Keragaan Industri SBT Indonesia

Bila diasumsikan kebutuhan domestik pasar SBT di Jepang rata-rata sebesar 16.555 ton per tahun dengan harga rata-rata sebesar US13,1 per kilogram atau sekitar US13.100 per ton, maka nilai transaksi SBT di Jepang dapat mencapai rata-rata sebesar US216,87 juta. Sekitar US33,32 juta merupakan produk domestik SBT Jepang dan US133,55 juta merupakan impor Jepang. Penurunan kuota Jepang secara otomatis memangkas potensi produk domestik SBT Jepang sebesar lebih kurang US40,15 juta.

5.4 Keragaan Industri SBT Indonesia

Sejarah penangkapan SBT Indonesia yang terekam pertama kali oleh CCSBT pada tahun 1976 dengan jumlah produksi mencapai 12 ton dari 42.509 ton produksi SBT dunia. Jumlah produksi tertinggi yang dicapai Indonesia adalah 2.504 ton dari 19.259 produksi dunia pada tahun 1999. Perkembangan produksi SBT Indonesia dari tahun 1976 hingga tahun 2004 serta perbandingan terhadap produksi dunia tampak pada Gambar 18. Berdasarkan data CCSBT tahun 2007, hasil produksi SBT Indonesia selama periode 2001 - 2005 sebagian besar dikonsumsi di dalam negeri. Kegiatan ekspor tercatat dilakukan ke Jepang dengan jumlah ekspor yang ternyata jauh Gambar 18. Grafik Perkembangan Tangkapan SBT Indonesia dan Dunia 1976 - 2005 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000 40.000 45.000 50.000 197 6 197 7 197 8 197 9 198 198 1 198 2 198 3 198 4 198 5 198 6 198 7 198 8 198 9 199 199 1 199 2 199 3 199 4 199 5 199 6 199 7 199 8 199 9 200 200 1 200 2 200 3 200 4 200 5 To n Tahun Indonesia Total Dunia 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 1.400.000 1.600.000 1.800.000 2.000.000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Gambar 19. Grafik Perkembangan Produksi dan Ekspor SBT Indonesia Tahun 2001 - 2006 Produksi 2006 diasumsikan sama dengan kouta Ekspor Produksi lebih kecil dari jumlah produksi. Perbandingan antara ekspor dengan produksi SBT tampak seperti pada Gambar 19. Data CCSBT tahun 2007 juga menunjukkan bahwa kegiatan ekspor produk SBT Indonesia pada tahun 2006 tidak tercatat lagi. Hal ini merupakan implikasi dari embargo yang dilakukan oleh Jepang yang merupakan satu-satunya pangsa pasar SBT Indonesia. Perkembangan kapal penangkapan SBT Indonesia di Samudera Hindia dari tahun 1976-2000 menunjukkan jumlah peningkatan unit kapal. Berdasarkan data Herrera, M 2002 pada tahun 1976, kapal penangkapan tuna Indonesia di Samudera Hindia masih berjumlah sekitar 18 unit. Pada tahun 2000, jumlah unit kapal penangkapan Indonesia di Samudera Hindia terus bertambah dan mencapai 1.247 unit. Periode 1999-2000 dapat dianggap sebagai keragaan terbaik kegiatan penangkapan SBT Indonesia berdasarkan jumlah aktivitas penangkapan. Pasca periode tersebut, keragaan kegiatan industri penagkapan SBT Indonesia mulai mengalami penurunan Estimatis jumlah kapal long line di Indonesia menurut perhitungan Harera di Lampiran 5. Seiring dengan dugaan semakin menurunnya jumlah tangkapan dan kenaikkan harga bahan bakar minyak sekitar tahun 2001-2005, perkembangan jumlah kapal penangkapan dan hasil tangkap SBT Indonesia di Samudera Hindia mengalami penurunan yang cukup signifikan. Penurunan tersebut didorong pula oleh ancaman embargo Jepang atas ekspor SBT Indonesia yang membuat iklim investasi pada penangkapan SBT tidak menarik lagi. Data Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukan pada tahun 2001 jumlah kapal perikanan yang terdata di Samudera Hindia mencapai 529 unit dan mengalami kenaikkan jumlah sepanjang 2001- 2005. Gambar 20 menunjukkan grafik perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan di Samudera Hindia Tahun 1976-2005. Spesies ikan tuna yang di daratkan di pelabuhan-pelabuhan utama perikanan tuna seperti Pelabuhan Benoa, Cilacap Jawa Tengah dan Muara Baru Jakarta pada dasarnya terdiri dari berbagai spesies tuna, seperti yellowfin tuna YFT, bigeye tuna BET, skipjack tuna SKJ, southern bluefin tuna SBT dan lain-lain. Jumlah tangkapan ikan yang didaratkan di ketiga pelabuhan tersebut menurut data IOTC mencapai lebih kurang 52.473 ton pada tahun 2003 dan 42.504 ton pada tahun 2004. Data IOTC menunjukkan bahwa jenis YFT adalah jenis tuna terbanyak yang ditangkap dan didaratkan pada ketiga pelabuhan. Sekitar 40,68 hasil tangkapan tuna tahun 2003 adalah jenis YFT dan pada tahun 2004 jumlah tangkapan YFT mencapai 36,36. Hasil tangkapan SBT pada tahun yang sama Gambar 20. Grafik Perkembangan Jumlah Kapal Penangkapan Ikan di Samudera Hindia Tahun 1976-2005 ‐ 200 400 600 800 1.000 1.200 1.400 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Un it Tahun Kapal mencapai 563 ton atau 1,07 untuk periode tahun 2003. Pada tahun 2004 jumlah tangkapan SBT mencapai sekitar 665 ton atau sekitar 1,56. Pelabuhan Benoa adalah pelabuhan pendaratan hasil tangkapan SBT tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2003 jumlah tangkapan SBT yang didaratkan di pelabuhan ini mencapai sekitar 555 ton atau sekitar 98,58 total tangkapan SBT. Jumlah pendaratan SBT pada tahun 2004 di Benoa mencapai 641 ton atau sekitar 96,39 total tangkapan. Pelabuhan lain tempat pendaratan SBT adalah PPN Cilacap di Jawa Tengah dan beberapa pelabuhan lain seperti PPN Pelabuhan Ratu Sukabumi Jawa Barat. Jumlah pendaratan pada tahun 2003 di PPN Cilacap mencapai sekitar 1,24 dari total tangkapan SBT Indonesia. Pada tahun 2004 jumlah tangkapan SBT yang didaratkan di PPN Cilacap mencapai sekitar 3,61. Data lengkap jumlah tangkapan tuna di Pelabuhan Benoa, Cilacap, Jakarta dan pelabuhan lainnya di sajikan pada Tabel 8. Table 8. Jumlah Tangkapan Tuna Ton di Pelabuhan Benoa, Cilacap, Jakarta dan Pelabuhan Lain Tahun 2003-2004 Tahun Spesies Pelabuhan Total Benoa Cilacap Jakarta Lainnya Ton Persen Ton Persen Ton Persen Ton Persen Total Persen 2003 YFT 7,405 34.69 842 3.94 12,261 57.44 836 3.92 21,344 40.68 BET 5,598 45.71 394 3.22 5,855 47.81 399 3.26 12,246 23.34 SKJ 49 8.06 0 0.00 523 86.02 36 5.92 608 1.16 ALB 3,508 69.98 168 3.35 1,252 24.98 85 1.70 5,013 9.55 SBF 555 98.58 7 1.24 1 0.18

0.00 563

1.07 SWO 1,133 42.50 64 2.40 1,375 51.58 94 3.53 2,666 5.08 MARL 1,313 38.07 73 2.12 1,931 55.99 132 3.83 3,449 6.57 OBIL 139 8.23 21 1.24 1,431 84.72 98 5.80 1,689 3.22 SKH 409 15.66 39 1.49 2,025 77.56 138 5.29 2,611 4.98 OTHR 561 24.56 20 0.88 1,594 69.79 109 4.77 2,284 4.35 Total 20,670

39.39 1,628