shohih baik yang melalui Ibnu Umar r.a. maupun Abu Hurairah r.a, yakni kailmat wa alaikum.
19
Sye kh Mansûr „Ali Nâsif sebagai representasi ulama kontekstualis
mempunyai pandangan berbeda dengan Ibnu Katsîr di atas. Menurut Syakh Mansûr „Ali Nâshif, dalam bukunya ”al-T j”, umat Islam dianjurkan menjawab
salam dengan kalimat w „ l ikum itu jika salam Dzimmî itu mengandung maksud
menghina, misalnya dengan kalimat „al-sâm‟ atau dengan kalimat lain yang memiliki arti yang sama, atau salam mereka tidak dapat didengar dengan
sempurna. Tapi, kalau unsur-unsur tersebut tidak ditemukan, maka umat Islam wajib menjawab salam mereka sebagaimana menjawab salam sesama Muslim.
Kewajiban tahiyyah yang dijelaskan oleh Al- Qur‟an surat Al-Nisa‟ ayat 86
menurut Syekh Mans ûr „Ali Nâshif, tidak melihat status Muslim dan kafir
Dzimmî, tetapi yang dilihat dan dinilai adalah unsur-unsur yang terdapat kalimat salam.
20
Dengan kata lain, salam yang wajib dijawab adalah salam yang betul-betul mengandung nilai dan pesan salam baik dari segi orang yang mengucapkan
maupun dari segi kalimat yang diucapkan. Meskipun salam itu keluar dari lisan kafir Dzimmî tetapi diucapkan dengan penuh kesungguhan berdoa dan bagian
dari upaya damai maka wajib dijawab. Namun sebaliknya, jika dalam salam itu tidak mengandung pesan-pesan salam, seperti doa, maka cukup dengan jawaban
w „ l ikum atau wa alaika, meskipun salam itu diucapkan oleh seorang Islam.
19
Muhammad Nasib ar- Rifa‟i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jil.
1, terj. Syihabuddin, ringkasan tafsir ibnu katsir, h. 762
20
Syekh Manshur Ali Nashif al-Taj, al- J m‟u Li Ushul fi l-Hadits al-Rasul, penerjemah
Bahrun Abu Bakar Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1961 M-1381 H, h. 249
Hal ini berdasar pada Hadîts yang diriwayatkan melalui Salman Al-Farisi, bahwa Nabi Muhammad p
ernah menjawab salam dengan kalimat “‟alaika” kepada laki-laki yang mengucapkan salam dengan kalimat lengkap. Kemudian
laki- laki itu bertanya kepada Nabi: “Wahai Nabi Allah, demi bapakku, engkau,
dan ibuku, fulan dan fulan datang kepadamu dan mereka mengucapkan salam kepadamu, engkau menjawabnya dengan jawaban yang lebih lengkap daripada
kepadaku”. Nabi menjawab: Sesungguhnya kamu tidak mendo‟akan apa-apa kepada kami.”
21
Hadits Nabi ini semakin memperjelas bahwa menjawab salam seseorang itu tidak berkaitan dengan latar belakang agama Islam dan Non Islam
kafir Dzimmî, tetapi didasarkan pada kualitas dan substansi salam. Pemikiran Sye
kh Mansûr „Ali Nâshif tentang menjawab salam non Muslim di atas jauh lebih maju dibandingkan dengan Quthb, Ibnu Katsîr, bahkan
dalam masalah mengucapkan salam ilq ‟ l-salâm kepada non Muslim pun juga
lebih maju dariapada pendapat keduanya. Jika bagi Quthb, dan Ibnu Katsîr haram hukumnya memulai salam kepada non Muslim pendapat yang sama juga
disampaikan oleh Al-Nawawi, bagi Sye kh Mansûr „Ali Nâsif, larangan yang
terdapat dalam hadits Abu Hurairah r.a. itu tidak mencapai haram, tatapi hanya makruh, bahkan bisa mubah jika salam itu mendatangkan manfaat dan
menghindari dari bahaya.
22
Muhammad Abduh 1849-1905 M juga berpandangan bahwa wajib bagi
umat Islam menjawab salam non Muslim. Selain itu, dia berpendapat sunnah hukumnya bagi mereka mengucapkan salam
ifsy ‟ s l m kepada kaum Dzimmî.
21
Muhammad Nasib ar- Rifa‟i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jil.
1, terj. Syihabuddin, ringkasan tafsir ibnu katsir, jakarta: Gema insan press, 1999 h. 761
22
Syekh Manshur Ali Nashif al-Taj, al- J m‟u Li Ushul fi l-Hadits al-Rasul., h. 249
Abduh menempatkan salam untuk syiar; bahwa Islam adalah agama damai dan aman. Al-salâm adalah seuatu yang sangat asasi dalam Islam. umat
Islam adalah ahli damai dan pencinta kedamaian.
23
Dengan adanya Hadis-hadis tersebut, Abduh semakin yakin bahwa mengucapkan salam kepada non Muslim bukan sesuatu yang dilarang, apalagi
salam itu menurutnya merupakan hak umum. Karena dari salam didapatkan dua hal yang didambakan oleh setiap orang yaitu: 1 penghormatan yang mutlak dan
2 terwujudnya keamanan bagi pengucap dan pendengar salam dari tindakan penipuan, pesakitan, dan dari hal-hal yang tidak baik lainnya. Alasan Abduh
menempatkan salam sebagai hak umum didasarkan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabranî dan Baihaqî melalui Abî Umâmah:
“Sesungguhny All h T ‟ l menj dik n s l m seb g i keho m t n um t k mi dan sebagai keamanan bagi kaum Dzimmî
.”
24
Penjelasan Qatadah tentang perbedaan jawaban tersebut, kata Abduh, tidak ada dalilnya baik dalam al-
Qur‟an maupun hadis, bahkan penjelasan tersebut bertentangan dengan hadîst yang diriwayatkan Ibn Jarîr dari Ibnu Abbâs r.a.
Rasulullah bersabda:”Barangsiapa dari makhluk Allah yang mengucapkan salam kepadamu hendaklah dijawab meskipun dia seorang Majusi. Menurut
Abduh, kewajiban membalas penghormatan orang lain sebagaimana dimaksud Al-
Qur‟an .S. Al-Nisâ‟ ayat 86 itu sama sekali tidak melihat latar belakang agama dan status sosial seseorang. Penghormatan atau salam yang sepadan
mutamâtsilah ruddûha atau yang lebih baik ahsana minhâ itu dasarkan pada
23
Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid., h. 312
24
Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid., h. 314
aspek kalimat salam yang diucapkan dan aspek tata cara, bahasa tubuh, serta keras dan pelannya suara saat menjawab salam.
Dalam syarah kitab Riyadhus Shalihin, Al-Utsaimin mengungkapkan bahwa al-Sal
ām mempunyai makna al-du‟â do‟a, yaitu do‟a keselamatan dari segala sesuatu yang membahayakan, merugikan, atau merusakan.
Syeikh Ahmad Al-Sawi dalam tafsir Al-Sawi ketika menafsirkan waidzâ huyyitum bitahiyyatin pada QS 4:86 beliau mengatakan bahwa al-Sal
ām maknanya keselamatan dari segala marabahaya baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam pendekatan lain, kata “ l-Salâm” termasuk sifat Allah Swt. Ketika al-
Salâm ini dinisbahkan kepada Allah Swt. Berarti juz salamah yang memiliki keselamatanketerhindaran. Itulah pendapat ulama seperti yang telah dikutip oleh
Quraish Shihab 2000:42-43 hanya saja lanjut beliau beberapa ulama tersebut berbeda dalam memahami istilah ini, ada juga yang berpendapat bahwa Allah
yang menghindarkan semua makhluk dari penganiayaan-Nya dan yang kelompok ketiga berpendapat bahwa al-Salâm yang dinisbahkan kepada Allah itu berarti
yang memberi salam kepada hamba-hambanya di surga kelak.
25
Mengucapkan salam adalah perbuatan menanam kasih sayang dan cinta dalam kalbu. Kesedihan, perlawanan, dan penolakan yang mungkin ada dalam
kalbu orang-orang yang dicintai akan hilang lenyap dengan ucapan selamat. Oleh karena, hukum suatu masalah baru bisa ditetapkan apabila diketahui
konteks dan situasinya, yang dengan demikian diketahui pula kemaslahatan dan kemudlaratannya. Bukan hukumnya yang ditetapkan terlebih dahulu dan
kemudian hukum itu diterapkan kepada semua peristiwa atau kasus. Hukum harus
25
Jurnal pendidikan agama islam – T ‟lim Vol. 9 No. 1 – 2011
tunduk kepada kemaslahatan dan hikmah. Tidak boleh sebaliknya kemaslahatan harus tunduk kepada hukum.
26
C. Interaksi Nabi Dengan non-Muslim Dalam Kerukunan
Sejarah mencatat bahwa, orang-orang muslim dengan non-Muslim saling hidup berdampingan tanpa adanya permusuhan. Dengan demikian, wajar jika
konsep tentang Ahli Kitab dipandang sebagai salah satu tonggak semangat kosmopolitanisme Islam. Atas dasar pandangan dan orientasi mondial konsep ini,
kaum Muslim di zaman klasik berhasil menciptakan ilmu pengetahuan yang benar-benar berdimensi universal melalui dukungan dari semua pihak.
27
Banyak hadis Nabi yang terkait dengan perintah bagi umatnya untuk terus menjaga sikap dan perilaku mereka agar tidak melanggar batas-batas
kemanusiaan, meskipun berbeda dalam keyakinan. Perjanjian antara Nabi Muhammad Saw. dan umat Kristen di Gunung Sinai adalah salah satu contoh
besar dari sikap toleransi dan mengakui adanya keberagaman agama dalam masyarakat ini.
28
Contoh lain dari toleransi Islam yang diajarkan oleh Nabi adalah pada waktu Fath Makkah yang dilakukan umat Islam di bulan Ramadhan.
Makkah perlu dibebaskan setelah sekitar 21 tahun dijadikan markas orang-orang musyrik. Saat umat Islam mengalami euforia atas keberhasilannya. Sekelompok
kecil sahabat Nabi yang berpawai dengan memekikkan slogan „al-yaum yaum al- malh}amah. Slogan ini dimaksudkan sebagai upaya balas dendam mereka atas
kekejaman orang musyrik Makkah kepada umat Islam sebelumnya. Gejala tidak sehat ini dengan cepat diantisipasi oleh Nabi Muhammad dengan melarang
26
Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, 2004, h. 66.
27
Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, 2004, h. 44-45
28
Adeng Muchtar Ghazali, Teologi kerukunan beragama dalam Islam Studi Kasus Kerukunan Beragama di Indonesia, Vol XIII, Nomor 2, Desember 2013, h. 285
beredarnya slogan tersebut dan menggantinya dengan slogan, al-yaum yaum al- marh}amah, sehingga pembebasan Makkah dapat terwujud tanpa harus terjadi
insiden berdarah.
29
Sejumlah ayat dalam Al- Qur‟an dapat dijadikan landasan dalam
bertoleransi tasâmuh, antara lain: Ali „Imrân 3: 19, Yȗnus 10: 99, QS. An-
Nahl 16: 125, Al-Kahfi 18: 29, dan Al-Mumtahanah 60: 8-9.
30
Setelah Nabi Muhammad hijrah ke kota Madinah dan menjadi penguasa politik, dia mendeklarasikan adanya jaminan keselamatan kepada orang-orang
yang berbeda agama. Kebijakan Nabi ini termuat dalam satu dokumen sejarah Islam yang disebut dengan Piagam Madinah
31
Sjadzali , 1993: 8-17. Jaminan keselamatan atas non-Muslim dalam Islam dikenal dengan
konsep ahl-dzimmah. Pemerintahan Islam memberikan perlindungan bagi penganut agama lain dengan cara menarik jizyah, sejenis pajak kepala Rahman
1984: 28. Tindakan ini menjadi standar perlakuan Islam terhadap kaum Yahudi dan Kristen, yang selanjutnya dikenakan juga kepada penganut agama-agama
lain.
32
Prestasi Rasulullah Saw., dalam membangun peradaban yang unggul di Madinah dalam soal membangun toleransi beragama kemudian diikuti oleh Umar
29
Lihat Said Aqiel Siradj, “Meneguhkan Islam Toleran”, dalam Republika, 14 April 2007.
30
Adeng Muchtar Ghazali, Teologi Kerukunan Beragama Dalam Islam Studi Kasus Kerukunan Beragama di Indonesia, Vol XIII, Nomor 2, Desember 2013 h. 284
31
Piagam Madinah adalah perjanjian yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad Saw., setelah hijrah ke Madinah antara kaum Muhajirin, Ansar dan kaum Yahudi Madinah. dalam bahasa Arab
adalah ةنيدملا ة يحص Sahîfatul al-madînah. As-Sahîfah
لا ة يحص adalah nama yang disebut di dalam
naskah. Kata ة يحص ditulis delapan kali dalam teks Piagam. Selain nama itu, di dalam naskah,
tertulis sebutan “kitab” dua kali. Kata treaty dan agreement menunjukan kepada isi naskah. Kata charter dan piagam lebih menunjukan pada surat resmi yang berisi pernyataan tentang sesuatu hal.
Dan kata As-Sahîfah semakna dengan charter atau Piagam. Zuraidah Hafni, Piagam Madinah dari perspektif kebudayaan, Skripsi s 1 Program studi sastra arab, Universitas Sumatra Utara 2009, h.
21
32
Ajat Sudrajat, Relasi umat islam dan kristen: beberapa faktor penggaggu,
bin Khattab yang pada tahun 636 M menandatangani Perjanjian Aelia
33
dengan kaum Kristen di Jerusalem. Sebagai pihak yang menang Perang, Umar bin
Khathab tidak menerapkan politik pembantaian terhadap pihak Kristen. Karen Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam
menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa mana pun sebelumnya.
34
Karen Armstrong mencatat: “Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari
penganut agama monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia
memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang
panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada
pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem
memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan
monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di
Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.” Dikutip dan diterjemahkan dari buku Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths,
London: Harper Collins Publishers, 1997, hal. 228.
Dan juga ada hadis Nabi yang menunjukan bahwa Beliau memulai mengucapkan salam kepada Negus Najasyi, Raja Etiopia, melalui suratnya.
Surat beliau itu berbunyi sebagai berikut: Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ini surat dari Muhammad, Rasul Allah, kepada Najasyi Raja Habasyah, Raja Etiopia. Salam bagi anda. Puji syukur kepada Allah yang tiada sekutu
bagi-Nya. Dialah Allah yang tiada pada-Nya kekurangan dan kesalahan;
33
Setelah melakukan pembebasan Aelia nama Aelia berganti menjadi Al-Quds pada masa kekuasaan Abbasiyah. dari tangan Romawi pada tahun 15H 636M, sayyidina Umar bin Al
Khattab RA kemudian menuliskan perjanjian yang menjamin keamanan dan keselamatan seluruh penduduk Aelia, baik jiwa, harta maupun kebebasan beragama mereka. Perjanjian tersebut
kemudian terkenal dengan nama Perjanjian Aelia ايليا اثيم atau Perjanjian Umar ةيرمعلا ةدهعلا
yang ditanda tangani pada tanggal 20 Rabiul Awal 15H 5-2-636 M. Pembebasan al-Quds dan perjanjian Aelia oleh Umar bin al-Khattab, Artikel diakses pada 9 September 2015 dari
http:www.kitabklasik.net200808pembebasan-al-quds-dan-perjanijian.html
34
Adian Husaini, Piagam Madinah dan Toleransi Beragama., h. 6
hamba-Nya yang taat akan selamat dari murka-Nya. Dia melihat dan menyaksikan amal perbuatan hamba-hamba-Nya.
Amma ba‟du: aku memuji Allah padamu yang tidak ada Tuhan selain Dia, yang Maha Menguasai, Maha Suci, Maha Penyelamat, Maha Pemberi
Aman, dan Maha Pembeda. Aku bersaksi bahawa Isa anakMaryam ruh Allah, dan firman-Nya yang diberikan kepada Maryam yang suci lagi
perawan, lalu ia hamil dari ruh dan tiupannya, sebagaiman Ia menciptakan Adam dengan tangan-Nya. Aku mengajakmu kepada Allah yang Esa, yang
tidak ada sekutu bagi-Nya, mematuhi dengan ketaatan kepada-Nya, dan untuk mengikutiku dan mempercayai apa yang aku bawa. Aku Rasulullah,
aku mengajakmu dan para pasukanmu kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Timggi. Aku telah menyampaikan pesan dan memberi nasihat,
maka terimalah nasihatku. keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk.
Salam pembukaan dalam surat ini berbeda dengan salam pembukaan dalam surat-surat yang dikirim kepada Khosru Iran, Kaisar Romawi, dan
Muqauqis. Dalam surat ini, salam pembukaan yang diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw., adalah “salam bagi anda” Salamun „alayk. Salam ini
ditujukan kepada negus, Raja Etiopia, yang beragama Kristen Nasrani.
35
Sampai dengan wafatnya, Nabi Muhammad Saw telah melakukan interaksi intensif dengan seluruh kelompok agama paganis, Yahudi, Nasrani,
budaya-budaya dominan, dan kekuatan-kekuatan politik terbesar ketika itu Persia dan Romawi. Ayat-ayat al-
Qur‟an yang berbicara tentang kaum Yahudi, Nasrani, Persia, Romawi, menggambarkan bagaimana kaum Muslim telah digembleng dan
diberi pedoman yang snagat gamblang dalam menyikapi budaya dan agama di luar Islam.
Bahkan, al- Qur‟an juga tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik
terhadap kaum agama lain. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk menerima kesadaran akan keberagaman dalam agama pluralitas. Misalnya,
35
Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama., h. 71-72