RUANG LINGKUP PENELITIAN Optimalisasi dan strategi pemanfaatan southern bluefin tuna di Samudera Hindia – Selatan Indonesia

BAB II RUANG LINGKUP PENELITIAN

Southern Bluefin Tuna SBT telah menjadi isu hangat pada pertengahan Agustus 2006 yang dilatarbelakangi oleh persaingan antara Australia dengan Jepang dalam kegiatan penangkapan SBT di Samudera Hindia. Pokok persoalan yang menjadi isu utama perseteruan kedua negara produsen utama SBT dunia itu adalah isu illegal fishing. Isu ini diawali dengan tuduhan kecurangan Jepang dalam kegiatan penangkapan SBT oleh pihak Australia 17 . Menurut Australia, keengganan pihak Jepang untuk memasang paper trail pada hasil tangkapan SBT dan memasang sistem pemantau indepeden pada kapal perikanannya telah menghasilkan tangkapan illegal sekitar 12.000 - 20.000 ton selama 20 tahun terakhir. Nilai tangkapan yang diperoleh Jepang atas kegiatan yang dituduh illegal itu, mencapai 2 milliar dolar Australia atau setara US1,53 miliar dalam kurung waktu yang sama. Angka ini mungkin lebih besar lagi karena Australia menduga bahwa ribuan hingga puluhan ribu ton ikan tidak melewati sistem pelelangan yang berlaku di Jepang, melainkan SBT langsung dijual pada perusahaan pengumpul retailer. Tuduhan Australia ditanggapi Jepang dengan mendorong pembahasan isu tersebut dilakukan dalam pertemuan CCSBT bulan Oktober 2006. Menurut data CCSBT, kuota tangkapan Jepang untuk tahun 2006 sebesar 6.065 ton dan di sisi lain Jepang pun telah mengakui bahwa pada periode 2006 jumlah tangkapan negara tersebut melebihi kuota 18 sebesar 25. Laporan tersebut merupakan upaya Jepang untuk menampik tuduhan pihak Australia yang secara tidak langsung menuding bahwa kegiatan industri penangkapan SBT negara tersebut sebagai penyebab utama penurunan stok SBT dunia. Apalagi kemudian, menurut Suadi 2007, Deputi Direktur Far Seas Fisheries Division, Fisheries Agency, seperti dikutip the Age mengklaim bahwa perikanan purse seine Australia telah 17 Tuduhan kecurangan Jepang dalam kegiatan penangkapan SBT di Samudera Hindia disampaikan oleh Richard McLoughlin, Direktur Pengelolaan pada Otoritas Pengelolaan Perikanan Australia, sebagaimana yang dikutip dari Australian News.Net 12 Agustus 2006 dan beberapa media lainnya seperti ABC News, Reuters, The Age, dan The Sydney Morning Herald. 18 Laporan Yahoo7 News menangkap juvenil SBT dalam jumlah besar dan secara hipokrit menjualnya ke pasar Jepang. Hal ini memunculkan praduga bahwa isu yang dilontarkan pihak Australia dilakukan dalam rangka blow up kepentingan para nelayan Australia dan kelompok lingkungan hidup. Industri perikanan SBT Australia sendiri memperoleh kuota 5.000 ton per tahun, sehingga meraup sedikitnya 40 juta dolar Australia per tahun. Tentunya keuntungan tersebut bukanlah keuntungan yang sedikit buat nelayan dan industri perikanan Australia secara umum. Isu illegal fishing menjadi pokok persoalan dalam pengelolaan dan penangkapan SBT di Samudera Hindia karena beberapa sebab, yakni: 1. SBT adalah spesies yang telah dikategorikan sebagai jenis yang terancam punah oleh komisi konservasi dunia atau International Union for Conservation of Natural Resources IUCN; Red List of Threatened Species . 2. Kegiatan perburuan SBT tetap terus dilakukan mengingat spesies ikan ini termasuk ikan yang bernilai ekonomi yang sangat tinggi. 3. Pihak-pihak yang menjadi aktor utama dalam isu ini adalah Australia dan Jepang yang dikenal sebagai produsen dan konsumen terbesar jenis ikan ini. Gambaran konflik kepentingan antara Australia dan Jepang dalam memperebutkan sumberdaya SBT di Samudera Hindia, tidak mustahil akan berimbas pada negara-negara produsen SBT lainnya. Hal ini dapat dilihat dari perubahan kuota penangkapan SBT pada periode 2003-2006 dengan periode 2007-2009. Akibat tuduhan praktek penangkapan ilegal, Jepang mengalami penurunan kuota penangkapan SBT dari 6.065 ton menjadi 3.000 ton. Negara- negara lain seperti Filipina, Afrika Selatan dan Indonesia juga mengalami penurunan kuota seperti pada Tabel 1. Perubahan kuota tersebut tidak lepas dari perebutan kepentingan antar negara pelaku utama penangkapan, karena setiap negara berupaya untuk mempertahankan dan memperbesar kuota yang dimilikinya. Tabel 1. Perubahan Kuota Penangkapan SBT di Samudera Hindia No Negara Kuota 2003-2006 2007-2009 1 Jepang 6,065 3,000 2 Australia 5,265 5,265 3 Taiwan 1,140 1,140 4 Korea Selatan 1,140 1,140 5 Selandia Baru 420 420 6 Filipina 50 45 7 Afrika Selatan 45 45 8 EC - 10 9 Indonesia 800 750 Sumber : CCSBT, 2007 Indonesia dengan status cooperating non-member saat itu, tentu tidak dapat berbuat banyak untuk mempengaruhi kebijakan kuota CCSBT. Apalagi kemudian negara-negara anggota CCSBT mengancam untuk memberikan sanksi embargo pada ekspor SBT Indonesia yang dapat menghentikan ekspor ndonesia secara total. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa depan, Indonesia perlu mempersiapkan diri menghadapi imbas berulangnya persaingan negara-negara pelaku utama di CCSBT. Ada dua hal yang akan menjadi reaksi Indonesia atas kasus konflik pemanfaatan SBT di Samudera Hindia : 1. Meningkatkan bargaining position Indonesia agar memiliki kekuatan dalam mempengaruhi keputusan-keputusan di CCSBT, sehingga Indonesia perlu meningkatkan status keanggotaanya di lembaga tersebut; 2. Menerima keputusan apa pun yang dihasilkan CCSBT, yang berarti Indonesia tidak perlu ikut terlibat dalam menentukan keputusan-keputusan penting pengelolaan SBT, sehingga peningkatan status keanggotaan bukan merupakan prioritas. Berdasarkan pilihan tersebut, perlu disusun pendugaan sementara bahwa meningkatkan bargaining position menjadi member CCSBT merupakan pilihan terbaik, bila Indonesia ingin meningkatkan kemampuan industri SBT nasional. Asumsi-asumsi yang melatarbelakangi pendugaan tersebut adalah : 1. Menjadi member membuka kembali peluang ekspor SBT ke pasar negara- negara anggota CCSBT, khususnya pasar Jepang; 2. Keanggotaan penuh akan mengikat Indonesia pada aturan-aturan konvensi CCSBT untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya SBT dan keberlangsungan industrinya, sehingga mendorong Indonesia menciptakan regulasi yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan konservasi di satu sisi dengan kepentingan ekonomi di sisi lainnya; 3. Keseimbangan antara kebutuhan konservasi dan kepentingan ekonomi merupakan titik optimal dalam pengelolaan dan pemanfaatan SBT, dan diharapkan dapat menjadi titik tolak regulasi, sehingga Indonesia memiliki ukuran yang jelas atas jumlah kapal yang beroperasi dan hasil tangkap yang diperbolehkan sebagai dasar penentuan kuota bagi Indonesia. Ruang lingkup penelitian Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna SBT di Samudera Hindia –Selatan Indonesia dapat digambarkan dalam bentuk bagan alir ruang lingkup penelitian pada Gambar 4. Potensi Southern Bluefin Tuna SBT di Samudera Hindia Perkembangan Perdagangan Isu Illegal Fishing Perubahan Kuota Penangkapan SBT Embargo Perdagangan Ekspor SBT Keragaan Industri SBT Indonesia Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan Keseimbangan Bioekonomi Strategi Pemanfataan SBT Indonesia di Samudera Hindia Gambar 4. Bagan Alir Ruang Lingkup Penelitian

BAB III TINJAUAN PUSTAKA