Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia (Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK)

(1)

KEWENANGAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM GUGATAN PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI YANG TERDAKWANYA

MENINGGAL DUNIA

(Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK)

SKRIPSI

Diajukan Guna Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

IMA FUTRI BARUS 070200054 HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KEWENANGAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM GUGATAN PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI YANG TERDAKWANYA

MENINGGAL DUNIA

(Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK) SKRIPSI

Diajukan Guna Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

IMA FUTRI BARUS 070200054 HUKUM PIDANA

Disetujui :

A.n. Ketua Pelaksana Departemen Hukum Pidana Sekertaris Departemen Hukum Pidana

(Liza Herwina, SH. M. Hum) NIP. 16110241989032002

Pembimbing I Pembimbing II

(H. Abul Khair, SH.M.Hum) (Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum) NIP.196107021989031001 NIP. 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Kata Pengantar

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih yang telah memberi berkat, kasih dan karunia yang begitu besar kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Ucapan syukur yang tidak terhingga juga penulis ucapkan kepada Yesus Kristus dan Bunda Maria buat penyertaannya sepanjang hidup yang dijalani oleh penulis.

Membuat suatu karya ilmiah merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan studi di Perguruan Tinggi khususnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara , dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum.

Dalam kesempatan ini penulis memilih judul “Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia (Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK)”.

Penulis telah berusaha keras untuk menghasilkan karya tulis yang baik, namun penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna, baik dari segi ilmiahnya maupun dari segi penulisan tata bahasanya. Hal tersebut disebabkan kurangnya pengetahuan dan kemampuan dari penulis. Untuk itu kritik maupun saran yang membangun sangat diharapkan yang akan menjadi masukan yang berharga untuk kesempurnaan karya ilmiah ini.


(4)

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi dan skripsi ini:

1. Untuk kedua orang tua yang paling berharga dan berarti dalam hidupku yang memberikan doa dan kasih sayang yang begitu besar dan tidak ternilai sepanjang hidupku. Buat Bapakku J. Barus dan Mamakku yang tercinta Dra. S. Br Tarigan. 2. Bapak Prof. Runtung Sitepu, SH. MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara dengan kepemimpinannya memajukan Fakultas Hukum;

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. M. Hum, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak M. Husni, SH. M. Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak M Hamdan, SH. MH selaku Ketua Pelaksana Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Liza Herwina, SH, M. Hum selaku Sekertaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak H. Abul Khair SH. M. Hum, dan Ibu Rafiqoh Lubis, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu memberi bimbingan, masukan, dan koreksi yang sangat berguna bagi penulis;


(5)

9. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH. M.Hum selaku Dosen Wali Penulis yang selalu memberikan dukungan moril dan setiap konsultasi akademis dalam menjalankan studi;

10.Bapak dan Ibu Dosen segenap Civitas Akademia Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara selaku penyelenggara pendidikan dalam memberikan ilmu pengetahuan yang berguna;

11.Bapak Ketua Pengadilan Negeri Depok dan Kepala Kejaksaan Negeri Depok yang memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12.Buat Adikku Tio Fanta Br Barus dan Adiska Jilena Pranisa Br Barus serta Adik Iparku Ajan Ginting, Amd yang baik hati. Dan untuk seluruh keluarga besarku : Mama Uda dan Mami Uda yang senantiasa menjadi tempat berkeluh kesahku, Mama Tua dan Mami Tua , Karo, Bik Tua dan Kila, Pak Tengah dan Mak Tengah, teristimewa buat bulangku Alm. N. Tarigan yang telah banyak memberiku inspirasi, dan seluruh keluarga yang banyak memberi dukungan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

13.Dan buat teman-temanku Riska Sinaga (keng2), Arisanta Siambaton (san2), Masnur Sidauruk, Yudika D M Htb, Widya L Silaban, Fitri Wulandari Htb, yang menemaniku melalui hari-hari di Fakultas Hukum USU. Sebuah kebahagiaan untukku karena kita memulai bersama dan berakhir bersama.

14.Buat Beni Supriadi Sarumaha, Bardixcorry, Gerhat Siagian, Rolly, Aris Shandy, Putra, Andre, Ivan, Olo, Andi Bukit dan teman-teman stambuk 07 yang banyak memberiku semangat selama penyusunan skripsi ini;


(6)

15.Buat sahabatku Rohveni Cici, Lentina, dan Bernadetha yang sudah mendampingiku lebih dari 6 tahun. Dan tidak lupa juga buat anak Harmonika No. 08 yang banyak menyisakan cerita dalam hidupku.

16.Buat KMK St. Fidelis dan Imka Erkaliaga Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

17.Terima kasih dan mohon maaf penulis haturkan kepada pihak yang membantu dalam kehidupan penulis hingga dapat diselesaikannya skripsi ini.

Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua khususnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Maret 2011 Hormat Penulis


(7)

ABSTRAK Ima Futri Barus* Abul Khair, SH. M. Hum** Rafiqoh Lubis, SH. M. Hum***

Dampak yang ditimbulkan korupsi ini dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan, seperti dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas serta membahayakan pembangunan social ekonomi karena keuangan negara secara otomatis akan mengalami kerugian.

Dalam skripsi ini dibahas beberapa permasalahan yaitu bagaimana Kewenangan Jaksa dalam Sistem Peradilan yang ada di Indonesia, Bagaimana Perbandingan Proses Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Antara Instrumen Perdata Dan Instrumen Pidana dan Bagaimana Kewenangan Jaksa Pengacara Negara (JPN) Dalam Melakukan Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Yang Terdakwanya Meninggal Dunia. Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan diatas adalah penelitian yuridis normative dimana penulis mengumpulkan dan menggabungkan data-data yang didapat dalam literatur dan undang-undang serta media elektronik yang kemudian secara keseluruhan dianalisa secara kualitatif.

Salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mengembalikan kerugian negara tersebut adalah dengan memberikan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Pengembalian kerugian keuangan negara ini tidak hanya melalui jalur atau upaya pemidanaan saja melainkan dapat juga dilakukan melalui upaya hukum perdata.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(8)

DAFTAR ISI ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………..……… 1

B. Perumusan Masalah……….…. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 6

D. Keaslian Penulisan………..………. 7

E. Tinjauan Kepustakaan………..………... 8

1. Pengertian dan Sejarah Lahirnya Kejaksaan…………..…….... 8

2. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi…... 14

F. Metode Penelitian………..……..….. 17

G. Sistematika Penulisan……….…....…. 18

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA A. Kewenangan Jaksa Dalam Peradilan Pidana 1. Wewenang Jaksa Menurut KUHAP………...………. 21

2. Wewenang Jaksa Menurut Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI………..………… 23


(9)

3. Wewenang Jaksa dalam Tindak Pidana Korupsi……...…… 25 B. Perbandingan Kewenangan Jaksa sebagai Pengacara Negara dan

Jaksa sebagai Penuntut Umum………...… 31 BAB III PERBANDINGAN PROSES PENGEMBALIAN KERUGIAN

KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA INSTRUMEN HUKUM PERDATA DAN INSTRUMEN HUKUM PIDANA

A. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Instrumen Hukum Pidana………... 37 B. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Instrumen Hukum

Perdata………...……… 45

BAB IV KEWENANGAN JAKSA PENGACARA NEGARA (JPN) DALAM GUGATAN PENGEMBALIAN KEUANGAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI YANG TERDAKWANYA MENINGGAL DUNIA

A. Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Untuk Melakukan Gugatan Perdata Terhadap Ahli Waris Terdakwa Kasus Korupsi Yang Meninggal

Dunia……… 55

B. Hambatan-Hambatan Yang Dapat Timbul Dalam Penggunaan Instrumen Perdata Untuk Mengembalikan Kerugian Keuangan

Negara………. 57

C. Upaya Untuk Memaksimalkan Penggunaan Instrumen Perdata Untuk Mengembalikan Kerugian Keuangan Negara…...……… 60

D. Contoh Kasus………...….. 66 E. Analisis Kasus………...……. 82


(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 86 B. Saran... 88 DAFTAR PUSTAKA


(11)

ABSTRAK Ima Futri Barus* Abul Khair, SH. M. Hum** Rafiqoh Lubis, SH. M. Hum***

Dampak yang ditimbulkan korupsi ini dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan, seperti dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas serta membahayakan pembangunan social ekonomi karena keuangan negara secara otomatis akan mengalami kerugian.

Dalam skripsi ini dibahas beberapa permasalahan yaitu bagaimana Kewenangan Jaksa dalam Sistem Peradilan yang ada di Indonesia, Bagaimana Perbandingan Proses Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Antara Instrumen Perdata Dan Instrumen Pidana dan Bagaimana Kewenangan Jaksa Pengacara Negara (JPN) Dalam Melakukan Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Yang Terdakwanya Meninggal Dunia. Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan diatas adalah penelitian yuridis normative dimana penulis mengumpulkan dan menggabungkan data-data yang didapat dalam literatur dan undang-undang serta media elektronik yang kemudian secara keseluruhan dianalisa secara kualitatif.

Salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mengembalikan kerugian negara tersebut adalah dengan memberikan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Pengembalian kerugian keuangan negara ini tidak hanya melalui jalur atau upaya pemidanaan saja melainkan dapat juga dilakukan melalui upaya hukum perdata.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Masalah korupsi ini bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Bahkan perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini sudah demikian parahnya dan menjadi masalah yang sangat luar biasa karena sudah meningkat dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.

Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multimedimensial serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan seluruh potensi yang ada di dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.

Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi yang terkendali akan membawa bencana, tidak hanya bagi perekonomian nasional melainkan juga bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil survei Transvaransi Internasional Indonesia (TII) menunjukan bahwa Indonesia merupakan negara paling korup nomor 6 (enam) dari 133 negara. Di


(13)

kawasan Asia, Bangladesh dan Myanmar lebih korup dibandingkan Indonesia. Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK), ternyata Indonesia lebih rendah dari pada negara Papua Nugini, Vietnam, Philipina, Malaysia dan Singapura. Sedangkan pada tingkat dunia, negara-negara yang ber-IPK lebih buruk dari Indonesia merupakan negara yang sedang mengalami konflik.1

Masalah korupsi terkait dengan kompleksitas masalah, antara lain masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup kebutuhan serta kebudayaan dan lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesejahteraan sosial-ekonomi, masalah struktur/sistem ekonomi, masalah sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan publik”.2

Korupsi juga menjadi pintu masuk berkembang suburnya terorisme dan kekerasan oleh sebab kesenjangan sosial dan ketidakadilan masih berlanjut atau berlangsung sementara sebagian kecil masyarakat dapat hidup lebih baik, lebih sejahtera, mewah di tengah kemiskinan dan keterbatasan masyarakat pada umumnya. Munculnya aksi-aksi terror disebabkan oleh menganganya kesenjangan dan ketidak adilan dalam masyarakat.

Hal yang sering kurang disadari oleh pelaku-pelaku korupsi, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan kompleks dan berimplikasi sosial kepada orang lain

1Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 2

2Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni Bandung, 2003, hal.


(14)

karena menyangkut hak orang lain untuk memperoleh kesejahteraan yang sama. Bahkan korupsi dapat disebut sebagai dosa sosial dimana sebuah dosa atau kejahatan yang dilakukan dan berdampak bagi banyak orang, nilai kedosaan jauh lebih besar ketimbang dosa yang sifatnya personal.3

Diberlakukannya Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 dimaksudkan untuk menanggulangi dan memberantas korupsi. Politik kriminal merupakan strategi penanggulangan korupsi yang melekat pada Undang-undang tersebut. Mengapa dimensi politik kriminal tidak berfungsi, hal ini terkait dengan sistem penegakkan hukum di negara Indonesia yang tidak egaliter. Sistem penegakkan hukum yang berlaku dapat menempatkan koruptor tingkat tinggi diatas hukum. Sistem penegakkan hukum yang tidak kondusif bagi iklim demokrasi ini diperparah dengan adanya lembaga pengampunan bagi konglomerat korup hanya dengan pertimbangan selera, bukan dengan pertimbangan hukum. 4

Budaya hukum elit penguasa tidak menghargai kedaulatan hukum, tetapi lebih mementingkan status sosial si koruptor dengan melihat kekuasaan politik atau kekuatan ekonominya. Praktik penegakan hukum seperti ini bertentangan dengan kaidah prasyarat bernegara hukum. Membiarkan para koruptor menjarah kekayaan atau asset negara berarti menjadi bagian dari pengkhianat negara. Budaya antikorupsi harus dimobilisasi melalui gerakan hukum dan gerakan sosial politik secara simultan. Gerakan ini harus dimotori integritas moral moral para personal dan keandalan

3 Paulus Mujiran, Republik Para Maling, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, hal. 2 4 Evi Hartanti, Opcit, hal. 4


(15)

jaringan institusional. Dengan demikian, arus tersebut pada gilirannya secara signifikan mampu membuat teloransi nol terhadap fenomena korupsi.

Dampak yang ditimbulkan korupsi ini dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan hal yang serius karena tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas serta membahayakan pembangunan sosial ekonomi karena keuangan negara secara otomatis akan mengalami kerugian.

Salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mengembalikan kerugian negara tersebut adalah dengan memberikan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Upaya ini telah memberikan hasil yaitu berupa pemasukan ke kas negara dari hasil pembayaran uang pengganti dari beberapa terpidana yang telah ditetapkan jumlah pembayaran uang penggantinya oleh pengadilan.

Uang pengganti sebagai pidana tambahan dalam perkara korupsi harus dipahami sebagai bagian dari upaya pemidanaan terhadap mereka yang melanggar hukum. Dalam hal ini hukum yang dilanggar adalah tindak pidana korupsi.

Namun pengembalian kerugian keuangan negara ini tidak hanya melalui jalur atau upaya pemidanaan saja. Melainkan dapat juga dilakukan melalui upaya Hukum Perdata seperti yang diatur dalam Pasal 34 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Dimana dalam hal si terdakwa dalam kasus korupsi meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang di pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara. Maka yang dituntut untuk


(16)

melakukan pembayaran kerugian negara tersebut adalah ahli warisnya. Dimana hal tersebut dilakukan gugatan perdata oleh Jaksa Pengacara Negara.

Instrumen civil forfeiture atau hukum acara perdata khusus yang dianut oleh negara Amerika dan New Zealand untuk mengembalikan kerugian keuangan negara, sekilas mirip dengan gugatan perdata yang ada dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Upaya perdata dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggunakan aturan perdata biasa dimana proses persidangannya masih tunduk pada hukum perdata formil atau materiil biasa. Civil forfeiture menggunakan aturan perdata yang berbeda, seperti pembalikan beban pembuktian. Civil forfeiture tidak berkaitan dengan pelaku tindak pidana dan memperlakukan sebuah aset sebagai pihak yang berperkara. Perbedaan tersebut menghasilkan dampak yang berbeda. 5

Gugatan Perdata yang ada dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan beban pembuktian adanya unsur kerugian negara kepada Jaksa Pengacara Negara. Sebaliknya civil forfeiture mengadopsi prinsip pembalikan beban pembuktian dimana para pihak yang merasa keberatan membuktikan bahwa aset yang digugat tidak mempunyai hubungan dengan korupsi. Hal ini menjadikan Jaksa Pengacara Negara cukup membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan suatu tindak pidana korupsi.

diakses tanggal 15 Maret 2011


(17)

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan dengan memilih judul, “Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia” dalam skripsi ini.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kewenangan Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana yang ada di Indonesia ?

2. Bagaimana Perbandingan Proses Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Antara Instrumen Hukum Perdata Dan Instrumen Hukum Pidana ?

3. Bagaimana Kewenangan Jaksa Pengacara Negara (JPN) Dalam Melakukan Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Yang Terdakwanya Meninggal Dunia ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Ada pun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :


(18)

2. Untuk mengetahui mengenai Perbandingan Proses Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Antara Instrumen Perdata Dan Instrumen Pidana

3. Untuk mengetahui mengenai kewenangan Jaksa Pengacara Negara (JPN) dalam melakukan gugatan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang terdakwanya meninggal dunia.

Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah:

1.Manfaat teoritis

Penulis berharap karya tulis ilmiah yang berbentuk skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya yang membutuhkan informasi mengenai penanganan atau melakukan gugatan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang terdakwanya meninggal dunia serta kewenangan jaksa pengacara negara dalam pengembalian kerugian keuangan negara akibat terdakwa tindak pidana korupsi yang meninggal dunia.

2.Manfaat praktis

Skripsi ini juga diharapkan dapat membantu aparat penegak hukum dalam melakukan proses pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang terdakwanya meninggal dunia.


(19)

D. Keaslian Penulisan

Penulisan karya tulis ilmiah dengan judul “KEWENANGAN JAKSA PENGACARA NEGARA (JPN) DALAM MELAKUKAN GUGATAN PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA YANG TERDAKWANYA MENINGGAL DUNIA” yang diangkat sebagai judul skripsi ini telah diperiksa melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum USU. Tema diatas adalah hasil pemikiran sendiri dibantu dengan refrensi, buku-buku, dan pihak-pihak lain dan judul tersebut belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya.

Data yang digunakan guna melengkapi penulisan skripsi ini memanfaatkan informasi yang diperoleh dari berbagai media, baik itu media cetak atau pun pengumpulan informasi melalui internet. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian dan sejarah jaksa

a) Pengertian jaksa

Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia:

“ Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”.


(20)

Dan dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 disebutkan bahwa:

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

b) Sejarah Perkembangan Kejaksaan Republik Indonesia Kata “ Jaksa” dapat dilihat dari kata Adhyaksa6

Dahulu “Adhyaksa” tidak sama tugasnya dengan tugas utama “Penuntut Umum” dewasa ini. Lembaga Penuntut Umum seperti sekarang ini tidak sebagai hakim seperti “Adhyaksa” dahulu kala, tetapi keduanya mempunyai persamaan tugas yaitu dalam penyidikan perkara dan penuntutan. Barulah sejak VOC istilah “adhyaksa” diambil alih menjadi “jaxa”, kemudian dilanjutkan, setidak-tidaknya

yang berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti pegawai kehakiman atau hakim komisaris dan juga dapat diartikan sebagai pengawas dalam urusan kependetaan bagi agama hindu dan syiwa yang mengepalai kuil-kuil di Pulau Jawa dan terutama untuk gelar hakim kerajaan yang tertinggi.


(21)

mempengaruhi pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu. Hal ini terlihat pada penempatan Jaksa di bawah Residen atau Asisten Residen.7

Kejaksaan Republik Indonesia, baru lahir bersamaan dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, dimana pada waktu itu secara administratif masih ada dalam lingkungan Depertemen Kehakiman. Setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tanggal 30 Juni 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan, barulah ia menjelma menjadi Lembaga Negara yang mandiri. Pada mulanya berstatus sebagai departemen, namun selanjutnya berkembang menjadi non Departemen/Kejaksaan Republik Indonesia.

Sejarah mengenai fungsi dan tugas Kejaksaan dapat kita bagi dalam 2 babak penting yaitu:

1) Sebelum KUHAP Berlaku

Ketentuan hukum acara pidana produk peninggalan Belanda (HIR) mulai berlaku pada tahun 1845 berdasarkan IR (Indlandsch Reglement) yang pada tahun 1941 diubah menjadi HIR (Het Herziene Indlandsch Reglement). Badan-badan peradilan diatur berdasarkan Reglement of de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie (RO) berdasarkan Staatsblad 1847-23, yang mulai berlaku tanggal 1 Mei 1846. Karena RO ini hanya berlaku di Jawa dan Madura, maka pemerintah kolonial Belanda membuat Rechtsreglement Buitengewesten (RBg), untuk wilayah luar Jawa dan Madura.

7 Djoko Prakoso, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987,


(22)

Pasal 1 RO menetapkan adanya 7 (tujuh) badan peradilan di Jawa dan Madura, tetapi yang berkaitan dengan peran Kejaksaan hanya “Landraad” , “Raad Van Justitie”, dan “hogerechtshoof” (masing-masing kemudian berubah menjadi Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung). Di ketiga jenjang Pengadilan ini peran Jaksa diatur oleh Pasal 55 HIR. Kejaksaan pada masa itu diperankan oleh “openbaar ministerie”, lembaga yang sama dengan Belanda. Kejaksaan di tingkat Landraad dan Raad van Justitie, dilakukan oleh Officier van Justitie. Sedangkan untuk tingkat “Hogerechtshoof” dilaksanakan oleh”Procureur General” atau penggantinya “Advocaat Generaal”.8

Pada tanggal 1 Oktober 1945 oleh Presiden Soekarno diumumkan bahwa seluruh kantor Kejaksaan masuk ke dalam lingkungan Kementerian Kehakiman. Urusan anggaran personalia dan administrasi Kejaksaan menjadi tanggung jawab Menteri Kehakiman. Meskipun demikian, dalam urusan penegakkan hukum, Jaksa Agung tidak bertanggung jawab kepada Menteri Kehakiman, melainkan langsung kepada Presiden. Hal itu dilandasi ketentuan Pasal 50 RO jo Aturan Peralihan UUD 1945, dan PP No. 2 Tahun 1945.

Kedudukan Kejaksaan berubah lagi dengan dikukuhkannya Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960, di mana Kejaksaan dilepaskan dari pengertian “Kejaksaan pada Pengadilan”, dan tidak lagi sekedar alat pelaksana kekuasaan pemerintah di bidang peradilan, melainkan juga merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri. Kejaksaan

8 Achmad Roestandi dan Muchjidin Effendie. Komentar atas UU No. 5 Tahun 1991 tentang


(23)

dijadikan Departemen, dan Jaksa Agung menjadi jabatan politis dengan kedudukan menteri ex-officio dan selanjutnya menjadi menteri penuh setelah dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan.9

Kelahiran Orde Baru kembali membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan RI berdasarkan Surat Keputusan Presidium Kabinet Ampera No. 26/U/Kep/1966 tentang Penegasan status Kejaksaan Agung, yang menempatkan Kejaksaan ke dalam pengurusan Kabinet Presidium. Sebutan Menteri untuk Jabatan Jaksa Agung dan Departemen Kejaksaan Agung dihapuskan. Pada periode 1966-1973, Kejaksaan dengan seizin Presiden dapat melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan. Bahkan, melakukan penangkapan dan penahanan atau semua tindakan polisi terhadap pimpinan dan atau anggota DPR dari kalangan sipil, meminta keterangan kepada bank mengenai keadaan keuangan tersangka pidana korupsi dengan seizin Menteri Keuangan, dan dapat memerintahkan tindakan kepolisian terhadap anggota BPK guna kepentingan pemeriksaan pidana. Mulai tahun 1973, Kejaksaan tidak berwenang lagi pada bidang peradilan militer.

2) Sesudah KUHAP Berlaku

Diundangkannya KUHAP pada tanggal 31 Desember 1981 membawa perubahan mendasar dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Perubahan mendasar ini mempengaruhi sistem penyidikan. Di bidang penyidikan, perubahaan mendasar ini terlihat dari sistem peradilan pidana mengutamakan perlindungan Hal

9UU ini di undangkan pada tanggal 2 Januari 1961, dan kemudian sejak saat itu dianggap sebagai


(24)

Asasi Manusia. KUHAP mengadakan spesialisasi, differensiasi dan kompartemensasi, serta jenis pelaksanaan dan pembagian tugas antara penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam pelaksanaan penegakkan hukum. Di dalam KUHAP diatur wewenang Penuntut Umum. Dalam hal ini Kejaksaan merupakan kesatuan, karena ia terdiri dari pejabat-pejabat yang tersusun secara hirarkis. Pejabat tingkat atas berwenang memberikan perintah-perintah kepada pejabat bawahannya di dalam melaksanakan tugas jabatan mereka.

Setelah 10 tahun KUHAP berlaku, Kejaksaan mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Kejaksaan Indonesia untuk mengubah Undang-Undang-undang No. 5 Tahun 1961 yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, serta tidak lagi sesuai dengan jiwa KUHAP.10

Dan pada tahun 1991 keluar Undang-Undang Nomor 05 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

11

Setelah Kejaksaan berkurang fungsinya dibidang penyidikan dengan keluarnya KUHAP, dalam UU No. 5 Tahun 1991 ini terjadi pergeseran peran Jaksa yang terutama di bidang Pidana, ke peran Kejaksaan dalam Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara yaitu dalam Pasal 27 ayat (2) bahwa:

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 ini menetapkan tentang kedudukan, organisasi, jabatan, tugas, dan wewenang Kejaksaan.

“Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”.

10Diajukan oleh pemerintah kepada DPR-RI dengan amanat Presiden RI No. R. 07/PU/IX/1990

tanggal 17 September 1990. RUU ini terdiri dari 5 Bab dan 37 Pasal


(25)

Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu faktor pendorong Kejaksaan untuk menjalankan fungsinya di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu melihat perkembangan masyarakat sekarang ini terdapat permasalahan yang sangat ruwet, misalnya tentang permasalahan pengembalian kerugian keuangann negara akibat tindak pidana korupsi yang terdakwanya meninggal dunia ini. Dalam hal ini pemerintah membutuhkan bantuan hukum untuk mengamankan aset negara dari hasil korupsi tersebut.

Perkembangannya sekarang, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang akhirnya digantikan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pembaharuan Undang-undang Kejaksaan dimaksudkan untuk memberikan landasan yuridis yang mantap agar Kejaksaan Republik Indonesia lebih mampu dan berwibawa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan yang dilaksanakan secara merdeka.

2. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi berasal dari suatu kata dalam bahasa latin, yakni corruption atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Dalam Ensiklopedia Indonesia korupsi


(26)

gejala dimana pejabat, badan-badan negara yang menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan.

Adapun arti harafiah dari korupsi:

a. Kejahatan, kebusukan, dapat suap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran12 b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok13

Secara harafiah, korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan korupsi, akan menemukan kenyataan bahwa korupsi menyangkut masalah segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi, dan politik, serta penemapatan keluarga atau golongan ke dalam dibawah jabatannya.

Dengan demikian, secara harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi yang memiliki arti yang sangat luas, yakni :

1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

2. Korupsi : busuk ; rusak ; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya ; dapat disogok (melalui kekuasaannya atau kepentingan pribadi).

12

S.Wojowasito-W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Penerbit : Hasta, Bandung

13 W. J. S Poerwadarminta, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Penerbit : Balai Pustaka,


(27)

Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah :

1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

2. Perbuatan melawan hukum;

3. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;

4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Menurut Baharuddin Lopa, dalam bukunya yang berjudul Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, korupsi menurut sifatnya , terbagi dalam 2 bentuk, yakni:14 a. Korupsi yang bersifat motif terselubung, yakni korupsi yang sepintas kelihatannya

bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata.

b. Korupsi yang bermotif ganda, yakni seseorang yang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermoif lain, yakni untuk motif politik.


(28)

Menurut Shed Husein dalam bukunya Sosiologi Korupsi, menjelaskan ciri-ciri korupsi sebagai berikut :15

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan.

b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Walaupun demikian, motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya. c. Korupsi melibatkan element kewajiban dan keuntungan timbale balik. Kewajiban

dan keuntungan tidak selalu berupa uang.

d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.

e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan public atau umumnya (masyarakatnya).

g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan. F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dari skripsi ini adalah penelitian hukum nomatif. Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan

15Ibid, hal. 9


(29)

undangan dan bahan hukum lainnya. Metode penelitian hukum normatif ini dipilih adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan mengenai pengembalian asset negara dari tindak pidana korupsi terutama bagi terdakwanya telah meninggal dunia yang terjadi di Indonesia.

2. Data dan Sumber Data

Di dalam penulisan skripsi ini, data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan di bidang hukum yang mengikat, anatara lain Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terkait dalam Pasal 34 dan peraturan perundangan-undangan lain yang mengikat.

b. Bahan hukum skunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat sarjana dan kasus yang berhubungan dengan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, maka metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan merupakan suatu metode yang berdasarkan atas studi kepustakaan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan materi yang diperlukan. Data yang diperoleh diambil melalui berbagai sumber bacaan seperti buku, majalah, surat kabar, internet, pendapat sarjana maupun literatur lain yang berkaitan dengan objek penelitian skripsi. Analisis Putusan yang berkaitan dengan pengembalian kerugian keuangan


(30)

negara yang terdakwanya telah meninggal dunia juga dilakukan untuk melengkapi data dalam penyusunan skripsi ini.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah diperoleh dan disusun secara sistematis, kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif dilakukan untuk menjawab permasalahan yang ada di dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini. Keseluruhan skripsi ini meliputi 5 (lima) bab yang secara garis besar isi dari bab perbab diuraikan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini dimulai dengan mengemukakan latar belakang, permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Kewenangan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana

Bab ini menguraikan mengenai Kewenangan Jaksa Dalam Peradilan Pidana, serta Perbandingan Kewenangan Jaksa Sebagai Pengacara Negara Dan Jaksa Sebagai Penuntut Umum.


(31)

Bab III Perbandingan Proses Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Antara Instrumen Perdata Dan Instrumen Pidana

Bab ini menguraikan mengenai Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Instrumen Hukum Pidana dan mengenai Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Instumen Hukum Perdata.

Bab IV Kewenangan Jaksa Pengacara Negara (JPN) Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia

Bab ini menguraikan mengenai Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Untuk Melakukan Gugatan Perdata Terhadap Ahli Waris Terdakwa Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia, Hambatan-Hambatan Yang Dapat Timbul Dalam Penggunaan Instrument Perdata Untuk Mengembalikan Kerugian Keuangan Negara, Upaya Untuk Memaksimalkan Penggunaan Instrument Perdata Untuk Mengembalikan Kerugian Keuangan Negara, dan Contoh Kasus serta Analisis Kasus.

Bab V Kesimpulan Dan Saran

Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran yang berisikan penyimpulan dari seluruh bab yang terdapat dalam penulisan skripsi ini sebagai jawaban permasalahan dan kemudian dibuat saran-saran yang merupakan sumbangan pemikiran penulis terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam skripsi.


(32)

(33)

BAB II

KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP

Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti adalah Kejaksaan Republik Indonesia menjadi subsistem dari sistem ketatanegaraan Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar 1945.

Defenisi Jaksa dan Penuntut Umum, berdasarkan Undang-undang No. 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu:

1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatann hukum tetap.

2. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Oleh karena kedudukannya tersebut maka dalam melakukan penuntutan, ia wajib mengambil langkah-langkah sebagai berikut :

1. Menerima dan memeriksa berkas

2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan segera mengembalikan berkas pada penyidik dengan memberikan petunjuk-petunjuk untuk kesempurnaan ;


(34)

3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan, atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik ;

4. Membuat surat dakwaan ;

5. Melimpahkan perkara ke pengadilan ;

6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan persidangan dengan disertai panggilan, kepada terdakwa maupun saksi-saksi ;

7. Melakukan penuntutan ;

8. Menutup perkara demi kepentingan hukum ;

9. Melakukan tindakan lain dalam ruang lingkup dan tanggung jawab sebagai penuntut umum;

10.Melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan :

“Dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan :

“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”.


(35)

Maka berdasarkan ketentuan ini menjadi jelas kiranya bahwa dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sendiri terdapat dasar hukum tentang kedudukan Jaksa sebagai penyidik untuk tindak pidana yang bersifat khusus (lex specialis).

Ketentuan yang bersifat khusus ini sejalan dengan Pasal 26 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan :

“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.

Berdasarkan uraian tersebut maka Kejaksaan berkedudukan sebagai penyelidik dan penyidik dalam tindak pidana korupsi dan penuntut umum sesuatu perkara di muka persidangan. Dalam KUHAP tidak memberi pengaturan yang lebih lanjut, mengenai kedudukan Kejaksaan apakah sebagai perpanjangan tangan penguasa atau tidak, hanya menjelaskan Jaksa yang melaksanakan fungsi yudikatif.

2. Wewenang Jaksa menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Jaksa menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah


(36)

“Pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”.

Mencermati isi Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 ini, maka jaksa mempunyai beberapa wewenang penting yaitu:

1. Sebagai penuntut umum

2. Sebagai pelaksana putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap 3. Serta adanya wewenang penting yang dijabarkan lebih lanjut di dalam Pasal 30

undang-undang tersebut.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 mengatur secara tegas bahwa Kejaksaan memiliki kemerdekaan dan kemandirian dalam melakukan kekuasaan Negara dalam bidang penuntutan. Kedudukan Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan yang melakukan kekusaan negara di bidang penuntutan, bila dilihat dari sudut kedudukan mengandung makna bahwa Kejaksaan merupakan suatu lembaga yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. Sementara itu, bila dilihat dari sisi kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan berarti Kejaksaan menjalankan kekuasaan yudikatif.

Sehubungan dengan makna kekuasaan Kejaksaan dalam melakukan kekuasaan Negara di bidang penuntutan secara merdeka. Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, dan pengaruh kekuasaan lainnya. Hal ini berarti bahwa negara akan menjamin Jaksa di dalam


(37)

menjalankan profesinya tanpa intimidasi, gangguan, godaan, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum teruji kebenarannya, baik terhadap pertanggung jawaban perdata, pidana, maupun lainnya.

Kedudukan Kejaksaan dalam peradilan pidana bersifat menentukan karena merupakan jembatan yang menghubungkan tahap penyidikan dengan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Berdasarkan doktrin hukum yang berlaku suatu asas bahwa Penuntut Umum mempunyai monopoli penuntutan, artinya setiap orang baru bisa diadili jika ada tuntutan pidana dari Penuntut Umum, yaitu lembaga kejaksaan karena hanya Penuntut Umum yang berwenang mengajukan seseorang tersangka pelaku tindak pidana ke muka sidang pengadilan.16

Pada tahun 2004 dengan keluarnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, kedudukan jaksa semakin mempertegas posisi Jaksa sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan Pelaksana Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan wewenang lain berdasarkan Undang-undang.

3.Wewenang Jaksa dalam Tindak Pidana Korupsi

Ketentuan dalam Pasal 30 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa:

16 Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT Citra Aditya Bakti,


(38)

“Salah satu tugas dan kewenangan Kejaksaan di bidang pidana adalah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”.

Penjelasan Pasal ini menyatakan bahwa, kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan Jaksa selaku penyidik tindak pidana korupsi dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan Undang-undang tersebut. Rumusan mengenai kewenangan menyidik di dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut menyebutkan bahwa penyidik untuk tindak pidana korupsi adalah Kejaksaan yang mempunyai hak privilege yakni hak khusus untuk dapat melakukan tindakan penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi.

Istilah penyidikan merupakan padanan kata yang berasal dari bahasa Belanda yakni opsporing, dari bahasa Inggris yakni investigation.17

Menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP, yang dimaksud dengan

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

17


(39)

Menurut Andi Hamzah, bagian-bagian hukum acara pidana yang berkaitan dengan penyidikan adalah : 18

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian.

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan semantara.

6. Penggeledahan.

7. Pemeriksaan atau Interogasi.

8. Berita acara (Penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat). 9. Penyitaan.

10.Penyampingan perkara.

11.Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.

Terhadap tindak pidana korupsi, sebelum lahirnya Undang-undang No. 31 Tahun 1999, penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan oleh Kejaksaan, tetapi setelah lahirnya Undang-undang No. 31 Tahun 1999, yaitu Pasca Agustus 1999, penanganan terhadap tindak pidana korupsi memiliki berbagai pemahaman. Ada pandangan yang mengatakan bahwa pihak kepolisian yang berhak melakukan

18 Andi Hamzah, Pengertian Hukum Acara Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta,


(40)

penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, namun ada pandangan lain yang mengatakan dengan bertitik tolak dari ide bahwa materi tindak pidana korupsi sebagai bagian dari hukum pidana khusus (ius specia, ius singular/ bijzonder strafrecht), sebenarnya Kejaksaan berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.19

Sehubungan dengan ketidakjelasan ini, muncullah argumen-argumen yang mendasari bahwa Kejaksaan berwenang menangani penyidikan tindak pidana korupsi yaitu :20

a. Bahwa ketentuan hukum pidana dapat dikategorikan menjadi hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius special, ius singular/ bijzonder strafrecht). Ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan untuk berlaku secara umum, sedangkan yang dimaksud dengan ketentuan hukum pidana khusus diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur kekhususan subjek dan perbuatan yang khusus (bijzonder lijk feiten). Tindak pidana korupsi sebagai bagian dari tindak pidana khusus juga memiliki kekhususan dalam hukum acara.

b. Berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 tentang Pembentukkan Tim Pemberantasan Korupsi yang menentukan bahwa ketua timnya adalah Jaksa Agung, sesuai dengan Pasal 5 yang berbunyi:

19

Yudi Kristiana, Opcit, hal. 80


(41)

“Ketua Tim Pemberantasan Korupsi adalah Jaksa Agung, yang dalam melakukan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden”.

Sedangkan tugas dan fungsinya sebagai koordinator penyidik diatur dalam Pasal 3, yang berbunyi :

“Tim Pemberantasan Korupsi mempunyai fungsi memimpin, mengordinir dan mengawasi semua alat-alat penegak hukum yang berwenang, baik sipil maupun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi, baik yang dilakukan oleh oknum sipil maupun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia”.

c. Berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) yang berbunyi :

“Dalam waktu 2 tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana disebutkan pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Penjelasan dari Pasal 284 ini terdapat dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang berbunyi :

“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”.

Ketentuan yang menyatakan bahwa jaksa dapat menyidik tindak pidana tertentu, terdapat dalam Pasal 32 huruf b Undang-undang No. 5 Tahun 1991, yang menyatakan bahwa :

“Jaksa Agung mengordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait berdasarkan undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden”.

d. Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 dan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1991 yang menyatakan bahwa dalam pedoman pelaksanaan pengawasan,


(42)

para menteri / pemimpin lembaga pemerintah non departemen/pemimpin instansi lainnya setelah menerima laporan adanya suatu perbuatan tindak pidana, maka pemimpin melakukan pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal terdapat indikasi tindak pidana khusus yakni tindak pidana korupsi.

e. Ketentuan pasal 39 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa :

“Jaksa Agung mengordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer”.

f. Keppres Nomor 86 Tahun 1999 tentang susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, dalam Pasal 16 menyebutkan bahwa:

“Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana khusus yang bertanggung jawab langsung kepada jaksa agung”.

g. Undang-undang Kejaksaan Nomor 5 Tahun 1991 jo. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004. Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 diatur tidak secara tegas mengenai kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Namun demikian, terdapat ketentuan yang secara tidak langsung mengakui eksistensi kejaksaan untuk menyidik tindak pidana korupsi.

Pasal 29 menyatakan bahwa disamping tugas dan wewenang melakukan penyidikan dalam Undang-undang Kejaksaan, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain yang berkaitan dengan KUHAP Pasal 284 ayat (2),


(43)

Undang-undang No. 03 Tahun 1971 jo. Undang-Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-undang lain.

Dalam berkembangnya undang Kejaksaan yang baru yakni Undang-undang Nomor 16 Tahun Tahun 2004 diatur secara jelas mengenai penyidikan yakni dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yang menyebutkan :

“Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”.

h. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Pasal 33 dinyatakan bahwa :

“Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.

Dan ketentuan dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga menyatakan :

“Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.

B.Perbandingan Kewenangan Jaksa sebagai Pengacara Negara dan Jaksa sebagai Penuntut Umum

Kedudukan Kejaksaan dalam peradilan pidana di Indonesia mengalami pergeseran sejalan dengan pergeseran tugas dan kewenangan yang dimilikinya.


(44)

Dalam kaitannya dengan peradilan pidana, tugas dan kewenangan Kejaksaan diatur dalam hukum acara pidana, yaitu Undang-undang No. 08 Tahun 1981 yag kita kenal sebagai KUHAP sementara dalam kaitannya dengan kelembagaannya sendiri diatur dalam Undang-undang No. 05 Tahun 1991 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2004.21

Fungsi utama Kejaksaan dalam peradilan pidana adalah sebagai Penuntut Umum dan Pelaksana Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagaimana disebut dalam Pasal 1 butir 1, 2, 3 juga Pasal 2 ayat (1), dan (2) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Dalam Pasal 1 ayat (6) huruf A Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga menyatakan bahwa :

“Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Dan Pasal 1 ayat (6) huruf B KUHAP tersebut juga menyebutkan bahwa : “Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.22

Bila kita uraikan wewenang Kejaksaan sebagai Penuntut Umum, yang terdapat dalam KUHAP adalah sebagai berikut ini :

1. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal

21

Ibid, hal. 51 22

M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Politeia, Bogor, 1988, hal. 3.


(45)

109 ayat (1)) dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik PNS yang dimaksudkan oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan dihentikan demi hukum;

2. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12);

3. Mengadakan pra penuntutan (Pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 ayat (3) dan (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2) 4. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 124 ayat (20)), melakukan

penahanan dan penahanan lanjutan (Pasal 20 ayat (2)), Pasal 21 ayat (2), Pasal 25 dan Pasal 26), melakukan penahanan rumah (Pasal 22 ayat (2), penahanan kota (Pasal 22 ayat (3)), serta mengalihkan jenis penahanan.

5. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31).

6. Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan karena tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan pada perkara tersebut untuk memperoleh putusan pengadilan yang tetap atau mengamankannya dengan disaksikan tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat (1)).


(46)

7. Melarang atau membatasi kebebasan hubungan antara Penasehat Hukum dengan tersangka akibat disalahgunakan haknya (Pasal 70 ayat (4)), mengawasi hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan antara mereka (Pasal 71 ayat (1)), dan dalam kejahatan terhadap keamanan negara maka Jaksa dapat ikut mendengarkan isi pembicaraan penasehat hukum dengan tersangka (Pasal 71 ayat (2). Pengurangan kebebasan hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tersebut dilarang apabila perkara telah dilimpahkan Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri untuk disidangkan (Pasal 74).

8. Meminta dilakukan pra peradilan kepada ketua pengadilan negeri untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik (Pasal 80). Maksud Pasal 80 ini adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.

9. Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum menerima penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang berwenang (Pasal 91 ayat (1)).

10.Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139).

11.Mengadakan “tindakan lain” dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku Penuntut Umum (Pasal 14 huruf (i)).


(47)

12.Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan (pasal 140 ayat(1)).

13.Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a), dikarenakan :

a. Tidak terdapat cukup bukti

b. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana c. Perkara ditutup demi kepentingan umum

14.Melakukan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan penuntutan dikarenakan adanya alasan baru (Pasal 140 ayat (2) huruf d).

15.Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan (Pasal 141).

16.Mengadakan pemecahan penuntutan terhadap satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka (Pasal 142).

17.Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan (Pasal 143)

18.Membuat surat dakwaan (Pasal 143 ayat (2))

19.Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan penuntutan, Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai (Pasal 144).


(48)

Yang menjadi perhatian kita atau yang menjadi sorotan kita dalam perbandingan Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dan Kejaksaan sebagai Pengacara Negara adalah bahwa Kejaksaan itu adalah een en ondeelbaar.23

Asas ini terlihat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tersebut lebih dipertegas bahwa Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan terpisahkan. Hal tersebut juga diperkuat dengan Pasal 8 ayat (2) yaitu dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa bertindak untuk dan atas nama negara serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki. Sehingga bila kita perhatikan betapa sulitnya dipisahkan kewenangan Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dan Kejaksaan sebagai Pengacara Negara. Karena seorang Jaksa sebagai Pengacara Negara tidak terlepas dari fungsinya sebagai Penuntut Umum.

Kedudukan seorang Jaksa yang pertanggung jawabannya secara hierarkis juga menyulitkan Jaksa dalam bertindak sebagai Pengacara Negara. Dalam hal ini bisa saja Jaksa mempunyai pandangan yang berbeda dengan atasannya mengenai kedudukan suatu perkara dimana ia bertindak sebagai Pengacara Negara. Jaksa sebagai Pengacara Negara tersebut akan sulit mengambil tindakan yang berbeda

23 Asas pengorganisasian kejaksaan yang menjadi dasar pelaksanaan tugas di bidang


(49)

karena bagaimanapun juga ia harus mempertanggungjawabkan secara hierarkis ke atasannya. Dari hal tersebut dapat kita ketahui bahwa sulit untuk seorang Jaksa untuk bisa independen dalam bertindak sebagai Pengacara Negara.24

Belum lagi ditambah bagi Kejaksaan dihadapkan pada satu sisi sebagai Pengacara Negara, misalnya sebagai Pengacara Negara dari suatu bank milik pemerintah yang digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara , disisi lain Kejaksaan juga bertindak pada subjek yang sama, yaitu Pejabat Bank Milik Negara yang digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai Penuntut Umum dalam tindak pidana korupsi. Tentu sulit bagi Kejaksaan, karena di satu sisi sebagai Pengacara Negara Kejaksaan melakukan pembelaan pada satu pihak tetapi di sisi lain Kejaksaan bertindak sebagai Penuntut Umum yang sama. 25

24

Desember 2010.

Desember 2010.


(50)

BAB III

PERBANDINGAN PROSES PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA

INSTRUMEN PERDATA DAN INSTRUMEN PIDANA

A. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Instrumen Hukum Pidana

Dalam perkara korupsi sebagaimana Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi baik melalui jalur keperdataan (civil procedure) berupa gugatan perdata maupun jalur kepidanaan (criminal procedure).

Pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi melalui jalur pidana sebagaimana ketentuan Pasal 38 ayat (5), Pasal 38 ayat (6) dan Pasal 38B ayat (2) dengan proses penyitaan dan perampasan.26

Apabila diperinci pengembalian aset dari jalur kepidanaan ini dilakukan melalui proses persidangan dimana hakim di samping menjatuhkan pidana pokok juga dapat menjatuhkan pidana tambahan. Apabila diperinci maka pidana tambahan dapat

diakses tanggal 15 Maret 2011


(51)

dijatuhkan hakim dalam kapasitasnya yang berkorelasi dengan pengembalian aset melalui prosedur pidana ini dapat berupa:27

(1) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. (Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001).

(2) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan

diakses tanggal 15 Maret 2011


(52)

dalam Undang-undang ini lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. (Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), (3) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001).

(3) Pidana denda dimana aspek ini dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempergunakan perumusan sanksi pidana (strafsoort) bersifat kumulatif (pidana penjara dan atau pidana denda), kumulatif-alternatif (pidana penjara dan atau pidana denda) dan perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) bersifat determinate sentence dan indifinite sentence.

(4) Penetapan perampasan barang-barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal dunia (peradilan in absentia) sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana korupsi. Penetapan hakim atas perampasan ini tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding dan setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan tersebut dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman. (Pasal 38 ayat (5), (6), (7) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001).

(5) Putusan perampasan harta benda untuk negara dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi yang dituntut oleh Penuntut Umum pada saat membacakan tuntutan


(53)

dalam perkara pokok. (Pasal 38B ayat (2), (3) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001).

Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti merupakan kebijakan criminal yang tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan social (social policy)” yang terdiri dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social walfare) dan kebijakan untuk perlindungan masyarakat (social defence). Oleh karena itu pidana tambahan pembayaran uang pengganti harus dapat ditarik dari terpidana korupsi agar tercapainya kesejahteraan masyarakat. 28

Pidana tambahan pembayaran uang pengganti dari Undang-undang No 31 Tahun 1999 yang telah ditambah dan diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan tujuan dalam rangka menyelamatkan kekayaan/keuangan negara yang telah diambil oleh pelaku korupsi juga untuk menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi.29

Pidana tambahan uang pengganti yang diatur dalam Pasal 18 Undang-undang No 31 Tahun 1999, serta dalam penjelasan umum menyatakan:

“Undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian keuangan negara”.

Namun dalam prakteknya pelaksanaan putusan pengadilan terhadap uang pengganti ternyata banyak mengalami kendala karena terpidana tidak melaksanakan

28

Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Penggantidalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing, Cimanggis-Depok, 2010, hal. 39


(54)

kewajibannya untuk membayar denda atau uang pengganti dengan alasan harta bendanya sudah tidak ada lagi atau sudah habis.

Untuk dapat memaksimalkan agar uang pengganti sebagai pembayaran terhadap kerugian keuangan negara yang nantinya akan dibayar oleh terpidana, dapat diusahakan melalui tahapan-tahapan penyelesaian perkara dalam sistem peradilan pidana sebagai berikut:30

1. Tahap Penyidikan (Pra Ajudikasi)

Pada tahap ini adalah tahap yang paling menentukan keberhasilan dalam menghitung harta terdakwa, istri atau suami dan anak-anaknya. Pada tahap penyidikan, penyidik punya upaya paksa baik itu penggeledahan dan penyitaan. Pasal 28 Undang-undang No 31 Tahun 1999:

“Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau koorporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka”.

Keterangan tentang seluruh harta benda tersangka, istri atau suami dan anak-anaknya ini akan sangat bermanfaat atau bersifat membantu di dalam penyelesaian pembayaran uang pengganti yang dijatuhkan oleh pengadilan nantinya. Karena dari awal penyidikan sudah diketahui seluruh asset harta benda terpidana, sehingga terpidana tidak dapat mengelak untuk membayar uang pengganti dengan alasan tidak

30


(55)

mempunyai harta benda lagi yang dipergunakan untuk membayar uang pengganti kerugian keuangan negara tersebut.

Dengan adanya kewajiban tersangka untuk melaporkan harta bendanya, maka penyidik dapat melaksanakan penyitaan harta benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi. Upaya penyitaan ini merupakan upaya yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 KUHAP untuk menentukan barang sitaan menjadi barang bukti. Barang bukti tersebut di dalam putusan pengadilan akan menjadi barang rampasan.

Barang rampasan yang berasal dari penyitaan ini haruslah diperhitungkan terhadap uang pengganti yang dijatuhkan oleh pengadilan. Hal ini untuk menjamin keadilan hukum, karena barang-barang yang disita tersebut berasal dari tindak pidana korupsi yang telah dinikmati atau telah digunakan oleh terpidana. Dalam praktek sering timbul masalah dimana barang rampasan yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi, dinyatakan dirampas untuk negara namun tidak diperhitungkan sama sekali dengan pidana tamabahan uang pengganti. Artinya, barang-barang rampasan dianggap terpisah dengan uang pengganti. Artinya, barang-barang rampasan dianggap terpisah dengan uang pengganti kerugian negara.

Dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No 31 Tahun 1999 dinyatakan bahwa:

“Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa”.

Pasal 29 ayat (1) tersebut juga akan membantu dalam menginventarisir harta benda tersangka yang disimpan dalam rekening-rekening bank, bahkan di dalam


(56)

Pasal 29 ayat (4) penyidik, penuntut umum atau hakim dapat meminta pada bank untuk memblokir rekening simpanan milik milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil korupsi sehingga uang tersebut tidak dapat dilarikan melalui transfer antar bank. Dengan demikian uang milik tersangka dapat dilakukan penyitaan nantinya yang akan digunakan untuk membayar uang pengganti yang dijatuhkan oleh pengadilan.

2. Tahap Penuntutan (Ajudikasi)

Pada tahap penuntutan yang harus diperhatikan adalah pembuktian pada unsur-unsur pasal yang didakwakan kepada terdakwa dan pembuktian pada harta benda terdakwa. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 mengunakan dua sistem pembuktian, yakni sistem pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang dan kedua menerapakan sistem pembuktian negatif menurut undang-undang.

Menurut Martiman Prodjohamijoyo, pembuktian terbalik dan berimbang artinya terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suaminya, anak dan harta benda setiap orang atau koorporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukannya.31

31

Maritman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.


(57)

Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan perolehan harta bendanya yang dianggap tidak wajar ataupun terdakwa tidak menggunakan hak untuk membuktikan sebaliknya, hal ini dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Sedangkan penuntut umum tetap wajib membuktikan tentang kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa yang dijadikan dasar untuk mengajukan tuntutan berupa pidana tambahan unag pengganti (Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-undang No. 31 Tahun 1999).

Barang sitaan harta benda terdakwa yang berasal dari tindak pidana korupsi dalam tahap pra ajudikasi jika tidak dapat dibuktikan bukanlah dari hasil tindak pidana korupsi maka Jaksa Penuntut Umum akan menuntut dirampas dan diserahkan kepada negara.32

Dalam tahap penuntutan, Jaksa harus dapat menuntut secara maksimal besarnya uang pengganti yang terbukti di pemeriksaan persidangan kepada terdakwa, jumlahnya setidaknya harus sama dengan harta yang diperoleh dari hasil tindakan korupsi. Jumlah uang pengganti yang dituntut tentunya didasarkan dari fakta-fakta hasil pemeriksaan yang dilakukan dipersidangan baik berdasarkan keterangan yang diberikan oleh saksi-saksi, keterangan ahli dan terdakwa itu sendiri.

Adanya penyitaan barang bukti yang telah dituntut untuk dirampas negara, akan memudahkan dalam melaksakan putusan pengadilan uang pengganti melalui penyitaan karena barang bukti tersebut di bawah kekuasaan lembaga penegak hukum.


(58)

Dalam prakteknya apabila barang yang disita berupa uang maka uang tersebut akan disetor ke kas negara melalui bank, namun apabila berupa barang bergerak atau tidak bergerak harus melalui prosedur lelang. Hasil lelang terhadap barang bukti tersebut disetor ke kas negara.

3. Tahap Pelaksanaan Putusan Pengadilan (Pasca Ajudikasi)

Tahap ini merupakan tahap akhir dari tahap penuntutan pidana. Dalam tahap inilah ditentukan tentang kepastian hukum. Artinya keberhasilan proses peradilan dari penyidikan sampai dengan putusan pengadilan menjadi tidak berarti jika putusan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan tersebut tidak dilaksanakan. Keadilan hukum dan kepastian hukum tidak dapat ditegakkan karena ternyata putusan pengadilan yang telah dijatuhkan tidak dapat dilaksanakan.

Eksekusi denda dan uang pengganti sangat penting dalam upaya pemulihan kerugian keuangan negara. Kemampuan dalam melakukan pelacakan asset menjadi kunci dalam pemulihan kerugian keuangan negara. Persoalan utama penyelesaian uang pengganti adalah rendahnya tingkat recovery yang dapat disetorkan kembali kepada negara. Menurut data BPKP, tingkat penyelesaian uang pengganti hanya berkisar 31.38% dari keseluruhan uang pengganti yang diputuskan oleh pengadilan. B. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Instrumen Hukum

Perdata

Menelaah karakteristik Gugatan Perdata untuk tindak pidana korupsi, maka harus merujuk pada ketentuan undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang


(59)

berbeda dengan gugatan perdata pada umumnya. Letak karakteristik gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi ialah diajukan setelah upaya pidana tidak dimungkinkan lagi dilakukan, artinya pengembalian kerugian keuangan negara melalui perampasan, uang pengganti, tidak berhasil dilakukan. 33

Tanpa adanya proses pidana terlebih dahulu, maka tertutup kemungkinan dilakukannya gugatan perdata untuk perkara tindak pidana korupsi. Kondisi hukum tertentu tersebut meliputi:34

a. Bila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur-unsur pidana korupsi, maka penyidik menghentikan penyidikan yang dilakukan. Dalam hal ini penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut (Pasal 32 ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999).

Dalam ini, Gugatan Perdata diajukan karena penyidik gagal menemukan unsur-unsur cukup bukti dalam tindak pidana korupsi, sehingga tidak dimungkinkan proses pidana ditindak lanjuti. Pengertian tidak cukup bukti dalam Pasal 32 ayat

diakses tanggal 12 Maret 2011

34

diakses tanggal 11 Maret 2011


(60)

(1) jika penyidik menganggap tidak terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana korupsi dengan bukti-bukti yang dimilikinya. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) selain memberikan dasar pengajuan gugatan perdata, juga berfungsi sebagai pijakan bagi para penyidik yang dituntut untuk bersikap profesional dan proporsional dalam penanganan tindakan korupsi dalam jalur pidana. Penyidik dalam pegertian ini tidak harus memaksakan suatu tindakan yang terindikasi korupsi selalu diajukan ke depan persidangan pidana apabila ternyata salah satu unsur tindak pidana korupsi tersebut tidak cukup bukti. Penyidik tidak perlu melakukan berbagai cara untuk memaksakan pembuktian unsur-unsur tindak pidana tersebut dengan cara-cara yang melawan hukum. Contoh kasus misalnya dengan pembuatan berita acara pemeriksaan yang palsu yang pada akhirnya berujung pada putusan bebas.

b. Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas dalam perkara korupsi, meskipun secara nyata telah ada kerugian negara, karena unsur-unsur pidana korupsi tidak terpenuhi. Dalam hal ini Penuntut Umum (PU) menyerahkan putusan Hakim kepada Jaksa Pengacara Negara (JPN) atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas terdakwa yang telah merugikan keuangan negara (Pasal 32 ayat (2) Undang-undang No.31 Tahun 1999)

Gugatan Perdata untuk tindak pidana korupsi yang diajukan sehubungan dengan adanya putusan bebas, sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU PTPK, yang menyatakan bahwa :


(61)

“Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.”

Akibat dari putusan bebas tersebut menjadikan terdakwa tidak mungkin lagi diajukan upaya secara pidana. Pengertian Putusan Bebas dalam Pasal 32 ayat (2) UU PTPK adalah putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP berupa putusan vrijspraak ataupun onslag van rechtvervolging. Putusan yang dimaksud Pasal 191 ayat (1) didasarkan pada hasil pemeriksaan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, yang berarti tidak terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan Hukum Acara Pidana. Adapun pengertian yang terkandung dalam Pasal 191 ayat (2) perbuatan yang dimaksud bukan merupakan suatu tindak pidana.

Ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU PTPK sangat signifikan untuk mengantisipasi adanya putusan bebas yang kemungkinan besar bisa membebaskan terpidana dari segala tuntutan kerugian keuangan negara, sehingga secara yuridis formil ketentuan. Pasal tersebut merupakan payung hukum dan sekaligus ciri khas dari gugatan perdata terhadap putusan bebas.

c. Dalam penyidikan perkara korupsi ada kemungkinan tersangka meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Penyidikan terpaksa dihentikan dan penyidik menyerahkan berkas hasil penyidikannya kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka (Pasal 33 Undang-undang No. 31 Tahun


(62)

1999) dan bila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada keuangan negara, maka penuntut umum menyerahkan salinan berkas berita acara sidang kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris terdakwa (Pasal 34 Undang-undang No.31 Tahun 1999)

Gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi juga dapat diajukan dalam keadaan tersangka meninggal dunia pada saat proses penyidikan, sebagaimana ketentuan Pasal 33 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga tidak mungkin diproses secara pidana. Dan juga dapat dilakukan terhadap terdakwa meninggal dunia saat proses pemeriksaan sidang pengadilan, seperti yang diatur dalam Pasal 34 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tanpa adanya tersangka atau terdakwa meninggal dunia tidak mungkin dilakukan gugatan perdata. Hal ini merupakan ciri khas lainnya dari gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi, sehingga gugatan perdata dapat diajukan kepada ahli warisnya. Pengaturan gugatan perdata menjadi penting karena jika melalui jalur pidana, maka kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia, sebagaimana ketentuan Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang menyatakan bahwa:

“hak menuntut hilang karena meninggalnya si tersangka”.

Keberadaan Pasal 33 dan 34 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut menjadi penting dan tidak hanya sebagai dasar untuk


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

a. Secara umum KUHAP tidak memberikan kewenangan bagi kejaksaan untuk melakukan penyidikan, dengan demikian maka Jaksa atau Penuntut Umum tidak berwenang menyelidiki walaupun dalam bentuk insidental. Dari defenisi Jaksa yang disebut dalam KUHAP maka kedudukan dan wewenang yang diatur dalam KUHAP tersebut hanyalah sebatas melakukan penuntutan. Namun Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga menyatakan: “dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Dan pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Maka berdasarkan ketentuan ini menjadi jelas kiranya bahwa dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sendiri terdapat dasar hukum tentang kedudukan Jaksa sebagai Penyidik untuk tindak pidana yang bersifat khusus (lex specialis).


(2)

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengatur secara tegas bahwa Kejaksaan memiliki kemerdekaan dan kemandirian dalam melakukan kekuasaan Negara dalam bidang penuntutan.

b. Untuk dapat memaksimalkan agar uang pengganti sebagai pembayaran terhadap kerugian keuangan negara yang nantinya akan dibayar oleh terpidana, dapat diusahakan melalui tahapan-tahapan penyelesaian perkara dalam sistem peradilan pidana yang terdiri dari Tahap Penyidikan (Pra Ajudikasi), Tahap Penuntutan (Ajudikasi), dan Tahap Pelaksanaan Putusan Pengadilan (Pasca Ajudikasi).

Dan pengembalian kerugian keuangan negara melalui prosedur perdata yaitu dengan cara mengajukan gugatan perdata yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum. Dimana prosedur pengembalian kerugian keuangan negara melalui gugatan perdata ini sama seperti pengajuan gugtan perdata biasa, seperti pengajuan Gugatan dari Penggugat, selanjutnya ada Eksepsi dari Tergugat, Replik dari Penggugat, kemudian dilanjutkan dengan Duplik dari Tergugat, Pengajuan alat-alat bukti dari kedua belah pihak dan akhirnya diputuskan oleh hakim;

c. Dasar hukum yang mengatur secara tegas tentang kewenangan Jaksa Pengacara Negara untuk mengajukan atau melakukan gugatan secara perdata terhadap ahli waris terdakwa tindak pidana korupsi yang terdakwanya meninggal dunia adalah


(3)

perdata yaitu dengan cara mengajukan gugatan perdata yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum.

B. Saran

a. Dalam kerangka penyelesaian uang pengganti melalui instrumen perdata sangat dibutuhkan faktor pendukung yaitu berupa Jaksa Pengacara Negara yang berpendidikan dan menguasai tekhnik berperkara, artinya harus menguasai hukum perdata materil dan formil. Oleh karena itu Jaksa Pengacara Negara diberikan pendidikan khusus agar lebih memahami hukum perdata secara materil dan formil.

b. Hukum acara yang dipergunakan untuk melakukan gugatan perdata untuk pengembalian kerugian keuangan negara ini adalah masih tunduk pada hukum acara biasa. Hukum acara perdata biasa ini menganut hukum pembuktian formal dimana beban pembuktian terletak pada pihak yang mengendalikan, artinya Jaksa Pengacara Negaralah yang harus melakukan pembuktian. Oleh karena itu sebaiknya dibentuk hukum acara perdata khusus yang dapat dipergunakan untuk mengembalikan kerugian keuanga negara ini, dimana di dalamnya ada diatur asas pembuktian terbalik seperti yang dianut oleh hukum acara pidana untuk pembuktian dalam kasus korupsi. Sehingga membantu Jaksa Negara untuk memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara ini.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Kholis, Efi Laila, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing, Depok, 2010.

Prakoso, Djoko, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987.

---Masalah Ganti Rugi dalam KUHAP, PT Bina Aksara, Jakarta, 1988.

Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

Arif, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 2003.

Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

Roestandi ,Ahmad dan Muchjidin Effendi, Komentar atas Undang-undang No. 05 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, Pradaya Paramita, Jakarta, 1993.

Wojowasito, S dan W. J. S Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Penerbit Hasta, Bandung.

Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Bandung, 1976

Kristiana, Yudi, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.


(5)

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta : Penerbit Intermassa, 1978

Prodjodikoro, Wirjono, Perbuatan Melanggar Hukum, Penerbit Sumur Bandung, Bandung, 1960.

Wiyono, R, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

Prodjohamidjojo, Maritman, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31/1999), Bandung : Penerbit Cv. Mandar Maju, 2001

Mujiran Paulus, Republik Para Maling, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.

Mulyadi Lilik, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan

Masalahnya, Bandung : PT Alumni, 2007.

Ali Afandi, Hukum Waris,Hukum Keluarga,Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta, 2004.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 16 Tahun 2004

Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001


(6)

Situs Internet

diakses tanggal 1 Desember 2010

01 Desember 2010

diakses tanggal 12 Maret 2011

diakses tanggal 15 Maret 2011

01 desember 2010.

diakses tanggal 15 Maret 2011

2011

http://www.progresifjaya.com/NewsPage.php?judul=APA ARTI PERBUATAN MELAWAN HUKUM ITU&kategori_tulisan=Opini, diakses tanggal 13 Maret 2010


Dokumen yang terkait

Pengadaan Barang Yang Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara Ditinjau Dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)

6 100 148

Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

2 48 143

Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia (Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK)

0 55 105

Kewenangan Bpkp Dan Kejaksaan Dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara Terhadap Tindak Pidana Korupsi

0 78 186

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Kewenangan Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengambilan Aset Hasil Korupsi

4 82 183

Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Faktor Yang Meringankan Hukuman Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 40 121

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 6 42

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

0 0 29