Paksa Badan bagi Debitor Pailit

3. Perbuatan hukum yang digugat actio pauliana dalam kepailitan tersebut merupakan perbuatan yang merugikan kreditur yang merupakan perjanjian dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat. 4. Perbuatan hukum yang digugat action paulina dalam kepailitan tersebut merupakan perbuatan yang merugikan kreditur yang merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo danatau belum dapat ditagih. 5. Perbuatan hukum yang digugat actio pauliana dalam kepailitan tersebut merupakan perbuatan yang merugikan kreditur yang dilakukan terhadap pihak terafiliasi. Pihak yang terafiliasi ditentukan sebagaimana dalam Pasal 42. Meskipun actio pauliana secara secara teoritis dan normatif tersedia dalam kepailitan, akan tetapi dalam prakteknya tidak mudah untuk mengajukan gugatan actio paulina sampai dikabulkan oleh hakim. Hal ini antara lain disebabkan oleh proses pembuktian actio pauliana tersebut serta perlindungan hokum terhadap pihak ketiga yang bertransaksi dengan debitur tersebut. 49

D. Paksa Badan bagi Debitor Pailit

Pemberlakukan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberi makna bahwa Undang-undang tentang Kepailitan Faillisements-verordening Staatsblad 1905-217 juncto Staatsblad 1906-348 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan sudah tidak dapat diberlakukan lagi. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 bertujuan untuk lebih melindungi kepentingan-kepentingan baik kreditur maupun debitur yang merupakan organorgan penting dalam berlakunya Undang- undang ini serta menjadi dasar bagi Hakim Niaga dalam mengadili perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU. 49 Ibid, hlm 114 Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, debitur yang memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat dinyatakan pailit. Debitur yang telah dinyatakan pailit melalui putusan pernyataan pailit mengakibatkan debitur pailit tersebut tidak cakap onbekwaam untuk mengurus harta-hartanya yang termasuk dalam boedelasset pailit. Hal tersebut membawa konsekuensi hukum untuk menunjuk dan menggangkat kurator yang akan menggambil alih dan bertanggung jawab dalam pengurusan dan pemberesan asset pailit debitur pailit. Bukan tugas yang mudah bagi kurator dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam menelusuri seluruh aset pailit yang ada kalanya bagian tertentu dari asset pailit tersebut dikuasai oleh pihak ketiga, atau bahkan sikap dari debitur pailit yang tidak beritikad baik sehingga menyembunyikan atau mengalihkan asset pailit kepada pihak lain. G. P. Wijaya 50 dan Pasal 242-258 RBg yang kemudian berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 2 Tahun 1964 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 4 mengemukakan bahwa kerap pula dijumpai ancaman-ancaman psikis terhadap kurator dari orang-orang suruhan debitur pailit ataupun kurator dilaporkan kepada polisi oleh debitur karena dianggap telah melakukan tindak-tindak pidana masuk pekarangan tanpa izin atau penggelapan. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya hukum yang disebut paksa badan gijzeling yang dipandang efektif sebagai sarana pemaksa bagi debitur pailit untuk bersikap kooperatif. Paksa badan bukan merupakan suatu hal yang baru dalam sistem hukum di negara ini. Paksa badan gijzeling sebagaimana diatur dalam Pasal 209-224 HIR 50 G.P. Aji Wijaya, Aspek Pidana dalam Kepailitan dan Permasalahan yang Dihadapi dalam Praktek, Makalah dalam Pelatihan Hakim Niaga, Bogor, 2004, hlm.3 Universitas Sumatera Utara Tahun 1975 yang menginstruksikan kepada seluruh Hakim Indonesia untuk tidak lagi menghidupkan atau menerapkan peraturan-peraturan tentang paksa badan. Paksa Badan dihidupkan kembali melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang PERPU Nomor 1 Tahun 1998 yang ditegaskan kembali dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Perma Nomor 1 Tahun 2000. Penghidupan lembaga paksa badan gijzeling tidak hanya mendapatkan tanggapan yang positif, tetapi juga menimbulkan reaksi negatif seputar itu. Pengenaan paksa badan terhadap seseorang dianggap melanggar Hak Asasi Manusia orang tersebut. Menurut Erwin Mangatas Malau 51 para kreditur yang dilakukan oleh debitur. Dalam penerapannya terhadap perkara kepailitan, paksa badan masih menimbulkan banyak masalah dan persoalan. Salah satunya yaitu mengenai bagaimana penerapan paksa badan terhadap perkara kepailitan dalam praktek, karena belum ada produk hukum yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan paksa badan dalam perkara kepailitan. Kemudian yang berkaitan dengan mekanisme palaksanaan paksa badan, adalah tempat pelaksanaan paksa badan dimana dalam Undang-Undang Kepailitan disebutkan bahwa pelaksanaan paksa badan dapat ditempatkan di Rumah Tahanan Negara ataupun di rumah debitur pailit itu sendiri dengan penghidupan kembali lembaga gijzeling sudah pasti menimbulkan sikap pro dan kontra. Bagi pihak yang tidak setuju akan mengatakan perlakuan pemaksaan tidak manusiawi karena melanggar hak asasi debitur yang terkena tindakan, sedangkan bagi pihak yang setuju akan mengatakan bahwa meskipun terjadi pelanggaran hak asasi debitur, akan tetapi pelanggaran hak asasi itu tidak sebanding dengan pelanggaran hak asasi terhadap 51 Erwin Mangatas Malau, Gijzeling dalam Kepailitan, Makalah dalam Pelatihan Hakim Niaga, Bogor, 2004, hlm. 1 Universitas Sumatera Utara pengawasan di bawah jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas, yang menjadi persoalan adalah jika penahanan ditempatkan di rumah debitur pailit itu sendiri, rasanya tidak memungkinkan bagi jaksa untuk mengawasi dan mengetahui setiap kegiatan yang dilakukan oleh debitur pailit. Selain itu, menurut Imran Nating bagaimana jaksa dalam melaksanakan paksa badan belum diatur mekanismenya. 52 Pengertian lembaga paksa badan dalam peraturan perundang-undangan dijumpai dalam Pasal 1 huruf a Perma No. 1 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa Paksa Badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seseorang debitur yang beritikad baik ke dalam Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan oleh Pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya. Paksa badan Lifsdwang adalah upaya penagihan dalam rangka penyelamatan uang negara dengan cara pengekangan kebebasan untuk sementara waktu disuatu tempat tertentu terhadap debitur yang tergolong mampu namun tidak beritikad baik. Permasalahan lainnya yang timbul kemudian adalah hambatan yang dihadapi dalam menerapkan paksa badan sebagai upaya pemaksa terhadap debitur pailit sehingga debitur pailit bersikap kooperatif mengenai keadaan assethartanya. 53 Undang Undang Kepailitan inilah dikenal adanya Lembaga Paksa Badan gijzeling yang merupakan suatu solusi dalam menghadapi Debitur yang tidak kooperatif. Sesungguhnya, Paksa Badan Penyanderaan - Gijzeling sudah merupakan sarana yang sangat efektif dalam pengurusan dan penyelesaian perkara kepailitan, khususnya terhadap Debitur yang tidak mempunyai iktikad baik. Permasalahanya dalam 52 Imran Nating, Op.Cit, hlm. 111 53 Andryawal Simanjuntak, GizelingLembaga Paksa Badan, http:andryawal.blogspot.com201007gizeling-lembaga-paksa-badan.html, akses 6 April 2013. Universitas Sumatera Utara mengefektifkan lembaga gijzeling adalah masalah praktek “kedekatan atau mafia peradilan” yang masih ditemui dalam perkara-perkara di Pengadilan. 54 54 http:webcache.googleusercontent.com diakses 6 April 2013 Universitas Sumatera Utara

BAB IV PERAN KURATOR TERKAIT DENGAN KEWENANGAN DEBITUR