaha sebagai pihak penjual maupun juga pihak agen sebagai pembeli.
Tetapi jika kenyataannya terdapat kesalahan dari pihak penjual Pengusaha terhadap barang yang diperdagangkannya maka pihak pembeli dapat saja
membatalkan atau menuntut penukaran barang yang dibelinya tersebut dengan mutu yang baik sesuai dengan harga belinya. Dan pembatalan maupun penukaran
tersebut tidak dapat dilaksanakan jika penyerahannya sudah dilakukan kecuali pihak pembeli mampu membuktikan bahwa pihak Pengusaha telah melakukan
wanprestasi, sebagaimana diuraikan pada bagian bab II dalam pembahasan skripsi ini.
Sedangkan resiko dari seorang pembeli dapat diuraikan sebagai berikut : Barang yang dibeli agen sudah diserahkan oleh Pengusaha hanya saja barang
tersebut masih dimintakan oleh agen untuk tetap disimpan di gudang Pengusaha dengan alasan bahwa agen belum menentukan kapan akan membawa barang yang
sudah dibeli tersebut. Dalam hal perjanjian penyerahan barang dilakukan di Pengusaha dan pengangkutannya dilakukan sendiri oleh konsumen. Sebelum
barang diangkat ternyata timbul banjir sehingga banyak barang dari si agen yang ditempatkan di Pengusaha menjadi rusak, sedangkan Pengusaha sudah berupaya
untuk menyelamatkan barang tersebut. Maka dalam hal ini resiko tersebut menjadi tanggung-jawab pihak agen konsumen dan oleh sebab itu tidak ada ganti
kerugian yang ditimbulkan oleh pihak penjual Pengusaha.
lxxiv
C.
Tahapan Penyelesaian Sengketa Perjanjian Keagenan 1.
Tahap Pemanggilan
Dalam tahap ini pihak Perusahaan melakukan pemanggilan terhadap Agen baik Agen Koordinator, Agen Produksi maupun Agen Debit untuk menyelesaikan
penyimpangan yang terjadi dengan cara kekeluargaan yaitu musyawarah untuk mencapai mufakat. Misalnya apabila agen baik agen koordinator, agen produksi
maupun agen debit tidak melaksanakan isi perjanjian tersebut seperti penggelapan dana milik Perusahaan maka Agen baik Agen Koordinator, Agen Produksi maupun
Agen Debit harus mengembalikan uang yang telah digelapkannya tersebut kepada Pihak Perusahaan. Apabila Penyelesaian Kekeluargaan ini dengan cara
musyawarah untuk mufakat tidak tercapai maka penyelesaiannya dilakukan pada tahap berikutnya yaitu Tahap Peringatan.