Kewenangan Bpkp Dan Kejaksaan Dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara Terhadap Tindak Pidana Korupsi

(1)

KEWENANGAN BPKP DAN KEJAKSAAN DALAM

PENENTUAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN

NEGARA TERHADAP TINDAK

PIDANA KORUPSI

TESIS

Oleh :

JUNITA SITORUS

087005098/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEWENANGAN BPKP DAN KEJAKSAAN DALAM

PENENTUAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN

NEGARA TERHADAP TINDAK

PIDANA KORUPSI

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

JUNITA SITORUS

087005098/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(HALAMAN PENGESAHAN)

Judul Tesis : KEWENANGAN BPKP DAN KEJAKSAAN DALAM PENENTUAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI Nama Mahasiswa : JUNITA SITORUS

Nomor Pokok : 087005098

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,M.Hum) K e t u a

(Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum) (Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum


(4)

Telah lulus diuji pada Tanggal 03 September 2010

PANITIA PEGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,MH Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum

2. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum 3. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum


(5)

ABSTRAKSI

Korupsi membebani masyarakat terutama masyarakat miskin dan menciptakan risiko ekonomi-makro yang tinggi, membahayakan kestabilan keuangan, mengkompromikan keamanan dan hukum serta ketertiban umum, dan di atas segalanya, korupsi merendahkan legitimasi dan kredibilitas negara di mata rakyat. Oleh karena itu lembaga yang tergabung Integrated Criminal Justice

System, seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan Pemasyarakatan harus saling

bekerjasama dalam upaya percepatan pemberantasan korupsi. Kejaksaan dan BPKP melakukan sinergi dan mekanisme koordinasi dalam menentukan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini terlihat dari beberapa peraturan dan Nota Kesepahaman yang melegalisasi kerjasama antara Kejaksaan dan BPKP. Dalam hal penentuan kerugian keuangan negara terhadap kasus korupsi, Kejaksaan dapat meminta bantuan kepada BPKP untuk melakukan audit investigasi dan melakukan perhitungan terhadap indikasi korupsi yang merugian keuangan negara. Berdasarkan hasil audit investigasi dan diskusi dengan BPKP ini, Kejaksaan akan memutuskan apakah akan meneruskan atau menghentikan penyelidikan/ penyidikan.

Metode yang digunakan didalam penelitian ini adalah hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang menggunakan metode yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah : Pertama, bagaimana kewenangan BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi?. Kedua, bagaimana faktor-faktor penghambat dan solusi untuk mengatasi faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi?.

BPKP merupakan salah satu lembaga pemerintah yang bekerja berdasarkan Keppres No. 103 Tahun 2001, yang mengatur bahwa BPKP mempunyai wewenang melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan Kejaksaan sebagai pemegang wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan eksekutor terhadap kasus tindak pidana korupsi yang membangun kerjasama dengan BPKP. Faktor -faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi, secara umum adalah hambatan eksternal berupa belum adanya petunjuk pelaksanaan yang seragam dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara yang dilaksanakan oleh BPKP maupun Kejaksaan, proses penentuan unsur kerugian keuangan negara oleh BPKP akan memperpanjang mata rantai proses penanganan tindak pidana korupsi oleh kajaksaan serta lemahnya sistem pengawasan. Sedangkan untuk hambatan internal yang dialami Kejaksaan


(6)

dan BPKP secara umum adalah kurang profesionalnya sumber daya manusia dan adanya perbedaan persfektif terhadap hasil audit investigasi. Solusi untuk mengatasi faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi secara internal adalah pemerintah perlu menciptakan suatu aturan hukum seragam dalam hal penentuan unsur kerugian keuangan negara yang dilaksanakan oleh BPKP maupun Kejaksaan selaku Penyidik, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia agar seluruh proses dalam hal penentuan unsur kerugian negara dapat lebih efisien dan adanya sistem pengawasan dalam seluruh prosesnya.

Kata kunci : Kewenangan BPKP dan Kejaksaan, unsur kerugian keuangan negara, tindak pidana korupsi


(7)

ABSTRACT

Corruption brings a burden on the society especially on the poor, creates a high risk of macro-economy, endangers financial stability, compromises security, law and public order, and above all, corruption humiliates state legitimating and credibility before its people. Therefore, the institutions associating in Integrated Criminal Justice System such as Corruption Elimination Commission, Indonesian Police, Attorney Institution and Correctional Institution must cooperate in the accelerating the corruption elimination. The Attorney Institution and the Central Finance Controlling Body makes a synergy and the mechanism of coordination in determining the elements of the state finance loss caused by corruption. This can be seen through several regulations and Memo of Understanding legalizing the cooperation between the Attorney Institution and the Central Finance Controlling Body. In determining the loss of state finance caused by corruption, the Attorney Institution can ask the Central Finance Controlling Body to help do the investigation audit and calculate the indication of corruption which has inflicted loss to state finance. Based on the result of investigation audit and discussion with the Central Finance Controlling Body, the Attorney Institution will decide whether they will keep or stop the investigation.

This study employed the normative juridical method or normative legal study, a study referring to the legal norms and principles stated in the regulation of legislation and court decision

The problems to be solved in this study were; first, what authority do the Central Finance Controlling Body and the Attorney Institution have in determining the elements of state finance loss caused by corruption?; second, what inhabiting factors and solution were used to overcome the inhibiting factors in the implementation of the duty and authority of the Central Finance Controlling Body and the Attorney Institution in determining the elements of state finance loss caused by corruption?

The Central Finance Controlling Body is one of the state institutions performing their job based on the Presidential Decree No.103/2001 regulating that the Central Finance Controlling Body has an authority to implement government’s job in the sector of finance and development control in accordance with the existing the stipulation of regulation of legislation while the Attorney Institution is the holder of authority to investigate and execute the corruption cases cooperating with the Central Finance Controlling Body. The inhibiting factors in the implementation of the duty and authority of the Central Finance Controlling Body and the Attorney Institution in determining the elements of state finance loss caused by corruption, in general, are the external constraints in the form of the absence of the uniformed instruction in determining the elements of state finance loss implemented by either the Central Finance Controlling Body or the Attorney Institution. The process of determining the elements of state finance loss by the Central Finance Controlling Body will prolong the chains of the process of corruption control by the Attorney


(8)

Institution and the weakness of control system. In general, the internal constraints faced by the Attorney Institution or the Central Finance Controlling Body are the human resources available are not adequately professional and the existence of different perspective toward the result of investigation audit. The solution to overcome the inhibiting factors in the implementation of the duty and authority of the Attorney Institution or the Central Finance Controlling Body in internally determining the elements of state finance loss caused by corruption are that the government needs to create a uniformed legal regulation in determining the elements of state finance loss done by the Central Finance Controlling Body or the Attorney Institution as the investigator, to increase the capacity of human resources that all of the process in determining the elements of state finance loss can be more efficient, and to apply a good control system in the whole process.

______________________________

Key words: Authority, Central Finance Controlling Body, Attorney Institution, State Finance Loss, Corruption


(9)

KATA PENGANTAR

Syalooomm...,

Segala sembah sujud, Puji Syukur, dan terimaksih penulis ucapkan kepada Allah Bapa dan Yesus Kristus atas segala cinta kasih, pertolongan, kemurahan, dan penyertaanNya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir perkuliahan dalam bentuk Tesis pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Adapun judul dari tesis penulis mengenai “Kewenangan BPKP dan

Kejaksaan dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara terhadap Tindak Pidana Korupsi”. Penyelesaian tesis ini tidak akan selesai tanpa adanya

bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan sampai penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini dengan rasa hormat dan bahagia penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini dan semua pihak yang telah menjadi bagian penting selama penulis menjalankan perkuliahan di Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yaitu :

1. Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc(CTM)., Sp.A (K)., selaku rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.


(10)

2. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan atas kesempatan yang telah diberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing tesis penulis yang telah memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan sampai pada akhirnya meja hijau selalu memberikan arahan, bimbingan yang sangat membantu penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

4. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan dan sekaligus sebagai Penguji dalam tesis ini yang telah memberikan segala masukan dan arahan yang membangun dalam kesempurnaan tesis ini.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum., selaku Anggota Komisi Pembimbing I tesis ini dengan penuh perhatian memberikan bantuan yang sangat besar dengan segala masukan dan arahan dalam menyelesaikan tesis ini dan kesabarannya dalam membimbing penulis mulai dari titik awal penulisan tesis sampai dengan selesainya penulisan tesis ini tepat pada waktunya.


(11)

6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Anggota Komisi Pembimbing tesis ini yang telah memberikan koreksi untuk ksesempurnaan dan mengarahkan penulis sampai selesainya tesis ini.

7. Bapak Syafuddin S. Hasibuan, S.H.,MH., DFM selaku Penguji dalam tesis ini yang telah memberikan masukan dan pendapatnya yang membangun dalam kesempurnaaan tesis ini.

8. Secara Khusus penulis juga mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Orang Tua Penulis yang terkasih dan tercinta, Ayahanda Toga Sitorus dan Ibunda Herta Simanjuntak atas segala daya dan upaya yang telah membimbing, memotivikasi dan segala pengorbanan dan doa yang tulus kepada penulis selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

9. Kepada saudara-saudaraku terkasih, kakak Herlina Sitorus, S.E., abang Alm. Sahat Pandapotan Sitorus, adik-adik ku Merico Sitorus dan Teresya Nova Sitorus, yang telah memberikan dukungan moril dan doanya kepada penulis.

10.Kepada abangku tercinta Hendra Lion Hutasoit, S.H yang akan menjadi pendamping hidupku, yang telah memberikan dorongan, dukungan moril serta doanya kepada penulis selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Magister. Semoga doa dan harapan kita menjadi kenyataan. Shmily.


(12)

11.Kepada Bapak Mukharom, S.H., selaku Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Stabat Di Pangkalan Berandan yang yang telah diberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan; dan kepada para jaksa Bintang, S.H., Candra Kirana, S.H., M. Akbar Sirait, S.H, Nova Suryanita Br Sebayang dan seluruh staff di Cabang Kejaksaan Negeri Stabat Di Pangkalan Berandan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 12.Kepada Bapak Sudjono selaku Kepala BPKP Perwakilan Sumatera Utara,

dan kepada Bapak Ahmad Balatif S.E serta seluruh staff di BPKP Perwakilan Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

13.Kepada Sahabat-sahabat Terbaikku Claudya Eterina Purba, S.H, Melda Simamora, S.H., dan teman-teman seperjuangan Siti Lisa Tarigan, Ade Suryameliya (trio kwek..kwek..), dan seluruh rekan-rekan angkatan XII Kelas Hukum Ekonomi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. 14.Kepada Bapak, Ibu Dosen, Staf dan Pegawai pada Program Studi Magister

Ilmu Hukum Fakultas hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telam memberikan bantuan dalam proses perkuliahan sampai


(13)

dengan penulis menanamkan kuliahnya di Pasca Sarjana fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Semoga Tuhan Yesus Kristus memberikan berkat dan kasih karuniaNya kepada kita semua. Amin.

Medan, September 2010 Penulis

Junita Sitorus


(14)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. Identitas Pribadi

Nama Lengkap : Junita Sitorus

Tempat/Tanggal Lahir : Tanjung Balai / 08 Juni 1986

Agama : Kristen Protestan

Status : Belum Menikah

Alamat : Komplek Taman Setia Budi Indah Blok RR No. 107 Medan

II. Keluarga

NamaAyah : Toga Sitorus

Nama Ibu : Herta Simanjuntak

III. Pendidikan

SD : Tahun 1992 – 1998

SD Swasta Rom Katolik 1 – Tanjung Balai

SMP : Tahun 1998 – 2001

SLTP Swasta Tri Tunggal – Tanjung Balai

SMA : Tahun 2001 – 2004

SMA Swasta Kristen Kalam Kudus – Medan Perguruan Tinggi/S1 : Tahun 2004 – 2008

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Perguruan Tinggi/S2 : Tahun 2008 – 2010

Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... v

RIWAYAT HIDUP... x

DAFTAR ISI... xi

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A.Latar Belakang... 1

B.Permasalahan... 18

C.Tujuan Penelitian... 19

D.Manfaat Penelitian... 19

E. Keaslian Penelitian... 21

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi... 22

1. Kerangka Teori... 22

2. Landasan Konsepsi... 37

G.Metode Penelitian... 56

BAB II : KEWENANGAN BPKP DAN KEJAKSAAN DALAM PENENTUAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI... 61

A. Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Dalam Tindak Pidana Korupsi... 61

1. Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi... 68

2. Perhitungan Kerugian Keuangan dalam Tindak Pidana Korupsi... 80


(16)

B. Tugas, Fungsi dan Wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara

Terhadap Tindak Pidana Korupsi... 85 1. Tugas, Fungsi dan Wewenang BPKP dalam

Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara

Terhadap Tindak Pidana Korupsi ... 87 2. Tugas, Fungsi dan Wewenang Kejaksaan dalam

Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara

Terhadap Tindak Pidana Korupsi ... 107 C. Mekanisme Koordinasi antara BPKP dan Kejaksaan

dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi... 122

BAB III : FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT DAN SOLUSI UNTUK MENGATASI FAKTOR PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BPKP DAN KEJAKSAAN DALAM PENENTUAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI... 131

A. Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPKP dalam Penentuan Unsur Kerugian

Keuangan Negara terhadapTindak Pidana Korupsi ... 131 B. Solusi untuk Mengatasi Hambatan bagi BPKP dalam

Pelaksanaan Tugas dan Wewenang dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara Terhadap Tindak


(17)

Pidana Korupsi... 136

C. Faktor Penghambat bagi Kejaksaan dalam Pelaksanaan Tugas dan Wewenang dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara terhadap Tindak Pidana Korupsi... 138

D. Solusi untuk Mengatasi Hambatan bagi Kejaksaan dalam Pelaksanaan Tugas dan Wewenang dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara Terhadap Tindak Pidana Korupsi... 151

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN... 157

A. Kesimpulan... 157

B. Saran... 159


(18)

ABSTRAKSI

Korupsi membebani masyarakat terutama masyarakat miskin dan menciptakan risiko ekonomi-makro yang tinggi, membahayakan kestabilan keuangan, mengkompromikan keamanan dan hukum serta ketertiban umum, dan di atas segalanya, korupsi merendahkan legitimasi dan kredibilitas negara di mata rakyat. Oleh karena itu lembaga yang tergabung Integrated Criminal Justice

System, seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan Pemasyarakatan harus saling

bekerjasama dalam upaya percepatan pemberantasan korupsi. Kejaksaan dan BPKP melakukan sinergi dan mekanisme koordinasi dalam menentukan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini terlihat dari beberapa peraturan dan Nota Kesepahaman yang melegalisasi kerjasama antara Kejaksaan dan BPKP. Dalam hal penentuan kerugian keuangan negara terhadap kasus korupsi, Kejaksaan dapat meminta bantuan kepada BPKP untuk melakukan audit investigasi dan melakukan perhitungan terhadap indikasi korupsi yang merugian keuangan negara. Berdasarkan hasil audit investigasi dan diskusi dengan BPKP ini, Kejaksaan akan memutuskan apakah akan meneruskan atau menghentikan penyelidikan/ penyidikan.

Metode yang digunakan didalam penelitian ini adalah hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang menggunakan metode yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah : Pertama, bagaimana kewenangan BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi?. Kedua, bagaimana faktor-faktor penghambat dan solusi untuk mengatasi faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi?.

BPKP merupakan salah satu lembaga pemerintah yang bekerja berdasarkan Keppres No. 103 Tahun 2001, yang mengatur bahwa BPKP mempunyai wewenang melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan Kejaksaan sebagai pemegang wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan eksekutor terhadap kasus tindak pidana korupsi yang membangun kerjasama dengan BPKP. Faktor -faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi, secara umum adalah hambatan eksternal berupa belum adanya petunjuk pelaksanaan yang seragam dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara yang dilaksanakan oleh BPKP maupun Kejaksaan, proses penentuan unsur kerugian keuangan negara oleh BPKP akan memperpanjang mata rantai proses penanganan tindak pidana korupsi oleh kajaksaan serta lemahnya sistem pengawasan. Sedangkan untuk hambatan internal yang dialami Kejaksaan


(19)

dan BPKP secara umum adalah kurang profesionalnya sumber daya manusia dan adanya perbedaan persfektif terhadap hasil audit investigasi. Solusi untuk mengatasi faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi secara internal adalah pemerintah perlu menciptakan suatu aturan hukum seragam dalam hal penentuan unsur kerugian keuangan negara yang dilaksanakan oleh BPKP maupun Kejaksaan selaku Penyidik, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia agar seluruh proses dalam hal penentuan unsur kerugian negara dapat lebih efisien dan adanya sistem pengawasan dalam seluruh prosesnya.

Kata kunci : Kewenangan BPKP dan Kejaksaan, unsur kerugian keuangan negara, tindak pidana korupsi


(20)

ABSTRACT

Corruption brings a burden on the society especially on the poor, creates a high risk of macro-economy, endangers financial stability, compromises security, law and public order, and above all, corruption humiliates state legitimating and credibility before its people. Therefore, the institutions associating in Integrated Criminal Justice System such as Corruption Elimination Commission, Indonesian Police, Attorney Institution and Correctional Institution must cooperate in the accelerating the corruption elimination. The Attorney Institution and the Central Finance Controlling Body makes a synergy and the mechanism of coordination in determining the elements of the state finance loss caused by corruption. This can be seen through several regulations and Memo of Understanding legalizing the cooperation between the Attorney Institution and the Central Finance Controlling Body. In determining the loss of state finance caused by corruption, the Attorney Institution can ask the Central Finance Controlling Body to help do the investigation audit and calculate the indication of corruption which has inflicted loss to state finance. Based on the result of investigation audit and discussion with the Central Finance Controlling Body, the Attorney Institution will decide whether they will keep or stop the investigation.

This study employed the normative juridical method or normative legal study, a study referring to the legal norms and principles stated in the regulation of legislation and court decision

The problems to be solved in this study were; first, what authority do the Central Finance Controlling Body and the Attorney Institution have in determining the elements of state finance loss caused by corruption?; second, what inhabiting factors and solution were used to overcome the inhibiting factors in the implementation of the duty and authority of the Central Finance Controlling Body and the Attorney Institution in determining the elements of state finance loss caused by corruption?

The Central Finance Controlling Body is one of the state institutions performing their job based on the Presidential Decree No.103/2001 regulating that the Central Finance Controlling Body has an authority to implement government’s job in the sector of finance and development control in accordance with the existing the stipulation of regulation of legislation while the Attorney Institution is the holder of authority to investigate and execute the corruption cases cooperating with the Central Finance Controlling Body. The inhibiting factors in the implementation of the duty and authority of the Central Finance Controlling Body and the Attorney Institution in determining the elements of state finance loss caused by corruption, in general, are the external constraints in the form of the absence of the uniformed instruction in determining the elements of state finance loss implemented by either the Central Finance Controlling Body or the Attorney Institution. The process of determining the elements of state finance loss by the Central Finance Controlling Body will prolong the chains of the process of corruption control by the Attorney


(21)

Institution and the weakness of control system. In general, the internal constraints faced by the Attorney Institution or the Central Finance Controlling Body are the human resources available are not adequately professional and the existence of different perspective toward the result of investigation audit. The solution to overcome the inhibiting factors in the implementation of the duty and authority of the Attorney Institution or the Central Finance Controlling Body in internally determining the elements of state finance loss caused by corruption are that the government needs to create a uniformed legal regulation in determining the elements of state finance loss done by the Central Finance Controlling Body or the Attorney Institution as the investigator, to increase the capacity of human resources that all of the process in determining the elements of state finance loss can be more efficient, and to apply a good control system in the whole process.

______________________________

Key words: Authority, Central Finance Controlling Body, Attorney Institution, State Finance Loss, Corruption


(22)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi telah sejak lama terjadi di Indonesia. Praktik-praktik seperti penyalahgunaan wewenang, penyuapan, pemberian uang pelicin, pungutan liar, pemberian imbalan atas dasar kolusi dan nepotisme serta penggunaan uang Negara untuk kepentingan pribadi, oleh masyarakat diartikan sebagai suatu perbuatan korupsi dan dianggap sebagai hal yang lazim terjadi di negara ini. Ironisnya, walaupun usaha-usaha pemberantasannya sudah dilakukan lebih dari empat dekade, praktik-praktik korupsi tersebut tetap berlangsung, bahkan ada kecenderungan modus operandinya lebih canggih dan terorganisir, sehingga makin mempersulit penanggulangannya.1

Citra Indonesia sebagai negara terkorup sudah sampai pada tingkat nadir. Banyak penelitian yang bertaraf internasional menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup. Pada awal tahun 2004, lembaga Political dan Economic

Risk Consultancy mengadakan survey mengenai korupsi di dua belas negara

Asia. Dalam penelitiannya, lembaga konsultan itu menentukan skala angka 0-10. Semakin tinggi korupsi di negara yang bersangkutan, maka semakin tinggi pula nilai yang diperolehnya. Berapa nilai yang diperoleh Indonesia? Nyaris

1

BPKP, Tim Pengkajian SPKN RI, Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan Pelayanan Masyarakat, Jakarta, 2002, hal. 6.


(23)

sempurna. Hampir 10. Negara ini memperoleh nilai 9,25. Paling tinggi di antara 11 negara lainnya. Artinya, Indonesia adalah negara paling korup di antara dua belas negara Asia. Singapura memperolah nilai terendah, yaitu 0,5, artinya negara yang paling bersih dari praktik-praktik korupsi.2

Korupsi harus diberantas, karena dampak negatif yang ditimbulkan. Korupsi membebani masyarakat Indonesia terutama masyarakat miskin. Korupsi juga menciptakan risiko ekonomi-makro yang tinggi, membahayakan kestabilan keuangan, mengkompromikan keamanan dan hukum serta ketertiban umum, dan di atas segalanya, korupsi merendahkan legitimasi dan kredibilitas negara di mata rakyat.3 Padahal kekayaan negara yang dikorup jumlahnya sangat besar. Kwik Kian Gie pernah memberikan gambaran betapa besar kekayaan negara yang dikorup (per tahun), yang disebutkan melebihi APBN4.

Adolfo Beria memandang korupsi sebagai fenomena dunia, keberadaannya mengikuti sejarah manusia itu sendiri.5 Lebih lanjut Adolfo Beria menyatakan bahwa:

2

Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, Grafitri, Bandung, 2006, hal. 15.

3

Kompas, Fokus, “Memerangi Korupsi, Hanya Sata Kata: Lawan”, 25 Oktober 2003.

4

Menurut Kwik Kian Gie: “Ikan, pasir dan kayu yang dicuri senilai 90 triliun rupiah, pajak yang dibayarkan oleh pembayar pajak tetapi tidak masuk ke kas negara 240 trilyun rupiah, subsidi kepada perbankan yang tak pernah akan sehat 40 trilyun rupiah, kebocoran dalam APBN 20% dari 370 trilyun rupiah yaitu 74 trilyun rupiah. Dengan demikian jumlah yang dikorup kurang lebih 444 trilyun rupiah, lebih besar dari keseluruhan APBN tahun 2003”. Periksa: Kompas, ibid.

5

Adolfo Beria, Global Strategi Against Corruption, dalam Responding to Corruption: Social Defence, Corruption, and the Protection of Public Administration and The Independence of Justice, updated documens on the XIII International Conggres on Social Defence, Lecce Italy 1996, diedit oleh Paolo Bernasconi, 2000, hal. 23.


(24)

“There is no primordial indigenous culture without its phenomena of corruption; there is no system (from that of USA to that of Japan) which is free from vast areas of corruption; there is no centre of government (from the prairies of America to the communist collectivizations) which has not been vitiated or distorted by corruption; there is no religion (Eastern, Judaic- Christian or Islamic) which has not had to confront evils connected to corruption; there is no Empire (be it Persian, Roman, British or Soviet) which has not experienced and has not been damaged by corruption”.6

Fakta bahwa tindak pidana korupsi tumbuh dan berkembang dengan subur di negeri ini sungguh tidak terbantahkan. Masyarakat di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional semua mafhum tentang maraknya tipikor dalam berbagai bidang, bentuk dan modus operandi yang menguras kekayaan negara dan menyengsarakan rakyat. Pada saat bersamaan, tekanan tentang perlunya penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai dengan norma good governance dan clean government serta penyelengaaran perusahaan, terutama Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D), yang sejalan dengan prinsip good corporate governance dilontarkan semakin gencar dan meluas serta persisten oleh kalangan mahasiswa, pengusaha, profesional, akademisi serta masyarakat luas yang merindukan tegaknya keadilan. Substansi utama dari tuntutan tersebut bermuara pada seruan pemberantasan tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahaan dan pengelolaan BUMN/D. Semua kalangan juga sepakat bahwa salah satu instrumen yang sangat penting dalam upaya pemberantasan tipikor adalah sistem hukum dan proses peradilan yang obyektif, fair, transparan dan konsisten.

6


(25)

Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan konteks politik, sosial ekonomi dan budaya. Berbagai upaya pemberantasan korupsi sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi. Hal ini menurut Bintoro Tjokroamidjojo dalam Ninik Mariyanti, adalah disebabkan :

1. Persoalan korupsi memang merupakan persoalan yang rumit. 2. Sulitnya menemukan bukti

3. Adanya kekuatan yang justeru menghalangi pembersihan itu.

Kompleksitas kejahatan korupsi mustahil dapat dicari jalan keluarnya hanya dengan pendekatan parsial. Dalam ketentuan hukum internasional, selain korupsi sebagai kejahatan luar biasa akibat adanya penyalahgunaan kewenangan (abuse of

power) yang telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bernegara. Juga kejahatan

korupsi menjadi sangat sulit diberantas karena muara utamanya berada pada instutusi penegak hukum. Hasil Survey Lembaga Transparansi Internasional (TI), mengungkapkan bahwa Lembaga-Lembaga vertical, (Polisi, Peradilan, Pajak, Imigrasi, Bea Cukai, Militer, dll), masih dipersepsikan sangat korup. Menurut versi TI, bahwa lembaga peradilan merupakan lembaga paling tinggi tingkat inisiatif


(26)

meminta suap (100%), disusul Bea Cukai (95%), Imigrasi (90%), BPN (84%), Polisi (78%) dan Pajak (76%). 7

Oleh karenanya, pemberantasan korupsi harus komprehensif dengan melibatkan semua komponen aparat penegak hukum dan masyarakat. Pembentukan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta penyelenggaraan proses peradilan untuk kasus dugaan korupsi oleh pengadilan tindak pidana korupsi, merupakan perkembangan yang sangat menggembirakan dan mencuatkan harapan besar serta keyakinan kuat di kalangan masyarakat luas bahwa pemberantasan korupsi melalui upaya hukum dan proses peradilan akan berjalan secara cepat, akurat, komprehensif, tuntas dan konsisten. Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi dengan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 ini, bertujuan untuk lebih mempercepat pemberantasan korupsi represif. Dengan demikian pemerintah c.q Presiden menilai bahwa pemberantasan korupsi yang berlangsung selama ini masih lamban atau kurang cepat. Penilaian Presiden bukan saja ditujukan kepada kinerja lembaga pemerintahan yang dipimpinnya yang merupakan sub sistem dalam sistem peradilan pidana yaitu Kejaksaan dan Kepolisian, tetapi juga ditujukan kepada KPK. Terhadap KPK yang merupakan lembaga negara independen yang bertanggung jawab kepada publik sudah

7

Thontowi Jawahir, Prospek Pemberantasan Korupsi: Perimbangan Kewenangan KPK dengan Institusi Penegak Hukum, diakses dari situs : http://www. journal.uii.ac.id/index.php/Unisia/article/view/168/159, hal. 2, diakses pada hari Kamis tanggal 15 April 2009 pukul 11.25 WIB.


(27)

tentu Presiden tidak dapat menjangkaunya, oleh karena itu jalan pintas yang bisa ditempuh oleh Presiden adalah memberdayakan lembaga pemerintahan yang berada di dalam kewenangannya dan kendalinya dengan mengkoordinasikannya dalam suatu wadah yaitu Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor), sehingga terbentuk sinergi yang bulat. Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya bukan lembaga baru dengan status, tugas, dan wewenang yang khsusus seperti KPK, tetapi hanya merupakan wadah koordinasi dimana semua unsur di dalamnya yaitu Kejaksaan, Kepolisian, dan BPKP melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing dalam koordinasi agar lebih berdaya guna dan berhasil guna. Tidak ada atau lemahnya koordinasi antara lembaga-lembaga pemerintahan tersebut, kita lihat dan kita rasakan dengan nyata seolah-olah lembaga itu berjalan sendiri-sendiri, sehingga potensi-potensi yang ada tidak menghasilkan sesuatu yang optimal. Hal ini rupanya juga dilihat dan disadari oleh pemerintah c.q. Presiden, sehingga dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi.8

Oleh media massa diberitakan bahwa Tim Tastipikor menerima sembilan belas laporan kasus korupsi langsung dari Presiden. Sebagai pengendali pemberantasan korupsi yang dicanangkan oleh pemerintah, tidak ditutup kemungkinan bahwa Presiden menerima laporan tentang terjadinya kasus-kasus korupsi dari segala sumber termasuk dari masyarakat luas. Untuk menindaklanjuti

8

Demikian disampaikan anggota KHN, Suhadibroto saat menjadi narasumber pada talkshow program reformasi hukum nasional yang diselenggarakan atas kerjasama KHN dengan Radio 68 H Jakarta, dan disiarkan langsung melalui satelit 89,20 FM, pukul 09.00 – 09.30, Senin, 30 Mei 2005.


(28)

laporan yang diterima itu Presiden bisa menyerahkan kepada Kejaksaan atau kepada Kepolisian, tetapi dalam hubungan ini Presiden menempuh kebijaksanaan yang arif, yaitu menyerahkan laporan kasus korupsi itu kepada Kejaksaan dan Kepolisian bersama-sama yang dibantu oleh BPKP dalam wadah Tim Tastipikor untuk diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku. Dalam wadah Tim Tastipikor penyelesaian suatu kasus korupsi juga diharapkan bisa lebih cepat, karena tidak lagi terjadi berkas perkara mondar mandir atau bolak balik antara penyidik dan penuntut umum (seperti terjadi dalam kasus-kasus pidana umum), mengingat penyidik dan penuntut umum berada di bawah satu atap dan dipimpin oleh orang yang sama. Dengan dan dalam wadah Tim Tastipikor nuansa persaingan yang terjadi antara Kejaksaan dan Kepolisian khususnya tentang kewenangan penyidikan yang berdampak negatif dalam penegakan hukum bisa dinetralisasi, dan tumpang tindih kewenangan penyidikan kasus korupsi yang terjadi selama ini justru bisa diatasi dan timbullah sinergi.

Dalam Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 Tim Tastipikor tersebut dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Tim Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi bekerja sama dan/atau berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Ombudsman Nasional, dan instansi lain. Dalam hubungannya dengan KPK, kemungkinan terjadinya tumpang tindih kewenangan dengan Tim Tastipikor tidak perlu ada, mengingat status KPK sebagai “super body” dengan tugas dan wewenangnya yang khusus dapat mengatasi


(29)

kemungkinan ini. Sebagaimana tersebut di atas, KPK mempunyai kewenangan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi, termasuk Kejaksaan maupun Kepolisian di dalam wadah Tim Tastipikor maupun di luarnya. KPK berwenang meminta laporan dari Tim Tastipikor bahkan berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan perkara korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan atau Kepolisian yang tergabung dalam Tim Tastipikor maupun di luarnya.

Mengingat korupsi yang semakin meningkat kuantitatif maupun kualitatif, tidak mungkin semua kasus korupsi yang terungkap mampu ditangani oleh KPK. Sesuai dengan Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK membatasi diri hanya akan menangani kasus korupsi tertentu, yaitu kasus yang melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara, kasus yang menarik perhatian serta meresahkan masyarakat, atau kasus yang merugikan keuangan negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00,-. Sehingga kasus-kasus korupsi lain tentunya harus ditangani oleh Kejaksaan maupun Kepolisian yang saat ini terwadahi dalam Tim Tastipikor.

Apakah di daerah juga akan dibentuk Tim Tastipikor, mengingat kasus-kasus korupsi juga banyak diungkap dan ditangani oleh Kejaksaan maupun Kepolisian dengan bantuan BPKP di daerah. Demi mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal dalam pemberantasan korupsi represif, rasanya Tim Tastipikor juga perlu dibentuk di daerah dengan format yang lebih kecil dan mempunyai hubungan vertikal dengan Tim Tastipikor di pusat. Bila Tim Tastipikor ini berhasil melaksanakan


(30)

tugasnya, perlu dipertimbangkan untuk memperpanjang masa tugasnya yang hanya dua tahun itu, sehingga koordinasi antara Kejaksaan dan Kepolisian serta BPKP menjadi pola yang baku dan tetap, sehingga terciptalah sistem yang terintegrasi yang berjalan secara otomatis khususnya dalam pemberantasan korupsi represif.

Kebijaksanaan Presiden menunjuk Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus) sebagai ketua Tim Tastipikor mengingat, bahwa dalam sistem peradilan pidana (represif), jaksa memegang peran krusial, sebagai penuntut umum yang menyampaikan pertanggungan jawab penyelidikan dan penyidikan di depan forum yudikatif mulai dari tingkat pertama di Pengadilan Negeri, tingkat banding di Pengadilan Tinggi, tingkat kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, peran lembaga kejaksaan sangat menentukan keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Satjipto Rahardjo dengan penuh harap meminta kejaksaan untuk berani bertindak cepat, pro-aktif, dan meninggalkan cara-cara konvensional dengan penegakan hukum progresif yang penuh greget. Namun demikian, menurut Romli Atmasasmita pemberantasan korupsi bukanlah perkara yang mudah dan segera dapat diatasi karena:

“Sistem penyelenggaraan pemerintahan yang mentabukan transparansi dan mengedepankan kerahasiaan dan ketertutupan; dengan menepiskan akuntabilitas publik dan mengedepankan pertanggungjawaban vertikal yang dilandaskan pada primordialisme; yang menggunakan sistem rekruitmen dan mutasi atas dasar koncoisme baik yang didasarkan kesamaan etnis, latar belakang politik, atau politik balas jasa”.9

9

Romli Atamasasmita, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Bandung, Mandar Maju, 2004, hal. 1-2.


(31)

MA. Rachman, Jaksa Agung pada masa pemerintahan Megawati, pernah menyatakan bahwa:

“Jajaran Kejaksaan sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi secara represif di seluruh Indonesia selama ini telah berusaha secara maksimal untuk menegakkan hukum dengan menuntut para pelaku tindak pidana korupsi ke Pengadilan. Dari data kuantitatif penanganan kasus-kasus korupsi selama kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, sejak tahun 1994 s/d 2003 jumlah perkara korupsi yang dilimpahkan ke Pengadilan pada tahun 2003 mencapai angka tertinggi, yaitu 539 perkara, dan sampai awal April 2004 mencapai 574 perkara. Upaya penegakan hukum terhadap pelaku-pelaku korupsi sampai saat ini masih terus berlangsung dan terus diintensifkan sejalan dengan semakin meningkatnya tuntutan dari berbagai kalangan baik melalui forum politik (MPR/DPR/DPRD) forum akademis di berbagai perguruan tinggi maupun dari kalangan pemerhati hukum dan LSM”.10

Berdasarkan Pasal 30 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, berikut adalah tugas dan wewenang Kejaksaan.

Di bidang pidana :

a. melakukan penuntutan;

b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang;

10

MA. Rachman, Hambatan, Tantangan dan Kendala Pemberantasan Korupsi di Kejaksaan, makalah disampaikan dalam seminar “Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korupsi, diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung RI bekerjasama dengan FH UNDIP, Semarang, 6-7 Mei 2004.


(32)

e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Dalam penanganan tindak pidana khusus misalnya korupsi, tindak pidana ekonomi, jaksa diberi wewenang mengadakan penyidikan. Hal ini kadang kala membuat kebingungan di pihak kepolisian pada saat melakukan penyidikan karena berkenaan dengan kewenangan melakukan penyidikan . Sehingga kadang kala dapat terjadi benturan antara kejaksaan dan kepolisian.11

Tugas jaksa penuntut umum dalam proses peradilan pidana adalah melakukan penuntutan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku kejahatan. Fungsi ini membawa jaksa penuntut umum ke dalam proses peradilan pidana dari penahanan ke pemidanaan12 Lembaga Kejaksaan dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 telah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan. Kejaksaan memiliki peran yang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana masuk ke pengadilan adalah tergantung sepenuhnya oleh Kejaksaan (Penuntut Umum). Peran yang amat besar inilah seharusnya dibarengi dengan independensi dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, karena tanpa independensi dari kejaksaan maka akan sangat sulit mengharapkan independensi kekuasaan peradilan pidana. Dalam praktek peradilan pidana, meskipun hakim bebas tetap terikat dengan apa yang didakwakan oleh

11

Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, Medan, Usu Press, 2009, hal. 29.

12


(33)

penuntut umum. Hakim tidak boleh memutus apa yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum.

Tugas dan wewenang lembaga kejaksaan sangat luas untuk kepentingan umum yang di dalamnya menjangkau area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara. Tugas dan wewenang yang sangat luas ini pelaksanaannya dipimpin dan dikendalikan serta dipertanggungjawabkan oleh seseorang yang diberi predikat Jaksa Agung. Oleh karena itu, peranan Jaksa Agung dalam kehidupan bernegara menjadi sangat krusial (vitally important), lebih-lebih pada saat ini, dimana negara sedang dalam proses reformasi yang salah satu agendanya adalah terwujudnya supremasi hukum.

Realitas di lapangan menyadarkan betapa tantangan dan hambatan yang dihadapi tim pemberantasan dan pengadilan tindak pidana korupsi sangat besar, berat dan kuat. Kuatnya jalinan kepentingan politik, kekuasaan dan finansial antara aktor intelektual dan operator pelaku tindak pidana korupsi memiliki daya tolak yang sangat kuat tehadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Jejaring yang terbentuk dalam berbagai modus operandi tindak pidana korupsi mempersulit pilihan strategi dan taktik pemberantasan tindak pidana korupsi secara menyeluruh, cepat dan tuntas sebagaimana diharapkan oleh masyarakat luas. Sedangkan strategi dan taktik pemberantasan tindak pidana korupsi secara bertahap berdasarkan skala prioritas menimbulkan kesan kuat bahwa upaya pemberantasan korupsi lebih bersifat kejar


(34)

tayang dan tebang pilih ketimbang upaya serius dan konsisten untuk menegakkan keadilan.13

Dihadapkan pada situasi sulit tersebut, tim pemberantasan (KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan BPKP) dan pengadilan tindak pidana korupsi perlu mendapatkan penguatan eksternal dan internal. Penguatan eksternal bersumber dari terciptanya konsensus nasional tentang strategi dan pendekatan penanganan tindak pidana korupsi yang optimal dan dapat diterima masyarakat luas. Pada aspek penguatan internal, KPK bersama tim pemberantasan dan pengadilan tindak pidana korupsi perlu menindaklanjuti konsesus nasional dengan rencana tindakan yang meliputi penyiapan dan pengembangan kebijakan, perangkat, proses dan teknis penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang dapat meyakinkan masyarakat luas bahwa semua itu dilakukan secara serius, berkualitas, konsisten dan sistematis. Jalan kearah terciptanya konsesus nasional mengenai penanganan tindak pidana korupsi memang sangat terjal. Perdebatan publik tak akan pernah habis dan sulit menghasilkan kesepakatan tentang dua hal pokok dalam penanganan tindak pidana korupsi, yaitu penanganan terhadap tersangka pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) dan penyelamatan kekayaan negara.

13

Sudarwan, Konsensus Nasional Penanganan Tindak Pidana Korupsi : Penegakan Keadilan atau Kejar Tanyang dan Tebang Pilih, diakses dari situs : http://pascasarjana.esaunggul.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=145:konsesus-nasional-penanganan-tindak-pidana-korupsi-penegakan-keadilan-atau-kejar-tayang-dan-tebang pilih&catid=57:artikel&Itemid=80, diakses pada hari Selasa tanggal 20 Juli 2010 pukul 18.15 WIB.


(35)

Setiap koruptor yang mencuri kekayaan negara tanpa pandang bulu harus diproses ke pangadilan, dibuktikan bersalah, divonis kurungan badan dan disita asetnya untuk mengganti kerugian negara akibat dari tindakan koruptor tersebut. Namun dalam realisasinya hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dalam kenyataannya masalah pengembalian kekayaan negara sangat sulit dilakukan. Hal ini bermula dari susahnya persoalan dalam menentukan unsur kerugian negara sampai pada rumitnya masalah pembuktian adanya kerugian negara dalam tindak pidana korupsi.

Khusus mengenai masalah pembuktian mengenai adanya kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi, BPKP sebagai bagian dari tim pemberantasan tindak pidana korupsi memiliki wewenang untuk itu. BPKP merupakan salah satu lembaga pemerintah yang bekerja berdasarkan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen Presiden Republik Indonesia, yang mengatur bahwa BPKP mempunyai wewenang melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu tugas BPKP adalah melakukan pengawasan intern melalui audit investigatif. Yang dimaksud audit investigatif adalah merupakan bagian dari pengawasan intern pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).


(36)

Pada dasarnya semangat audit investigatif oleh BPKP berdasarkan persfektif undang-undang di atas bukan merupakan audit yang hasilnya dapat dijadikan dasar untuk mengungkap kasus korupsi tetapi lebih merupakan tindakan pengawasan (bukan pemeriksaan) internal pemerintahan yang bersifat preventif, yaitu berupa laporan pertanggungjawaban kepada presiden. Artinya BPKP memperoleh kewenangannya melalui delegasi Presiden sebagai sistem internal pengendali pemerintah. BPKP sebagai pengawas internal memberikan peringatan dini sebelum adanya temuan BPK. Sehingga seharusnya BPKP kalaupun sampai pada tindak pidana korupsi sebenarnya bukan merupakan upaya terakhir (ultimum remedium), setelah melalui proses tuntutan ganti rugi ataupun proses administratif internal lainnya. 14

Audit investigatif dalam tindak pidana korupsi sebenarnya bukan merupakan domain BPKP. Kewenangan audit investigatif secara atributif ada pada BPK sebagaimana dalam Undang-undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Undang-undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan.

Dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara diatur mengenai kewenangan BPK yang dapat melaksanakan audit investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian

14

Duke Arie, Kewenangan Audit Investigatif BPKP dan Korupsi, diakses dari situs : http://gorontalomaju.com/opini/artikel-lainnya/kewenangan-audit-investigatif-bpkp-dan-korupsi.html, diakses pada hari Selasa tanggal 20 Juli 2010 pukul 16.20 WIB.


(37)

negara/daerah dan/atau unsur pidana, dan apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana maka BPK harus segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang.15

Selanjutnya Undang-undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan secara jelas memberikan kewenangan kepada BPK untuk melaporkan hasil audit investigatif yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang, untuk kemudian dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 16 Hal ini senada dengan Undang-undang No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan negara yang memberikan kewenangan kepada BPK untuk menindaklanjuti hasil audit yang mengandung unsur pidana.17 Dengan demikian, hasil audit investigatif yang dapat digunakan oleh penyidik sebagai alat bukti dalam kasus tindak pidana korupsi adalah hasil audit investigatif yang dikeluarkan oleh BPK. Namun dalam hal pelaksanaannya, hasil audit investigatif BPKP pun sering dijadikan alat bukti untuk mengungkap kasus korupsi.

Berdasarkan pemikiran di atas, penulis menganggap perlu melakukan penelitian yang berjudul “Kewenangan BPKP dan Kejaksaan dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara terhadap Tindak Pidana Korupsi”. Penelitian ini dianggap menarik karena penulis ingin melihat bagaimana bentuk koordinasi dan

15

Pasal 13 dan 14 UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

16

Pasal 8 Undang-undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan.

17


(38)

kerjasama antara kejaksaan dan BPKP dalam menentukan unsur kerugian keuangan negara untuk kasus tindak pidana korupsi. Karena beberapa kasus memberikan fakta akan adanya koordinasi yang harus dibangun antara BPKP dengan Kejaksaan, karena seringkali ada kesan bahwa beberapa kasus hanya mengakui BPKP sebagai satu-satunya alat bukti yang dapat menentukan besarnya kerugian negara. Hal ini terbukti dari banyaknya perkara korupsi di tingkat kepolisian maupun kejaksaan yang berkas perkaranya belum lengkap karena menunggu hasil audit BPKP. Misalnya pada kasus PLTG Borang dimana Kejaksaan tetap bersikeras menginginkan hasil audit BPKP karena menurutnya saksi ahli lain tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga penyidikan pun dihentikan karena hanya menggunakan ahli independen untuk menyatakan ada unsur kerugian negara.

Jadi, BPKP merupakan bagian Tim Pemberantasan Korupsi selain KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. BPKP dalam melaksanakan perannya bersinergi dengan penegak hukum yang lain seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. BPKP ini fungsinya tidak bisa melakukan penangkapan seperti kejaksaan, tapi membantu penyidik untuk bisa melakukan penangkapan, jadi BPKP fungsinya bisa membantu penyidik dalam rangka audit investigatif yaitu audit terhadap kegiatan-kegiatan yang diduga mengandung penyimpangan-penyimpangan dan berindikasi Tindak Pidana Korupsi. Kemudian membuat laporan, laporan audit investigasi itu apabila terpenuhi unsur tindak pidana korupsi diserahkan kepada penyidik untuk diproses lebih lanjut.


(39)

Selanjutnya apabila penyidik sudah sampai pada tahap penyidikan. Hal yang sama juga dilakukan oleh KPK juga meminta bantuan kepada BPKP untuk menghitung kerugian keuangan negara dan apabila laporan perhitungan kerugian keuangan negara sudah selesai diserahkan kepada penyidik yaitu jaksa, polisi, KPK, untuk diproses lebih lanjut apabila terpenuhi tindak pidana korupsi untuk diproses lebih lanjut sampai penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan dan sebagainya. Pada tahap dimana Penyidik sudah menyelesaikan tugasnya, BPKP ini masih membantu lagi dalam rangka memberikan keterangan ahli dipersidangan, jadi BPKP ini sangat berperan penting sampai dipersidangan. Jadi yang berhak melakukan penangkapan adalah penyidik, BPKP hanya bisa memberikan sarana berupa hasil audit, memberikan laporan agar dapat melakukan penangkapan terhadap tersangka tindak pidana korupsi. Peran BPKP membantu penyidik memberikan kontribusi, data, laporan, hasil audit investigatif maupun perhitungan kerugian keuangan negara yang dapat digunakan untuk proses hukum tadi. Jadi peran, fungsi, wewenang dan dan mekanisme koordinasi antara BPKP dan Kejaksaan dinilai menarik untuk diangkat dalam sebuah penelitian.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dibatasi sebagai berikut:


(40)

1. Bagaimana kewenangan BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi.

2. Bagaimana faktor-faktor penghambat dan solusi untuk mengatasi faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kewenangan BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dan solusi untuk mengatasi faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dilihat dari 2 (dua) sisi yaitu :


(41)

Dari sudut penerapannya dalam ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan masukan dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia yang dewasa ini sedang sangat gencar dilakukan oleh Pemerintah dengan memaksimalkan peran, fungsi dan wewenang sampai pada mekanisme koordinasi antara BPKP dan Kejaksaan sebagai bagian dari Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam menangani suatu perkara tindak pidana korupsi.

2. Secara Praktis a. Bagi Pemerintah

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah agar segera merumuskan peraturan perundang-undangan yang untuk selanjutnya dapat dijadikan pedoman oleh masing-masing lembaga khususnya BPKP dan Kejaksaan dalam rangka memaksimalkan peran, fungsi dan wewenang lembaga-lembaga tersebut dalam rangka mendukung upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Permasalahan ini sangat penting dikemukakan karena tidak menutup kemungkinan akan terjadi ketidakkonsistenan peran, fungsi dan BPKP sebagai bagian dari Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Karena terkadang hasil audit investigasi BPKP tidak dapat dijadikan alat bukti karena hasil audit investigasi BPKP bukan merupakan audit yang hasilnya dapat dijadikan dasar untuk mengungkap kasus korupsi tetapi lebih merupakan tindakan pengawasan (bukan pemeriksaa) yang bersifat preventif, yaitu merupakan


(42)

laporan pertanggungjawaban kepada presiden. BPKP sebagai pengawas internal memberikan peringatan dini sebelum adanya temuan BPK. Namun untuk beberapa kasus, hasil audit BPKP dianggap sebagai satu-satunya alat bukti dalam kasus tindak pidana korupsi seperti contoh kasus PLTG Borang sebagaimana disebutkan di atas. Sedangkan untuk Kejaksaan, penelitian ini dianggap penting karena sebagaimana diketahui bahwa Kejaksaan sebagai salah satu pilar penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, sehingga Kejaksaan harus melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik. b. Bagi Dunia Pendidikan dan Akademisi

Penelitian ini diharapkan juga bermanfaat bagi dunia pendidikan dan akademisi khususnya dalam rangka menumbuhkan kesadaran hukum anti

korupsi dan kesadaran hukum untuk berperan memberantas korupsi. c. Bagi Masyarakat

Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya dalam upaya mengembalikan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, khususnya terhadap political will pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang


(43)

“Kewenangan BPKP dan Kejaksaan dalam Penentuan Unsur Kerugian Negara terhadap Tindak Pidana Korupsi” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang tindak pidana korupsi tapi dengan persfektif dan kajian yang berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Penelitian ini juga terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun dalam rangka penyempurnaan.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka Teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara deduktif ataupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam tesis ini berada dalam ruang lingkup ilmu hukum, maka konsep-konsep yang akan digunakan sebagai sarana analisis adalah konsep-konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum yang dianggap paling relevan. Sebagai acuan pokok untuk mengorganisasi dan menganalisa masalah tesis ini, penulis mengunakan Konsep “Pembagian Kekuasaan” dan “Konsep Sistem Peradilan Pidana”.


(44)

Salah satu ciri negara hukum, yang disebut the rule of law atau dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Oleh karena itu, konsep negara hukum juga disebut sebagai negara konstitusional atau constitutional state, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam gagasan yang sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan istilah constitutional democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.

Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan dilakukan dengan pola-pola pembatasan di dalam pengelolaan internal kekuasaan negara itu sendiri, yaitu dengan mengadakan pembedaan dan pemisahan kekuasaan negara kedalam fungsi-fungsi yang berbeda-beda. Dalam hubungan ini, yang dapat dianggap paling berpengaruh pemikirannya dalam mengadakan pembedaan fungsi-fungsi kekuasaan itu adalah Montesquieu dengan teori trias politica-nya. yaitu cabang kekuasaan legislatif, cabang kekuasaan eksekutif atau administratif, dan cabang kekuasaan yudisial.

Menurut Montesquieu, dalam bukunya “L’Espirit des Lois” (1784) atau dalam bahasa Inggris-nya “The Spirit of The Laws“, yang mengikuti jalan pikiran John Locke, membagi kekuasaan negara kedalam tiga cabang, yaitu:

1. Kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang. 2. Kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan.


(45)

3. Kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif.

Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the

executive or administrative function), dan yudisial (the judicial function).

Sebelumnya, John Locke dalam bukunya “Two Treatises of Government” (1689), juga membagi kekuasaan negara dalam tiga fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurutnya, fungsi-fungsi kekuasaan negara meliputi :

1. Fungsi Legislatif. 2. Fungsi Eksekutif. 3. Fungsi Federatif.

Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat dua sarjana itu nampaknya mirip. Tetapi dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka berbeda. John Locke mengutamakan fungsi federatif, sedangkan Baron de Montesquieu mengutamakan fungsi kekuasaan kehakiman (yudisial). Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan itu dari segi hak asasi manusia setiap warga negara, sedangkan John Locke lebih melihatnya dari segi hubungan kedalam dan keluar negara-negara lain. Bagi John Locke, penjelmaan fungsi defencie baru timbul apabila fungsi diplomacie terbukti gagal. Oleh sebab itu, yang dianggap penting adalah fungsi federatif. Sedangkan fungsi yudisial bagi Locke cukup dimasukkan kedalam kategori fungsi legislatif, yang itu terkait dalam fungsi pelaksanaan hukum. Tetapi bagi Montesquieu, fungsi pertahanan (defence) dan hubungan luar negerilah (diplomasi) yang termasuk dalam fungsi eksekutif, sehingga tidak perlu dianggap tersendiri.


(46)

Justru dianggap penting oleh Montesquieu adalah fungsi yudisial atau fungsi kekuasaan kehakiman.18

Dalam bahasa yang lebih sederhana, Miriam Budiardjo menjabarkan legislatif sebagai kekuasan untuk membentuk undang-undang, eksekutif untuk menyelenggarakan undang-undang, dan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili pelanggaran undang-undang. Selanjutnya, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang menyelenggarakannya, ketiganya harus terpisah satu sama lain.19

1. Division Of Power And Separation Of Power

Persoalan pembatasan kekuasaan (limitation of Power) berkaitan erat dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dan teori pembagian kekuasaan (division atau distribution of power). Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan dianggap berasal dari Montesquieu dengan trias politica-nya. Namun dalam perkembangannya, banyak versi yang biasa dipakai oleh para ahli berkaitan dengan peristilahan pemisahan dan pembagian kekuasaan ini.

Istilah “pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan

18

Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan Pembongkaran, cetakan kedua, Mizan, Bandung, 2007, hal. 21.

19

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan keduapuluh delapan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hal. 11.


(47)

dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Kekuasaan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan demikian pula kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh cabang kekuasaan yudisial. Sehingga pada intinya, satu organ hanya memiliki satu fungsi, sebaliknya satu fungsi hanya dilakukan oleh satu organ.

Sebagai sandingan atas konsep pemisahan kekuasaan, para ahli biasa menggunakan pula istilah division of power atau distribution of power. Ada pula sarjana yang menggunakan istilah division of power sebagai genus, sedangkan separation of power merupakan bentuk species-nya. Bahkan, Arthur Mass, misalnya, membedakan pengertian division of power tersebut kedalam dua pengertian, yaitu;

capital division of power dan territorial division of power. Pengertian pertama

bersifat fungsional, sedangkan yang kedua bersifat kewilayahan dan kedaerahan.

Separation of power diartikan oleh O. Hood Philips dan yang lainnya sebagai the distribution of the powers of government among different organs. Dengan kata

lain, kata separation of power diidentikkan dengan distribution of power. Oleh karena itu, istilah-istilah separation of powers, division of powers, distribution of powers, dan demikian pula istilah-istilah pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasan, menurut Jimly Asshiddiqie, sebenarnya mempunyai arti yang sama saja, tergantung konteks pengertian yang dianut. Jimly mencontohkan, misalnya, dalam Konstitusi Amerika Serikat, kedua istilah separation of Power dan division of power sama-sama digunakan. Hanya saja, istilah division of power itu digunakan dalam konteks


(48)

pembagian kekuasaan antara federal dan negara bagian (territorial division of power), sedangkan istilah separation of power dipakai dalam konteks pembagian kekuasaan di tingkat federal, yaitu antara legislature, the executive, dan judiciary (capital

division of power).20

2. Checks And Balances

Sejalan perkembangan teori pemisahan kekuasaan, dikenal pula konsep

checks and balances. Istilah checks and balances berdasarkan kamus hukum Black’s

Law Dictionary, diartikan sebagai “arrangement of governmental powers whereby

powers of one governmental branch check or balance those of other brances.”

Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa checks and balances merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antar cabang kekuasaan satu dengan yang lain. Tujuan dari konsepsi ini adalah untuk menghindari adanya konsentrasi kekuasaan pada satu cabang kekuasaan tertentu. Kata “checks” dalam checks and balances berarti “suatu pengontrolan yang satu dengan yang lain, agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan. Adapun “balance,” merupakan suatu keseimbangan kekuasaan, agar masing-masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat (konsentrasi kekuasaan) sehingga menimbulkan tirani.21

20

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 14.

21


(49)

Di Indonesia konsep yang dianut adalah pembagian kekuasaan (distribution of

power) bukan pemisahan kekuasaan (separation of power), dimana, kekuasaan

legislatif, eksekutif dan yudikatif walaupun menjalankan peran dan fungsinya masing-masing, namun tidak terpisah satu dengan yang, tetapi saling berhubungan dan melakukan koordinasi. Hal ini adalah dalam rangka check and balance dan fungsi saling mengawasi antara satu lembaga dengan lembaga yang lain. Misalnya kekuasaan eksekutif dan legislatif yang bekerjasama dalam hal pembuatan undang-undang, adanya koordinasi antara eksekutif dan legislatif dalam pemberian grasi dan amnestif untuk para narapidana dan sebagainya. Jadi, satu lembaga dengan lembaga lain walaupun menjalankan tugas dan wewenangnya masing-masing, masih melakukan koordinasi dan kerjasama dalam melaksanakan tugasnya sehingga menjadi satu kesatuan yang bekerja dalam satu sistem negara hukum.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sebagai suatu sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau subsistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar dapat mencapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal. Kombinasi antara Efisiensi dan efektivitas dalam sistem sangat penting, sebab belum tentu efisiensi masing-masing subsistem dengan sendirinya menghasilkan efektivitas. 22 Efektivitas sistem peradilan pidana, secara umum antara lain dapat diukur melalui indikator-indikator tingkat pengungkapan perkara oleh polisi (clearance rate), tingkat keberhasilan jaksa dalam membuktikan dakwaan (conviction rate), kecepatan penanganan perkara (speedy trial), tingkat penggunaan

22


(50)

alternatif pidana kemerdekaan (rate of alternative sanction), menonjol atau tidaknya disparitas (disparity of sentencing performance), dan tingkat residivisme (rate of

recall to prison).23

Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkatan tertentu, di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan. Efektivitas sistem peradilan pidana tergantung sepenuhnya pada kemampuan infrastruktur pendukung sarana dan prasarananya, kemampuan profesional aparat penegak hukumnya serta budaya hukum masyarakatnya.24 Tanpa kesadaran baik dari aparat penegak hukum, pembuat hukum, dan masyarakat dimana hukum akan diterapkan, maka penegakan hukum akan menjadi proses untuk mengabsahkan kekuatan yang absolut dengan pembenaran/justifiksasi hukum yang bersifat korup, otoriter, represif, yang sekaligus mencerminkan kepentingan dari para oligarki penguasa.

Penerapan suatu sistem hukum rasional dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) memberikan dampak pada proses penegakan hukum di Indonesia terutama dalam hal kebijakan pemberlakuan hukum, seperti efektivitas penerapan penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia yang walaupun pada hakekatnya memiliki muatan politis yang diinginkan oleh pembuat Undang-undang dan masyarakat internasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Antony Allott yang

23

Ibid, hal. 120.

24


(51)

menyatakan bahwa pembuatan hukum yang kilat atau tergesa-gesa akan dapat mengakibatkan hukum menjadi tidak efektif, yang pada gilirannya membuat apa yang diinginkan hukum itu tidak tercapai.25 Sedangkan Soerjono Soekanto melihat efektivitas suatu kaedah hukum pada tatanan penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang secara ketat tidak diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit), hal ini sebagaimana pendapat Roscoe Pound.26

Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum maka bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system) menjadi prioritas utama dalam bidang penegakan hukum. Oleh sebab itu diperlukan keterpaduan antara sub sistem-sub sistem di dalam criminal justice system guna menanggulangi meningkatnya kualitas maupun kuantitas kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tujuan dari sistem peradilan pidana adalah :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

25

Antony Allot, The Efectiveness of Law, Valparaiso University Law Review, Vol.15 Wiater,198, hal. 233 dalam Bismar Nasution. Ibid, hal.4

26

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2004, hal.7.


(52)

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.27

Istilah “criminal justice system” menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.28 Remington dan Ohlin mengemukakan:

“Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme pendekatan sistem mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem peradilan pidana merupakan suatu interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sikap itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasan”.29

Istilah sistem dari bahasa yunani “systema” yang mempunyai pengertian suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian whole compounded of several

parts.30 Secara sederhana sistem ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan bersama, yang tersusun secara teratur dan saling berhubungan dari yang rendah sampai yang tinggi. Stanford Optner menyebutkan bahwa sistem tersusun dari sekumpulan komponen yang bergerak bersama-sama untuk mencapai tujuan keseluruhan.31 Hagan membedakan pengertian antara

“Criminal Justice Process” dan “Criminal Justice System” yang pertama adalah

27

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hal. 84-85 dalam Mahmud Mulyadi,Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, (Medan, Usu Press, 2009) hal. 40.

28

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Presfektif Eksistensialisme dan Abolisianisme, Binacipta, Bandung, 1996, hal. 14.

29

Ibid, hal.4.

30

Stanford Optner, System Analysis for Business Management, Prentice Hall, Inc., New York, 1968,hal.3, dalam Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali, Cet.1. Jakarta, 1986, hal.5.

31


(53)

setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan yang kedua adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan.32

Di Indonesia Sistem peradilan Pidana setelah berlakunya Undang-undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana mempunyai 4 (empat) subsistem, yaitu : subsistem Kepolisian yang secara administratif di bawah Presiden, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan di bawah Mahkamah Agung dan Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen Kehakiman. Seluruh komponen sistem peradilan pidana, termasuk pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan. Meski demikian, menilik tugas dan wewenangnya masing-masing, tugas pencegahan kejahatan secara spesifik lebih terkait dengan sub sistem kepolisian. Sementara tugas lainnya lebih terkait dengan subsistem lembaga pemasyarakatan. Adapun tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi sangat terkait dengan tugas dua komponen sistem, yaitu polisi dan jaksa (pada tahap prajudisial) dan pengadilan (pada tahap judisial). Berikut ini dilihat skema Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Criminal Justice system pada hakikatnya merupakan sistem yang berupaya

menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara,

32


(54)

masyarakat maupun individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.

Penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana (criminal justice

system) itu sendiri pada hakikatnya merupakan bagian dari politik kriminal yang

menjadi bagian integral dari kebijakan sosial. Politik kriminal ini merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.33

Sehubungan dengan penegakan hukum pidana ini, maka Lawrence M. Friedman yang mengkaji dari sistem hukum (legal system) menyatakan bahwa ada

tiga komponen yang ikut menentukan berfungsinya suatu hukum (dalam hal ini hukum pidana), yaitu struktur hukum (structure), substansi hukum (substance), dan budaya hukumnya (legal culture). Dari ketiga komponen inilah menurut Friedman kita dapat melakukan analisis terhadap bekerjanya hukum sebagai suatu sistem.34

Dari uraian yang dikemukakan Friedman ini nampak bahwa unsur structure dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai fungsinya dalam rangka bekerjanya sistem tersebut. Salah satu diantara lembaga tersebut adalah pengadilan. Sedangkan komponen

substance mencakup segala apa saja yang merupakan hasil dari structure, di

dalamnya termasuk norma-norma hukum baik yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, maupun doktrin-doktrin. Lebih jauh Friedman mengatakan bahwa apabila sedikit direnungkan maka sistem hukum itu bukan hanya terdiri atas

33

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal. 99.

34

Lihat, Lawrence Friedmen, America Law An Introduction, sebagaimana diterjemahkan oleh Wisnu Basuki PT Tatanusa, Jakarta, 1984, hal. 6-7.


(1)

J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Cet. Keenam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000.

Kejaksaan Agung Republik Indonesia Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Pokok-Pokok Rumusan Hasil Sarasehan Terbatas Plattform Upaya Optimalisasi Pengabdian Institusi Kejaksaan, Jakarta : Kejaksaan Agung RI, 1999.

Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Bandung : Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan PT. Alumni, 2002.

Likadja, Frans. E, Daniel Bessie, Desain Instruksional Dasar Hukum Internasional, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988.

Lumintang, P.A.F, Delik-Delik Khusus, Tindak-Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-Norma-Norma-Norma Kepatutan, Bandung : Mandar Maju, 1990.

Mahfud M.D, Moh, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1998.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Predana Media Group, 2007.

M Blau, Peter dan M. Meyer, Marshall, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta : UI Press, 1987.

Muladi, Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, 1995. Mulyadi, Mahmud, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, Medan : USU Press,

2009.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda, Politik Hukum Indonesia, Jakarta : Yayasan LBHI, 1988.

Optner, Stanford, System Analysis for Business Management, Prentice Hall, Inc., New York, 1968,hal.3, dalam Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Cet.1, Jakarta: Rajawali, 1986.

Paton, W.A., Accounting Theory, Scholar Book Company, 1962.

Prins, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002.


(2)

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : Eresco, 1986.

Rajagukguk, Erman, Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara, Disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi” Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta 26 Juli 2006.

Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hal. 84-85 dalam Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, Medan, USU Press, 2009.

Reksodiputro, Mardjono, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana,Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta.

Romli, Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Presfektif Eksistensialisme dan Abolisianisme, Bandung : Binacipta, 1996.

__________________, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994.

Seno Adji, Indriyanto, Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta : Diadit Media, 2009. Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta :

Raja Grapindo Persada, 2004.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitan Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998. sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Pers, 1990.

_________________, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997,

Soeria Atmadja, P. Arifin, Keuangan Publik dalam Persfektif Hukum Teori, Praktik dan Kritik, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 1992. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1981.


(3)

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1981.

Vatter, W, The Fund Theory of Accounting and Its Implication for Financial Reporting, University of Chicago Press.

2. Jurnal/Makalah/Artikel :

A Dictionary for Accountants, Fifth Edition 1978, Prentice Hall of India, New Delhi (dalam artikel Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi, hal.8)

Allot, Antony, The Efectiveness of Law, Valparaiso University Law Review, Vol.15 Wiater,1981.

Beria, Adolfo, Global Strategi Against Corruption, dalam Responding to Corruption: Social Defence, Corruption, and the Protection of Public Administration and The Independence of Justice, updated documens on the XIII International Conggres on Social Defence, Lecce Italy 1996, diedit oleh Paolo Bernasconi, 2000.

BPKP, Biro Hukum, Pengkajian Hukum tentang Kedudukan Pejabat BPKP sebagai Ahli dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 1999.

_____, Deputi Bidang Investigasi, Pedoman Penugasan Bidang Investigasi, Jakarta,

2009.

_____, Tim Pengkajian SPKN RI, Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan Pelayanan Masyarakat, Jakarta, 2002.

_____, Deputi Bidang Investigasi, Acuan bagi Auditor BPKP dalam Melakukan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas Kasus-Kasus Penyimpangan yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi dan Perdata, Juni, Jakarta, 2003. _____, Profil Organisasi, 25 Tahun BPKP, Jakarta, 2007.

Cahyanto, Heru, Penghitungan Kerugian Keuangan Negara oleh BPKP, Artikel Warta Pengawasan Volume XI/No.1/Januari/2004.


(4)

________________, Tindak Pidana Korupsi dan Upaya Penanggulangannya, makalah disampaikan pada Penyuluhan Hukum di Pemda Propinsi DKI Jakarta, Jakarta, 2003.

Financial Accounting Standard Board, Statement of Financial Accounting Concepts, No. 3 dan 5, Stamford, Connecticut, 1980.

Majalah Hukum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Tahun XXIII, No. 275 Oktober 2008.

Optner Stanford, System Analysis for Business Management, Prentice Hall, Inc., New York, 1968, dalam Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Jakarta : Rajawali, Cet.1., 1986.

Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada “Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum pada Majalah Akreditasi”, Medan, tanggal 18 Februari 2003.

3. Internet :

Arie, Duke, Kewenangan Audit Investigatif BPKP dan Korupsi, diakses dari situs : http://gorontalomaju.com/opini/artikel-lainnya/kewenangan-auditinvestigatif-bpkp-dan-korupsi.html, diakses pada hari Selasa tanggal 20 Juli 2010 pukul 16.20 WIB.

Integrated Prosecution Justice System, Suatu Tinjauan Terhadap Pelaksanaan Penuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, diakses dari situs : http://www.ipjs.com, diakses pada hari Kamis tanggal 8 April 2008 pukul 19.00 WIB.

Jawahir, Thontowi, Prospek Pemberantasan Korupsi: Perimbangan Kewenangan KPK dengan Institusi Penegak Hukum, diakses dari situs : http://www. journal.uii.ac.id/index.php/Unisia/article/view/168/159, diakses pada hari Kamis tanggal 15 April 2009 pukul 11.25 WIB.

Masyarakat Transparansi Indonesia, Analisa Peraturan Perundang-Undangan dan Lembaga Pemberantasan Korupsi, diakses dari situs : http://www.transparansi.or.id/id=150&pilih=lihatpopulerberita, diakses pada hari Selasa pada tanggal 20 Juli 2010 pukul 16.00 WIB.


(5)

Sudarwan, Konsensus Nasional Penanganan Tindak Pidana Korupsi : Penegakan Keadilan atau Kejar Tanyang dan Tebang Pilih, diakses dari situs : http://pascasarjana.esaunggul.ac.id/index.php?option=com_content&view=ar

ticle&id=145:konsesus-nasional-penanganan-tindak-pidana-korupsi-

penegakan-keadilan-atau-kejar-tayang-dan-tebang-pilih&catid=57:artikel&Itemid=80, diakses pada hari Selasa tanggal 20 Juli 2010 pukul 18.15 WIB.

Suhadibroto, Reprofesionalisasi Kinerja Kejaksaan, diakses dari situs : http://www.khn.or.id, diakses pada hari Kamis tanggal 25 Februari 2008 pukul 21.00 WIB

Usada, Albert, Kerugian Keungan Negara dan Praktik Penerapan dalam Putusan Hakim, diakses dari situs : http://www.legalitas.org, diakses pada hari Kamis tanggal 22 Juli 2010 pukul 20.25 WIB.

Yunus Husein, Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, diakses dari situs : www.ppatk.go.id/content.php?s_sid=1453, diakses pada hari Minggu tanggal 25 Juli 2010 pukul 10.00 WIB.

4. Surat Kabar :

Kompas, Fokus, “Memerangi Korupsi, Hanya Sata Kata: Lawan”, 25 Oktober 2003.

4. Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang No. 31 Tahun 1999.

Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.


(6)

182

Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 31 Tahun 1983 tentang BPKP

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.

Nota Kesepahaman antara Kejaksaan RI, Kepala Kepolisian RI dan Kepala BPKP, No. : 109/A/JA/09/2007, No. Pol – B/2718/IX/2007 dan No. : KEP-1093/K/D6/2007 tanggal 28 September 2007 tentang Kerjasama dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi termasuk Dana Non Budgeter.


Dokumen yang terkait

Pendampingan Aparatur Sipil Negara Yang Terkait Tindak Pidana Korupsi Dalam Pelaksanaan Tugas Kedinasan Berdasarkan Permendagri No. 12 Tahun 2014 Di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara

1 109 101

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

3 55 157

Analisis Gugatan bersifat in rem terhadap hasil tindak pidana korupsi pada sistem hukum Common Law

1 77 152

Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia (Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK)

0 55 105

Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006)

0 37 127

Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut (Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN)

5 123 163

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN BPK DAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA DALAM RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 1 12

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN BPK DAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA DALAM RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 12

OPTIMALISASI KEJAKSAAN DALAM PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 19