Perumusan Masalah Tujuan Dan Manfaat Penulisan Metode Penelitian

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan dengan memilih judul, “Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia” dalam skripsi ini.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana kewenangan Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana yang ada di Indonesia ? 2. Bagaimana Perbandingan Proses Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Antara Instrumen Hukum Perdata Dan Instrumen Hukum Pidana ? 3. Bagaimana Kewenangan Jaksa Pengacara Negara JPN Dalam Melakukan Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Yang Terdakwanya Meninggal Dunia ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Ada pun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui mengenai kewenangan jaksa dalam sistem peradilan pidana. Universitas Sumatera Utara 2. Untuk mengetahui mengenai Perbandingan Proses Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Antara Instrumen Perdata Dan Instrumen Pidana 3. Untuk mengetahui mengenai kewenangan Jaksa Pengacara Negara JPN dalam melakukan gugatan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang terdakwanya meninggal dunia. Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah: 1.Manfaat teoritis Penulis berharap karya tulis ilmiah yang berbentuk skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya yang membutuhkan informasi mengenai penanganan atau melakukan gugatan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang terdakwanya meninggal dunia serta kewenangan jaksa pengacara negara dalam pengembalian kerugian keuangan negara akibat terdakwa tindak pidana korupsi yang meninggal dunia. 2.Manfaat praktis Skripsi ini juga diharapkan dapat membantu aparat penegak hukum dalam melakukan proses pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang terdakwanya meninggal dunia. Universitas Sumatera Utara

D. Keaslian Penulisan

Penulisan karya tulis ilmiah dengan judul “KEWENANGAN JAKSA PENGACARA NEGARA JPN DALAM MELAKUKAN GUGATAN PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA YANG TERDAKWANYA MENINGGAL DUNIA” yang diangkat sebagai judul skripsi ini telah diperiksa melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum USU. Tema diatas adalah hasil pemikiran sendiri dibantu dengan refrensi, buku-buku, dan pihak-pihak lain dan judul tersebut belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya. Data yang digunakan guna melengkapi penulisan skripsi ini memanfaatkan informasi yang diperoleh dari berbagai media, baik itu media cetak atau pun pengumpulan informasi melalui internet. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian dan sejarah jaksa

a Pengertian jaksa Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia: “ Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang- undang”. Universitas Sumatera Utara Dan dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 disebutkan bahwa: a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. b Sejarah Perkembangan Kejaksaan Republik Indonesia Kata “ Jaksa” dapat dilihat dari kata Adhyaksa 6 Dahulu “Adhyaksa” tidak sama tugasnya dengan tugas utama “Penuntut Umum” dewasa ini. Lembaga Penuntut Umum seperti sekarang ini tidak sebagai hakim seperti “Adhyaksa” dahulu kala, tetapi keduanya mempunyai persamaan tugas yaitu dalam penyidikan perkara dan penuntutan. Barulah sejak VOC istilah “adhyaksa” diambil alih menjadi “jaxa”, kemudian dilanjutkan, setidak-tidaknya yang berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti pegawai kehakiman atau hakim komisaris dan juga dapat diartikan sebagai pengawas dalam urusan kependetaan bagi agama hindu dan syiwa yang mengepalai kuil-kuil di Pulau Jawa dan terutama untuk gelar hakim kerajaan yang tertinggi. 6 Adhyaksa ini kemudian berubah menjadi kata “jaksa”. Universitas Sumatera Utara mempengaruhi pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu. Hal ini terlihat pada penempatan Jaksa di bawah Residen atau Asisten Residen. 7 Kejaksaan Republik Indonesia, baru lahir bersamaan dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, dimana pada waktu itu secara administratif masih ada dalam lingkungan Depertemen Kehakiman. Setelah diundangkannya Undang- undang Nomor 15 Tahun 1961 tanggal 30 Juni 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan, barulah ia menjelma menjadi Lembaga Negara yang mandiri. Pada mulanya berstatus sebagai departemen, namun selanjutnya berkembang menjadi non DepartemenKejaksaan Republik Indonesia. Sejarah mengenai fungsi dan tugas Kejaksaan dapat kita bagi dalam 2 babak penting yaitu: 1 Sebelum KUHAP Berlaku Ketentuan hukum acara pidana produk peninggalan Belanda HIR mulai berlaku pada tahun 1845 berdasarkan IR Indlandsch Reglement yang pada tahun 1941 diubah menjadi HIR Het Herziene Indlandsch Reglement. Badan-badan peradilan diatur berdasarkan Reglement of de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie RO berdasarkan Staatsblad 1847-23, yang mulai berlaku tanggal 1 Mei 1846. Karena RO ini hanya berlaku di Jawa dan Madura, maka pemerintah kolonial Belanda membuat Rechtsreglement Buitengewesten RBg, untuk wilayah luar Jawa dan Madura. 7 Djoko Prakoso, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 17 Universitas Sumatera Utara Pasal 1 RO menetapkan adanya 7 tujuh badan peradilan di Jawa dan Madura, tetapi yang berkaitan dengan peran Kejaksaan hanya “Landraad” , “Raad Van Justitie”, dan “hogerechtshoof” masing-masing kemudian berubah menjadi Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Di ketiga jenjang Pengadilan ini peran Jaksa diatur oleh Pasal 55 HIR. Kejaksaan pada masa itu diperankan oleh “openbaar ministerie”, lembaga yang sama dengan Belanda. Kejaksaan di tingkat Landraad dan Raad van Justitie, dilakukan oleh Officier van Justitie. Sedangkan untuk tingkat “Hogerechtshoof” dilaksanakan oleh”Procureur General” atau penggantinya “Advocaat Generaal”. 8 Pada tanggal 1 Oktober 1945 oleh Presiden Soekarno diumumkan bahwa seluruh kantor Kejaksaan masuk ke dalam lingkungan Kementerian Kehakiman. Urusan anggaran personalia dan administrasi Kejaksaan menjadi tanggung jawab Menteri Kehakiman. Meskipun demikian, dalam urusan penegakkan hukum, Jaksa Agung tidak bertanggung jawab kepada Menteri Kehakiman, melainkan langsung kepada Presiden. Hal itu dilandasi ketentuan Pasal 50 RO jo Aturan Peralihan UUD 1945, dan PP No. 2 Tahun 1945. Kedudukan Kejaksaan berubah lagi dengan dikukuhkannya Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960, di mana Kejaksaan dilepaskan dari pengertian “Kejaksaan pada Pengadilan”, dan tidak lagi sekedar alat pelaksana kekuasaan pemerintah di bidang peradilan, melainkan juga merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri. Kejaksaan 8 Achmad Roestandi dan Muchjidin Effendie. Komentar atas UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, Pradya Paramita, Jakarta, 1993, hal. 5 Universitas Sumatera Utara dijadikan Departemen, dan Jaksa Agung menjadi jabatan politis dengan kedudukan menteri ex-officio dan selanjutnya menjadi menteri penuh setelah dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan. 9 Kelahiran Orde Baru kembali membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan RI berdasarkan Surat Keputusan Presidium Kabinet Ampera No. 26UKep1966 tentang Penegasan status Kejaksaan Agung, yang menempatkan Kejaksaan ke dalam pengurusan Kabinet Presidium. Sebutan Menteri untuk Jabatan Jaksa Agung dan Departemen Kejaksaan Agung dihapuskan. Pada periode 1966- 1973, Kejaksaan dengan seizin Presiden dapat melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan. Bahkan, melakukan penangkapan dan penahanan atau semua tindakan polisi terhadap pimpinan dan atau anggota DPR dari kalangan sipil, meminta keterangan kepada bank mengenai keadaan keuangan tersangka pidana korupsi dengan seizin Menteri Keuangan, dan dapat memerintahkan tindakan kepolisian terhadap anggota BPK guna kepentingan pemeriksaan pidana. Mulai tahun 1973, Kejaksaan tidak berwenang lagi pada bidang peradilan militer. 2 Sesudah KUHAP Berlaku Diundangkannya KUHAP pada tanggal 31 Desember 1981 membawa perubahan mendasar dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Perubahan mendasar ini mempengaruhi sistem penyidikan. Di bidang penyidikan, perubahaan mendasar ini terlihat dari sistem peradilan pidana mengutamakan perlindungan Hal 9 UU ini di undangkan pada tanggal 2 Januari 1961, dan kemudian sejak saat itu dianggap sebagai hari lahir Kejaksaan. Universitas Sumatera Utara Asasi Manusia. KUHAP mengadakan spesialisasi, differensiasi dan kompartemensasi, serta jenis pelaksanaan dan pembagian tugas antara penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam pelaksanaan penegakkan hukum. Di dalam KUHAP diatur wewenang Penuntut Umum. Dalam hal ini Kejaksaan merupakan kesatuan, karena ia terdiri dari pejabat-pejabat yang tersusun secara hirarkis. Pejabat tingkat atas berwenang memberikan perintah-perintah kepada pejabat bawahannya di dalam melaksanakan tugas jabatan mereka. Setelah 10 tahun KUHAP berlaku, Kejaksaan mengajukan Rancangan Undang- undang tentang Kejaksaan Indonesia untuk mengubah Undang-undang No. 5 Tahun 1961 yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, serta tidak lagi sesuai dengan jiwa KUHAP. 10 Dan pada tahun 1991 keluar Undang-Undang Nomor 05 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 11 Setelah Kejaksaan berkurang fungsinya dibidang penyidikan dengan keluarnya KUHAP, dalam UU No. 5 Tahun 1991 ini terjadi pergeseran peran Jaksa yang terutama di bidang Pidana, ke peran Kejaksaan dalam Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara yaitu dalam Pasal 27 ayat 2 bahwa: Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 ini menetapkan tentang kedudukan, organisasi, jabatan, tugas, dan wewenang Kejaksaan. “Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. 10 Diajukan oleh pemerintah kepada DPR-RI dengan amanat Presiden RI No. R. 07PUIX1990 tanggal 17 September 1990. RUU ini terdiri dari 5 Bab dan 37 Pasal 11 Disahkan pada tanggal 22 juli 1991;LN Tahun 1991 No. 59, TLN No. 3451 Universitas Sumatera Utara Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu faktor pendorong Kejaksaan untuk menjalankan fungsinya di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu melihat perkembangan masyarakat sekarang ini terdapat permasalahan yang sangat ruwet, misalnya tentang permasalahan pengembalian kerugian keuangann negara akibat tindak pidana korupsi yang terdakwanya meninggal dunia ini. Dalam hal ini pemerintah membutuhkan bantuan hukum untuk mengamankan aset negara dari hasil korupsi tersebut. Perkembangannya sekarang, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang akhirnya digantikan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pembaharuan Undang-undang Kejaksaan dimaksudkan untuk memberikan landasan yuridis yang mantap agar Kejaksaan Republik Indonesia lebih mampu dan berwibawa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan yang dilaksanakan secara merdeka.

2. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi berasal dari suatu kata dalam bahasa latin, yakni corruption atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Dalam Ensiklopedia Indonesia korupsi Universitas Sumatera Utara gejala dimana pejabat, badan-badan negara yang menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan. Adapun arti harafiah dari korupsi: a. Kejahatan, kebusukan, dapat suap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran 12 b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok 13 Secara harafiah, korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan korupsi, akan menemukan kenyataan bahwa korupsi menyangkut masalah segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi, dan politik, serta penemapatan keluarga atau golongan ke dalam dibawah jabatannya. Dengan demikian, secara harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi yang memiliki arti yang sangat luas, yakni : 1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan uang Negara atau perusahaan untuk kepentingan pribadi dan orang lain. 2. Korupsi : busuk ; rusak ; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya ; dapat disogok melalui kekuasaannya atau kepentingan pribadi. 12 S.Wojowasito-W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia- Inggris, Penerbit : Hasta, Bandung 13 W. J. S Poerwadarminta, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta, 1976 Universitas Sumatera Utara Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah : 1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 2. Perbuatan melawan hukum; 3. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian; 4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Menurut Baharuddin Lopa, dalam bukunya yang berjudul Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, korupsi menurut sifatnya , terbagi dalam 2 bentuk, yakni: 14 a. Korupsi yang bersifat motif terselubung, yakni korupsi yang sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata. b. Korupsi yang bermotif ganda, yakni seseorang yang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermoif lain, yakni untuk motif politik. 14 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,2006, Hal. 8 Universitas Sumatera Utara Menurut Shed Husein dalam bukunya Sosiologi Korupsi, menjelaskan ciri-ciri korupsi sebagai berikut : 15 a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Walaupun demikian, motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya. c. Korupsi melibatkan element kewajiban dan keuntungan timbale balik. Kewajiban dan keuntungan tidak selalu berupa uang. d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum. e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu. f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan public atau umumnya masyarakatnya. g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dari skripsi ini adalah penelitian hukum nomatif. Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang- 15 Ibid, hal. 9 Universitas Sumatera Utara undangan dan bahan hukum lainnya. Metode penelitian hukum normatif ini dipilih adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan mengenai pengembalian asset negara dari tindak pidana korupsi terutama bagi terdakwanya telah meninggal dunia yang terjadi di Indonesia. 2. Data dan Sumber Data Di dalam penulisan skripsi ini, data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang- undangan di bidang hukum yang mengikat, anatara lain Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terkait dalam Pasal 34 dan peraturan perundangan-undangan lain yang mengikat. b. Bahan hukum skunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya para ahli hukum berupa buku- buku, pendapat sarjana dan kasus yang berhubungan dengan skripsi ini. 3. Metode Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, maka metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan Library Research. Penelitian kepustakaan merupakan suatu metode yang berdasarkan atas studi kepustakaan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan materi yang diperlukan. Data yang diperoleh diambil melalui berbagai sumber bacaan seperti buku, majalah, surat kabar, internet, pendapat sarjana maupun literatur lain yang berkaitan dengan objek penelitian skripsi. Analisis Putusan yang berkaitan dengan pengembalian kerugian keuangan Universitas Sumatera Utara negara yang terdakwanya telah meninggal dunia juga dilakukan untuk melengkapi data dalam penyusunan skripsi ini. 4. Analisis Data Data sekunder yang telah diperoleh dan disusun secara sistematis, kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif dilakukan untuk menjawab permasalahan yang ada di dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Dokumen yang terkait

Pengadaan Barang Yang Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara Ditinjau Dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)

6 100 148

Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

2 48 143

Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia (Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK)

0 55 105

Kewenangan Bpkp Dan Kejaksaan Dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara Terhadap Tindak Pidana Korupsi

0 78 186

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Kewenangan Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengambilan Aset Hasil Korupsi

4 82 183

Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Faktor Yang Meringankan Hukuman Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 40 121

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 6 42

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

0 0 29