Pengadaan Barang Yang Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara Ditinjau Dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)

(1)

PENGADAAN BARANG YANG MENYEBABKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TINDAK

PIDANA KORUPSI

( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

KIKI AYU LESTARI TAMBUNAN NIM : 110200012

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015


(2)

PENGADAAN BARANG YANG MENYEBABKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

KIKI AYU LESTARI TAMBUNAN 110200012

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. H. M. Hamdan, SH. M.H NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Suwarto, S.H., M.H Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum NIP. 195605051989031001 NIP. 197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahnya Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini serta teriring Shalawat dan Salam Penulis haturkan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia keluar dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh

dengan ilmu dan islam. Penulisan skripsi ini berjudul “PENGADAAN BARANG

YANG MENYEBABKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DITINJAU DARI UNDANG-UNANG TINDAK PIDANA KORUPSI ( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas dan memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua, Alm. Marihot Tambunan SE dan Sukmiati dan abangda Fredi Dermawan Tambunan SE yang telah memberikan dukungan dan pengorbanan yang tak ternilai sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dalam proses penyusunan skripsi ini saya juga mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah diberikan, saya menyampaikan terima kasih kepada:


(4)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H.,M.Hum. selaku Wakil Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H.,M.H., DFM selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak OK Saidin S.H.,M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. M Hamdan S.H.,M.H selaku Ketua Departemen Hukum Pidana.

Terimakasih telah membantu dan mendukung penulis dalam kegiatan Ikatan

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana (IMADANA) sehingga

menghidupkan kembali kegiatan kemahasiswaan di departemen hukum pidana.

6. Ibu Liza Erwina S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana.

Terimakasih telah membantu dan mendukung penulis dalam kegiatan Ikatan

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana (IMADANA) sehingga

menghidupkan kembali kegiatan kemahasiswaan di departemen hukum pidana.

7. Bapak Prof. Dr. Suwarto S.H.,MH. selaku dosen pembimbing I. Terimakasih

atas bimbingan, saran, nasihat, dan ilmu yang Bapak berikan selama ini dengan penuh kesabaran hingga skripsi ini selesai;

8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi S.H.,MH. selaku dosen pembimbing II.


(5)

berikan selama ini dengan penuh kesabaran hingga saya menyelesaikan skripsi ini;

9. Bapak Abdul Rahman S.H.,M.Hum selaku dosen Pembimbing Akademik;

10. Seluruh dosen dan pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

Penulis sadar bahwa hasil penulisan skripsi ini tidaklah sempurna. Penulis berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang membangun untuk kedepannya. Akhirnya, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu penulis secara tulus dan ikhlas. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, Mei 2015

Kiki Ayu Lestari Tambunan 110200012


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Perumusan Masalah ... 6

3. Tujuan...6

4. Manfaat ... 7

5. Keaslian Penulisan ... 8

6. Tinjauan Kepustakaan ... 8

7. Metode Penelitian ... 14

8. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PENGATURAN PENGADAAN BARANG/JASA DALAM PERATURAN PRESIDEN NOMOR 70 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 54 TAHUN 2010 TENTANG PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH A. Pengertian Pengadaan Barang/Jasa...21

B. Prinsip-Prinsip Dasar Pengadaan Barang/Jasa ... 22


(7)

BAB III PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG 31 TAHUN 1999 JO UNDANG-UNDANG-UNDANG-UNDANG 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangannya...41

B. Kerugian Keuangan Negara...61

BAB IV TINJAUAN YURIDIS HUKUM PIDANA TERHADAP PENGADAAN BARANG YANG MENYEBABKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM KASUS DENGAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI MEDAN NOMOR 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN) A... Posisi Kasus 90

1.Kronologis Kasus ... 90

2.Dakwaan ... 96

3.Tuntutan ... 97

4.Pertimbangan Hakim ... 121

5. Putusan... ... 103

A. Analisis Putusan ... 109

1. Tentang Pertimbangan Hukum ... 112

2. Tentang Putusan ... 129

BAB V PENUTUP ... 134

A. Kesimpulan ... 134

B. Saran... 135


(8)

ABSTRAK

Kiki Ayu Lestari Tambunan* Prof. Dr. Suwarto, SH.,M.H** Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.H***

Korupsi merupakan suatu kejahatan yang sangat serius yang dapat menganggu hak ekonomi dan hak sosial masyarakat dan negara dalam skala besar. Keuangan negara pada BUMN, Perjam, Perum, Perkebunan Nusantara, dan sebagainya. berdasarkan hal tersebut maka rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini yaitu Bagaimanakah ketentuan pengaturan barang dan jasa menurut peraturan presiden nomor 70 tahun 2012,Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi menurut undang-undang nomor 31 tahun 1999 Jo undang-undang nomor 20 tahun 2001,Bagaimanakah analisis yuridis hukum pidana terhadap pengadaan barang/jasa yang merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi dalam kasus dengan putusan Pengadilan Tinggi Medan dengan Register Nomor : 19/Pid.Sus.K/PT.MDN.

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah skripsi ini. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya dan penerapannya dalam praktek (studi putusan)

Kajian dalam skripsi ini dituangkan dengan membahas berbagai peraturan yang memiliki kaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang memunculkan unsur-unsur tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang terjadi diakibatkan kesalahan dalam proses pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah sehingga menyebakan kerugian keuangan negara. Selanjutnya ketentuan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam hal pengadaan barang Flame Tube PT.PLN (Persero) KITSBU sektor Belawan Dimana ancaman pidana penjara adalah minimal 1(satu) tahun maksimal 20(dua puluh) tahun dan pidana denda minimal Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan maksimal Rp.1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah). Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi PT.PLN (Persero) KITSBU berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2013/PT-MDN adalah pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun dengan denda sebesar Rp.700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengn pidana kurungan selama 6 (enam) bulan dimana dalam putusan ini yang bertanggung jawab adalah Manager Bidang Produksi PT.PLN (Persero) KITSBU sektor Belawan.

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

** Dosen Pembimbing I Staf Pengajar Fakultas Hukum USU


(9)

ABSTRAK

Kiki Ayu Lestari Tambunan* Prof. Dr. Suwarto, SH.,M.H** Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.H***

Korupsi merupakan suatu kejahatan yang sangat serius yang dapat menganggu hak ekonomi dan hak sosial masyarakat dan negara dalam skala besar. Keuangan negara pada BUMN, Perjam, Perum, Perkebunan Nusantara, dan sebagainya. berdasarkan hal tersebut maka rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini yaitu Bagaimanakah ketentuan pengaturan barang dan jasa menurut peraturan presiden nomor 70 tahun 2012,Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi menurut undang-undang nomor 31 tahun 1999 Jo undang-undang nomor 20 tahun 2001,Bagaimanakah analisis yuridis hukum pidana terhadap pengadaan barang/jasa yang merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi dalam kasus dengan putusan Pengadilan Tinggi Medan dengan Register Nomor : 19/Pid.Sus.K/PT.MDN.

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah skripsi ini. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya dan penerapannya dalam praktek (studi putusan)

Kajian dalam skripsi ini dituangkan dengan membahas berbagai peraturan yang memiliki kaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang memunculkan unsur-unsur tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang terjadi diakibatkan kesalahan dalam proses pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah sehingga menyebakan kerugian keuangan negara. Selanjutnya ketentuan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam hal pengadaan barang Flame Tube PT.PLN (Persero) KITSBU sektor Belawan Dimana ancaman pidana penjara adalah minimal 1(satu) tahun maksimal 20(dua puluh) tahun dan pidana denda minimal Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan maksimal Rp.1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah). Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi PT.PLN (Persero) KITSBU berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2013/PT-MDN adalah pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun dengan denda sebesar Rp.700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengn pidana kurungan selama 6 (enam) bulan dimana dalam putusan ini yang bertanggung jawab adalah Manager Bidang Produksi PT.PLN (Persero) KITSBU sektor Belawan.

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

** Dosen Pembimbing I Staf Pengajar Fakultas Hukum USU


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi telah dianggap sebagai suatu perkara “seriousness

crime”, kejahatan serius yang sangat mengganggu hak ekonomi dan hak sosial masyarakat dan negara dalam skala yang besar, sehingga penanganannya harus

dilakukan dengan cara “extra ordinary treatment” serta pembuktiannya

membutuhkan langkah-langkah yang serius, professional dan independen.1

Korupsi dalam praktik pelaksanaannya sangat erat kaitannya dengan keuangan negara. Keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD,

keuangan negara pada Perjam, Perum, Perkebunan Nusantara, dan sebagainya.2

Korupsi adalah bagian dari aktivitas-aktivitas buruk yang menjauhkan negara ini dari pemerintah yang bersih, jujur dan jauh dari rasa keadilan. Dengan kata lain, korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Korupsi juga selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokratis dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah

1

Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Suatu Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, 2014, Halaman 1

2


(11)

budaya tersendiri. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju

masyarakat adil dan makmur.3

Tindak pidana korupsi yang terus merasuk kedalam sendi-sendi kehidupan masyarakat ini juga mengakibatkan terjadinya kerugian keruangan negara. Tentang permasalahan kewenangan perhitungan kerugian keuangan

negara dalam tindak pidana korupsi terjadi ketidakpastian hukum

(rechszekerheid), Junifer Girsang dalam bukunya “Abuse of Power”, menyatakan terjadi ketidakpastian hukum dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi akibat ketidakjelasnya definisi kerugian keuangan negara, ini berimplikasi pula pada lembaga mana yang berhak dan berwenang menyatakan telah terjadi

kerugian keuangan negara.4

Guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan keuangan negara yang dibelanjakan melaluiproses pengadaan Barang Pemerintah, diperlukan upaya untuk menciptakan keterbukaan, transparansi, akuntabilitas serta prinsip persiangan/kompetisi yang sehat dalam proses pengadaan barang/Jasa pemerintah yang dibiayai APBN/APBD, sehingga diperoleh Barang/Jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik,keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan

pelayanan masyarakat.5

Ketentuan Pengadaan Barang Pemerintahan dalam Peraturan Presiden itu

diarahkan untuk meningkatkan ownership Pemerintah Daerah terhadap

3

Evi Hartini, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Halaman 1 4

Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Suatu Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, 2014, Halaman 3

5

Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum, Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, 2014, Halaman 153-154


(12)

proyek/kegiatan yang pelaksaaannya dilakukan melalui skema pembiayaan

bersama (co-financing) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.6

Skripsi ini akan membahas dan menganalisa secara yuridis terkait dengan pengadaan barang yang merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi dengan studi kasus Putusan Pengadilan Tinggi Medan No: 19/Pid.Sus.K/2014/PT- MDN dengan terdakwa mantan manager bidang produksi PT. PLN (Persero) KITSBU yaitu Ir. Fahmi Rizal Lubis. Terdakwa divonis 9 Tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp. 700.000.000,- (tujuh ratus rupiah), dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar harus diganti dengan hukuman kurungan selama 6 (Enam) bulan oleh hakim Pengadilan Tinggi Medan dengan Putusan Nomor: 19/Pid.Sus.K/2014/PT-MDN, tanggal 7 Maret 2014. Kesemuanya akan dirangkum dalam penulisan skripsi ini.

Kasus tindak pidana korupsi pada PT. PLN (Persero) KITSBU yang didakwakan kepada terdakwa lahir sebagai konsekuensi atas tindakan terdakwa yang dianggap telah mengakibatkan kerugian keuangan negara. Terdakwa sebagai manager bidang produksi PT.PLN (persero) KITSBU yang didisposisikan oleh General Manager Ir Albert Pangaribuan sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenangnya untuk membuat syarat teknis atas pengadaan Flame Tube PLTGU DG 10530 yang semula merupakan usulan dari saksi Ir. Ermawan Arif Budiman selaku kepala sektor Pembangkitan Belawan perihal pengadaan material kebutuhan GT 12 umtuk LTE 12. Selanjutnya terdakwa langsung membuat syarat teknis tersebut berdasarkan buku petunjuk yang dikeluarkan oleh PT Siemens

6

Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum, Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, 2014, Halaman 154.


(13)

Indonesia tanpa melakukan survey terlebih dahulu ke PT Siemens Indonesia mengenai apakah barang tersebut masih diproduksi oleh PT Siemens Indonesia.

Setelah syarat tersebut dibuat oleh terdakwa pada tanggal 11 Desember 2006 yang diteruskan kepada saksi Edward Silitonga sebagai Manager Perencanaan untuk menganalisa dan mengevaluasi tentang syarat teknis yang dibuat terdakwa tersebut, tanpa melakukan survey dan mengkaji lebih detail usulan tersebut dinyatakan telah memenuhi syarat sesuai dengan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan dan atas syarat teknis tersebut maka Edward Silitonga membuat Rencana Anggaran Biaya dengan besaran Rp. 24.323.251.000 (dua puluh empat miliyar tiga ratus dua puluh tiga juta dua ratus lima puluh satu ribu rupiah) termasuk PPN 10% (sepuluh persen). Selanjutnya dibuat surat kuasa kerja Nomor INV/07/BIKEU/PROD/PLTGU/001 tanggal 13 maret 2007 Pengadaan Flame Tube PLTGU GT-12 dengan nilai Rp. 24.323.251.000 (dua puluh miliyar tiga ratus dua puluh tiga juta dua ratus lima puluh satu ribu rupiah) tersebut ditandatangani oleh masing-masing manager terkait yaitu terdakwa selaku menager bidang produksi, manager bidang perencanaan Edward Silitonga, dan diketahui oleh manager Bidang Keuangan Irwandi dan disetujui oleh Ir.Albert Pangaribuan selaku General Manager.

Pada saat Flame Tube diterima di gudang PT.PLN (persero) KITSBU sektor pembangkitan belawan ditemukan adanya perbedaan spesifikasi Flame Tube yang disupply oleh yuni selaku direktur CV Sri Makmur yang merupakan CV pemenang pelelangan Pengadaan Flame Tube tersebut yang diakibatkan oleh penetapan paket pengadaan Flame Tube yang tidak benar, yang tidak seharusnya


(14)

menetapkan dan mengesahkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang disusun oleh Panitia Pengadaan Barang dimana dalam membuat HPS tidak melakukan analisis yang mendalam terhadap lingkup pengadaan barang dengan cara tidak melakukan survey terlebih dahulu kepada pabrikan PT Siemens Indonesia bahwa Flame tube tersebut tidak lagi diproduksi sejak 5 (lima) tahun yang lalu. Akibat perbuatan

para terdakwa tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp.

23.942.490.000,- ( dua puluh tiga miliyar sembilan ratus empat puluh dua juta empat ratus sembilan puluh ribu rupiah).

Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya menuntut terdakwa Ir. Fahmi Rizal Lubis berupa pidan penjara selama 9 (sembilan) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan, dan ditambah dengan denda sebesar Rp. 700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan.

Kasus-kasus yang seperti ini perlu untuk disoroti karena menyebabkan keresahan dalam masyarakat dan merugikan keuangan negara. Korupsi membuat negara tidak maksimal dalam menyediakan barang-barang publik untuk kepentingan umum. Korupsi juga memperburuk citra pemerintah dimata masyarakat karena ketidakpercayaan dan ketidakpatuhan terhadap hukum. Apabila tidak ada perubahan yang signifikan maka kondisi tersebut akan

membahayakan kehidupan bangsa.7

Melihat bahwa tindak pidana korupsi ini dilakukan oleh PT. PLN (persero) KITSBU yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

7

http://www.kpk.go.id/modules/editor/doc/strategic/plan_plan_2008_to_2011_id.pdf,re ncana strategic komisi pemberantasan korupsi,2008-2011. Diakses pada tanggal 15 Desember 2015 pukul 14.30 WIB.


(15)

dibidang pengadaan barang yang mengakibatkan kerugian negara dan berdampak pada pereknomian nasional. Disamping itu juga menarik untuk ditelaah regulasi peraturan mengenai pengadaan barang/jasa yang terkait dengan tindak pidana ini ataupun yang berakitan dengan tindak pidan korupsi itu sendiri.

B. Perumusan Masalah

Perumusan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah ketentuan pengaturan barang dan jasa menurut Peraturan

Presiden Nomor 70 tahun 2012 ?

2. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi menurut undang-undang

nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ?

3. Bagaimanakah analisis yuridis hukum pidana terhadap pengadaan

barang/jasa yang merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi dalam kasus dengan putusan Pengadilan Tinggi Medan dengan Register Nomor : 19/Pid.Sus.K/PT.MDN ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini antara lain:

1. Menganalisa dan mengkaji pengaturan-pengaturan mengenai pengadaan

barang/jasa menurut Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.


(16)

2. Menganalisa dan mengkaji pengaturan-pengaturan mengenai tindak pidana korupsi terkait dengan Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3. Menganalisa dan mengkaji penegakan hukum pidana dalam

mengaplikasikan peraturan peundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan barang yang menyebabkan kerugian keuangan negara dengan melihat dan menganalisa pertimbangan-pertimbangan hakim dalam perkara dengan Putusan Pengadilan Tinggi Medan dengan Register Nomor : 19/Pid.Sus.K/PT.MDN)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap pengaturan-pengaturan tindak pidana korupsi di bidang perbankan sehingga kemungkinan terjadinya kerancuan-kerancuan dan tumpang-tindih hukum dapat diminimalisasi.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana

penegakan hukum dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mulianya


(17)

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi mengenai Tinjauan Yuridis Pengadaan Barang yang Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara terkait dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN) berdasarkan pemeriksaan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan, sedangkan penulisan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi ada ditemukan penulis tetapi hanya secara khusus membahas masalah pengembalian kerugian keuangan negara akibat dari tindak pidana korupsi yang terdakwanya meninggal dunia yang ditulis oleh Saudari Br Barus. Penulisan tersebut mempunyai bahasan permasalahan yang berbeda dengan penulisan skripsi yang dilakukan oleh penulis.

Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha penulis sendiri tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis dalam mencari keterangan-keterangan baik berupa buku-buku maupun internet, peraturan perundang-undangan dan pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Dengan demikian penulisan skripsi ini merupakan penulisan yang pertama dan asli adanya.


(18)

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam

hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan

istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari Strafbaar feit.

Tidak ditemukannya penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit

di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada

keseragaman pendapat8.

R. tresna menyatakan walaupun sangat sulit merumuskan atau memberikan definisi atas tindak pidana itu sendiri namun beliau dapat menarik definisi yang menyatakan tindak pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan degan undang-undang atau

perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.9

Para ahli memiliki perbedaan pendapat mengenai tindak pidana. Terdapat 2 (dua) pandangan dari para ahli mengenai hal ini yaitu pandangan dualistis dan pandangan monistis. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan

antara dilarangnya suatu erbuatan pidana (criminal act atau actus reus) dan dapat

dipertanggungjawabkan si pembuat (criminal responsibility atau mens rea).

Pandangan dualistis ini memandang tindak pidana semata-mata pada perbuatan dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika perbuatan yang bersifat dilarang

8

C.S.T. Kansil, Engelien R. Palandeng, dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Undang-undang Nasional, (Jakarta, Jala Permata Aksara. 2009) hal. 1

9

http://kuliahnyata.blogspot.com/2013/10/pengertian-arti-istilah-tindak-pidana.html diakses pada tanggal 17 januari 2015 pukul 22.00 Wib


(19)

itu telah dilakukan maka barulah melihat pada orangnya jika ia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab sehingga perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya dan dapat dijatuhi pidana.

Menurut Moeljatno yang merupakan salah satu ahli yang menganut pandangan dualistis mengemukakan unsur-unsur tindak pidana yaitu perbuatan (manusia), memenuhi rumusan dalam undang-undang (formil), bersifat melawan

hukum (syarat materiil).10

Simons yang merupakan salah satu ahli penganut pandangan monistis merumuskan tindak pidana merupakan suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.ia juga mengemukakan beberapa unsur-unsur dari tindak pidana tersebut yaituperbuatan manusia, diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, dan oleh

orang yang bertanggung jawab.11

Aliran monistis ini memandang bahwa unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dapat dipisahkan dengan unsur mengenai perbuatan. Semua menjadi satu unsur tindak pidana.

2. Tindak Pidana Korupsi

Defenisi korupsi menurut Hery Campbell Black (1991) adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hal-hak dari pihak secara salah menggunakan jabatannya dan

10

Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Yogyakarta, 1983, halaman 55

11

http://aurockefeller.blogspot.com/2012/04/pandangan-monistis-da-dualistis-hukum.html Diakses pada tanggal 21 Januari 2015 Pukul 23.50 Wib


(20)

karekternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau

orang lain, berlawanan dengan kewajiban dan hak-hak dari pihak-pihak lain.12

Menurut Syamsul Anwar, definisi korupsi adalah penyalahgunaan dalam kepentingan pribadi. Ia berpendapat bahwa masyarakat pada umumnya melihat korupsi sebagai serangkaian tindakan-tindakan terlarang atau melawan hukum

untuk mendapatkan keuntungan dengan merugikan orang lain serta

penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi.13

Korupsi merupakan penyimpangan atau perusakan intergritas dalam pelaksanaan tugas-tugas publik dengan penyuapan atau balas jasa sesuai dengan

definisi korupsi yang termuat dalam kamus lengkap Oxford (The Oxford

Unabridged Dictionary). Serta penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan

pribadi (The abuse of public office for private gain) yang merupakan pengertian

ringkas korupsi dalam World Bank.14

Secara umum tindak pidana korupsi diatur dalam undang-undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK). Selain itu, hukum acara dalam menangani tindak pidana korupsi tunduk pada kitab Undang-Undang Hukum acara pidana (KUHAP) dan penyimpangannya yang diatur secara khusus dalam

UU PTPK.15

12

Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, halaman 137 13

http://www.kajianpustaka.com/2013/08/pengertian-model-bentuk-jenis-korupsi.html diakses 15 Desember 2014 pukul 15.59 Wib

14

Ibid, halaman 2 15

Firman wijaya,peradilan korupsi teori dan praktik,Penaku bekerja sama dengan Maharini Press, Jakarta,2008,halaman 2


(21)

UU PTPK tidak memuat secara langsung pengertian mengenai tindak pidana korupsi. Akan tetapi, dengan melihat kategori tindak pidana korupsi sebagai delik formil, maka pasal 2 dan pasal 3 UU PTPK mengatur secara tegas mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi tersebut. Pasal 2 UU PTPK, menyatakan sebagai berikut :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”

Selanjutnya dalam pasal 3 UU PTPK, menyatakan :

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”

Definisi yuridis yang termuat diatas merupakan batasan formal yang ditetapkan oleh badan atau lembaga formal yang memiliki wewenang untuk itu disuatu negara. Oleh karena itu, batas-batas tindak pidana korupsi sangat sulit dirumuskan dan tergantung pada kebiasaan dan undang-undang domestik suatu

negara.16

3. Pengadaan Barang dan Jasa

Definisi mengenai pengadaan barang dan jasa sudah tercantum jelas pada pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 yang merupakan perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 35 tahun 2011 yang juga merupakan perubahan atas

16

http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindak-pidana/#ixzz32Qu090CV.


(22)

Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah,menyatakan sebagai berikut:17

”Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.”

Selain dari pada Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ada juga pengertian mengenai pengadaan barang/jasa yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 1 Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksnaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,

menyatakan sebagai berikut:18

“Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan

barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang

dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa”

Pengadaan barang/jasa dilakukan oleh kelompok kerja ULP untuk menyusun dan menetapkan metode pemilihan penyedia barang/jasa, pekerjaan konstruksi/jasa lainnya. Pemilihan penyedia barang dilakukan dengan beberapa cara yang diatur dalam Pasal 19 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 yang

17

Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

18

Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah


(23)

menyatakan dengan cara pelelangan umum, pelelangan terbatas, pelelangan

sederhana, penunjukkan langsung, pengadaan langsung, atau kontes.19

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam penulisan skripsi ini diarahkan kepada penelitian hukum normatif dengan pendekatan studi kasus. Kasus yang diteliti berkaitan dengan pengadaan barang yang menyebabkan kerugian keuangan negara dengan menelaah putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN atas nama terpidana Manager bidang Produksi PT PLN (Persero) KITSBU.

Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum jenis ini mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis

dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan

sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas.

Pendekatan kasus (case aproach) dalam penelitian normatif yang

bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaedah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum, terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dari yurisprudensi terhadap perkara yang menjadi fokus penelitian.

19

Kelompok kerja ULP adalah Kelompok kerja unit layanan pengadaan yang memiliki tujuan melaksanakan proses pemilihan penyedia barang/jasa yang dimulai dari proses perencanaan pemilihan penyedia sampai dengan proses pemilihan dan hasil akhir berupa penetapan pemenang

dari pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan.

http://pengadaan-barang-jasa.blogspot.com/2013/09/tugas-pokja-ulp.html diakses pada tanggal 20 Januari 2014 pukul 10.15 Wib.


(24)

2. Sumber Data

Sumber data penilitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan pustaka (data sekunder). Metode penelitan hukum normatif hanya mengenal data sekunder saja. Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer; bahan hukum sekunder; dan bahan hukum tersier.

a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari :

1. Norma kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia 1945;

2. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Juncto

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang

Keuangan Negara;

6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang

Perbendaharaan Negara;

7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang


(25)

8. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara;

9. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang

Pokok-Pokok Kepegawaian;

10.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana;

11.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

12.Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 Tentang

Pedoman Barang / Jasa Pemerintah

13.Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN

Tanggal 26 Mei 2014 dengan Terdakwa Ir. Fahmi Rizal Lubis

14.Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian

ini.

b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, diantaranya;

1. Buku-buku yang terkait dengan hukum;

2. Artikel di jurnal hukum;

3. Skripsi, Tesis dan Disertasi Hukum;

4. Karya dari kalangan praktisi hukum ataupun akademisi yang ada

hubungannya dengan penelitian ini.

c) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau


(26)

1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia;

2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini;

3. Surat kabar yang memuat tentang kasus-kasus tindak pidana korupsi

khususnya tentang pengadaan barang yang menyebabkan kerugian keuangan negara.

3. Pengumpulan Data

Pengambilan dan pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian

kepustakaan (library research) atau disebut dengan studi dokumen yang meliputi

bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Studi kepustakaan dalam skripsi ini diterapkan dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis bahan-bahan yang utamanya berkaitan dengan tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang pada PT.PLN (persero) KITSBU yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk juga bahan-bahan lain yang berkaitan dan dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Menurut Patton, analisis data didefinisikan sebagai suatu proses untuk mengatur urutan data yang kemudian mengorganisasikannya ke dalam kategori, pola maupun ke dalam susunan uraian dasar. Sedangkan, Taylor memberikan pengertian terhadap analisa data sebagai proses yang melakukan perincian usaha secara formal yang berguna untuk merumuskan hipotesis dan menemukan tema


(27)

seperti apa yang telah disarankan serta sebagai bentuk usaha untuk memberikan

kontribusi dan tema pada hipotesis.20

Definisi-definisi diatas dapat disintetiskan bahwa analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan juga mengurutkan data ke dalam suatu kategori, pola dan satuan uraian dasar sehingga bisa ditemukan tema serta dirumuskan hipotesis kerjanya seperti yang telah didasarkan oleh data.

Adapun yang menjadi sumber utama dalam penulisan skripsi ini adalah dari data sekunder. Analisis data dalam penelitian hukum menggunakan metode pendekatan kualitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik, sedangkan penggunaan angka-anga hanya sebatas pada angka persentase sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang diteliti.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan dibagi dalam 5 (Lima) bab dan terdiri atas beberapa sub bab yang menguraikan permasalahan dan pembahasan secara tersendiri dalam konteks yang saling berkaitan satu sama lain. Sistematika penulisan skripsi ini secara terperinci adalah sebagai berikut:

BAB I : Berisikan pendahuluan yang terdapat didalamnya paparan mengenai latar belakang dari penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan

kepustakaan, yang mengemukakan berbagai definisi, rumusan dan pengertian dari istilah yang terkait dengan judul untuk memberi batasan dan pembahasan mengenai istilah-istilah tersebut sebagai

20

http://www.informasi-pendidikan.com/2013/08/analisis-data-penelitian.html di akses pada tanggal 16 Desember 2014 pukul 01.49 WIB


(28)

gambaran umum dari skripsi ini, metode penulisan dan terakhir dari bab ini diuraikan sistematika penulisan skripsi.

BAB II : Menguraikan tentang pengaturan mengenai barang/jasa yang terdapat dalam Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 yang merupakan perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Bab ini secara khusus menjelaskan pengertian mengenai pengadaan barang/jasa. Bab ini juga menjabarkan prinsip-prinsip dasar dan proses pengadaan barang/jasa. BAB III : Menguraikan tentang peraturan tindak pidana korupsi di indonesia

dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 Jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Bab ini menjelaskan secara detail istilah tindak pidana korupsi dan sejarah juga perkembangan pengaturannya di indonesia. Bab ini juga memuat uraian mengenai pengertian dari kerugian keuangan negara, unsur-unsur kerugian keuangan negara dan pengadaan barang yang menyebabkan kerugian negara.

BAB IV : Merupakan pembahasan mengenai penegakkan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi dalam hal pengadaan barang yang termuat dalam kasus dengan putusan Pengadilan Tinggi Medan No:19/Pid.Sus.K/2014/PT-MDN. Pada bab ini akan diuraikan bagaimana posisi kasus dari perkara ini, dakwaan, tuntutan pidana, pertimbangan hakim, amar putusan dan selanjutnya akan dianalisa dan


(29)

dikaji secara mendalam terhadap putusan yang diberikan majelis hakim terhadap terdakwa dalam perkara ini.


(30)

BAB II

PENGATURAN PENGADAAN BARANG/JASA DALAM PERATURAN PRESIDEN NOMOR 70 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS

PERATURAN PRESIDEN NOMOR 54 TAHUN 2010 TENTANG PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

A. Pengertian Pengadaan Barang/Jasa

Fungsi pemerintahan dijalankan dengan memerlukan logistik, peralatan dan jasa yang menunjang optimalnya kerja instansi tersebut. Kebutuhan ini dipenuhi oleh beberapa pihak, baik itu perusahaan milik pemerintah maupun swasta. Berbeda dengan pengadaan barang dan jasa di instansi dan perusahaan swasta, pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintahan lebih rumit karena berhubungan dengan perhitungan APBN/APBD yang digunakan untuk membayar barang atau jasa tersebut. Terlebih lagi ada beberapa aturan yang mengatur proses pengadaan barang tersebut, Perpres 54 tahun 2010 sebagai perubahan tentang tata cara pengadaan barang dan jasa pemerintah dari Keputusan Presiden No 8 tahun

2003.21

Pengertian barang/jasa itu sendiri tertuang dalam Pasal 1 Angka 1 Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah sebagai berikut :

“Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah Kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa

21

Purwosusilo, Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, halaman 1


(31)

oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi

yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai

diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.”22

Kemudian ada peraturan lain juga yang mengatur tentang pengadaan barang/jasa tersebut yaitu Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang

pedoman pengadaan Barang/Jasa yang menyatakan sebagai berikut :23 “Kegiatan

pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang

dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa”

Pengertian pengadaan barang dan jasa juga diatur dalam peraturan menteri nomor 15 tahun 2012 tentang pedoman umum pelaksanaan pengadaan barang dan jasa badan usaha milik negara pada pasal 1 angka 1, yaitu:

“pengadaan barang dan jasa adalah kegiatan pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara yang pembiayaannya tidak menggunakan dana dari APBN/APBD”

Pengadaan barang dan jasa yang terjadi pada kasus Korupsi PT. PLN (Persero) KITSBU adalah pengadaan barang/jasa pada BUMN yang dikarenakan PT.PLN merupakan Badan Usaha Milik Negara yang modalnya sebagaian besar adalah milik negara dan penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang terpisah.

B. Prinsip – Prinsip Dasar Pengadaan Barang/Jasa

22

Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presdien No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

23


(32)

Keberadaan suatu asas atau prinsip dalam suatu aturan hukum atau norma hukum memiliki makna yang fundamental dikarenakan setiap aturan-aturan atau norma-norma pada hakikatnya memiliki asas atau prinsip sebagai

rohnya.24 Asas atau prinsip tersebut diartikan merupakan sesuatu yang menjadi

dasar tumpuan berpikir atau bertindak ataupun kebenaran yang menjadi pokok

dasar berpikir, bertindak dan sebagainya.25

Pada peraturan presiden nomor 70 tahun 2012 tentang perubahan atas peraturan presiden nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah menganut prinsip-prinsip dara pengadaan barang/jasa, prinsip-prinsip dasar tersebut sejalan dengan peraturan menteri BUMN nomor 15 tahun 2012 pada pasal 2 tentang pedoman umum pelaksanaan pengadaan barang dan jasa badan usaha milik negara yang menyatakan bahwa :

1. Efisiensi

Efisiensi pengadaan barang diukur terhadap seberapa besar upaya yang dilakukan untuk memperoleh Barang/Jasa dengan spesifikasi yang sudah ditetapkan. Upaya yang dimaksud merupakan dana dan daya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang/jasa.

2. Efektif

Efektifitas dalam suatu pengadaan diukur terhadap seberapa jauh barang/jasa dengan spesifikasi yang sudah terlebih dahulu ditetapkan.

3. Transparan

24

Purwosusilo, Aspek Pengadaan Barang Dan Jasa, Prenadamedia group, Jakarta, 2014, Halaman 8-9

25


(33)

Suatu proses dalam pengadaan barang/jasa dilakukan oleh pemerintah dapat diketahui secara luas. Proses yang dimaksudkan tersebut meliputi dasar hukum, ketentuan-ketentuan, tata cara, mekanisme, aturan main, sepsifikasi barang/jasa, dan semua hal yang terkait dengan proses pengadaan barang/jasa yang dilakukan tersebut. Dapat diketahui secara luas berarti semua informasi tentang proses tersebut mudah diperoleh dan mudah diakses oleh masyarakat umum, terutama penyedia barang/jasa yang berminat.

4. Terbuka

Hal ini berarti bahwa pengadaan barang/jasa dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang memenuhi kriteria ataupun persyaratan yang ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku. Setiap dari penyedia barang/jasa yang memenuhi syarat dapat dengan mudah medapatkan informasi tentang prosedur yang jelas untuk mengikuti lelang/seleksi.

5. Bersaing

Suatu iklim atau suasana persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa tercipta karena proses pengadaan barang/jasa tersebut, kemudian tidak ada intervensi yang dapat mengganggu mekanisme pasar sehingga dapat menarik banyak minat penyedia barang/jasa untuk mengikuti lelang/seleksi yang pada gilirannya dapat diharapkan untuk dapat memperoleh barang/jasa dengan kualitas yang maksimal.


(34)

Dimaksudkan proses pengadaan barang/jasa tersebut mampu memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barag/jasa tersebut dan tidak mengarah untuk memberikan keuntungan kepada pihak tertentu.

7. Akuntabel

Ini diartikan bahwa penyedia barang/jasa harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan pengadaan barang/jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

C. Pengaturan Hukum Pengadaan Barang/Jasa 1. Sejarah Pengaturan Barang/Jasa

Pemerintah dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara harus mewujudkan kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial bagi seluruh masyarakatnya, dalam mewujudkan hal tersebut pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan kebutuhan masyarakatnya yang salah satunya dalam bentuk barang maupun jasa.

Barang diartikan sebagai benda dalam berbagai bentuk dan uraian, yang meliputi bahan baku, barang setengah jadi, barang jadi/peralatan, yang

spesifikasinya ditetapkan.26 Sedangkan jasa diartikan sebagai suatu barang yang

tidak berwujud, namun dapat memberikan kepuasan dan memenuhi kebutuhan

masyarakat.27

Pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam hal barang/jasa sangat memiliki potensi untuk terjadinya korupsi atau penyimpangan-penyimpangan lainnya yang

26

Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 1 Butir 11, Halaman 3

27 Ibid.


(35)

berakibat kerugian keuangan negara dan perekonomian negara. salah satu lahan subur dari terjadinya korupsi adalah pengadaan barang dan jasa karena pengadaan barang/jasa melibatkan dana yang sangat besar.

Mempertimbangkan bahwa pengadaan barang/jasa yang menjadi salah satu lahan subur untuk terjadinya suatu kegiatan korupsi haruslah diatur dengan jelas dan tertulis. Peraturan perundangan-undangan yang dibuat pertama kali untuk mengatur tentang pengadaan barang/jasa ialah keputusan presiden nomor 18 tahun 2000,lahirnya keputusan presiden nomor 18 tahun 2000 sebagai suatu pedoman pelelangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.

Didalam diatur mengenai petunjuk teknis yang memberikan kewenangan kepada lembaga penbembangan jasa konstruksi (LPJK) dan kamar dagang dan industri (KADIN) untuk memberikan akreditasi dan sertifikasi bagi penyedia barang dan jasa.

Menurut surat keputusan bersama menteri keuangan republik indonesia dengan kepala BAPPENAS nomor NO.KEP-S-42/A/2000 dan S.226/D.2/05/2000 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pada instansi pemerintah menyatakan pada Bab I Angka 1 huruf g yaitu:

“sertifikat penyedia barang/jasa adalah sertifikat tanda bukti registrasi,klarifikasi dan kualifikasi tanda bukti bagi penyedia barang/jasa tertentu sesuai dengan bidang usaha dan kemampuannya yang diterbitkan oleh lembaga atau assosiasi perusahaan/profesi yang bersangkutan yang resmi dan telah diakreditasi bidang kontruksi yang dilakukan oleh


(36)

lembaga pengembangan jasa konstruksi (LPJK) dan dan non konstruksi oleh kamar dagang dan industri (KADIN)”

Penyempurnaan pengaturan mengenai pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemreintah melahirkan keputusan presiden nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.

Melahirkan keputusan presiden nomor 80 tahun 2003 sebagai pengganti dari keputusan presiden nomor 18 tahun 2000 tentunya dengan maksud dan tujuan tertentu, maksud dan tujuan tersebut diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) yang

menyatakan bahwa:28

“(1) Maksud diberlakukannya Keputusan Presiden ini adalah untuk mengatur pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari APBN/APBD.

(2) Tujuan diberlakukannya Keputusan Presiden ini adalah agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai APBN/APBD dilakukan secara efisien,efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel.”

Keputusan presiden nomor 80 tahun 2003 juga mengatur tentang hal-hal

seperti tugas pokok pengguna barang/jasa,persyaratan penyedia

barang/jasa,penentuan harga perkiraan sendiri dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.

Pengadaan barang/jasa mengalami perkembangan yang sangat dinamis, hal ini ditandai dengan adanya delapan kali revisi terhadap keputusan presiden

28

Pasal 2 keputusan presiden nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah


(37)

nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah sampai akhirnya keputusan presiden tersebut dicabut dan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 januari 2011.

Dicabutnya keputusan presiden nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melahirkan peraturan perundang-undangan yang baru yang menggantikan keputusan presiden nomor 80 tahun 2003 tersebut.

Peraturan perundang-undangan tersebut ialah Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah (yang untuk selanjutnya disebut sebagai Perpres Nomor 54 Tahun 2010). Peraturan ini diharapkan mampu mengatur pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah lebih baik.

Pada Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dengan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 memiliki perbedaan-perbedaan yang prinsipil yang ditandai dengan didasari oleh 7 (tujuh) gagasan pokok perubahan yaitu : penyederhanaan prosedur, mengurangi ekonomi biaya tinggi, mendorong terjadinya persaingan usaha yang sehat, melindungi usaha kecil, meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri, meningkatnya profesionalitas pelaksana pengadaan barang dan penyelarasan

aturan.29

Perpres Nomor 54 Tahun 2010 sampai saat ini telah mengalami empat kali perubahan. Yang pertama diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 35 tahun 2011 tentang perubahan pertama atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010

29

Amik Tri Istiami, Cara Lebih Mudah Membaca Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Perpres 54, 35, dan 70), CV Primaprint, Jakarta, 2014, halaman 15.


(38)

tentang pengadaan barang/jasa pemerintah (yang selanjutnya disebut sebagai Perpres Nomor 35 Tahun 2011).

Perpres Nomor 35 Tahun 2011 dilahirkan karena dianggap perlunya penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia jasa konsultansi di bidang hukum meliputi konsultan hukum/advokat atau pengadaan arbiter yang tidak direncanakan sebelumnya untuk menghadapi tuntutan hukum dari pihak tertentu

kepada pemerintah yang sifatnya harus disegerakan.30

Setelah Perpres Nomor 35 Tahun 2011 berlaku pada tahun 2012 pengaturan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah mengalami perubahan kembali yaitu Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah (yang selanjutnya disebut sebagai Perpres Nomor 70 Tahun 2012).

Perpres Nomor 70 Tahun 2012 dilahirkan karena terjadi banyak penambahan materi pada pasal-pasal tertentu dan dianggap juga perlunya percepatan pengadaan barang/jasa dalam menunjang percepatan pelaksanaan belanja negara. Perpres Nomor 70 Tahun 2012 kemudian dirubah lagi dengan Peraturan Presiden Nomor 172 tahun 2014 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa (yang selanjutnya disebut sebagai Perpres Nomor 172 Tahun 2014). Dirubahnya Perpres Nomor 70 tahun 2012 menjadi Perpres Nomor 172 tahun 2014 karena perlunya percepatan penyediaan benih dan pupuk kepada petani melalui upaya khusus

30 Ibid.


(39)

bantuan benih unggul dan pupuk dalam rangka mencapai swasembada pangan dan mengantisipasi perubahan iklim.

Perubahan terakhir ialah Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa. Peraturan terakhir ini dilakukan karena perlunya inovasi terhadap pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam rangka percepatan pelaksanaan belanja negara guna percepatan pelaksanaan belanja negara guna percepatan pelaksanaan pembangunan.

Pengadaan barang dan jasa yang dilakukan BUMN bukan hanya diatur dalam peraturan presiden diatas melainkan juga diatur oleh peraturan BUMN nomor 15 tahun 2012 tentang perubahan atas peraturan menteri BUMN nomor 05 tahun 2008 tentang pedoman umum pelaksanaan pengadaan barang dan jasa badan usaha milik negara.

2. Pihak-Pihak Dalam Pengadaan Barang/Jasa

Purwosusilo dalam bukunya yang berjudul aspek hukum pengadaan barang dan jasa membagi para pihak yang terlibat didalam pengadaan barang/jasa pemerintah ke dalam 2 (dua) bagian yaitu pengguna barang/jasa dan penyedia barang/jasa.

I. Pengguna barang/jasa

pengguna barang/jasa diwakili dengan pengguna anggaran/kuasa anggaran (PA/KPA), pejabat pembuat komitmen (PPK), panitia pengadaan/ULP


(40)

(unit layanan pengadaan) dan aparat pengawas internal pemerintah (APIP).31 Para pihak memiliki tugas pokok, kedudukan dan fungsi masing-masing.

a. Pengguna Anggaran

Istilah pengguna anggaran dijelaskan dalam Peraturan Presiden Nomor

54 tahun 2010 pada pasal 1 angka 5 yang menyatakan sebagai berikut :32

“Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut PA adalah Pejabat

pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/

Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang disamakan pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD.”

pengguna anggaran juga memiliki tugas dan kewenangan yang telah diatur jelas pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang telah diubah dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 dan Peraturan Presiden Nomor

70 tahun 2012 pada pasal 8 yang menyatakan sebagai berikut :33

“(1) PA memiliki tugas dan kewenangan sebagai berikut: a. menetapkan Rencana Umum Pengadaan;

31

Bab III Perpres Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana yang telah diubah dalam Perpres Nomor 35 Tahun 2011 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012. Dalam Peraturan tersebut disebutkan bahwa struktur organisasi pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia terdiri atas : a. PA/KPA, b. PPK, c. ULP/Pejabat Pengadaan, dan d. Panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan. Yang kemudian dalam pengadaan barang/jasa pemerintah melalui swakelola terdiri atas : a. PA/KPA, b. PPK, dan c. Panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan dan dikenal pula aparat pengawas internal pemerintahan (APIP)

32

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa 33

Bab III pasal 8 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaiman yang telah diubah dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 dan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah


(41)

b. mengumumkan secara luas Rencana Umum Pengadaan paling kurang di website K/L/D/I;

c. menetapkan PPK;

d. menetapkan Pejabat Pengadaan;

e. menetapkan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan; f. menetapkan:

1) pemenang pada Pelelangan atau penyedia pada

Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan

Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan nilai diatas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); atau

2) pemenang pada Seleksi atau penyedia pada Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi dengan nilai diatas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

g. mengawasi pelaksanaan anggaran;

h. menyampaikan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

i. menyelesaikan perselisihan antara PPK dengan ULP/ Pejabat Pengadaan, dalam hal terjadi perbedaan pendapat;dan

j. mengawasi penyimpanan dan pemeliharaan seluruh Dokumen Pengadaan Barang/Jasa.


(42)

(2) Selain tugas pokok dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal diperlukan, PA dapat:

a. menetapkan tim teknis; dan/atau

b. menetapkan tim juri/tim ahli untuk pelaksanaan Pengadaan melalui Sayembara/Kontes.

Kewenangan dan tugas dari pengguna anggaran diatur secara tegas guna untuk menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan para pejabat dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dan BUMN serta tercapainya keseimbangan (check and balance) sehingga pelaksanaan pengadaan barang/jasa tersebut

berjalan sebagaimana mestinya.34

b. Kuasa Pengguna Anggaran

Istilah kuasa pengguna anggaran tidak dikenal dalam Keppres 80 Tahun 2003 maupun aturan sebelumnya, istilah tersebut baru dikenal pada Perpres 54 Tahun 2010 sebagaimana yang telah diubah dengan Perpres Nomor 35 Tahun

2011 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012.35

Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut dengan KPA merupakan pejabat bentukkan Pengguna Anggaran untuk menggunakan APBN

atau bentukkan kepala daerah untuk menggunakan APBD.36 KPA dapat menerima

pengalihan penuh maupun sebagian wewenang dari pengguna anggaran.

c. Pejabat Pembuat Komitmen

34

Purwosusilo, Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, Halaman 237

35

Ibid, 238 36

Pasal 1 ayat (6) Perpres Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana yang telah direvisi dengan Perpres Nomor 35 Tahun 2011 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012.


(43)

Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut sebagai PPK

adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengadaan barang/jasa.37 Serta

pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran

belanja negara.38

PPK memiliki tugas dan wewenang yang telah diatur secara jelas dalam

pasal 11 yaitu,sebagai berikut:39

a. Menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang

meliputi :

1) Spesifikasi teknis barang/jasa;

2) Harga perkiraan sendiri (HPS); dan

3) Rancangan kontrak;

b. Menerbitkan surat penunjukkan penyedia barang/jasa;

c. Menyetujui bukti pembelian atau menandatangani kuitansi/surat

perintah kerja (SPK)/ suat perjanjian;

d. Melaksanakan kontrak dengan penyedia barang/jasa;

e. Mengendalikan pelaksanaan kontrak;

f. Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian pengadaan barang/jasa kepada

PA/KPA;

37

Pasal 1 ayat (7) Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana yang telah direvisi dengan Perpres 35 Tahun 2011 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012.

38

Pasal 1 angka (23) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

39

Pasal 11 Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana yang telah direvisi dengan Perpres 35 Tahun 2011 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012


(44)

g. Menyerahkan hasil pekerjaan pengadaan barang/jasa kepada PA/KPA dengan berita acara penyerahan;

h. Melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan

hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan;

i. Menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan

pengadaan barang/jasa.

d. ULP/Pejabat Pengadaan

Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut sebgai ULP adalah unit organisasi Kementrian/Lembaga/pemerintah Daerah/Institusi yang berfungsi melaksanakan pengadaan barang/jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri

sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.40

Seperti pihak-pihak lainnya ULP juga memiliki tugas pokok dan kewenangannya yaitu menyusun rencana pemilihan penyedia barang/jasa, menetapkan dokumen pengadaan,menetapkan besaran nominal jaminan penawaran, mengumumkan pelaksanaan pengadaan barang/jasa di website K/L/D/I masing-masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta meyampaikan ke LPSE untuk diumumkan dalam portal pengadaan nasional,

menilai kualifikasi penyedia barang/jasa melalui prakualifikasi atau

40

Pasal 1 ayat (8) Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang telah direvisi Perpres Nomor 35 Tahun 2011 dan Perpres Nomor 70 tahun 2012 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah


(45)

pascakualifikasi, dan melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap

penawaran yang masuk.41

e. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP)

Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan yang selanjutnya disebut sebagai PPHP pada hakikatnya merupakan perpanjangan tangan dari pengguna anggaran untuk memeriksa kebenaran hasil pekerjaan yang telah diselesaikan

penyedia dengan dasar kontrak yang telah ditanda tangani.42

Adapun tugas pokok dan kewenangan dari PPHP yaitu juga dengan jelas

tercantum dalam pasal 18 ayat (5) yang menyatakan sebagai berikut:43

a. Melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan pengadaan barang/jasa sesuai

dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak;

b. Menerima hasil pengadaan barang/jasa setelah melalui pemeriksaan/

pengujian; dan

c. Membuat dan menandatangani berita cara serah terima hasil

pekerjaan.

d. Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP)

Aparat pengawas Intern Pemerintah yang selanjutnya disebut sebagai APIP ini merupakan aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, review,

41

Pasal 17 ayat (2) Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang telah direvisis pada Perpres Nomor 35 Tahun 2011 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

42

Purwosusilo, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, halaman 246

43

Pasal 18 ayat (5) Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang telah direvisi pada Perpres Nomor 35 Tahun 2011 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah


(46)

evaluasi, pemantauan dan kegiatan pengawasan lainnya terhadap penyelenggaraan

tugas dan fungsi organisasi.44

II. Penyedia Barang/Jasa

penyedia barang/jasa ini merupakan pilar penting setelah pemerintah dalam pengadaan barang/jasa. Sesuai dengan konsep dasar pengadaan barang/jasa yang baik harus pula disediakan oleh penydia barang/jasa yang baik juga,

sehingga dengan hal ini dikenal istilah kualifikasi.45

Kualifikasi diartikan sebagai penilaian terhadap kompetensi atau kemampuan penyedia barang/jasa dalam menyediakan barang/jasa yang dibutuhkan. Untuk membuktikan penyedia barang/jasa tersebut memenuhi kualifikasi maka dilakukan penilaian sebagaiamana sesuai ketentuan pasal 19 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang telah diubah dalam Perpres Nomor 35 Tahun 2011 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Selain pembuktian dilakukan untuk penyedia barang/jasa yang telah memenuhi kualifikasi perlu juga dilakukan pembuktian penyedia barang/jasa yang mampu menyediakan barang/jasa yang dibutuhkan yaitu dengan penilaian terhadap dokumen penawaran penyedia yang terdiri atas penilaian administrasi,

teknis dan harga.46

3. Proses Pengadaan Barang dan jasa

44

Purwosusilo, Aspek hukum Pengadaan Barang dan jasa, Pranadamedia Group, Jakarta, 2014, halaman 248

45

Ibid. Halaman 251-252 46


(47)

Dalam mengadakan suatu barang/jasa dalam pemerintahan tentu saja membutuhkan tahap-tahap untuk membantu proses pengadaan barang/jasa tersebut, tahap-tahap tersebut yaitu,sebagai berikut :

I. Tahapan Persiapan Kontrak

Tahapan ini diawali dengan perencanaan pengaturan yang diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang telah diubah dalam Perpres Nomor 35 Tahun

2011 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 Tentang pengadaan barang/jasa.47

Purwosusilo dalam bukunya yang berjudul aspek-aspek pengadaan barang dan jasa menyebutkan proses pengadaan barang dan jasa pada tahapan persiapan kontrak ialah dimulai pada tahapan pengumuman, penetapan harga perkiraan sendiri (HPS)/ Owner Estimate, pendaftaran dan pengambilan dokumen, aanwijzing (penjelasan), pengajuan penawaran, jaminan penawaran, pembukaan dokumen penawaran, penilaian/evaluasi, penetapan pemenang, dan adanya sanggahan atau sanggahan banding.

II. Tahapan Pelaksanaan Kontrak

Tahapan ini merupakan lanjutan dari tahapan persiapan kontrak, adapun

proses di dalam tahapan pelaksanaan kontrak, yaitu :48

a. Penyempurnaan rancangan kontrak;

b. Penandatangan kontrak;

c. Jaminan pelaksanaan;

d. Pelaksanaan kontrak;

e. Pembayaran uang muka;

47

Purwosusilo, Aspek-Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, halaman 254

48


(48)

f. Perubahan kegiatan pekerjaan;

g. Laporan hasil pekerjaan;

h. Penilaian progres kegiatan;

i. Penghentian dan pemutusan kontrak.

III. Tahap Pasca Kontrak

Tahapan-tahapan pasca kontrak ini terdiri atas penerimaan kontrak, denda dan ganti rugi, keadaan kahar dan terakhir perpanjangan waktu pelaksanaan

pekerjaan.49 hal ini seperti yang dinyatakan pada peraturan presiden no 70 tahun

2012 tentang perubahan atas peraturan presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukan hanya mengacu pada peraturan presiden nomor 70 tahun 2012 tetapi menteri BUMN juga telah membuat tata cara pengadaan barang dan jasa BUMN berdasarkan peraturan menteri BUMN nomor 15 tahun 2012 tentang perubahan atas peraturan menteri nomor 05 tahun 2008 tentang pedoman umum pelaksanaan pengadaan barang dan jasa badan usaha milik negara. Tata cara tersebut tercantum pada pasal 5, yang menyatakan sebagai berikut :

1. Cara pengadaan barang dan jasa disesuaikan dengan kebutuhan pengguna

barang dan jasa serta dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip umum

sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan best practice yang berlaku;

2. Cara pengadaan barang dan jasa dilakukan dengan cara antara lain tetapi tidak

terbatas pada :

49


(49)

a. Pelelangan terbuka, atau seleksi terbuka untuk jasa konsultan, yaitu diumumkan secara luas melalui media massa guna memberi kesempatan kepada penyedia barang dan jasa yang memenuhi kualifikasi untuk mengikuti pelelangan;

b. Pemilihan langsung, atau seleksi langsung untuk pengadaan jasa

konsultan, yaitu pengadaan barang dan jasa yang ditawarkan kepada beberapa pihak terbatas sekurang-kurangnya 2 (dua) penawaran;

c. Penunjukkan langsung yaitu pengadaan barang dan jasa yang

dilakukan secara langsung dengan menunjuk satu penyedia barang

dan jasa atau melalui beauty contest;

d. Pembelian langsung, yaitu pembelian terhadap barang yang terdapat

di pasar, dengan demikian nilainya berdasarkan harga pasar;

3. Tata cara pengadaan barang dan jasa sebagaiamana dimaksud pada ayat (2),

diatur lebih lanjut oleh direksi BUMN

Berdasarkan ayat (3) tersebut, maka direksi BUMN memiliki wewenang secara khusus untuk membuat tata cara pengadaan barang dan jasa. Apabila

berdasarkan putusan 94/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn tentang kasus korupsi

pengadaan barang dan jasa di PT. PLN, dimana PT.PLN (persero) KITSBU selaku Badan Usaha Milik Negara melaksanakan Pengadaan barang/ jasa dalam bentuk flame tube berdasarkan surat keputusan direksi PT.PLN.


(50)

BAB III

PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI

DALAM UNDANG-UNDANG 31 TAHUN 1999 JO UNDANG-UNDANG 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI

A. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangannya

Korupsi sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia, karena telah ada sejak tahun 1950-an. Korupsi seolah telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan

pemerintahan Negara.50

Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja

Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus

Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi

perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan-perlawanan Diponegoro

(1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain.

Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri.

Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur

Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar

50

Penanggulangan korupsi di Era 50-an tersebut dengan menggunakan perangkat perundang-undangan yang ada masih banyak menemui egagalan. (http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081, Opcit.)


(51)

hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi

kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.51

Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron (seorang sosiolog) berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk

mengkreditkan suatu bangsa.52

Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parahnya. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil

hingga pejabat tinggi.53

1. Istilah Tindak Pidana Korupsi

Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian konsiderannya, yang antara lain menyebutkan, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara yang oleh khalayak ramai

51

http://syafieh74.blogspot.com/2013/05/korupsi-dan-perkembangannya-di-indonesia.html diakses tanggal 23 Februari 2015 pukul 23:42

52

Ibid, halaman 2 53

Rohim, SH, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta, 2008, halaman 3


(52)

dinamakan korupsi.54 Korupsi pertama kali dianggap sebagai tindak pidana di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya, Undang-Undang ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan terakhir sejak tanggal 16 Agustus 1999 diganti denga Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.55

Tujuan pemerintah dan pembuatan undang-undang melakukan revisi atau mengganti produk legislasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum,

yang dapat dijadikan alasan untuk dapat melepaskan pelaku dari jeratan hukum.56

Pemahaman atas hal tersebut sangat membantu mempermudah segala tindakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi, baik dalam bentuk pencegahan (preventif) maupun tindakan (represif). Pemberantasan korupsi tidak hanya memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga berfungsi sebagai daya tangkal.

Secara umum perbuatan korupsi adalah suatu perbuatan yang melanggar norma-norma kehidupan bermasyarakat dimana dampak yang ditimbulkan sangat merugikan masyarakat dalam arti luas dan jika dibiarkan secara terus menerus, maka akan merugikan keuangan Negara/ perekonomian Negara yang

54

H. Elwi Danil. Opcit, halaman 5 55

Ibid. 56


(53)

mengakibatkan Negara tersebut gagal dalam mencapai tujuan pembangunannya, yaitu menciptakan suatu masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.

Black ‘s Law Dictionary mendefenisikan korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau

orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hal-hak dari pihak lain.57

Syed Husein Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengan menyebutkan benang merah yang menjekujuri dalam ativitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa

akan akibat yang diderita oleh masyarakat.58

Kartono memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan

57

Rohim, SH, Opcit, halaman 7 58

http://definisipengertian.com/2012/pengertian-definisi-korupsi-menurut-para-ahli/ halaman 1


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pemerintah Indonesia telah membentuk beberapa peraturan yang mengatur mengenai Pengadaan Barang dan Jasa dalam Badan Pemerintahan yang dirumuskan dalam berbagai regulasi peraturan perundang-undangan, termasuk dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang kemudian di ganti dengan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang mengatur tata cara pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah serta Pihak-pihak dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.

2. Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi dimuat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi, pemerintah indonesia menerapkan undang-undang ini adalah upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operasi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan alasan untuk dapat melepaskan pelaku dari jeratan hukum. Undang-undang ini mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam golongan korupsi serta sanksi-sanksinya.


(2)

3. Kasus korupsi PT.PLN (Persero) KITSBU sektor Belawan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 94/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn dan Putusan Upaya Banding yaitu Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT-MDN merupakan tindak pidana yang disebabkan karena terjadinya perbedaan spesifikasi Flame Tube yang dibutuhkan oleh PT.PLN (Persero) KITSBU sektor Belawan dengan Flame Tube yang disuplai oleh Yuni selaku Direktur CV. Sri Makmur yaitu Pihak Penyedia Barang dan Jasa. Dalam kasus ini, hakim menjatuhkan putusan kepada terdakwa pidana penjara selama 9 (sembilan) Tahun dan Pidana Denda sebesar Rp.700.000.000,- (Tujuh Ratus Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dapat dibayarkan maka diganti dengan pidana Penjara selama 6 (Enam) Bulan Majelis hakim dalam pertimbangannya tidak mempertimbangkan seluruh keterangan saksi yang diajukan, terutama yang berkaitan dengan kewenangan Terdakwa yang seharusnya mempertimbangkan SK Direksi PT.PLN Nomor 100 dan Nomor 200 dan yang didalamnya tidak menyatakan keharusan dari manajer bidang produksi dalam kasus ini adalah terdakwa untuk melakukan survei. Kemudian terdapat kekeliruan Majelis Hakim dalam menentukan jumlah kerugian negara serta kewenangan BPKP dalam melakukan audit investigative terhadap BUMN. Sehingga dirasa putusan yang di berikan oleh majelis hakim keliru terhadap terdakwa.


(3)

1. Perlunya Optimalisasi pengaturan mengenai pengadaan barang dan jasa dalam sektor pemerintahan, dimana pengaturan tersebut tidak hanya dalam bentuk suatu Keputusan Presiden maupun Peraturan Presiden namun dalam bentuk suatu Undang-Undang yang mengatur secara jelas tata cara pengadaan barang dan jasa pemerintah, proses pengadaan barang dan jasa pemerintah serta pihak-pihak dalam pengadaan barang dan jasa dalam sektor pemerintahan.

2. Perlunya perbaikan terhadap pengaturan tentang tindak pidana korupsi dalam undang-undang No 31 Tahun 1999 jo undang-undang No. 20 Tahun 2001 agar tidak dapat memberikan celah – celah hukum bagi para pelaku tindak pidana korupsi untuk dapat lolos ataupun meringankan hukumannya, terutama tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintah atau Pejabat BUMN .

3. Perlunya pemahaman oleh masyarakat dan khususnya para aparat penegak hukum tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah serta tindak pidana korupsi dan penghitungan kerugian keuangan negara, agar kedepannya tidak lagi terjadi kekeliruan mengenai perhitungan kerugian keuangan negara, serta tidak terjadi ketidakadilan dan ketidakpastian dalam pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang di BUMN.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Ekaputra Muhammad, Dasar – dasar Hukum Pidana, USUPress, Medan,2010 Makawimbang Hernold Ferry, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana

Korupsi Suatu Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, 2014

Sutedi Adrian, Hukum Keuangan Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010 Hartini Evi, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008

Tjandra W. Riawan, S.H., M.Hum, Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, 2014

Syamsuddin Aziz, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011

wijaya Firman,peradilan korupsi teori dan praktik,Penaku bekerja sama dengan Maharini Press, Jakarta,2008

Purwosusilo, Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014

Istiami Amik Tri, Cara Lebih Mudah Membaca Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Perpres 54, 35, dan 70), CV Primaprint, Jakarta, 2014

P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatab Jabatan tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,

Chaerudin Dkk (Editor Aep Gunarsa), Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT Refika Aditama, 2008


(5)

Mahrus ali, Asas Teori Praktek Hukum Pidana Korupsi,UII Press, Yogyakarta, 2013

Krisnawati Dani Dkk (Editor Eddy O. S. Hiariej), Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006

Daniel Elwi, Korupsi Konsep Tindak pidana dan Pemberatasannya, RajaGrafindo Persada, Jakarta,2012

Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Suatu Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, 2014

B. Peraturan Perundang Undangan

Undang – undang RI no 31 Tahun 1999 Jo Undang – undang no 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidnaa Korupsi

Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

C. Sumber Internet

http://www.kpk.go.id/modules/editor/doc/strategic/plan_plan_2008_to_2011_id.p df,rencana strategic komisi pemberantasan korupsi,2008-2011. Diakses pada tanggal 15 Desember 2015 pukul 14.30 WIB

http://www.kajianpustaka.com/2013/08/pengertian-model-bentuk-jenis-korupsi.html diakses 15 Desember 2014 pukul 15.59 Wib


(6)

http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindak-pidana/#ixzz32Qu090CV. tanggal 16 Desember 2014 pukul 01.49 WIB

http://www.informasi-pendidikan.com/2013/08/analisis-data-penelitian.html di akses pada tanggal 16 Desember 2014 pukul 01.49 WIB

http://definisipengertian.com/2012/pengertian-definisi-korupsi-menurut-para-ahli/ halaman

http://jonaediefendi.blogspot.com/2012/10/perspektif-yuridis-pengembalian.html diakses 24 Februari 2015 pukul 01:00

Analisis Ekonomi Atas Hukum Pidana Mengenai Sanksi Pidana Yang Efektif Dan Efisien Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi, https://www.academia.edu/6880063, Diakses pada tanggal 19 Juni 2015 Pukul 17.00 WIB


Dokumen yang terkait

Pengadaan Barang Yang Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara Ditinjau Dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)

6 100 148

Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

2 48 143

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (vrijspraak) terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn)

2 101 101

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Kewenangan Jaksa Pengacara Negara Dalam Gugatan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Terdakwanya Meninggal Dunia (Studi Putusan No. Reg 02/Pdt. G/2010/PN.DPK)

0 55 105

Kewenangan Bpkp Dan Kejaksaan Dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara Terhadap Tindak Pidana Korupsi

0 78 186

Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Faktor Yang Meringankan Hukuman Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 40 121

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 6 42

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

0 0 29