Isu Illegal Fishing dan Perubahan Kuota Pemanfaatan SBT

kenaikan menjadi 5.265 ton hingga tahun 2009 dan kuota negara-negara lainnya seperti Korea dan Taiwan tetap sebesar 1.140 ton, dan kuota Selandia Baru juga tetap dipertahankan sebesar 420 ton hingga tahun 2009 Tabel 5. Indonesia dan Filipina adalah negara-negara berstatus Cooperating Non- Members yang mengalami penurunan kuota hingga tahun 2009. Kuota Indonesia mengalami penurunan dari 800 ton pada periode sebelumnya menjadi 750 ton pada periode 2007-2009. Sedangkan Filipina pada periode yang sama mengalami penurunan 50 ton menjadi 45 ton. Negara- negara yang berstatus Cooperating Non-Members seperti Afrika Selatan mengalami penurunan kuota menjadi 40 ton dan Uni Eropa sebagai anggota baru memperoleh kuota sebesar 10 ton hingga tahun 2009. Perkembangan kuota penangkapan SBT di Samudera Hindia seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Perkembangan Pengaturan Kuota Penangkapan SBT di Samudera Hindia No Negara Kuota 2006 Kuota 2007-2009 Jepang : 2007-2011 Selisih 1 Jepang 6,065 3,000 -3,065 2 Australia 5,265 5,265 3 Taiwan 1,140 1,140 4 Korea Selatan 1,140 1,140 5 Selandia Baru 420 420 6 Filipina 50 45 -5 7 Afrika Selatan 45 40 -5 8 Uni Eropa 10 10 9 Indonesia 800 750 -50 Total 14,925 14,925 11,810 Sumber : CCSBT, 2007 Keterangan : Data lain menyebutkan bahwa Taiwan dan Korea Selatan mengalami penurunan kuota menjadi masing-masing 1.000 ton per tahun USDA Foreign Agricultural Service

5.2 Isu Illegal Fishing dan Perubahan Kuota Pemanfaatan SBT

Jepang dan Australia adalah dua negara yang dominan dalam kegiatan penangkapan SBT di Samudera Hindia. Kedua negara ini memiliki keragaan industri penangkapan SBT yang modern sekaligus pemilik kuota penangkapan SBT terbesar di dalam keanggotaa CCSBT. Keragaan industri SBT Jepang dan Australia dapat dilihat dari jumlah produksi SBT kedua negara pada tahun 2005. Sekitar 47 produksi SBT dunia diproduksi oleh Jepang dan 33 dikuasai oleh Australia Gambar 8. Penurunan kuota Jepang hingga tahun 2011 dan kenaikan kuota Australia hingga 2009 dapat menggeser dominasi produksi SBT dunia dari Jepang ke Australia. Tekanan penurunan kuota Jepang 21 dimulai ketika Australia menggangkat isu illegal fishing terkait dengan pengakuan Jepang bahwa pada awal 2006 bahwa terjadi penangkapan SBT di Samudera Hindia yang melebihi kuota. Jumlah tangkapan Jepang lebih besar 25 dari kuota 6.065 ton yang telah disepakati dalam konvensi CCSBT. Pengakuan tersebut diikuti oleh tuduhan pihak Australia bahwa pelanggaran kuota oleh Jepang tidak hanya terjadi pada tahun bersangkutan, melainkan telah terjadi dalam kurun waktu 15 – 20 tahun terakhir. Otoritas Pengelolaan Perikanan Australia menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tersebut, Jepang telah diduga menangkap SBT secara ilegal dengan nilai yang fantastis yaitu 2 milliar dolar Australia atau setara US 1,53 miliar dengan total hasil tangkapan ilegal atau yang tidak dilaporkan oleh Jepang diperkirakan mencapai 12.000 sampai 20.000 ton. Angka ini mungkin lebih besar lagi mengingat ribuan bahkan menungkin puluhan ribu ton ikan tidak melewati sistem pelelangan yang berlaku di Jepang, melainkan langsung dijual pada perusahaan pengumpul atau retailer. Alasan Australia melempar tuduhan tersebut disebabkan karena Jepang tidak bersedia memasang paper trail pada hasil tangkapan SBT dan memasang sistem pemantau indepeden pada kapal perikanannya. Mendapat tekanan tersebut, pihak Jepang melalui Far Seas Fisheries Division, Fisheries Agency balik menuduh bahwa pihak Australia pun ikut serta melakukan kegiatan illegal fishing. Kegiatan tersebut mencakup usaha perikanan Australia menangkap juvenile SBT dan secara hipokrit menjual hasil tangkapan tersebut ke Jepang. Apalagi setiap tahunnya Australia memperoleh sekitar 40 juta dolar Australia per tahun dari kuota yang dimilikinya. Jepang menginginkan agar persoalan tuduhan illegal fishing dapat diselesaikan pada tingkat pembicaraan di CCSBT. 21 Tekanan lain yang dihadapi Jepang adalah hasil keputusan sidang ICCAT The International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas 26 November 2006 yang memutuskan memutuskan kuota bluefin tuna di Samudera Atlantik hingga tahun 2010 dibatasi turun 20 dari marjin yang diperbolehkan dari sekitar 32 ribu ton saat ini. Pada pertemuan ketiga CCSBT, tekanan Australia ternyata berhasil memaksa Jepang untuk menerima penurunan kuota penangkapan SBT di Samudera Hindia dari 6.065 ton per tahun menjadi 3.000 ton per tahun hingga tahun 2011. Australia memperoleh kuota tertinggi, yakni 5.265 ton per tahun sehingga menempatkan Australia menjadi pemegang kendali produksi SBT dunia untuk tahun-tahun mendatang. Dalam laporan The Guardian pada 16 Oktober 2006 lalu, disebutkan pula bahwa kesepakatan tersebut ikut mengatur alokasi kuota SBT di Samudera Hinda. Kuota penangkapan SBT mengalami penurunan jumlah penangkapan total dari 14.925 ton pada tahun 2006 menjadi 11.530 ton pada tahun 2007. Hal ini kemudian membuat pihak Jepang menganggap bahwa tuduhan Australia tidak lebih merupakan blow up untuk melindungi kepentingan industri perikanan Australia sendiri dan mengakomodasi kepentingan kelompok lingkungan. Manuver Australia tidak hanya ditujukan ke Jepang, melainkan ke negara- negara lain yang berpotensi untuk menjadi sasaran berikutnya. Hal ini telah disinyalir oleh pihak Asosiasi Pemilik Kapal Tuna Australia, Brian Jeffries yang dirilis ABC Local Radio; “……Japan did over catch in 1999 and are reducing their catch into year 2000 by the amount of their over catch in 1999……..Now, Australia did exactly the same thing…….I think labeling Japan is realy missing the issue. The issue is these unregulated countries…. ” Suadi, 2006. Disisi lain, Jepang sebagai pihak yang mengalami pengurangan kuota tentunya tidak akan berpangku tangan mengingat investasi yang cukup besar dalam industri penangkapan SBT di Samudera Hindia. Disamping itu, Jepang merupakan konsumen terbesar perikanan tuna. Jumlah konsumsi SBT Jepang pada tahun 2003 mencapai sekitar 53,3 dari total produksi dengan harga mencapai sekitar 2.581 yenkg 22 . Pada tahun 2005, Jepang telah mengimpor sekitar 10.320 ton SBT dari total kuota penangkapan SBT dunia. Tentunya Jepang akan berusaha menjamin pasokan SBT di dalam negerinya, baik melalui kuota yang ada maupun melalui impor dari negara-negara lain. 22 The average wholesale price of fresh SBT in August this year at the Tsukiji fish market in Tokyo was 2,581 yen per kilo USDA Foreign Agricultural Service, 2006 Secara jangka pendek dan menengah, jaminan pasokan tuna Jepang dan keragaan industri penangkapannya akan terpatri pada usaha untuk mendekati beberapa negara potensial, melalui pola kerja sama penangkapan ikan seperti yang banyak terjadi pasca negara-negara pantai mengadopsi UNCLOS di awal dekade 1980. Indonesia adalah salah satu negara potensial dalam penangkapan SBT di Samudera Hindia yang dapat didekati oleh Jepang, mengingat ketergantungan ekspor SBT Indonesia pada pasar Jepang. Ekspor tertinggi SBT Indonesia ke Jepang terjadi pada tahun 2002 dengan jumlah ekspor sekitar 217,2 ton dari 1.690,67 ton produksi pada tahun tersebut. Jumlah tersebut terus mengalami penurunan hingga tahun 2005 meski terjadi peningkatan jumlah produksi pada tahun tersebut. Jumlah produksi pada tahun 2005 mencapai 1.798,86 ton namun jumlah ekspor hanya mencapai 60,26 ton. Walaupun jumlah ekspor Indoensia ke Jepang turun, namun kemampuan untuk meningkatkan produksi pada tahun tersebut menunjukkan bahwa kemampuan produksi industri SBT Indonesia cukup baik. Persoalan yang dihadapi Indonesia dalam industri penangkapan SBT adalah kuota yang diberikan ke Indonesia jauh lebih kecil dari kemampuan Indonesia untuk memproduksi SBT. Hal ini membawa implikasi tuduhan bahwa Indonesia ikut serta dalam kegiatan penangkapan ilegal. Hal ini telah disinyalir oleh otoritas perikanan Australia tentang beberapa negara yang ikut unregulated countries . Berdasarkan perhitungan dari CCSBT tahun 2007, Indonesia adalah penyumbang terbesar kegiatan illegal fishing dalam penangkapan SBT. Sekitar 124,88 produksi Indonesia adalah hasil tangkapan di luar kuota yang ditetapkan oleh CCSBT. Negara lain yang ikut memberikan konstribusi penangkapan ilegal adalah Jepang sekitar 20,81 dan Filipina sekitar 6 Tabel 6. Tabel 6. Selisih Produksi-Kuota dan Presentasi terhadap Penangkapan Ilegal Tahun 2005 No. Negara Produksi Ton Kuota Ton Selisih Ton Persentase 1 Australia 5,244 5,265 -21 -0.40 2 Jepang 7,327 6,065 1,262 20.81 3 Selandia Baru 264 420 -156 -37.14 4 Korea 38 1,140 -1,102 -96.67 5 Taiwan 941 1,140 -199 -17.46 6 Filipina 53 50 3 6.00 7 Indonesia 1,799 800 999 124.88 8 Lainnya 25 50 -25 -50.00 Jumlah 15,691 14,930 761 5.10 Sumber : Diolah dari CCSBT, 2007 Kondisi tersebut menunjukkan paradok industri perikanan tangkap Indonesia. Pada satu sisi, data produksi Indonesia menunjukkan kemampuan industri perikanan tangkap Indonesia dalam meningkatkan kemampuan produksi SBT di Samudera Hindia. Pada sisi yang lain, kondisi ini menggambarkan bahwa Indonesia ikut memberikan konstribusi bagi penangkapan ilegal. Hal ini membawa konsekuensi : 1. Kuota penangkapan SBT Indonesia diturunkan dari 800 ton per tahun menjadi 750 ton per tahun hingga tahun 2007; 2. Indonesia mengalami embargo perdagangan SBT dari negara-negara anggota CCSBT, khususnya Jepang sebagai pangsa pasar utama SBT. Penurunan kuota dan embargo perdagangan SBT tentu berdampak langsung pada kegiatan industri perikanan Indonesia. Menurut Wudianto dalam DKP 2007 SBT merupakan salah satu ikan unggulan untuk komoditi ekspor dan jenis ikan ini jarang dijumpai di pasaran lokaldomistik. Pasar utama ikan ini adalah Jepang yang digunakan sebagai bahan untuk sashimi dan sushi. Harga ikan SBT segar dengan kualitas bagus di pasar Sukiji Jepang bisa mencapai 50-60 US dolar per kilogram. Jika nelayan rawai tuna bisa menangkap satu ekor ikan SBT dengan berat 200 kg, maka diperkirakan dapat memperoleh uang sekitar 10.000 US dolar atau 90 juta rupiahekor. Persoalan embargo ekspor telah mengakibatkan nelayan Indonesia tidak dapat mengekpor ikan tersebut, khususnya dipasar ke Jepang, baik dalam bentuk ikan segar atau tuna loin. Dampak dari masalah tersebut bila dihitung secara kasar dengan patokan produksi SBT tahun 2005 sebesar 1.779 ton dengan harga SBT 50 US dolar per kg, maka devisa negara yang hilang dapat mencapai sekitar 91,5 juta dolar atau 820 milyar rupiahtahun. Menurut Wudianto 2007 berdasarkan hasil wawancara dengan pengusaha rawai tuna di Benoa tanggal 9 April 2007, saat ini di salah satu cold storage ikan tuna di Benoa menyimpan 50 ton ikan SBT yang tidak dapat diekpor, baik berupa ikan segar maupun ikan olahan. Pengusaha tersebut pernah melakukan penjualan melalui negara lain atau lebih dikenal sebagai pasar gelap illegal market tetapi tetap juga ketahuan dan ikan tersebut dikembalikan ke Indonesia. Hasil tangkapan SBT hanya dapat dijual di pasar domistik dengan harga yang sangat rendah sekitar 15 ribu rupiahkg dan tentunya permintaannya sangat terbatas. Keadaan ini benar-benar menjadi ironi ditengah-tengah program pemerintah yang telah mencanangkan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan dengan tuna sebagai salah satu andalannya.

5.3 Kebijakan Kuota dan Implikasi Embargo dalam Perdagangan SBT