Perkembangan Industri Perikanan Southern Bluefin Tuna

BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA

SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA

5.1 Perkembangan Industri Perikanan Southern Bluefin Tuna

Industri perikanan tangkap tuna SBT di Perairan Samudera Hindia dimulai sekitar tahun 1952 oleh perusahaan rawai tuna dari Jepang, kemudian diikuti oleh Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Taiwan, dan Indonesia. Pada dekade 1950-1960, total hasil tangkapan SBT di Samudera Hindia bisa mencapai sekitar 80.000 tontahun Perkembangan penangkapan SBT menurut negara dari 1952-2005 dapat dilihat pada Lampiran 2. Kegiatan produksi penangkapan tersebut sekitar tahun 1980 mulai menunjukkan penurunan hingga jumlah SBT yang tertangkap tidak lebih dari 10.000 tontahun seperti pada Gambar 17. Penurunan volume hasil tangkap tersebut menimbulkan kekuatiran bahwa jenis ikan ini akan mengalami kepunahan, sehingga negara-negara industri utama seperti Jepang, Australia dan Selandia Baru membentuk RFMO bernama Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna CCSBT pada 1994. Gambar 17. Grafik Fluktuasi Hasil Tangkapan SBT di Samudera Hindia 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 70.000 80.000 90.000 195 2 195 3 195 4 195 5 195 6 195 7 195 8 195 9 196 196 1 196 2 196 3 196 4 196 5 196 6 196 7 196 8 196 9 197 197 1 197 2 197 3 197 4 197 5 197 6 197 7 197 8 197 9 198 198 1 198 2 198 3 198 4 198 5 198 6 198 7 198 8 198 9 199 199 1 199 2 199 3 199 4 199 5 199 6 199 7 199 8 199 9 200 200 1 200 2 200 3 200 4 200 5 Ton Tahun Australia Japan New Zealand Korea Taiwan Indonesia Lainnya Pembentukan lembaga regional CCSBT untuk mengelola kegiatan industri SBT di Samudera Hindia bertujuan untuk mengendalikan kegiatan penangkapan SBT, seiring dengan semakin menurunnya jumlah hasil tangkapan ikan tersebut. Menurut Wudianto 2003 berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap bekerjasama dengan CSIRO Australia menunjukkan bahwa hasil penangkapan SBT pada tahun 2005 yang di daratkan di Pelabuhan Perikanan Benoa dan Cilacap sepanjang September – April, sebagian besar ditemukan dalam keadaan bertelur dengan ukuran 160-180 cm. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar ikan-ikan SBT yang tertangkap sepanjang tahun tersebut mulai menjaring induk ikan. Kondisi ini sangat riskan bagi kelestarian sumber daya ikan tersebut apabila terus dilakukan penangkapan secara berlebihan tanpa adanya kontrolpembatasan. Untuk mengendalikan kegiatan tangkap lebih dan menjaga kelestarian sumber daya SBT, konvensi CCSBT telah menerapkan mekanisme kuota bagi negara-negara yang terlibat dalam industri penangkapan SBT di Samudera Hindia. Pada periode 2003-2006 menurut ICCAT REPORT 2004-2005 II; total kuota penangkapan yang diberikan pada negara-negara industri SBT yang berstatus anggota CCSBT mencapai 14.030 ton dengan rincian sebagai berikut : - Kuota Jepang : 6.065 ton; - Kuota Australia : 5.265 ton; - Kuota Korea Selatan : 1.140 ton; - Kuota Taiwan : 1.140 ton; dan - Kuota Selandia Baru : 420 ton. Disamping kuota bagi anggota CCSBT, kuota diberikan pula bagi anggota CCSBT yang berstatus anggota tidak tetap dan peninjau. Besaran kuota untuk periode tersebut mencapai 900 ton dengan rincian 800 ton untuk Indonesia, 50 ton untuk Filipina dan sisanya dibagi kepada beberapa negara yang berstatus peninjau. Pada pertemuan ketiga CCSBT tahun 2006 terjadi perubahan kuota penangkapan SBT di Samudera Hindia untuk periode 2007-2009. Besarnya kuota penangkapan ditetapkan 11.810 ton atau turun sekitar 3.115 ton dari periode sebelumnya. Kuota untuk Jepang mengalami penurunan menjadi 3.000 ton dan kuota tersebut berlaku hingga tahun 2011. Sedangkan kuota Australia mengalami kenaikan menjadi 5.265 ton hingga tahun 2009 dan kuota negara-negara lainnya seperti Korea dan Taiwan tetap sebesar 1.140 ton, dan kuota Selandia Baru juga tetap dipertahankan sebesar 420 ton hingga tahun 2009 Tabel 5. Indonesia dan Filipina adalah negara-negara berstatus Cooperating Non- Members yang mengalami penurunan kuota hingga tahun 2009. Kuota Indonesia mengalami penurunan dari 800 ton pada periode sebelumnya menjadi 750 ton pada periode 2007-2009. Sedangkan Filipina pada periode yang sama mengalami penurunan 50 ton menjadi 45 ton. Negara- negara yang berstatus Cooperating Non-Members seperti Afrika Selatan mengalami penurunan kuota menjadi 40 ton dan Uni Eropa sebagai anggota baru memperoleh kuota sebesar 10 ton hingga tahun 2009. Perkembangan kuota penangkapan SBT di Samudera Hindia seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Perkembangan Pengaturan Kuota Penangkapan SBT di Samudera Hindia No Negara Kuota 2006 Kuota 2007-2009 Jepang : 2007-2011 Selisih 1 Jepang 6,065 3,000 -3,065 2 Australia 5,265 5,265 3 Taiwan 1,140 1,140 4 Korea Selatan 1,140 1,140 5 Selandia Baru 420 420 6 Filipina 50 45 -5 7 Afrika Selatan 45 40 -5 8 Uni Eropa 10 10 9 Indonesia 800 750 -50 Total 14,925 14,925 11,810 Sumber : CCSBT, 2007 Keterangan : Data lain menyebutkan bahwa Taiwan dan Korea Selatan mengalami penurunan kuota menjadi masing-masing 1.000 ton per tahun USDA Foreign Agricultural Service

5.2 Isu Illegal Fishing dan Perubahan Kuota Pemanfaatan SBT