Sejarah Kepailitan di Indonesia

Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan serta pemberesan budel dari orang yang pailit. Ada pula yang menyebutkan bahwa kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur untuk kepentingan seluruh krediturnya bersama-sama, yang pada waktu kreditur dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing kreditur miliki pada saat itu. Berdasarkan beberapa definisi atau pengertian yang diberikan oleh beberapa sarjana tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kepailitan mempunyai unsur-unsur : 17

B. Sejarah Kepailitan di Indonesia

1. Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitur. 2. Sita itu semata-mata mengenai harta kekayaan. 3. Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para krediturnya secara bersama-sama. Sejarah berlakunya Peraturan Kepailitan di Indonesia, menurut Sri Redjeki Hartono dapat dipilah menjadi 3 masa yakni masa sebelum Faillisement Verordening berlaku, masa berlakunya Faillisements Verordening itu sendiri dan masa berlakunya UU Kepailitan yang sekarang ini. 18 a. Wet Book Van Koophandel atau WVK buku ketiga yang berjudul “Van de Voorzieningen in geval van Onvormogen van kooplieden” atau peraturan tentang 1. Sebelum berlakunya Faillisements Verordening Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu Hukum Kepailitan itu diatur dalam dua tempat yaitu dalam: 17 Mulyadi, Kartini, Hukum Kepailitan, Jakarta : Putra Grafika, 2007, hlm. 143. 18 Sri Rejeki Hartono, Hukum Kepailitan, Malang: UMM Press, 2008, hlm. 9 Universitas Sumatera Utara ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah peraturan Kepailitan bagi pedagang. b. Reglement op de Rechtsvoordering RV. S. 1847-52 bsd 1849-63, Buku ketiga bab ketujuh dengan judul “Van den staat Von Kenneljk Onvermogen atau tentang Keadaan nyata-nyata tidak mampu. Peraturan ini adalah Peraturan Kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang. Akan tetapi ternyata dalam pelaksanaanya, kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain adalah: a. Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya b. Biaya tinggi c. Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan d. Perlu waktu yang cukup lama. Pembuatan aturan baru yang sederhana dan tidak perlu banyak biaya, maka lahirlah Faillissements Verordening S. 1905-217 untuk menggantikan dua Peraturan Kepailitan tersebut. 19 2. Masa Berlakunya Faillisements Verordening Mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening S.1905-271 bsd S.1906-348. Peraturan Kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropah, golongan Cina dan golongan Timur Asing S. 1924 - 556. Bagi golongan Indonesia asli pribumi dapat saja menggunakan Faillisements Verordening ini dengan cara melakukan penundukan diri. Dalam masa ini untuk kepailitan berlaku Faillisementes Verordening 1905-217 yang berlaku bagi semua orang, baik bagi pedagang maupun bukan pedagang, baik perseorangan maupun badan hukum. 19 Ibid, hlm. 10 Universitas Sumatera Utara Sejarah peraturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan apa yang terjadi di Belanda melalui asas konkordansi Pasal 131 IS, yakni dimulai dengan berlakunya “Code de Commerce” tahun 1811-1838 kemudian pada tahun 1893 diganti dengan Faillisementswet 1893 yang berlaku pada 1 September 1896. 3. Masa Berlakunya Undang- Undang Kepailitan Produk Hukum Nasional Setelah berlakunya Fv. S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348, Republik Indonesia mampu membuat sendiri peraturan kepailitan meskipun masih tambal sulam sifatnya, yakni sudah ada 3 tiga peraturan perundangan yang merupakan produk hukum nasional dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang PERPU No. 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang Kepailitan yang kemudian ditingkatkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18 November 2004 disempurnakan lagi dengan Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang. 20 Pengaruh gejolak moneter yang terjadi di negara-negara Asia termasuk di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian nasional terutama kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka pada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan a. Masa Berlakunya Perpu No 1 Tahun 1998 dan Undang-Undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998 20 Ibid, hlm. 11 Universitas Sumatera Utara akibat yang berantai dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas lagi. Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif. Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban membayar tadi di atur dalam Feaillisements Verordening S. 1905 No. 217 Jo. S. 1906 No. 348. Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements Verordening tersebut masih baik. Namun karena mungkin selama ini jarang dimanfaatkan, mekanisme yang diatur didalamnya menjadi semakin kurang teruji, beberapa infra struktur yang mendukung mekanisme tersebut juga menjadi kurang terlatih. Sementara seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan perekonomian berlangsung pesat maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang memadai yakni yang cepat, adil terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang. Pelaksanaan penyempurnaan atas peraturan kepailitan atau Faillisemnets Verordening melalui PERPU No. 1 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang tentang Kepailitan pada tanggal 22 April 1998 dan sebagai konsekuensi lebih lanjut dari PERPU ini ditingkatkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Kepailitan yang telah disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 September tahun 1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara Republik Indonesia LNRI tahun 1998 No. 135. Sejak undang-undang tersebut disahkan maka berlakulah UU Kepailitan yang isinya masih merupakan tambal sulam dari aturan sebelumnya yaitu Peraturan Kepailitan atau FV. 21 b. Masa Berlakunya UUK No.37 Tahun 2004 21 Ibid, hlm. 13 Universitas Sumatera Utara Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi maupun cara lain yang diperbolehkan, telah menimbulkan banyak permasalahan penyelesaian utang piutang dalam masyarakat. Krisis moneter yang melanda Benua Asia termasuk Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat terganggu, bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya juga tidak mudah, hal tersebut sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya. Keadaan tersebut berakibat timbulnya masalah-masalah yang berantai. Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya. Oleh karena itu apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih luas antara lain hilangnya lapangan kerja dan permasalahan sosial lainnya. perubahan dilakukan terhadap Undang-Undang Kepailitan dengan memperbaiki, menambah, dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, karena jika ditinjau dari segi materi yang diatur, masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan. C. Syarat dan Putusan Pailit Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit, yaitu orang yang mempunyai utang karena perjanjian dan sudah dinyatakan pailit dengan putusan Universitas Sumatera Utara pengadilan. Berikut adalah penjelasan tentang kapan seorang debitur dinyatakan pailit. Sebelum membahas mengenai persyaratan kepailitan, berikut sedikit penjelasan mengenai apa itu pailit dan pihak-pihak yang dipailitkan berdasakan Pasal 1 butir 1. 2, 3, dan 4 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004: 1. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 2. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang- Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. 3. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang- undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. 4. Debitur pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Pernyataan pailit terhadap seorang debitur dinyatakan secara sederhana, artinya tidak diperlukan alat-alat pembuktian sebagaimana dalam Buku IV Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, karena cukup dengan bila peristiwa itu telah terbukti dengan alat-alat pembuktian sederhana. Terkait hal tersebut di atas maka seorang debitur dapat dinyatakan pailit, apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur Hal ini dimaksudkan bahwa Debitur dalam keadaan benar-benar tidak mampu membayar terhadap dua atau lebih krediturnya tersebut. b. Tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih Pada pernyataan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh Universitas Sumatera Utara tempo dan dapat ditagih disini adalah utang pokok atau bunga yang tidak terbayar, namun pada penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU 37 Tahun 2004, disebutkan kewajiban untuk membayar utang jatuh waktu dan dapat ditagih baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu pengalihan sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan saksi atau denda oleh instansi yang berwenang maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. c. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya Dalam Pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa yang dimaksud kreditur adalah baik kreditor konkuren, kreditur separatis maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditur separatis maupun preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan. Namun bilamana terdapat sindikasi kreditur, maka masing-masing kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan. Sedangkan dalam hal pernyataan pailit diajukan oleh debitur yang sudah menikah, maka permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau isterinya kecuali apabila tidak ada percampuran harta. Demikian penjelasan dari kami berdasarkan ketentuan yang berlaku, dan sebagaimana yang disebutkan dalam UU No. 37 Tahun 2004, bahwa syarat kepailitan ini diatur untuk menghindari adanya perebutan harta debitur maupun kecurangan kecurangan oleh salah seorang kreditur atau bahkan debitur sendiri. 22 22 http:www.tanyahukum.comkepailitan22syarat-syarat-dinyatakan-pailit diakses 6 April 2013 Universitas Sumatera Utara Syarat-syarat untuk mengajukan pailit terhadap suatu perusahaan telah diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah : a. Adanya Utang Pengertian Utang menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah : Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang- undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Menurut Jerry Hoff sebagaimana dikutif oleh Setiawan, utang seyogyanya diberi arti luas baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang, maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitur harus membayar sejumlah uang tertetu. Dengan membayar sejumlah uang tertentu yang disebabkan karena Debitur telah menerima sejumlah uang tertentu karena perjanjian kredit, tetapi juga kewajiban membayar debitor yang timbul dari perjanjian-perjanjian lain. 23 Menurut Sutan Remy Syahdeni, pengertian utang tidak hanya dalam arti sempit, yaitu tidak seharusnya hanya diberi arti berupa kewajiban membayar utang yang timbul karena perjanjian utang piutang saja, tetapi merupakan setiap kewajiban debitur yang berupa kewajiban membayar sejumlah uang kepada kreditur baik kewajiban yang timbul 23 Setiawan, Kepailitan serta Aplikasi Kini, tata Nusa, Jakarta, 1999, hlm. 15. Universitas Sumatera Utara karena perjanjian apapun juga maupun timbul karena ketentuan Undang-undang dan timbul karena putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dilihat dari perspektif Kreditur, kewajiban membayar debitur tersebut merupakan “hak untuk memperoleh pembayaran sejumlah uang” atau right to payment. 24 Pengertian Debitur menurut Pasal 1 Angka 3 UU No. 37 Tahun 2004 adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Pengertian Kreditur menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 37 tahun 2004 adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang- undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan. Dalam KUH Perdata tidak dipakai istilah “Debitur” dan “Kreditur”, tetapi dipakai istilah si berutang schuldenaarDebitur dan si berpiutang schuldeischerKreditur. Menurut Pasal 1235 KUH Perdata di hubungkan dengan Pasal 1234 KUH Perdata dan Pasal 1239 KUH Perdata, si berutang schuldenaar adalah pihak yang wajib memberikan sesuatu, berbuat b. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih Dimaksud dengan “utang yang telah jatuh tempo waktu dan dapat ditagih” menurut penjelasan UU No. 37 Tahun 2004 adalah kewajiban untuk untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, ataupun majelis arbitrase. c. Adanya Debitur dan Kreditur 24 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit. hlm. 110. Universitas Sumatera Utara sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu berkenaan dengan perikatannya, baik perikatan itu timbul karena perjanjian maupun karena undang-undang. 25 Meski tidak secara eksplisit disebutkan, namun dari rumusan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 37 Tahun 2004 dapat diketahui bahwa setiap permohonan pernyataan pailit harus diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur, dengan ketentuan bahwa: d. Kreditur lebih dari Satu Syarat utama untuk dapat dinyatakan pailit adalah bahwa seorang Debitur mempunyai paling sedikit 2 dua Kreditor dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh waktu. Dalam pengaturan pembayaran ini, tersangkut baik kepentingan Debitur sendiri, maupun kepentingan para Krediturnya. Dengan adanya putusan pailit tersebut, diharapkan agar harta pailit Debitur dapat digunakan untuk membayar kembali seluruh utang Debitur secara adil dan merata serta berimbang. e. Pernyataan pailit dilakukan oleh Pengadilan Khusus disebut dengan Pengadilan Niaga. 26 a. Dalam hal debitor telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir dari debitor. b. Dalam hal debitor adalah persero suatu firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hokum firma tersebut. c. Dalam hal debitur tidak bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah Republik Indonesia, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum kantor debitor menjalankan profesi atau usahanya. d. Dalam hal debitor merupakan badan hukum, pengadilan dimana badan hukum tersebut memiliki kedudukan hukumnya sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya. 25 Ibid, hlm.115-116. 26 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hlm. 17. Universitas Sumatera Utara Selain syarat-syarat yang telah dikemukakan tersebut, ada syarat lain juga yang harus dipenuhi sehubungan dengan siapa saja pihak dapat dipailitkan dan juga siapa saja yang berwenang mengajukan pailit. Di dalam praktek hukum, tidak sedikit seorang debitur yang karena keadaan memaksa tidak dapat memenuhi kewajiban atas prestasinya sendiri. Dengan demikian, di dalam dunia perniagaan, apabila terdapat debitur yang tidak mampu atau tidak dapat membayar utangnya kepada seorang kreditur atau lebih, maka penyelesaian dapat dilakukan melalui lembaga Kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU, sebagaimana pernyataan ketentuan undang-undang kepailitan berikut, bahwa seorang debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak dapat membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dapat dinyatakan dalam keadaan pailit, apabila telah dinyatakan oleh hakim atau pengadilan dengan suatu keputusan Hakim. 27 1. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan danatau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU menyatakan bahwa putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 enam puluh hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan berdasarkan pada Pasal 8 ayat 5 UU No. 37 Tahun 2004. Pasal 8 ayat 6 UU No. 37 Tahun 2004 juga menyatakan bahwa putusan pengadilan tersebut wajib memuat, antara lain: 2. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis. 27 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, Raja Grafindo Persada, 2001, Jakarta, hlm 37 Universitas Sumatera Utara Terkait dengan hal tersebut, selanjutnya diatur bahwa salinan putusan Pengadilan tersebut wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada Debitor, pihak yang mengajukan permohonan pailit, Kurator, dan Hakim Pengawas paling lambat 3 tiga hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan. Dalam putusan pernyataan pailit tersebut, harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari hakim Pengadilan dan dalam hal Debitur, Kreditur, atau pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat 2, ayat 3, ayat 4, atau ayat 5 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, jika tidak mengajukan usul pengangkatan Kurator kepada Pengadilan maka Balai Harta Peninggalan akan diangkat selaku Kurator. Adapun kurator yang diangkat tersebut harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang PKPU lebih dari 3 tiga perkara. Dalam jangka waktu paling lambat 5 lima hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh Kurator dan Hakim Pengawas, Kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 dua surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas, mengenai ikhtisar putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut: a. Nama, alamat, dan pekerjaan Debitur b. Nama Hakim Pengawas c. Nama, alamat, dan pekerjaan Kurator d. Nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia Kreditor sementara, apabila telah ditunjuk Universitas Sumatera Utara e. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama Kreditor. Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan danatau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali PK. Telah dijatuhkannya putusan kepailitan kepada debitur, maka mempunyai pengaruh bagi debitur dan harta bendanya. Bagi debitur, sejak diucapkannya putusan kepailitan, debitur kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya. Dan pada dasarnya pelaksanaan putusan atau eksekusi merupakan suatu pelaksanaan terhadap suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap BHT yang dilakukan dengan bantuan pengadilan. Dan dengan dijatuhkannya putusan pailit tersebut, maka “kurator” bertindak sebagai pengampu dari si pailit dan tugas utamanya adalah melakukan pengurusan atau pemberesan terhadap harta boedel pailit. 28 Seorang debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, membawa konsekuensi hukum yaitu, bagi debitur dijatuhkan sita umum terhadap seluruh harta debitur pailit dan hilangnya kewenangan debitur pailit untuk menguasai dan mengurus harta pailitnya. Sedangkan bagi kreditur, akan mengalami ketidakpastian tentang hubungan hukum yang ada antara kreditur dengan debitur pailit. Untuk kepentingan itulah undang-undang telah menentukan pihak yang akan mengurusi persoalan debitur dan kreditur melalui seorang Kurator adalah perseorangan atau persekutuan perdata yang memiliki keahlian khusus sebagaimana diperlukan untuk mengurus dan membereskan harta palit dan telah terdaftar pada Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 5 UU No. 37 Tahun 2004. 28 Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait dengan Kepailitan, CV. Nuansa Aulia, Cetakan Ke-1, 2006, Bandung, hlm 47 Universitas Sumatera Utara Kurator. Dalam menjalankan tugasnya kurator tidak hanya bagaimana menyelamatkan harta pailit yang berhasil dikumpulkan untuk kemudian dibagikan kepada para kreditur tapi sebisa mungkin bisa meningkatkan nilai harta pailit tersebut. Dengan demikian, kurator dituntut untuk memiliki integritas yang berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta keharusan untuk menaati standar profesi dan etika. Hal ini untuk menghindari adanya benturan kepentingan dengan debitur maupun kreditur. Namun pada prakteknya tidak sedikit kinerja kurator menjadi terhambat oleh permasalahan, seperti debitur pailit yang tidak mengacuhkan putusan pengadilan atau bahkan menolak untuk dieksekusi, dan hampir sebagian besar kurator memiliki permasalahan dengan debitur yang tidak kooperatif dalam hal menolak memberikan informasi dan dokumen, menolak menemui, bahkan menghalangi kurator memeriksa tempat usaha debitur, sehingga kinerjanya menjadi tidak maksimal karena faktor-faktor sebagaimana disebutkan diatas. 29

D. Akibat hukum Kepailitan