BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya, kaum homoseksual menjadi kaum yang dijauhi. Mereka dianggap tidak normal
dan tak bisa diterima oleh orang-orang yang menganggap dirinya normal heteroseksual.
Homoseksualitas adalah rasa ketertarikan romantis
danatau seksual atau perilaku antara individu ber
jenis kelamin atau
gender yang
sama. Sebagai orientasi seksual
, homoseksualitas mengacu kepada pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang,
atau ketertarikan romantis terutama atau secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin sama. Istilah umum dalam homoseksualitas yang sering
digunakan adalah
lesbian untuk perempuan pecinta sesama jenis dan
gay untuk pria pecinta sesama jenis http:www.apa.orghelpcentersexual-
orientation.aspx. Diakses pada 13 Maret 2012, 22.46 Secara psikologis, kaum homoseksual tidak dianggap ‘sakit’.
Mereka normal, sama seperti kaum heteroseksual. Homoseksual sudah bukan lagi merupakan sebuah penyimpangan. Dalam DSM IV
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder buku acuan diagnostik secara statistikal dalam menentukan gangguan kejiwaan, tidak
ditemukan lagi homoseksual sebagai gangguan kejiwaan dengan alasan bahwa kaum homoseksual tidak merasterganggu dengan orientasi
seksualnya, bahkan bisa merasa bahagia dengan orientasi seksualnya tersebut. DSM adalah buku panduan psikologi dalam menentukan normal
tidaknya sebuah perilaku.
Universitas Sumatera Utara
Sebelumnya pada DSM I 1952 menyatakan bahwa homoseksual adalah gangguan sosio phatik, artinya perilaku homoseksual
tidak sesuai dengan norma sosial, sehingga merupakan perilaku yang abnormal. Pada DSM II 1968 menyatakan bahwa homoseksual adalah
penyimpangan seks sex deviation, dipindahkan dari kategori gangguan sosio phatik. Tahun 1973, DSM III diterbitkan, pada DSM III ini
homoseksual dikatakan gangguan jika orientasi seksualnya itu mengganggu dirinya. Namun pada revisi DSM III homoseksual sudah
dihapus sebagai sebuah gangguan. Bahkan menurut Robert L. Spitzer Ketua Komite Pembuatan DSM III saat itu menyatakan bahwa
homoseksualitas adalah sebuah variasi orientasi seksual. Tidak lebih dari itu.
Namun, kenyataan di masyarakat homoseksual dianggap sebagai momok dan harus dijauhi. Baik masyarakat yang tinggal di kota
metropolitan—di mana nilai-nilai global yang telah membuka celah penerimaan kaum homoseksual dimungkinkan berpenetrasi lebih
banyak—maupun masyarakat di daerah terpencil kerap mengucilkan kaum homoseksual. Kontroversi fenomena homoseksual dapat menular
ke orang lain menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat merasa perlu menjauhi kaum tersebut.
Kenyataan di masyarakat ini bisa jadi juga dipengaruhi pandangan agama. Agama apapun di Indonesia menganggap
homoseksualitas adalah suatu penyimpangan. Berangkat dari ajaran
Universitas Sumatera Utara
agama, kaum homoseksual dianggap aneh, tidak normal, menyimpang, hingga mereka dijauhi atau dikucilkan. Hal ini berdampak pada ketakutan
kaum homoseksual menunjukkan jati dirinya. Pemberitaan dan konstruksi kaum homoseksual di media massa pun pasti memengaruhi pandangan
masyarakat. Media massa merupakan agen sosialisasi sekunder yang dampak
penyebarannya paling luas dibanding agen sosialisasi lain. Meskipun dampak yang diberikan media massa tidak secara langsung terjadi, namun
cukup signifikan dalam memengaruhi seseorang, baik dari segi kognisi, afeksi maupun konatifnya Gabner, 2007: 8.
Media massa mempunyai peran penting dalam pencitraan. Media
massa dapat membentuk pencitraan tertentu dari suatu peristiwa atau suatu kelompok dan dipahami sebagai kebenaran umum dalam
masyarakat. Simbol-simbol atau istilah yang terus menerus diulang menciptakan citra tersendiri tentang sesuatu di mata masyarakat.
Pencitraan yang sudah begitu melekat dalam benak masyarakat ini kemudian berkembang menjadi stereotip yang kemudian diteruskan
intra dan inter generasi Gabner, 2007: 9. Misal, teroris itu identik dengan janggut dan sorban. Foto atau video teroris berjanggut dan
bersorban menanamkan pemahaman di masyarakat kalau teroris itu berjanggut dan bersorban.
Begitu juga dengan citra kaum homoseksual, salah satu stereotip yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dan dunia adalah
mengenai kaum homoseksual yang dianggap menyimpang dari norma. Selain dianggap menyimpang, beberapa pemberitaan tentang kasus
Universitas Sumatera Utara
kriminal yang dilakukan kaum homoseksual juga kerap membuat masyarakat menarik kesimpulan bahwa homoseksual cenderung
melakukan kekerasan. Banyak pemberitaan kekerasan yang disangkutpautkan dengan
latar belakang orientasi seksual si pelaku. Kasus pertama adalah Very Idham Heryansyah alias Ryan—pelaku mutilasi berantai yang didiagnosa
mengalami gangguan kejiwaan dan berorientasi seksual sesama jenis. Kasus kedua adalah perkosaan berantai yang terjadi di Bali, dilakukan
oleh Mochammad Davis Suharto yang juga seorang homoseksual. Februari lalu media massa heboh memberitakan kasus pembunuhan
berantai oleh Mujianto—pria asal Nganjuk yang membunuh sejumlah pria yang dianggap dekat dengan pasangan gay-nya.
Ketiga kasus kriminal yang diberitakan tersebut mengangkat sisi orientasi seksual pelaku yang kemudian dikaitkan dengan tindak
kejahatan yang mereka lakukan. Tak jarang, media massa berlebihan dalam mengemas berita tentang pembunuhan yang dilakukan oleh kaum
homoseksual. Homoseksualitasnya seolah menjadi penyebab ia melakukan tindak kriminal berupa pembunuhan tersebut. Dalam kasus
Mujianto pada pertengahan Februari lalu misalnya, banyak media massa baik cetak, TV maupun online yang kerap mengait-ngaitkan dengan kasus
pembunuhan yang dilakukan Ryan. Pemberitaan semacam ini semakin menguatkan pemahaman masyarakat bahwa homoseksual itu
Universitas Sumatera Utara
menyimpang dan berpotensi melakukan tindak kekerasan yang merugikan orang lain.
Media massa lebih tertarik untuk menampilkan sesuatu yang kontroversial. Maka dalam pemberitaan kriminal Ryan dan Davis, sisi
homoseksual mereka yang dikaitkan dengan kejahatan lebih memiliki daya tarik bagi khalayak dan hal inilah yang menjadi sudut pandang
utama dalam pemberitaan di media massa. Media massa mengarahkan opini khalayak lewat proses framing
dan sekaligus menanamkan stereotipe kepada mereka bahwa homoseksual kerap identik dengan kekerasan. Hal ini kemudian
menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat untuk berhubungan atau bersosialisasi dengan kaum LGBT. Ketika akses untuk bersosialisasi
semakin terhambat, kaum LGBT akan memiliki self esteem yang rendah dan perasaan bersalah yang terus menerus karena ditekan oleh masyarakat
Kirnandita, 2010: 10.
Bagimana media menyajikan suatu isu menentukan bagaimana
khalayak memahami dan mengerti suatu isu Eriyanto, 2002: 217. Pencitraan negatif atau stereotiping oleh media massa dan pemahaman
masyarakat seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan. Sekali media massa menanamkan suatu stereotipe tertentu dan masyarakat
mengamininya, maka hal ini yang akan diteruskan ke generasi selanjutnya.
Di era digital saat ini, media online tumbuh bak jamur di musim hujan. Meski media massa cetak dan elektronik belum kehilangan
pesonanya, namun pesona media online kian menawan. Saat ini, hampir seluruh media massa cetak memiliki versi online. Daya yang berupa e-
Universitas Sumatera Utara
paper ada juga yang membuat portal berita khusus online yang bisa di- update dengan cepat, tanpa menunggu proses cetak.
Dalam sebuah materi pelatihan tentang New Media di Sei Rokan Januari 2011 lalu, Andreas Harsono, pemateri dalam pelatihan itu
mengatakan ada 12 pendekatan teknologi internet yang kerap dimasukkan dalam portal berita dan ini menjadi nilai lebih dari media massa online,
yaitu Customizable graphics, Photo galleries produksi staf atau warga, Link pada kata-kata kunci dalam cerita, Link pada organisasi atau
newsmakers dalam cerita, Link guna mendukung key facts –terutama dokumen dan materi lain, Transkrip wawancara, video atau audio
interview, biografi si wartawan, interactive timelines, searchable database baik dalam situs kita atau situs lain, frequently asked questions,
link pada blog yang bereaksi terhadap laporan, “crowd source” – minta informasi tambahan dari publik, undang warga untuk mengatakan apa
lagi yang mereka ingin tahu, background tentang apa yang bisa dilakukan warga guna partisipasi, klik untuk sharing cerita tersebut lewat facebook,
twitter, digg, reddit dan sebagainya, terakhir adalah koreksi dan updates. Jejaring sosial seperti facebook dan twitter pun menjadi tempat
media online membagikan berita-beritanya. Data jumlah pengguna facebook di Indonesia pada tahun 2010 menurut
www.checkfacebook.com adalah 34.319.040 akun, menempati urutan ke dua setelah Amerika
Serikat yang berjumlah 148,216,200. Itu artinya, di tahun 2010,
Universitas Sumatera Utara
34.319.040 warga Indonesia mengakses internet. Di tahun 2012 ini, jumlah itu pasti bertambah.
Republika Online dan Tempo.co adalah dua portal berita nasional. Keduanya adalah media besar yang juga memiliki versi cetak.
Tempo.co memiliki Koran Tempo dan Majalah Tempo, Republika Online memiliki Harian Republika.
Republika Online dan Tempo.co memiliki latar belakang ideologi yang berbeda. Republika Online cenderung lebih islami. Terlihat dari
judul-judul beritanya yang sering menggunakan ungkapan-ungkapan khas muslim, seperti Alhamdulillah, Astaghfirullah atau Subhanallah.
Sementara Tempo.co tak membawa latar belakang agama apapun. Untuk melihat citra kaum homoseksual di media massa online,
kedua portal berita nasional ini dirasa cukup bisa mewakili. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat citra kaum homoseksual
dalam Republika Online dan Tempo.co.
1.2 Perumusan Masalah