Religiusitas dalam Sastra Religiusitas

4. Untuk Mengatasi Ketakutan Ketakutan begitu erat hubungnnya dengan tendensi-tendensi manusiawi, yang kemudian dapat menimbulkan perilaku agamawi. Louis Lavalle telah mencatat bahwa kelahiran atau munculnya rasa takut ini jatuh bersamaan waktunya dengan kegoncangan dasyat yang ditimbulkan pada jiwa manusia, yaitu ketika eksistensi manusia mulai terancam dari berbagai penjuru, hal ini mulai memaksa hati nurani untuk secara serius mengetahui asal usul serta nilainya. Sehingga secara psikologis agama merupakan tempat pengungsian bagi manusia dari rasa ketakutan Leahy, 1990: 24.

b. Religiusitas dalam Sastra

Perasaan keagamaan adalah segala perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan, seperti perasaan takut kepada Tuhan fear to bad, perasaan dosa guilt feeling, kebesaran Tuhan God’s glory. Religiositas ini oleh Paul Tillich, filsuf profetik, disebut sebagai “dimensi kedalaman”. Menurutnya Paul Tillich manusia dapat menjadi religius sebab dengan penuh kerinduan menanyakan tentang eksistensinya dan sangat menginginkan memperoleh jawaban, sekalipun mungkin jawabannya akan “menyakitkan”. Seorang religius adalah mereka yang mencoba mengerti hidup dan kehidupan secara lebih dalam dari pada batas lahiriah semata, yang bergerak dengan dimensi vertikal dari kehidupan ini, dan mentransendensikan hidup. Orang demikian, menurut Paul Tillich, dapat memeluk agama tertentu, tetapi tidak sebagai keharusan Horison,no. 2, Juli 1966, hal 12 via Wachid, 2002: 176. Dalam konteks itu, ia rupanya memahami dari dua pendekatan, yakni religiositas yang agamis dan yang nonagamis. Di satu segi, Y.B. Mangunwijaya berpandangan bahwa agama hanya lebih menunjukkan kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi dan yuridis, sedangkan di segi lain religiositas dipandangnya lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, sikap personal yang sedikit misteri bagi orang lain 1988: 12 via Wachid, 2002: 176-177. Namun, Y.B. Mangunwijaya masih berharap bahwa paling tidak seorang agamawan sepantasnya sekaligus hommo religius 1988:12 via Wachid, 2002. Sebagaimana ungkapan William James yang dikutip oleh Abdul Rozak, manusia religius selalu sadar melaksanakan institusional religion, menghayati dengan sepenuh jiwanya sehingga ia pun kerap tenggelam dalam pengalaman religius yang merupakan puncak pengalaman estetis Horison, no. 5, th.XX, hal. 166 via Wachid, 2002: 176-177. Ada religiusitas yang memang berangkat dari pribadi non-agama. Namun, tiap kebangkitan religiusitas selalu dilandasi oleh keinginan baik untuk berbuat suatu kebaikan kepada sesama makhluk. Pada konteks kebaikan ini pula orang memasuki lembaga ilahi agama, yang menurut Syekh Muhammad Abduh, bukan demi pemisahan, tetapi demi penuntunan ke arah makna yang baik Mangunwijaya, 1988: 15 via Wachid. Religi dan religiositas adalah suatu kesatuan. Memang ini lebih islamis, di dalamnya “demi penuntunan ke arah makna yang baik” merupakan salah satu ciri khas religiositas yang autentik Wachid, 2002: 177. Dengan demikian, kesusatraan menjadi religius jika di dalamnya mempersoalkan dimensi kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transendental. Kesusastraan religius selalu membicarakan persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dengan ditompang nilai kerohanian, yang berpuncak pada Tuhan melalui lubuk hati terdalam kemanusiaannya. Segi lain religiositas ialah tolok ukurnya yang hakiki, sebagaimana pernah diungkap Roger Garaudy, yakni untuk menyampaikan makna dari realitas yang tidak tampak, yang berada di balik gejala yang tampak via Wachid, 2002: 177- 178.

B. Penelitian Relevan

Berdasarkan pengamatan mengenai penelitian relevan yang mengkaji kumpulan cerpen Karapan Laut karya Mahwi Air Tawar belum ditemukan dalam bentuk skripsi. Tapi, sebelumnya kumpulan cerpen Karapan Laut pernah menjadi bahan diskusi dalam sebuah acara bedah buku “Karapan Laut” dengan tema “Potret Sosial Masyarakat Madura Dalam perspektif Gender dan Imajinasi Sosiologi”. Acara ini menghadirkan beberapa pemateri diantaranya adalah dari penulis cerpen itu sendiri yaitu Cak Mahwi air tawar, Edward Bot S.Phil, MA Aktivis Sosial, Zurmailis SS. MA Aktivis Gender dan Sunlie Thomas Alexander Sastrawan, dan diskusi ini dipandu langsung oleh Saudara Rindho Nugroho. Kumpulan cerpen “Karapan Laut” memang sangat keras dalam menghadirkan narasi tentang kemaduraan dan memang itu yang menjadi ciri khas tentang Madura.Unsur sastra dalam potret masyarakat tertentu tiada lain yaitu atas subjektivitas penulis. Sedangkan secara sosiologis