Metode Y suf al-Qardhâwî dalam Memahami Hadis

Menurutnya karena sunnah dianggap sumber independen yang tidak dapat dibatalkan oleh al- Qur‟an. 19 Dan juga menurut al-Qardhâwî perlunya penelitian seksama tentang keberlawanan suatu hadis dengan al- Qur‟an. Mengenai hal ini, perlu kiranya diingatkan agar kita jangan sembarangan melontarkan tuduhan adanya keberlawanan antara hadis-hadis dan al- Qur‟an, tanpa dasar yang shahih. 20 Dan adalah kewajiban setiap Muslim untuk tidak menerima begitu saja hadis yang dilihatnya bertentangan dengan ayat al- Qur‟an yang muhkam, selama tidak ada penafsirannya yang dapat diterima. Karena itu, al-Qardhâwî tidak dapat begitu saja menerima hadis yang dirawikan oleh Abȗ Dâwud dan selainnya: َم اََ ثَدَح :َلاَق ،َءاَرَ بْكُعِب ٍحيِرَذ ِنْب ِحِلاَص ُنْب ُدَمَُُ َََرَ بْخَأ ،َةَدِئاَز َِِأ ُنْبا اََ ثَدَح :َلاَق ،ِنَُِزْرَمْلا ُنْب ُقوُرْس :ص[ ، َِِأ اََ ثَدَح :َلاَق 255 :َمَلَسَو ِْيَلَع ََُا ىَلَص ََِا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق ،ٍرِماَع ْنَع ] « ُةَدوُءْوَمْلاَو ُةَدِئاَوْلا ِراَلا ِِ » َ ناّبح نبا حيحص ُ 21 “Perempuan yang mengubur hidup-hidup bayi perempuannya dan si bayi yang terkubur hidup-hidup, kedua- duanya di neraka” Dan hadis lain: ِراَلا ِِ ُةَدوُءْوَمْلاَو ُةَدِئاَوْلا ، ِإ َت نأَّ َرد َك َولا ِئا ِةد ِمَسإا َ ف ُت ِلس َم 19 Al-Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawiyah bayna ahl al-Fiqh wa ahl al-hadits kairo, 1989; buku ini edisi berbahasa indonesianya diterbitkan Mizan 1999 berjudul Studi kritis atas Hadis Nabi Saw, antara pemahaman tekstual dan kontekstual, h. 19 20 Y ȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw. Penerjemah Muhammad Al-Baqir, Bandung: Karisma, 1994, h. 101 21 Muhammad bin Hibban, Sahih ibn Hibban, Juz. 4, no hadis 4717, Bairut: T aba‟ah al- tsaniyah, 1414-1993 h. 230 “Perempuan yang mengubur hidup-hidup bayinya yang perempuan, kedua-duanya berada di neraka, kecuali jika si perempuan yang melakukan hal itu mendapati agama Islam lalu ia memeluknya.” Di hadis yang kedua ini masih ada peluang baginya untuk selamat dari azab neraka, sedangkan si anak perempuan yang menjadi korban tidak ada peluang baginya. Dalam hal ini, para sahabat dahulu bertanya-tanya ketika mendengar Nabi Saw bersabda: َذإ َ تلا ا َق ُما ى َملس ِنا ِب َس ِفي ِهي َم َف ،ا َقلا ِتا ُل َماو ُتق ُلو َلا َ ِرا َق ُلا َقلااَ :او ِتا ُل َف، َم َِ ا َل َما ُتق ُلو ِإ :لاق ؟ َن ُ َك َنا َح ِر ًصي َق ىلع ا ت ِل َص ِحا ِب ِ “Apabila dua orang Muslim saling berhadapan dengan kedua pedang mereka masing-masing, maka yang membunuh dan yang terbunuh, kedua- duanya di neraka.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, si pembunuh memang berhak memperoleh hukuman seperti it2wu; tetapi mengapa yang terbunuh dimasukan pula ke neraka?” maka beliau menjawab: “sebab ia si pembunuh juga bertekad untuk membunuh kawannya. Begitulah Nabi Saw., menjelaskan kepada mereka, mengapa si korban juga berhak atas hukuman neraka. Yaitu, karena niatnya untuk membunuh temannya itu. 22 Maka dengan keadaan hadis tadi “Jika si perempuan yang mengubur bayi perempuannya, memperoleh hukuman neraka; mengapa pula si anak yang menjadi korbannya? Bukankah hal itu berlawanan dengan firman Allah Swt 23 .,: 22 Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 97 23 Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 97 „dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya; karena dosa apakah ia dibunuh?‟ Al-Takwîr [81]: 8-9 Tidak hanya Al-Qardhâwî yang menyatakan bahwa sunnah harus dievaluasi kembali dengan bantuan al- Qur‟an, namun Al-Ghazâlî, Rasyîd Ridhâ, 24 Thâ â H usain dan Muhammad H usain Haikal juga pendapat mereka hampir sama. 2. عَ دحاولا عوضوما َ ةدراولا ثيداحأا Mengumpulkan Hadis-Hadis dalam Satu Objek Dalam memahami al-Sunnah dengan benar hadis-hadis shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu hendaknya di kumpulkan dalam satu objek. Dimana yang bersifat mutasyâbih dikembalikan kepada yang bersifat muhkam, yang mutlak dibawa kepada yang terikat, dan yang bersifat umum ditafsirkan oleh yang bersifat khusus. Dengan demikian pengertian hadis yang dimaksud akan jelas. 25 Sebagai misal, hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan “mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki”, yang mengandung ancaman cukup keras kepada pelakunya. Perhatikanlah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzar r.a., bahwa Nabi Saw pernah bersabda: َث ََ ُةث ََ ُي َك ِل ُم ُه ُم َي ه َمو ِقلا َماي ِة َما : ُنا َلا ، َِ ُيَ ى َطع َش ى ًئي ِإ ا ََ َم ًةّ ُقِّف ماو . َس َعل ُت ِِ ِِلل َكلا ََ ِبا ، ِماو َبس ُل ِإ َز َرا ُ “Tiga jenis manusia, yang kelak pada hari kiamat tidak akan diajak bicara oleh Allah: 1 seorang mannân pemberi yang tidak memberi sesuatu 24 Al-Manâr 12 1911 : 693-99; dikutip dalam Juynboll, Authenticity, 30. 25 Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 106 kecuali untuk diungkit-ungkit; 2 seorang pedagang yang berusaha melariskan barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah bohong; dan 3 seorang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai di bawah kedua mata kakinya.” Dalam riwayat lainnya, juga dari Abu Dzar: “Tiga jenis manusia yang kelak di hari kiamat tidak diajak bicara oleh Allah, tidak dipandang oleh-Nya, tidak ditazkiyah oleh-Nya, dan bagi mereka tersedia azab yang pedih.” Rasulullah Saw., mengulangi sabda beliau itu tiga kali, sehingga Abu Dzar berkata: „Sungguh ya Rasulullah?‟ Maka jawab beliau: “Orang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai ke bawah mata kaki; orang yang memberi sesuatu untuk kemudian diungkit-ungkit; dan pedagang yang melariskan barang dagangannya dengan bersumpah boho ng.” Kalau begitu apa sebenarnya yang dimaksud dengan ungkapan “orang yang menjulurkan sarung sampai ke bawah mata kaki”? Apakah mencakup siapa saja yang memanjangkan sarungnya, walaupun hal itu semata-mata karena kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat dan tanpa maksud menyombongkan diri? 26 Mungkin saja hal itu didukung oleh hadis yang diriwayatkan dalam Shahih al- Bukhari, dari Abu Hurairah: “Sarung yang dibawah mata kaki, akan berada di neraka.” Yang dimaksud dengan “sarung” dalam hadis itu, ialah “kaki” seseorang yang sarungnya terjulur sampai di bawah mata kakinya. Ia akan dimasukkan ke neraka, sebagai hukuman atas perbuatannya. Akan tetapi, bagi orang yang sempat membaca semua hadis yang berkenaan dengan masalah ini, akan mengetahui apa yang di-tarjih-kan oleh Al-Nawawi, Ibn Hajar dan lain-lainnya, bahwa yang dimaksud disini adalah sikap sombong yang 26 Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi., h. 107 menjadi motivasi orang yang menjulurkan sarungnya. Itulah yang diancam dengan hukuman yang keras. Dari beberapa hadis Nabi lainnya yang telah dipaparkan di dalam buku Al- Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw. Sebagai konklusinya bahwa, apa yang telah menjadi adat kebiasaan, harus pula diperhitungkan, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Hâfidz Al- „Irâqî. Sebab, adakalanya suatu perbuatan yang menyimpang dari kebiasaan umum, mungkin justru menjadikan pelakunya makin terkenal. Sedangkan cara berpakaian yang sengaja dimaksudkan untuk tujuan seperti itu, adalah tercela pula. Maka yang paling baik adalah sikap tengah-tengah. Walaupun demikian, sekiranya ada orang yang memendekkan tsaub-nya, demi mengikuti al-sunnah dan menjauhkan diri dari tuduhan hendak menyombong, atau ingin memilih jalan yang lebih “selamat” maka, insya Allah, ia akan beroleh pahala juga. Tetapi dengan syarat ia tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikutinya bahkan sampai berbuat radikalis. 27 3. ثيدلا ِلتخ نب حيجرلا وأ عمجا Memadukan Atau Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif Dalam pandangan Al-Qardhâwî, pada dasarnya nash- nash syari‟at tidak akan saling bertentangan. Maka bila tampaknya ada kontradiksi,maka hal itu hanya penglihatan sepintas yang pada hakekatnya tidak demikian dan merupakan kewajiban kita untuk menghilangkan kontradiksi semu tersebut. 28 27 Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h.109-112 28 Yusuf Qardhawi, Metode Memahami al-Sunnah Dengan Benar., h. 197 Tahap selanjutnya bila hadis-hadis yang memiliki tema yang sama nampak kontradiktif, maka langkah pertama adalah melakukan kompromi al- j m‟ w l- taufiq terhadap hadis-hadis tersebut. Dasar pemikiran Al-Qardhâwî adalah bahwa pada prinsipnya nash-nash tidak mungkin saling bertentangan secara substansi. Jika mungkin melakukan kompromi, maka hal tersebut harus terlebih dahulu dilakukan dibanding melakukan komparasi hadis al-tarjih. Namun perlu dicatat bahwa kompromi ini hanya dilakukan terhadap hadis-hadis yang sahih saja, tidak termasuk hadis da ‟if dan diragukan validitasnya. 29 Masih berkaitan dengan hadis-hadis yang paradoks, Al-Qardhâwî nampaknya kurang memilih alternatif selanjutnya yakni nasakh, karena menurutnya medan naskh dalam hadis lebih sempit dibanding pendekatan kompromi al- j m‟ w l-taufiq maupun komparasi tarjih. Menurut Qardhâwî hal ini disebabkan karena sebagian hadis hanya bersifat parsial dan temporal. 30 Sebagai contoh: hadis-hadis yang melarang kaum wanita menziarahi kuburan. Misalnya, hadis dari Ab ȗ Hurairah, bahwa Rasulullah Saw., “mel kn t k um w nit y ng se ing men i hi kubu n”. Dirawikan oleh Ahmad, Ibn Majah dan al- Tirmidzi yang berkata: “hadis ini hasan sahih”. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam sahih-nya. 31 Diriwayatkan pula dari Ibn Abbas dan Hassan bin Tsabit dengan lafal: “para wanita penziarah kuburan.” 29 Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 118 30 Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis Studi pendekatan Yusuf Qardhawi., h.140 31 Lihat juga al-Tirmidzi dalam bab Janâiz 1056, Ibn Mâjah 1576 dan Ahmad 2337. Juga dirawikan oleh Al-Baihaqi dalam al-Sunan 478. Hal itu dikuatkan pula oleh beberapa hadis yang mengandung larangan terhadap kaum wanita untuk mengikuti jenazah. Dari sana dapat disimpulkan pula larangan terhadap ziarah kubur bagi wanita. Namun ada hadis lain yang mengizinkan menziarahi kuburan, sama seperti kaum laki-laki. Diantaranya, sabda Nabi Saw.: ُك ُت َ ن م َه ُتي ُك ِز نع م ََ َر ِة ُقلا ُب رو َ ف ، ُز ُرو َو ا 32 “Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan; kini ziarahilah” ُز ُرو ُقلا او ُب َرو َف َنإ ُت ا ِكَ َر َتوما “Ziarahilah kuburan-kuburan, sebab hal itu akan mengingatkan kepada maut.” Dalam hadis-hadis di atas, izin umum tersebut tentunya mencakup kaum wanita juga. Juga hadis yang dirawikan oleh al-Bukhârî dan Muslim, dari Anas, bahwa Nabi Saw., menjumpai seorang wanita yang sedang menangis di sisi sebuah kubu ran, lalu beliau berkata: “bertakwalah kamu dan bersabarlah” wanita itu menjawab: “Menjauhlah kamu dariku. Engkau tidak mengalami musibah yang kualami.” Rupa-rupanya ia tidak mengenali Rasulullah Saw.... Dalam hadis itu, Nabi Saw., menyatakan ketidak sukaannya kepada sikap si wanita yang tampak kurang sabar dalam menerima musibah, namun beliau tidak melarangnya berziarah. Meskipun hadis-hadis ini, lebih sahih dan lebih banyak, dibandingkan hadis-hadis yang melarang, namun menggabungkan semuanya dan berupaya 32 Lihat juga Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel, hadis no. 1406 juz 2, h. 1025 menyesuaikan makna kandungannya, adalah masih mungkin. Yaitu dengan mengartikan kata “melaknat” yang tersebut dalam hadis sebagaimana dinyatakan oleh al-Qurthubi yang ditujukan kepada para wanita yang amat sering melakukan ziarah. Hal itu sesuai dengan bentuk kata zawwârât, yang berkonotasi “amat sering”. Menurut al-Qurthubi, mungkin sebabnya ialah hal itu dapat mengakibatkan berkurangnya perhatian mereka kepada para pemenuhan hak suami, disamping kemudian membawa mereka kepada tabarruj serta meratapi orang-orang yang mati dengan suara keras. Dan dapat dikatakan pula bahwa jika semua itu dapat dihindarkan, maka boleh menziarahi kuburan bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Berkata al- Syaukâni: “pendapat itulah yang sepatutnya dijadikan andalan dalam upaya menggabungkan antara hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan menurut zahirnya.” 33 4. ا دصاقم و اهاسبَمو اهابسأ ءوض َ ثيداحأا مهف Memahami Hadis dengan Memperhatikan Konteks Historis, Hubungan dan Tujuannya Untuk memahami hadis dengan benar dan mendalam, haruslah mengetahui hubungan-hubungan dalam konteks nashnya yang memberikan penjelasan dan mengatasi situasi dan kondisinya sehingga maksud dari hadis tersebut dapat ditentukan dengan pasti dan tidak memberikan peluang terhadap dugaan-dugaan sepintas atau pengertian eksplisit yang bukan maksud sebenarnya. 33 Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 121-122 Sehingga kita harus memahami suatu hadis dari kesimpulan dan realita konteks hadis tersebut. 34 Jadi terkadang sebuah kandungan hadis yang bersifat umum dan abadi, namun bila melihat illahnya, maka akan bersifat kontekstual. Bila illah tidak terdapat, maka hilang kontekstual ini, tentu diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang hakikat agama, maqâshid al-syâri ‟ah, keberanian moral, situasi dan kondisi historis hadis asbâb al- wu ȗd. Disisi lain Qardhâwî juga mengkritik pemahaman tekstual terhadap hadis karena pemahaman tekstual terkadang tidak sesuai dengan ruh dan tujuan hadis, bahkan bertentangan. 35 Disebutkan dalam Sahih al-Bukhâri dan Muslim, dari Abdullah bin Abbas, secara marfu‟: ََ ُت َس ِفا َرمإ ر َأ ٌة َم و َّإ َع َُ اه َر ٌم 36 “Tidak dibolehkan seorang perempuan bepergian jauh kecuali ada seorang mahram bersamanya” „Illah alasan di balik larangan ini ialah kekhawatiran akan keselamatan perempuan apabila ia bepergian jauh tanpa disertai seorang suami atau mahram. Ini mengingat bahwa dimasa itu, orang menggunakan kendaraan unta, baghal ataupun keledai dalam perjalanan mereka, seringkali mngarungi padang pasir yang luas atau daerah-daerah yang jauh dari hunian manusia. Dalam kondisi itu, 34 Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar., h. 223 35 Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis Studi pendekatan Yusuf Qardhawi., h. 141-142 36 Lihat al-Bukhari hadis no. 1863, juz 3, h. 19. dan Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel, hadis no. 418 juz 2, h. 976 seorang perempuan yang bepergian tanpa disertai suami ataupun mahramnya, tentunya dikhawatirkan keselamatan dirinya, atau – paling sedikit – nama baiknya dapat tercemar. Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah, seperti dimasa kita sekarang, maka tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan wanita yang bepergian sendiri. Dan ini tidak dapat dianggap sebagai tindakan pelanggaran terhadap hadis tersebut. Bahkan hal seperti itu, menguatkan kandungan hadis marfu‟ yang dirawikan oleh al-Bukhârî, dari „Adi bin Hâtim: اهعم جوزَ َةبعكلا ىأُ تيبلا مدقت ةْلا نم ة يعظلا جرخ نأ كشوي 37 “Akan datang masanya ketika seorang perempuan penunggang unta pergi dari kota hijrah menuju ka‟bah, tanpa seorang suami bersamanya” Hadis ini, pada hakikatnya, menubuatkan tentang datangnya masa kejayaan Islam sebagai mercusuar yang memancarkan sinarnya di seluruh alam. Dan sekaligus juga menunjukan dibolehkannya seorang perempuan bepergian tanpa suami atau mahram dalam keadaan seperti itu. Begitulah yang disimpulkan Ibn Hazam dari hadis tersebut. 38 5. ثيدحلل تباثلا فدها و ةْغتما ةليسولا نب زييمتلا Membedakan Antara Sarana yang Berubah-Ubah dan Tujuan Permanen Hadis Menurut Al-Qardhâwî, Di antara sebab terjadinya kesalahan pemahaman terhadap al-Sunnah adalah sebagian orang mencampur adukkan antara tujuan dan maksud yang permanen al-ahdaf al-tsabitah dimana al-Sunnah berusaha 37 Dirawikan oleh Bukhâri dalam Bab „Alâmât Al-Nubuwwah fi al-Islâm. 38 Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 136-137 merealisasikannya dan sarana yang bersifat temporal al-wasâil al- mutaghoyyirah dan lokal yang terkadang membantunya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. 39 6. ثيدلا مهف َ زاجا و ةقيقلا نب قيرفتلا Membedakan Antara Hakekat dan Majas dalam Memahami Hadis Makna metaforis majazi di sini adalah mencakup al-majaz al-lughawi metaforis menurut bahasa dan al-majaz al- „aqli metaforis menurut rasio, al- istiarah wa al-kinayah kiasan, dan setiap bentuk kata atau kalimat yang memiiki makna konotatif. Majaz dapat diketahui dengan memperhatikan indikator makna al-qarinah dari sebuah kata atau kalimat. 40 Al-Imam al-Rahib al-Ashfahani dalam bukunya yang bermutu Al- Dzarî‟ah Ilâ Makârimi-sy- Syarî‟ah mengatakan : “Ketahuilah bahwa pembicaraan, bila diucapkan dengan perumpamaan untuk diambil pelajaran bukannya untuk memberikan berita, maka sebetulnya tidak termasuk dusta. Oleh karena itu orang-orang yang sangat berhati-hati tidak merasa rikuh menggunakannya”. Hati- hati Untuk Tidak Mudah Menta‟wilkan Ungkapan Majazi Al- Qardhâwî berpendapat, bahwa penta‟wilan hadis-hadis dan teks-tekas dalil pada literal, adalah masalah yang cukup riskan yang tidak boleh mudah- mudah dilakukan kecuali bila ada petunjuk dari dalil aqli dan naqli. Seringkali 39 Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, h.248 40 Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis Studi pendekatan Yusuf Qardhawi., h. 143 hadis- hadis dita‟wilkan karena berdasarkan pandangan subjektif, temporal atau lokal. Penta‟wilan Yang Ditolak Di antara penta‟wilan yang tidak boleh diterima adalah penta‟wilan kaum kebatinan yang tidak berdasarkan dalil, baik dari ungkapan maupun dari konteks perkataan. Ibnu Taimiyyah dan Penolakan Majaz Menurut Al-Qardhâwî, bahwa Syaikhu-I-Islam menolak adanya majaz dalam al- Qur‟an, hadis dan dalam bahasa secara umum dan pendapatnya ini diperkuat dengan sejumlah dalil dan ungkapan. Ibnu Taimiyyah ingin menutup pintu bagi mereka yang berlebih- lebihan dalam menta‟wilkan hal-hal yang berhubungan dengan sifat- sifat Allah „Azza wa Jalla yaitu mereka yang dinamakan kaum al- Mu‟athilah. Sifat-sifat Allah ta‟ala menurut pandangan mereka hampir menjadi sekedar negatif bukan positif dan nafyun yang tidak disertai itsbat. Ia ingin menghidupkan apa yang ada pada umat terdahulu yang mengitsbatkan bagi Allah ta‟ala apa-apa yang telah diitsbatkan-Nya dalam kitab- Nya al- Qur‟an dan dalam sunnah Rasul-Nya dan menafikan apa-apa yang telah dinafikan al- Qur‟an dan as-Sunnah. 41 7. ةداهشلا و بيغلا نب قيرفتلا Membedakan Antara yang Gaib dengan yang Nyata 41 Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, h.312-317 Kesalahan pokok dalam memahami hadis yang terkait dengan hal-hal gaib adalah menganalogikannya dengan hal-hal nyata. Sebuah analogi yang keliru al- qiyas mâ al-fariq bathil karena hal-hal nyata memiliki perbedaan dengan hal-hal gaib. Oleh karena itu, seharusnya hal-hal bersifat gaib tidak perlu diperdebatkan. Hadis-hadis tentang keadaan syurga, neraka, sirath, mizan, siksa kubur, dan sebagainya tidak perlu dianalogikan dengan kondisi alam nyata. Pendekatan Al- Qardhâwî nampak cenderung kepada Ahlu Sunnah yang menolak takwil terhadap eksistensi hal-hal gaib. 42 Oleh karena itu, para ulama kita menetapkan bahwa agama datang membawa ajaran yang mengajak akal untuk berdialog tetapi ia tidak mungkin membawa ajaran yang dapat dirubah oleh akal. Maka bagaimanapun juga, dalil naqli yang shahih tidak bakal bertentangan dengan akal murni. 43 8. ثيدلا ظافلأ تَولدم نم دكأتلا Mengkonfirmasi Pengertian Kata-Kata Hadis Hal yang sangat penting, menurut Al-Qardhâwî, untuk memahami hadis dengan benar adalah memahami makna kata perkata dari teks hadis, karena seringkali kata-kata tersebut berubah makna sesuai dengan konteks kalimat dan zaman. Hal ini suatu hal yang telah maklum dalam sejarah bahasa. Al-Qardhâwî mengutip perkataan al-Ghazali tentang perbedaan kalangan salaf dan khlaf tentang pergeseran penggunaan kata dalam ilmu agama yang menyebabkan pencapur adukan istilah. 42 Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis Studi pendekatan Yusuf Qardhawi., h.144 43 Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar., h. 3221 Sebagai contoh adalah pendapat sebagian ulama yang mengharamkan lukisan dalam bentuk apapun termasuk photografi. Padahal orang arab tentu tidak akan berpikir ketika menggunakan kata al-tashwir termasuk photografi. Oleh karena itu kesimpulannya bahwa kata al-tashwir bukanlah sebutan kebahasaan, tapi sebuah bahasa hukum, sehingga photografi tidak terwakili dalam kata al- tashwir. Jadi photografi adalah suatu yang mubah. 44 44 Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis Studi pendekatan Yusuf Qardhawi., h. 144 47

BAB III HADIS-HADIS TENTANG MENGUCAPKAN DAN MENJAWAB SALAM

TERHADAP NON-MUSLIM A. Teks Hadis Tentang Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap non-Muslim ْنَع ،ِيِبَأ ْنَع ،ٍلْيَهُس ْنَع ،يِدْرَواَردلا ِِْعَ ي ِزيِزَعْلا ُدْبَع اََ ثدَح ،ٍديِعَس ُنْب ُةَبْ يَ تُ ق اََ ثدَح َلوُسَر نَأ ،َةَرْ يَرُ َِِأ ىلَص ِه :َلاَق َملَسَو ِْيَلَع ُه « َلسلِِ ىَراَص لا َََو َدوُهَ يْلا اوُءَدْبَ ت ََ ،ٍٍيِرََ ِِ ْمُ َدَحَأ ْمُتيَِِل اَذََِِ ،ِِ َِِِيْضَأ ََِإ ُورَطْضاََ » 1 “Dari Ali Radliyallaahu anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian awali megucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” HR. Muslim َح ،ٍسَنَأ ِنْب ِرْكَب َِِأ ُنْب َِا ُدْيَ بُع َََرَ بْخَأ ،ٌمْيَشُ اََ ثدَح ،َةَبْ يَش َِِأ ُنْب ُناَمْثُع اََ ثدَح َيِضَر ٍكِلاَم ُنْب ُسَنَأ اََ ثد َُا َملَسَو ِْيَلَع ُه ىلَص ِِلا َلاَق :َلاَق ،َُْع ْمُكْيَلَعَو :اوُلوَُِ َ ِباَتِكلا ُلَْأ ْمُكْيَلَع َملَس اَذِإ : 2 “Menceritakan Yahya bin Yahya, mengkhabarkan kepada kami Husyaim dari Ubaidillah bin Abu Bakar ia berkata aku mendengar Anas berkata, bersabda Rasulullah saw, Haun tahwilu sanadain, mentahditskan Ismail bin Salim kepada ku, Mentahditskan Husyaim kepada kami, mengkhabarkan kepada kami Ubaidillah bin Abu Bakar dari kakeknya Anas bin Malik bahwasanya Rasulallah saw bersabda “Jika seorang ahli kitab Yahudi dan Nashrani memberi salam pada kalian, maka balaslah dengan ucapan wa‟alaikum.” HR. Al-Bukhârî 1 Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga Imam Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 2167, juz 8. kairo: Daar ibn Jauzi. 2010, h. 1707 2 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga, Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz Indonesia: Maktabah, Dahlan, t.th, h. 9; 1. Takhrij Hadis Upaya penulis menguraikan mengenai hadis-hadis larangan mengucapkan salam dengan Ahl al-Kitâb Untuk ditakhrij 3 hanya sebatas sebagai bahan pendukung agar mengetahui asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya-dari berbagai kitab koleksi hadis yang disusun oleh para kolektor mutakharrij-nya, secara langsung. Dan untuk hadis larangan mengucapkan dan menjawab salam terhadap non-Muslim penulis menemukan dalam kitab takhrij al- Mu‟j m l-Mufahras li l- i l- dîts, Mausȗ‟ h A râf l- dîts, dan Miftâ u Kun ȗz al-Sunah. Penjabarannya sebagai berikut: Langkah pertama, setelah ditelusuri dalam kitab al- Mu‟j m l-Mufahras li l- i l- dîts al-Nabawî dari semua lafaz yang ada dalam matan hadis, Data yang disajikan dari penelusuran kata adalah sebagai berikut: ّلساذإ َمكيلعوُ اولوَِ باتكلا ل أ مكيلع م 4 : ملس Kitab al- Mu‟j m l-Mufahras li l- i l- dîts al-Nabawî ملس Shahih al- Bukhari, kitab Isti‟dzhan no. 22, kitab murtadain no.4 خ : ناذئتسا ٢٢ نيدترم ، ٤ ِ : ماس ٩ , ۷ ٨ 3 Takhrîj جيرخ dalam bahasa memiliki beberapa arti, yaitu al-istinbath طابنتسإا, artinya “mengeluarkan”, at-tadrîb بيردّتلا, artinya “melatih” atau “pembiasaan” dan at-tarjih حيجّّلا artinya “menghadap. Sedangkan menurut istilah, menyampaikan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan semua perawi dalam mata rantai sanad hadis itu beserta metode periwayatan masing-masingnya. Lihat, M. Ma‟shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013, h. 222 4 A.J. wensinck, l-Mu‟j m l-Muf h s li l- i l- d ts l-Nabawî, Jilid 5. Leiden: E.J. Bill 1936 Shahih Muslim, kitab salam no.9 dan 87. Muwatta Malik, kitab Salam no.3. Sunan al- Darimi, kitab Isti‟dhan no.7. Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 2 halaman 900 dan jilid 3 halaman 99. ط : ماس ٣ يد : نادئتسا ۷ مح : ٩ ، ٢ .. ، ٩٩ ، ٣ Adapun keterangan tabel di atas dan hadis-hadisnya terdapat dalam lampiran 1. Kedua, penulis menelusuri hadis melalui metode awal matan dengan menggunakan kitab Mausuah al-Atraf, dan data yang disajikan oleh kitab ini adalah sebagai berikut: Kit b M usȗ‟ h A f l- d ts باتكلا لهأ نم دحأ مكيلع ملساذإ 5 Sunan at-Tirmidly, nomor hadis 3301 Sunan Ibn Majah, nomor hadis 3697 Al-Suyuti, bab 67 nomor hadis 188 Ibn Abi Shaibah, bab 8 nomor hadis 442 ت : ٣٣۱۰ ه : ٣٦٩۷ روشنم : ٦۷ : ۰۷۷ ش : ٨ : ٤٤٢ زنك : ٢٥٢٩۷ 5 Abu Hajar Muhammad al- Sa‟id bin Buyuni Zaghlȗl, M usȗ‟ h A f l- d ts,Jilid 1, Beirut: Dâr Kutub al- „Ilmiyyah,t.t., h. 332 Adapun keterangan tabel di atas dan hadis-hadisnya terdapat dalam lampiran 2. Dalam kitab ini juga diinformasikan bahwa hadis ini juga dapat dilacak dalam kitab Kanz al-Umal nomor 25297. Ketiga, penulis juga menelusuri hadis melalui metode tematik dengan menggunakan kitab Kanz al- „Umal. Dan data yang terdapat dalam kitab ini adalah sebagai berikut: ُ ق محُ مكيلعو : اولوَِ باتكلا ل أ نم دحأ مكيلع ملساذإ 1 َسنأ نع ه ت َ 6 Dari penelusuran dengan metode ini, didapatkan informasi bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad Ibn Hanbal, muttafaq „alaih bukhari dan Muslim, al-Tirmidzi, dan Ibn Majah. Selain dari metode –metode di atas, penulis juga menelusuri hadis melalui metode tematik dengan menggunakan kitab Miftâ u Kunȗz al-Sunah, dan data yang didapat dari kitab ini adalah sebagai berikut : 6 Al-Muttaqi al-Syadzaily al-Madiny, Kanz al- „Um l fi Sun n l-Aqwal wa al-Af‟ l, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1409 H, h. 123