Tinjauan mengenai Pengormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Asasi

24 menerima sanksi yang tertuang dalam Pasal 122 Huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, di mana sanksinya berupa deportasi plus penangkalan atau di- black list untuk masuk kembali ke Indonesia selama enam bulan ke depan terhitung setelah dideportasi. Hal ini tentu mengindikasikan seolah pengenaan tindakan administratif atau proses pidana menjadi pilihan yang membuka ruang interpretasi dan diskresi bagi aparat keimigrasian dalam kasus-kasus yang ditanganinya.

5.1.4. Tinjauan mengenai Pengormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Asasi

Manusia Penyusunan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian ternyata dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek HAM. Pada Konsideran menimbang huruf b Undang-undang tersebut mengakui diperlukannya peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum yang sejalan dengan penghormatan, pelindungan, dan pemajuan hak asasi manusia. Selanjutnya, pada bagian Umum Penjelasan atas undang-undang tersebut dinyatakan sebagai berikut: “… bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya tuntutan terwujudnya tingkat kesetaraan dalam aspek kehidupan kemanusiaan, mendorong adanya kewajiban untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagai bagian kehidupan universal … Berdasarkan kebijakan selektif selective policy yang menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia, diatur masuknya Orang Asing ke dalam Wilayah Indonesia, demikian pula bagi Orang Asing yang memperoleh Izin Tinggal di Wilayah Indonesia harus sesuai dengan maksud dan tujuannya berada di Indonesia. Berdasarkan kebijakan dimaksud serta dalam rangka melindungi kepentingan nasional, hanya Orang Asing yang memberikan manfaat serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum diperbolehkan masuk dan berada di Wilayah Indonesia” Penghormatan terhadap nilai HAM dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Selanjutnya disebut sebagai Peraturan Pemerintah tentang Keimigrasian. Pada dasarnya, terdapat penegasan bahwa Pejabat Imigrasi berwenang menempatkan orang asing tenaga kerja asing dalam Ruang Detensi Imigrasi maupun Rumah Detensi Imigrasi dalam hal Orang Asing menunggu pelaksanaan Deportasi. 63 Selanjutnya, dalam Pasal 214 Peraturan Pemerintah tentang Keimigrasian disebutkan bahwa Pendetensian terhadap Orang Asing dilakukan sampai Deteni di Deportasi 63 Pasal 208 1 huruf d dan Pasal 209 huruf d Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian 25 dalam jangka waktu paling lama 10 sepuluh tahun. Terhadap orang asing ini, Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk dapat memberikan izin berada di luar Rumah Detensi Imigrasi kepada Deteni. 64 Penjelasan atas Peraturan Pemerintah tersebut ternyata memuat penerapan terhadap nilai HAM, yang menyatakan sebagai berikut” “Terhadap Orang Asing yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dikenakan Tindakan Administratif Keimigrasian, menunggu pelaksanaan Deportasi, atau ditolak masuk ke Wilayah Indonesia, Pejabat Imigrasi berwenang untuk menempatkannya di Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi dan berkewajiban untuk pemulangan atau pendeportasian :terhadap Orang Asing Deteni dimaksud. Dalam rangka penerapan nilai hak asasi manusia khusus terhadap deteni yang hingga dalam jangka waktu 10 sepuluh tahun belum juga dapat dipulangkan atau dideportasi, kepada Deteni tersebut dapat diberikan izin berada di luar Rumah Detensi Imigrasi berdasarkan persetujuan Menteri, dengan tetap mewajibkannya melapor secara periodikberkesinambungan kepada Pejabat Imigrasi. ” Selain itu, dalam konteks otoritas, keimigrasian merupakan bidang yang dipimpin oleh Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia 65 yang secara lebih teknis diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai unsur pelaksana tugas dan fungsi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di bidang Keimigrasian. 66 Realitas struktural ini tentu mengasumsikan bahwa isu keimigrasian tidak terlepas dari hak asasi manusia. Pemahaman HAM yang dimiliki oleh aparat keimigrasian dalam menerapkan prosedur dan mekanisme deportasi tentu sangat diharapkan. Sebagaimana telah menjadi rambu etika institusi, petugas imigrasi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dituntut memiliki etika dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk menghormati, memajukan, memenuhi, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Menteri Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-07.KP.05.02 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 67 Secara khusus, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-02.KP.05.02 Tahun 2010 tentang Kode Etik Pegawai Imigrasi juga menentukan bahwa etika pegawai 64 Pasal 220 ayat 1 Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian 65 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian 66 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian 67 Pasal 5 huruf I Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH- 07.KP.05.02 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia 26 imigrasi dalam bernegara meliputi pula perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia setiap orang dengan tetap menjunjung tinggi kedaulatan negara. 68

5.2 Aspek-aspek yang Perlu Diperhatikan Untuk Menjamin Tindakan Deportasi yang