Sistematika Penulisan Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia (Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK)

negara yang terdakwanya telah meninggal dunia juga dilakukan untuk melengkapi data dalam penyusunan skripsi ini. 4. Analisis Data Data sekunder yang telah diperoleh dan disusun secara sistematis, kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif dilakukan untuk menjawab permasalahan yang ada di dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini. Keseluruhan skripsi ini meliputi 5 lima bab yang secara garis besar isi dari bab perbab diuraikan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini dimulai dengan mengemukakan latar belakang, permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Kewenangan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana

Bab ini menguraikan mengenai Kewenangan Jaksa Dalam Peradilan Pidana, serta Perbandingan Kewenangan Jaksa Sebagai Pengacara Negara Dan Jaksa Sebagai Penuntut Umum. Universitas Sumatera Utara

Bab III Perbandingan Proses Pengembalian Kerugian Keuangan Negara

Dalam Tindak Pidana Korupsi Antara Instrumen Perdata Dan Instrumen Pidana Bab ini menguraikan mengenai Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Instrumen Hukum Pidana dan mengenai Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Instumen Hukum Perdata.

Bab IV Kewenangan Jaksa Pengacara Negara JPN Dalam Gugatan

Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia Bab ini menguraikan mengenai Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Untuk Melakukan Gugatan Perdata Terhadap Ahli Waris Terdakwa Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia, Hambatan- Hambatan Yang Dapat Timbul Dalam Penggunaan Instrument Perdata Untuk Mengembalikan Kerugian Keuangan Negara, Upaya Untuk Memaksimalkan Penggunaan Instrument Perdata Untuk Mengembalikan Kerugian Keuangan Negara, dan Contoh Kasus serta Analisis Kasus.

Bab V Kesimpulan Dan Saran

Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran yang berisikan penyimpulan dari seluruh bab yang terdapat dalam penulisan skripsi ini sebagai jawaban permasalahan dan kemudian dibuat saran-saran yang merupakan sumbangan pemikiran penulis terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam skripsi. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti adalah Kejaksaan Republik Indonesia menjadi subsistem dari sistem ketatanegaraan Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar 1945. Defenisi Jaksa dan Penuntut Umum, berdasarkan Undang-undang No. 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu: 1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatann hukum tetap. 2. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Oleh karena kedudukannya tersebut maka dalam melakukan penuntutan, ia wajib mengambil langkah-langkah sebagai berikut : 1. Menerima dan memeriksa berkas 2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan segera mengembalikan berkas pada penyidik dengan memberikan petunjuk-petunjuk untuk kesempurnaan ; Universitas Sumatera Utara 3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan, atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik ; 4. Membuat surat dakwaan ; 5. Melimpahkan perkara ke pengadilan ; 6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan persidangan dengan disertai panggilan, kepada terdakwa maupun saksi-saksi ; 7. Melakukan penuntutan ; 8. Menutup perkara demi kepentingan hukum ; 9. Melakukan tindakan lain dalam ruang lingkup dan tanggung jawab sebagai penuntut umum; 10. Melaksanakan penetapan hakim. Pasal 284 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP yang menyatakan : “Dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan : “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Universitas Sumatera Utara Maka berdasarkan ketentuan ini menjadi jelas kiranya bahwa dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sendiri terdapat dasar hukum tentang kedudukan Jaksa sebagai penyidik untuk tindak pidana yang bersifat khusus lex specialis. Ketentuan yang bersifat khusus ini sejalan dengan Pasal 26 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan : “Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Berdasarkan uraian tersebut maka Kejaksaan berkedudukan sebagai penyelidik dan penyidik dalam tindak pidana korupsi dan penuntut umum sesuatu perkara di muka persidangan. Dalam KUHAP tidak memberi pengaturan yang lebih lanjut, mengenai kedudukan Kejaksaan apakah sebagai perpanjangan tangan penguasa atau tidak, hanya menjelaskan Jaksa yang melaksanakan fungsi yudikatif. 2. Wewenang Jaksa menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Jaksa menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah Universitas Sumatera Utara “Pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Mencermati isi Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 ini, maka jaksa mempunyai beberapa wewenang penting yaitu: 1. Sebagai penuntut umum 2. Sebagai pelaksana putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap 3. Serta adanya wewenang penting yang dijabarkan lebih lanjut di dalam Pasal 30 undang-undang tersebut. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 mengatur secara tegas bahwa Kejaksaan memiliki kemerdekaan dan kemandirian dalam melakukan kekuasaan Negara dalam bidang penuntutan. Kedudukan Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan yang melakukan kekusaan negara di bidang penuntutan, bila dilihat dari sudut kedudukan mengandung makna bahwa Kejaksaan merupakan suatu lembaga yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. Sementara itu, bila dilihat dari sisi kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan berarti Kejaksaan menjalankan kekuasaan yudikatif. Sehubungan dengan makna kekuasaan Kejaksaan dalam melakukan kekuasaan Negara di bidang penuntutan secara merdeka. Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, dan pengaruh kekuasaan lainnya. Hal ini berarti bahwa negara akan menjamin Jaksa di dalam Universitas Sumatera Utara menjalankan profesinya tanpa intimidasi, gangguan, godaan, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum teruji kebenarannya, baik terhadap pertanggung jawaban perdata, pidana, maupun lainnya. Kedudukan Kejaksaan dalam peradilan pidana bersifat menentukan karena merupakan jembatan yang menghubungkan tahap penyidikan dengan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Berdasarkan doktrin hukum yang berlaku suatu asas bahwa Penuntut Umum mempunyai monopoli penuntutan, artinya setiap orang baru bisa diadili jika ada tuntutan pidana dari Penuntut Umum, yaitu lembaga kejaksaan karena hanya Penuntut Umum yang berwenang mengajukan seseorang tersangka pelaku tindak pidana ke muka sidang pengadilan. 16 Pada tahun 2004 dengan keluarnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, kedudukan jaksa semakin mempertegas posisi Jaksa sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan Pelaksana Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan wewenang lain berdasarkan Undang-undang. 3.Wewenang Jaksa dalam Tindak Pidana Korupsi Ketentuan dalam Pasal 30 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa: 16 Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 52 Universitas Sumatera Utara “Salah satu tugas dan kewenangan Kejaksaan di bidang pidana adalah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”. Penjelasan Pasal ini menyatakan bahwa, kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan Jaksa selaku penyidik tindak pidana korupsi dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan Undang-undang tersebut. Rumusan mengenai kewenangan menyidik di dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut menyebutkan bahwa penyidik untuk tindak pidana korupsi adalah Kejaksaan yang mempunyai hak privilege yakni hak khusus untuk dapat melakukan tindakan penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi. Istilah penyidikan merupakan padanan kata yang berasal dari bahasa Belanda yakni opsporing, dari bahasa Inggris yakni investigation. 17 Menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP, yang dimaksud dengan “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. 17 Ibid, hal. 55 Universitas Sumatera Utara Menurut Andi Hamzah, bagian-bagian hukum acara pidana yang berkaitan dengan penyidikan adalah : 18 1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik. 2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian. 4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan semantara. 6. Penggeledahan. 7. Pemeriksaan atau Interogasi. 8. Berita acara Penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat. 9. Penyitaan. 10. Penyampingan perkara. 11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan. Terhadap tindak pidana korupsi, sebelum lahirnya Undang-undang No. 31 Tahun 1999, penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan oleh Kejaksaan, tetapi setelah lahirnya Undang-undang No. 31 Tahun 1999, yaitu Pasca Agustus 1999, penanganan terhadap tindak pidana korupsi memiliki berbagai pemahaman. Ada pandangan yang mengatakan bahwa pihak kepolisian yang berhak melakukan 18 Andi Hamzah, Pengertian Hukum Acara Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 122 Universitas Sumatera Utara penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, namun ada pandangan lain yang mengatakan dengan bertitik tolak dari ide bahwa materi tindak pidana korupsi sebagai bagian dari hukum pidana khusus ius specia, ius singular bijzonder strafrecht, sebenarnya Kejaksaan berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. 19 Sehubungan dengan ketidakjelasan ini, muncullah argumen-argumen yang mendasari bahwa Kejaksaan berwenang menangani penyidikan tindak pidana korupsi yaitu : 20 a. Bahwa ketentuan hukum pidana dapat dikategorikan menjadi hukum pidana umum ius commune dan hukum pidana khusus ius special, ius singular bijzonder strafrecht. Ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan untuk berlaku secara umum, sedangkan yang dimaksud dengan ketentuan hukum pidana khusus diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur kekhususan subjek dan perbuatan yang khusus bijzonder lijk feiten. Tindak pidana korupsi sebagai bagian dari tindak pidana khusus juga memiliki kekhususan dalam hukum acara. b. Berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 tentang Pembentukkan Tim Pemberantasan Korupsi yang menentukan bahwa ketua timnya adalah Jaksa Agung, sesuai dengan Pasal 5 yang berbunyi: 19 Yudi Kristiana, Opcit, hal. 80 20 Ibid, hal. 80-88 Universitas Sumatera Utara “Ketua Tim Pemberantasan Korupsi adalah Jaksa Agung, yang dalam melakukan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden”. Sedangkan tugas dan fungsinya sebagai koordinator penyidik diatur dalam Pasal 3, yang berbunyi : “Tim Pemberantasan Korupsi mempunyai fungsi memimpin, mengordinir dan mengawasi semua alat-alat penegak hukum yang berwenang, baik sipil maupun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi, baik yang dilakukan oleh oknum sipil maupun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia”. c. Berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat 2 yang berbunyi : “Dalam waktu 2 tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana disebutkan pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan dinyatakan tidak berlaku lagi”. Penjelasan dari Pasal 284 ini terdapat dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang berbunyi : “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat 2 KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Ketentuan yang menyatakan bahwa jaksa dapat menyidik tindak pidana tertentu, terdapat dalam Pasal 32 huruf b Undang-undang No. 5 Tahun 1991, yang menyatakan bahwa : “Jaksa Agung mengordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait berdasarkan undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden”. d. Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 dan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1991 yang menyatakan bahwa dalam pedoman pelaksanaan pengawasan, Universitas Sumatera Utara para menteri pemimpin lembaga pemerintah non departemenpemimpin instansi lainnya setelah menerima laporan adanya suatu perbuatan tindak pidana, maka pemimpin melakukan pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal terdapat indikasi tindak pidana khusus yakni tindak pidana korupsi. e. Ketentuan pasal 39 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa : “Jaksa Agung mengordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer”. f. Keppres Nomor 86 Tahun 1999 tentang susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, dalam Pasal 16 menyebutkan bahwa: “Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana khusus yang bertanggung jawab langsung kepada jaksa agung”. g. Undang-undang Kejaksaan Nomor 5 Tahun 1991 jo. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004. Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 diatur tidak secara tegas mengenai kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Namun demikian, terdapat ketentuan yang secara tidak langsung mengakui eksistensi kejaksaan untuk menyidik tindak pidana korupsi. Pasal 29 menyatakan bahwa disamping tugas dan wewenang melakukan penyidikan dalam Undang-undang Kejaksaan, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain yang berkaitan dengan KUHAP Pasal 284 ayat 2, Undang- Universitas Sumatera Utara undang No. 03 Tahun 1971 jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-undang lain. Dalam berkembangnya Undang-undang Kejaksaan yang baru yakni Undang- undang Nomor 16 Tahun Tahun 2004 diatur secara jelas mengenai penyidikan yakni dalam Pasal 30 ayat 1 huruf d yang menyebutkan : “Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”. h. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Pasal 33 dinyatakan bahwa : “Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”. Dan ketentuan dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga menyatakan : “Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.

B. Perbandingan Kewenangan Jaksa sebagai Pengacara Negara dan Jaksa sebagai Penuntut Umum

Dokumen yang terkait

Pengadaan Barang Yang Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara Ditinjau Dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)

6 100 148

Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

2 48 143

Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia (Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK)

0 55 105

Kewenangan Bpkp Dan Kejaksaan Dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara Terhadap Tindak Pidana Korupsi

0 78 186

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Kewenangan Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengambilan Aset Hasil Korupsi

4 82 183

Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Faktor Yang Meringankan Hukuman Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 40 121

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 6 42

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

0 0 29