Perkembangan Perdagangan TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 10. Grafik Perbandingan Produksi SBT Ton Indonesia Tahun 2005 dengan Negara Produsen Lain diolah dari CCSBT, 2006 Cara kerja alat ini secara umum adalah pancing diturunkan ke perairan, lalu mesin kapal dimatikan. sehingga kapal dan alat tangkap akan hanyut mengikuti arah arus drifting. Drifting berlangsung selama kurang lebih empat jam dan selanjutnya mata pancing diangkat kembali ke atas kapal. Untuk mendukung kefektifan alat ini, umpan longline harus bersifat atraktif, misalnya sisik ikan mengkilat, tahan di dalam air, dan tulang punggung kuat. Umpan dalam pengoperasian alat tangkap ini berfungsi sebagai alat pemikat ikan yang umumnya ikan pelagis kecil, seperti lemuru Sardinella sp., kembung Rastrelliger sp., dan bandeng Chanos chanos.

3.3 Perkembangan Perdagangan

Southern Bluefin Tuna Jepang merupakan negara produsen sekaligus importir Southern Bluefin Tuna SBT terbesar dunia. Jumlah produksi SBT Jepang mencapai sekitar 7.327 ton pada tahun 2005 atau sekitar 47 produksi SBT dunia. Negara kedua yang memiliki produksi terbesar adalah Australia dengan jumlah produksi mencapai sekitar 5.244 ton pada tahun 2005. Indonesia pada tahun yang sama berada pada urutan ketiga produsen tuna dengan jumlah produksi mencapai 1.799 ton atau 12 produk SBT dunia, seperti terlihat pada Gambar 10. Australia 33,41 Japan 46,68 New Zealand 1,68 Korea 0,24 Taiwan 6,00 Philippines 0,34 Indonesia 11,46 South Africa 0,15 Misc. 0,00 Other 0,03 Gambar 11. Grafik Kegiatan Impor SBT kg Jepang 2001 - 2005 diolah dari data CCSBT, 2006 Disisi lain, Jepang merupakan negara pengimpor SBT terbesar dunia seperti pada Gambar 11 dengan jumlah pada 2005 mencapai sekitar 10.320 ton. Impor tersebut bersumber dari ekspor beberapa negara, khususnya Australia dan Indonesia yang merupakan pengekspor terbesar SBT ke Jepang. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan Jepang untuk komoditi CCSBT sangat tinggi, sehingga kebutuhan tersebut tidak hanya dipenuhi melalui produksi industri perikanan SBT Jepang saja, tetapi juga dipenuhi melalui kegiatan impor SBT dari negara lain. Hingga saat ini, Jepang merupakan pangsa pasar SBT terbesar dunia. Disamping Jepang, sepanjang 2002 – 2005 tercatat beberapa negara pengimpor SBT, seperti Korea Selatan, Amerika Serikat, Filipina, Hongkong, Singapura, Belgia, Cina, Italia, dan beberapa negara timur tengah. Berdasarkan catatan ekspor-impor SBT oleh CCSBT, jumlah total volume impor negara-negara tersebut ternyata masih di bawah jumlah impor SBT Jepang. Hal ini menunjukkan bahwa daya serap pasar SBT Jepang sangat tinggi, sehingga sebagian besar produksi SBT dunia dipasarkan ke Jepang. Perkembangan impor SBT Jepang dari 2002 – 2005 seperti tampak pada Tabel 4. 7.980.269 1.399.699 9.268.959 2.436.349 7.719.495 1.189.924 9.130.375 10.241 22.662 29.591 31.695 48.051 77.450 92.301 - 1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 6.000.000 7.000.000 8.000.000 9.000.000 10.000.000 2002 Jul-Dec 2003 Jan-Jun 2003 Jul-Dec 2004 Jan-Jun 2004 Jul-Dec 2005 Jan-Jun 2005 Jul-Dec Jepang Lainnya Gambar 12. Grafik Perbandingan Ekspor dan Produksi kg SBT Indonesia 2002 - 2005 diolah dari data CCSBT, 2006 Tabel 4. Negara Pengimpor dan Jumlah Impor Periode 2002 -2005 Negara Pengimpor Periode dan Volume Impor kg 2002 Jul-Dec 2003 Jan-Jun 2003 Jul-Dec 2004 Jan- Jun 2004 Jul-Dec 2005 Jan-Jun 2005 Jul-Dec Jepang 7.980.269 1.399.699 9.268.959 2.436.349 7.719.495 1.189.924 9.130.375 AS 9.146 14.000 28.382 30.698 42.592 29.022 52.022 Korea Selatan 633 8.494 - 259 480 39.735 32.776 Hongkong 32 69 731 39 500 26 - Filipina 431 99 204 - - - - Lainnya - - 274 699 4.478 8.668 7.503 Sumber : Diolah dari data CCSBT 2007 Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor SBT dunia disamping Australia, Taiwan, Selandia Baru dan beberapa negara lainnya. Perkembangan ekspor SBT Indonesia menunjukkan bahwa Jepang masih merupakan tujuan utama ekspor SBT Indonesia. Sepanjang 2001 – 2005 jumlah ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2002 yang mencapai sekitar 217,21 ton SBT, seperti tampak pada Gambar 12. Bila angka produksi atau jumlah tangkap Indonesia dibandingkan dengan jumlah ekspornya, khususnya ekspor ke Jepang sebagai pangsa pasar utama, maka terlihat bahwa jumlah ekspor Indonesia masih di bawah jumlah produksinya. Kemungkinan sebagian besar produksi SBT Indonesia masih ditujukan untuk konsumsi dalam negeri atau kegiatan tersebut tidak tercatat. 147.984 217.212 74.427 40.372 60.257 1.631.741 1.690.673 564.340 676.892 1.798.862 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 1.400.000 1.600.000 1.800.000 2.000.000 2001 2002 2003 2004 2005 Ekspor Produksi Gambar 13. Grafik Ekspor SBT kg Negara-negara Eksportir Utama ke Jepang Periode 2002 - 2005 diolah dari data CCSBT, 2006 Dibandingkan dengan beberapa negara eksportir lainnya seperti Australia, Taiwan dan Selandia baru, ekspor SBT Indonesia ke Jepang masih sangat rendah. Gambar 13 menunjukkan, sepanjang tahun 2002 – 2005, Australia adalah negara yang mendominasi pasar utama pengekspor SBT dengan jumlah ekspor tertinggi mencapai 9.046 ton pada tahun 2005. Negara-negara lain yang memanfaatkan pasar SBT Jepang seperti Taiwan dan Selandia Baru belum mampu menyaingi kemampuan ekspor SBT Australia. Jumlah ekspor tertinggi Taiwan dan Selandia Baru sepanjang 2002-2005 hanya mencapai 1.093 ton dan 344,6 ton yang terjadi pada tahun 2004. 3.4 Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan Pengelolaan sumberdaya perikanan pada mulanya dimulai dengan pendekatan faktor biologi yang umum dikenal dengan pendekatan maximum sustainable yield MSY. Menurut Fauzi 2004 inti pendekatan ini mengasumsikan bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi surplus, sehingga bila surplus tersebut dipanen tidak lebih atau tidak kurang, maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan sustainable. 1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 6.000.000 7.000.000 8.000.000 9.000.000 10.000.000 2002 2003 2004 2005 Ki logr am Tahun Indonesia Rep. Korea Selandia Baru Filipina Lainnya Taiwan Australia Beberapa dekade, pendekatan MSY telah menjadi arus utama dalam pengelolaan sumberdaya ikan di banyak negara, meski berbagai kritik menunjukkan bahwa pendekatan MSY mengandung banyak kelemahan. Kelemahan mendasar pendekatan MSY diantaranya tidak mempertimbangkan aspek sosial ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Menurut Fauzi 2004 kritik pendekatan terhadap MSY dilontarkan lebih jauh oleh Concrad dan Clark 1987 dengan menyatakan pendekatan MSY: 1. Bersifat tidak stabil, karena perkiraan stok yang meleset dapat mengarah pada pengurangan stok stock depletion; 2. Konsep didasarkan pada pendekatan steady state keseimbangan semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi non-steady state; 3. Mengabaikan perhitungan nilai ekonomi terhadap stok ikan yang tidak dipanen imputed value; 4. Mengabaikan aspek interdepensi dari sumberdaya, dan 5. Sulit diterapkan pada kondisi perikanan yang memiliki cirri beragam jenis multispecies. Penyempurnaan atas berbagai kelemahan pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan telah mulai dirintis dengan mendisain pengelolaan yang bertitiktolak pada pendekatan ekonomi. Salah satu pendekatan yang kemudian dikembangkan adalah pendekatan bioekonomi, yakni suatu pendekatan yang lahir dari persoalan yang paling mendasar dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan. Persoalan mendasar tersebut adalah mencari titik keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi sumber daya ikan dengan keharusan untuk menjaga kelestariannya. Menjembatani kedua kepentingan tersebut, yakni kepentingan ekonomi dengan kepentingan konservasi biologi telah melahirkan pendekatan bioekonomi, yakni suatu pendekatan yang diperkenalkan pertama kali oleh Scout Gordon untuk menganalisis pengelolaan sumber daya ikan yang optimal. Pendekatan bioekonomi diperlukan untuk menutupi kelemahan-kelemahan konsep MSY yang diperkenalkan oleh Schaefer pada 1954. Konsep MSY bertitiktolak pada pendekatan biologi semata, yakni tingkat panen sumber daya ikan pada batas MSY yang akan menjamin kelestarian sumber daya tersebut. Beberapa persoalan kemudian diabaikan dalam perhitungan MSY, dan menurut Fauzi 2005, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana biaya pemanenan ikan, bagaimana pertimbangan sosial ekonomi akibat pengelolaan sumber daya ikan serta bagaimana dengan nilai ekonomi terhadap sumber daya yang tidak dipanen atau intrinsic value dibiarkan di laut. Kekurangan-kekurangan pendekatan biologi ini melahirkan konsep bioekonomi yang menempatkan aspek sosial dan ekonomi sebagai pertimbangan yang krusial dalam pengelolaan sumber daya ikan. Hal ini yang membedakan antara pendekatan biologi dengan bioekonomi. Menurut Fauzi 2005 pendekatan biologi bertujuan menciptakan pengelolaan untuk pertumbuhan biologi, sedangkan pendekatan bioekonomi bertujuan mengelola sumber daya ikan secara aspek ekonomi dengan kendala aspek-aspek biologi. Pendekatan biologi dalam Konsep Schaefer menurut Anderson 1984 beranjak pada asumsi bahwa pertumbuhan biomass ikan mengikuti fungsi populasi. Pertumbuhan biomass tersebut dapat digambarkan melalui Kurva Analisis Keseimbangan Populasi Population Equilibrium Analysis yang ditunjukkan dengan garis x sebagai garis jumlah populasi dan garis y sebagai garis pertumbuhan per periode, seperti pada Gambar 14. P 2 P 1 P E 1 E 2 E 3 ET Growth Curve Gambar 14. Population Equilibrium Analysis Anderson, 1984 P 1 A f E 1 f E 2 f E 3 f E 4 P 2 F 2 f o F 3 Population weight P 3 P P F 1 f o , weight Equilibrium Population Population Equilibrium Curve a b Gambar 14a menunjukkan bahwa pada tingkat populasi ikan sebesar P 3 pertumbuhan biomass berada pada F 3 . Pada tingkat keseimbangan tersebut, pertumbuhan biomass masih terus berlangsung atau mengalami pertumbuhan positif karena faktor mortalitas secara alamiah lebih kecil dari pertumbuhannya. Pada tingkat P pertumbuhan telah mencapai tingkat natural equilibrium population atau tidak adanya pertumbuhan alamiah dari biomass. Kondisi ini biasanya ditunjukkan dengan laju pertumbuhan sama dengan nol dan tingkat populasi sesuai dengan carrying capacity. Gambar 14b menunjukkan masukkan aktivitas manusia dalam bentuk penangkapan effort terhadap biomass mengakibatkan penurunan jumlah biomass. Pada tingkat effort sebesar E 1 maka jumlah populasi biomas mengalami penurunan menjadi P 1 . Diasumsikan dalam kurva tersebut, setiap penambahan 1 unit E akan menurunkan jumlah populasi P sebesar satu satuan. Hubungan antara populasi biomass P dengan kegiatan penangkapan E menurut Anderson 1984 pada Gambar 14 sama dengan f . Setiap kegiatan manusia dalam penangkapan sebesar E 1 unit maka catch menjadi f dan populasi biomass berada pada titik P 1 dan jumlah tangkapan berada pada F 1 . Hubungan antara jumlah tangkap F dengan effort E sebagai akibat introduksi manusia melalui penangkapan dalam pertumbuhan biomass, dijelaskan Anderson 1984 seperti pada Gambar 15. Maximum Sustainable Yield MSY Average Sustainable Yield, FE Marginal Sustainable Yield, ∆F∆E Catch by Weight ET E 3 E 2 E 1 F 1 F 2 F 3 Catch by Weight Total Sustainable Yield Short-run Yield for P 3 Short-run Yield for P 2 ET Gambar 15. Kurva Sustainable Yield Anderson, 1984 a b Garis total sustainable yield merupakan garis pertumbuhan populasi yang menunjukkan daya dukung sumberdaya perikanan. Pada tingkat effort sebesar E 1 pada garis tersebut, jumlah tangkap sebesar F 1 . Kenaikkan jumlah E dari E 1 ke E 2 akan menyebabkan kenaikkan jumlah F dari F 1 ke F 2 . Kenaikkan tersebut diikuti dengan kenaikkan sustainable yield, hingga penambahan effort yang terus berlangsung akan mengurangi pertumbuhan jumlah populasi biomass P. Kondisi ini ditunjukkan dengan kenaikkan effort ke E 3 dan catch ke F 3 menyebabkan penurunan sustainable yield. Penurunan tersebut seperti pada Gambar 15b, garis average sustainable yield dan marginal sustainable yield yang terus menurun. Titik marginal sustainable yield sama dengan nol pada Gambar 15 adalah titik maximum sustainable yield MSY. Konsep biologi tersebut, menurut Fauzi 2004, kemudian dikembangkan oleh Gordon dengan menambah faktor ekonomi seperti harga dan biaya 19 . Faktor tersebut ditambah dengan cara mengalikan harga dengan produksi lestari, maka akan diperoleh kurva penerimaan TR = ph dan mengalikan biaya persatuan input dengan upaya effort, sehingga diperoleh kurva total biaya TC=cE yang linier terhadap upaya. Penggabungan fungsi penerimaan dan fungsi biaya tersebut akan membentuk kurva Model Gordon-Schaefer. Kurva Model Gordon-Schaefer menurut Anderson menunjukkan kondisi open akses dan maksimum ekonomi yield dalam industri perikanan tangkap. Kondisi open akses dan maksimum ekonomi yield ditunjukkan pada Gambar 16. Keuntungan maksimum secara ekonomi maximum economic yield terjadi pada titik E 1 , yakni ketika penerimaan total revenue penangkapan ikan lebih tinggi dari biaya total. Jika kondisi keuntungan maksimal ini dibiarkan tanpa regulasi atau kendali open access, maka mendorong bertambahnya pelaku industri perikanan atau pelaku tersebut memperbesar kapasitas produksinya melalui penambahan jumlah effort. 19 Asumsi yang digunakan untuk menyusun model Gordon-Schaefer Fauzi, 2004 adalah : a. Harga per satuan output, Rpkg diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastik sempurna b. Biaya per satuan upaya c dianggap konstan c. Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal d. Struktur pasar bersifat kompetitif e. Hanya faktor penangkapan yang dihitung tidak termasuk faktor pasca panen dan sebagainya Penambahan jumlah effort akan menggeser E hingga pada titik keseimbangan open akses di E 3 . Keseimbangan open access akan terjadi jika seluruh rente ekonomi terkuras habis driven to zero, sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry maupun exit, dan tidak ada perubahan pada tingkat upaya. Kondisi ini identik dengan ketidakadaan hak milik property rights pada sumberdaya atau lebih tepat adalah ketidakadaan hak kepemilikan yang dikuatkan secara hukum enforceable. Pergeseran E pada titik E 2 akibat bertambahnya pelaku atau kapasitas industri menghasilkan tingkat produksi yang maksimal. Titik ini disebut maximum sustainable yield MSY, yakni suatu kondisi yang menghasilkan tingkat produksi yang tinggi dan lestari secara sumberdaya. Meski secara produksi sangat tinggi dan secara sumberdaya lestari, namun total cost yang dibutuhkan untuk mengeksploitasi sumberdaya tersebut lebih besar dibandingkan kondisi MEY. Oleh sebab itu MEY merupakan produksi maksimum secara ekonomi dan merupakan tingkat upaya optimal secara sosial socially optimum. Sudut pandang ilmu ekonomi, keseimbangan open access menimbulkan mis-allocation sumberdaya, karena kelebihan faktor produksi tenaga kerja dan modal yang sebenarnya dapat dialokasikan untuk kegiatan produktif ekonomi Total Cost Maximum Profit AR C MR C E 2 E 1 - ET E 3 E 2 E 1 ET Gambar 16. Open Access and Maximum Economic Yield Anderson, 1984 a b E 3 MC - AR C Total Revenue lainnya. Hal ini merupakan inti dari prediksi Gondon, bahwa perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economic overfishing. Disisi lain, tingkat upaya pada titik keseimbangan terlihat lebih conservative minded lebih bersahabat dengan lingkungan 20 dibandingkan dengan effort Hannesson, 1993. Untuk mengetahui dampak ekonomi terhadap kondisi MEY maka dibutuhan analisis dampak ekonomi, yakni metodologi untuk menentukan sejauh mana perubahan-perubahan dalam peraturan, kebijakan, ataupun adanya penemuan teknologi yang baru, atau pengaruh perubahan pendapatan regional dan aktivitas ekonomi lainnya, dalam perubahan tingkat pendapatan, pengeluaran dan pekerjaan. Langkah yang diperlukan untuk melakukan analisis dampak ekonomi terhadap kondisi MEY adalah menentukan nilai ekonomi dari suatu aktivitas perekonomian. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan atas nilai ekonomi tersebut didasarkan pada aktivitas-aktivitas ekonomi. Pengukuran ini tidak dapat dilakukan berdasarkan nilai sosial ataupun hal-hal lain yang diangap bernilai bagi kehidupan seseorang Teknik untuk mengukur aktivitas ekonomi atau pasar tersebut secara umum disebut sebagai analisis dampak ekonomi. Bila suatu kebijakan baru ditetapkan untuk suatu aktivitas ekonomi di wilayah tertentu. analisis dapak ekonomi akan mengukur dampak penetapan kebijakan tersebut pada rentetan dampak ekonomi. Asumsinya penetapan suatu kebijakan akan mendorong tersedianya lapangan kerja, pembelian atas produk- produk lokal, tersedianya layanan transportasi atau perkembangnya suatu aktivitas perekonomian. Disisi lain dampak yang dapat timbul dari suatu kebijakan ekonomi adalah individu dan perusahaan akan meningkatkan daya beli mereka terhadap berbagai produk baru yang berkembang. Hal ini berarti setiap kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi akan menciptakan rentetan perubahan aktivitas ekonomi, yakni perubahan tingkat pengeluaran the new spending. Begitu pun bila suatu kebijakan baru yang diterapkan dapat pula mendorong perubahan negatif dari pendapatan individu atau masyarakat. 20 Tingkat upaya yang dibutuhkan untuk mencapai titik optimal secara social Eo jauh lebih kecil disbanding yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY E MSY Variabel-variabel yang akan digunakan untuk mengukur dampak ekonomi dalam perubahan regulasi penangkapan SBT di Samudera Hindia adalah menentukan nilai Net Present Value NPV dan Internal Rate of Return IRR. Secara teori NPV menunjukkan tingkat diskonto pada tahun mendatang dan IRR menunjukkan tingkat kemampuan pengembalian investasi kegiatan ekonomi. Penentuan nilai NPV dan IRR didasarkan pada asumsi tiga kondisi atau skenario yang mungkin menjadi pilihan kebijakan yang akan ditempuh Indonesia. Ketiga skenario tersebut adalah 1 NVP dan IRR pada status observe atau peninjau, dengan status bukan anggota; 2 NVP dan IRR pada status cooperating non-member atau anggota tidak tetap dengan kewenangan terbatas; dan 3 NVP dan IRR pada status member atau anggota penuh dengan kewenangan penuh. Perhitungan NPV dan IRR pada ketiga skenario tersebut menjadi parameter untuk menentukan status yang paling menguntungkan bagi pengembangan industri SBT Indonesia.

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN