BAB VI. KONDISI OPTIMAL DAN STRATEGI PEMANFAATAN
SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA
6.1. Kondisi Optimal Pemanfaatan Sumberdaya SBT
Persoalan pemanfaatan SBT di Samudera Hindia terkait dengan regulasi organisasi perikanan regional atau CCSBT yang mengatur jumlah tangkapan bagi
negara-negara anggota dan non anggota. Pengaturan jumlah tangkap atau kuota menjadi isu sentral setiap regulasi yang dihasilkan oleh CCSBT, karena jumlah
kuota akan menentukan kesinambungan industri perikanan SBT di negara-negara anggota.
Kesinambungan industri perikanan SBT akan ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi politik, yakni kemampuan pemerintahan suatu negara untuk
menegosiasikan kepentingan industri perikanan di dalam negerinya. Hal ini terkait dengan berapa besar jumlah kuota yang berhasil diperoleh negara-negara
yang ikut dalam kegiatan penangkapan SBT di Samudera Hindia. Semakin besar jumlah kuota tangkap suatu negara akan membawa keuntungan bagi industri
penangkapan SBT, mengingat daya serap pasar dan harga yang tinggi. Ketegangan antara Jepang dan Australia menyangkut kuota tahun 2007
dapat diletakkan dalam isu tersebut. Kedua negara yang memiliki kapasitas industri perikanan SBT yang besar dan modern merasa perlu untuk melindungi
industri perikanan dalam negerinya. Tarik ulur atau negosiasi kuota di CCSBT banyak diwarnai oleh dinamika kedua negara ini.
Bagi Indonesia yang memiliki kapasitas industri perikanan tangkap yang belum sebanding dengan Australia dan Jepang, persoalan kuota belum menjadi
determinan dalam pengambilan keputusan pengembangan industri perikanan, khususnya sumberdaya yang diatur regulasinya oleh organisasi regional seperti
CCSBT. Hal ini dapat dilihat dari sikap menerima Indonesia atas jumlah kuota yang ditetapkan oleh CCSBT, yakni 750 ton. Kondisi tersebut sangat
bertolakbelakang dengan posisi geografis Indonesia sebagai wilayah pemijahan CCSBT.
Persoalan SBT baru menjadi isu dalam ekonomi politik Indonesia ketika ekspor SBT Indonesia mengalami embargo dari Jepang sebagai pasar terbesar
produk tersebut. Masalah keanggotaan dalam CCSBT menjadi alasan utama penjatuhan embargo atas ekspor SBT Indonesia, sehingga fokus utama kebijakan
lebih banyak diarahkan untuk mengatasi masalah embargo, bukan pada penataan kebijakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya SBT di Samudera
Hindia. Keinginan untuk menjadi anggota CCSBT sejatinya tidak dapat disusun
dalam kebijakan jangka pendek, yakni mengatasi masalah embargo ekspor produk SBT Indonesia. Lebih jauh dari itu, keinginan menjadi anggota harus dirumuskan
dalam kerangka jangka panjang, yakni mengoptimalkan pemanfaatan SBT oleh industri perikanan Indonesia. Dalam kerangka itu, perlu disusun konsep penataan
kebijakan pemanfaatan sumberdaya tersebut dalam kerangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya SBT di Samudera Hndia.
Untuk itu, persoalan optimalisasi pemanfaatan SBT perlu menjadi entry point
dalam isu keanggotaan di CCSBT. Langkah pertama adalah menentukan tingkat optimal pemanfaatan SBT yang mampu menjamin tingkat pemanfaatan
yang lestari atau maximum sustanainble yield MSY, sekaligus menjamin tingkat keuntungan secara ekonomi atau maximum economic yield MEY. Lestari secara
biologi dan untung secara ekonomi merupakan dasar kepentingan perikanan Indonesia yang harus diperjuangkan. Kondisi tersebut akan tergambar pada
jumlah kuota penangkapan SBT yang ideal bagi Indonesia. Komponen penting dalam menentukan MEY adalah Catch Per-Unit Effort
CPUE. Berdasarkan data kapal tuna long line dan hasil tangkap SBT di Pelabuhan Benoa dari 1995-2005 dapat ditentukan data CPUE. Data CPUE SBT
di Benoa dapat dilihat pada Tabel 9.
Melalui pendekatan bioekonomi, maka diperoleh hasil perhitungan regresi sebagai berikut, yakni nilai
α sebesar 3,097 dan nilai β sebesar -0,001. Bila diasumsikan biaya rata-rata kegiatan penangkapan
24
di Samudera Hindia untuk setiap kapal sebesar Rp188.867.973,- dan harga rata-rata
25
per ton SBT sebesar Rp134.140.666,25 maka diperoleh data-data H sustainable, total revenue, total
cost dan rent sebagaimana dalam Tabel 10 Hasil regresi pada Lampiran 7.
Tabel 10. Kondisi Aktual Penangkapan SBT Indonesia
Tahun Jumlah
Kapal Longline
Produksi SBT
Ton CPUE
H Sustainable
TR TC Rent
2005 668
1,798.86 2.69 1,435.24 192,523,708,101.51
128,387,270,684.00 64,136,437,417.51 2004
769 676.89 0.88
1,541.95 206,838,549,542.96 147,799,118,497.00 59,039,431,045.96
2003 743
564.34 0.76 1,517.25 203,524,974,117.67
142,802,009,159.00 60,722,964,958.67 2002
545 1,690.67 3.10
1,266.15 169,842,716,102.97 104,747,099,585.00 65,095,616,517.97
2001 529
1,631.74 3.08 1,241.00 166,468,718,762.11
101,671,955,377.00 64,796,763,385.11 2000
1095 1,202.60 1.10
1,688.73 226,527,887,695.71 210,455,181,735.00 16,072,705,960.71
1999 1247
2,504.49 2.01 1,654.00 221,868,779,715.21
239,669,051,711.00 17,800,271,995.79 1998
845 1,324.13 1.57
1,603.15 215,047,795,323.70 162,406,053,485.00 52,641,741,838.70
1997 861
2,210.37 2.57 1,613.95 216,495,673,099.71
165,481,197,693.00 51,014,475,406.71 1996
709 1,614.18 2.28
1,482.05 198,803,260,686.79 136,267,327,717.00 62,535,932,969.79
1995 396
828.97 2.09 1,003.78 134,647,651,525.11
76,109,819,148.00 58,537,832,377.11
24
Biaya penangkapan bersumber dari biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh unit usaha penangkapan ikan berdasarkan perhitungan setiap trip
25
Data harga rata-rata bersumber dari perkembangan harga pasar SBT di Jepang setelah dikonversi dalam mata uang rupiah sebagaimana
Tabel 9. Catch Per-Unit Effort CPUE SBT Indonesia di Samudera Hindia
Tahun Jumlah Kapal
Longline Unit Produksi SBT
Ton CPUE
2005 668
1,798.86 2.69
2004 769
676.89 0.88
2003 743
564.34 0.76
2002 545
1,690.67 3.10
2001 529
1,631.74 3.08
2000 1095
1,202.60 1.10
1999 1247
2,504.49 2.01
1998 845
1,324.13 1.57
1997 861
2,210.37 2.57
1996 709
1,614.18 2.28
1995 396
828.97 2.09
Sumber : 1995-2000; Herrera, M. 2002. IOTC Proceeding no. 5 2001-2004 Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2007
2005 : Daftar kapal di Pelabuhan Benoa
Perbandingan antara H Sustainable dan produksi aktual secara grafik dapat dilihat pada Gambar 21 berikut :
Berdasarkan Tabel 10 dan Gambar 21 terlihat bahwa produksi SBT Indonesia di atas H-Sustainable sehingga kondisi tersebut perlu diregulasi agar
pemanfaatan optimal secara sumber daya dan ekonomi. Berdasarkan perhitungan terhadap tiga kondisi bioeconomic equilibrium, yakni MEY, MSY dan open acces
diperoleh solusi optimal seperti Tabel 11.
Tabel 11. Tiga Kondisi Keseimbangan Bioekonomi Bioeconomic Equilibrium
Keterangan Keseimbangan Bioekonomi bioeconomic equilibrium
MEY Open Access
MSY Effort kapal
636.48 1,272.96
1,090.54
Produksi Ton
1,396.00 1,641.51
1,688.76
TR Rp 208,067,631,144.78 244,658,826,953.14 251,701,863,953.98
TC Rp 122,329,413,476.57 244,658,826,953.14 209,597,879,094.97
Rente Ekonomi Rp 85,738,217,668.21
- 42,103,984,859.01
Tabel 11 menunjukkan bahwa kondisi optimal pada MEY memberi keuntungan secara ekonomi bagi industri SBT Indonesia dengan jumlah kapal
sekitar 636 unit dan produksi sekitar 1.396 ton. Pada kondisi tersebut, biaya kegiatan penangkapan mencapai sekitar Rp112,32 milyar dan penerimaan TR
Tabel 11. Tiga Kondisi Bioeconomic Equilibrium Indonesia dalam Pemanfaatan SBT di Samudera Hindia
No. Keterangan
MEY Open Access
MSY
1 Effort kapal
636.48 1,272.96
1,090.54 2
Produksi Ton 1,396.00
1,641.51 1,688.76
3 TR Rp
208,067,631,144.78 244,658,826,953.14
251,701,863,953.98 4
TC Rp 122,329,413,476.57
44,658,826,953.14 209,597,879,094.97
5 Rente Ekonomi Rp
85,738,217,668.21 -
42,103,984,859.01
Gambar 21. Grafik Perbandingan Produksi Aktual dan Yield Tahun 1995 – 2005
- 500,00
1.000,00 1.500,00
2.000,00 2.500,00
3.000,00
1995 1996
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003 2004
2005
Ton
Tahun
Produksi SBT Ton
Yield
mencapai Rp208,06 milyar. Hal ini berarti rente ekonomi yang diperoleh mencapai sekitar Rp85,73 milyar lebih.
Jumlah produksi dan kapal pada MEY dapat menjadi titik tolak regulasi perikanan di Samudera Hindia, khususnya dalam kegiatan eksploitasi SBT. Pada
tingkat produksi 1.396 ton dan jumlah effort kapal 636 unit kapal merupakan titik tolak regulasi industri penangkapan SBT Indonesia di Samudera Hindia.
Jumlah kuota optimal Indonesia dalam industri SBT sama dengan kondisi MEY sehingga keanggotaan Indonesia dalam CCSBT mesti dibarengi dengan
penataan industri SBT dan strategi yang menggambarkan kepentingan jangka panjang Indonesia dalam mengoptimalkan pemanfaatan SBT di Samudera Hindia.
6.2. Strategi Pemanfaatan Sumberdaya SBT