Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan Antarkota Di Sumatera Utara

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTARKOTA

DI SUMATERA UTARA

Skripsi

Disusun Oleh :

Nama

: Larisma S. Sihotang

NIM

:

060523017

Departemen

: Ekonomi Pembangunan

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Medan 2009


(2)

ABSTRACT

Economic growth is one of main factors of economic development. It is true that development process affected not only by economic factor such as natural resources, capital accumulation, organization, technological progress, labour specialization, and production scale but also by non economic factor such as social factor, human factor, politic factor, and administrative factor.

The research is aimed at analyzing the effect factors of government expenditures, total industry and total high school students in term of income disparity in North Sumatera, with periods of 2003-2007 using Fixed Effect Model (FEM).

Estimation result with pooled data using Fixed Effect Model (FEM) show that government expenditures, industry and total high school students are positively and significantly, except total high school students not significantly affecting income disparity in North Sumatera.

Keywords: government expenditures, total industry, total high school students and income disparity


(3)

ABSTRAK

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu unsur utama dalam pembangunan ekonomi, walaupun disadari bahwa proses pembangunan bukan hanya ditentukan oleh faktor ekonomi seperti: sumberdaya alam, akumulasi modal, organisasi, kemajuan teknologi, pembagian kerja dan skala produksi tetapi juga faktor nonekonomi seperti: faktor sosial, faktor manusia, faktor politik dan administratif.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah, pesebaran industri dan jumlah siswa tamat SMA/Sederajat terhadap ketimpangan pendapatan di tiap kota Sumatera Utara dengan kurun waktu 2003-2007 dengan menggunakan Fixed Effect Model (FEM).

Hasil estimasi data panel dengan Fixed Effect Model (FEM) menunjukkan bahwa nilai tambah industri daerah dan pengeluaran pemerintah daerah mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional Sumatera Utara. Kepadatan penduduk daerah mempunyai pengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional Sumatera Utara

Kata kunci: pengeluaran pemerintah daerah, jumlah industri, jumlah siswa tamat SMA/Sederajat, dan ketimpangan pendapatan.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Yesus Kristus atas kasih karuniaNya yang tak pernah berhenti mengalir sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTARKOTA DI SUMATERA UTARA).

Banyak pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Tanpa jasa-jasa mereka, sulit rasanya skripsi ini bisa diselesaikan. Sehingga dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang mendalam kepada:

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, MEc, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, MEc, selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Penasehat Akademik

3. Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, selaku Sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara 4. Bapak Paidi Hidayat, SE, MSi selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan waktu, pemikiran, saran dan dengan penuh kesabaran membimbing penulis sehingga skripsi ini bisa diselesaikan.

5. Bapak Syahrir Hakim Nasution, SE selaku dosen penguji I dan Bapak Syarief Fauzie, SE, Ak, MAk selaku dosen penguji II. Saran dan


(5)

kritikannya sangat berarti sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan lebih baik.

6. Seluruh dosen pengajar di Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada penulis.

7. Seluruh staf administrasi di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan

8. Ayahanda tercinta: P. Sihotang (alm.) dan Ibunda S. Silaban, dan kakanda Ruslina yang senantiasa mendorong penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih untuk doa, kasih sayang, kesabaran, teguran dan motivasi yang telah memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi ini.

9. Teman-teman seperjuangan di fakultas Ekonomi (Kak Ganda, Junawi, Nimrot, Christa, Asima, Dony, Julessio, Reza, Indra, Sannur, Rahmat). Terima kasih buat kebersamaan yang pernah ada selama perkuliahan. 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah

berkontribusi baik secara langsung ataupun tidak langsung sehingga penulisan skripsi ini bisa diselesaikan.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan yang ada dalam skripsi ini. Oleh karena itu saran dan kritikan yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan.

Medan, Juni 2009


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 7

1.3. Hipotesis ... 7

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 9

2.2. Ketimpangan Pembangunan Antarwilayah ... 14

2.2.1. Hipotesa Neo Klasik... 15

2.3. Pengeluaran Pemerintah Daerah... 16

2.3.1. Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah Daerah ... 15

2.3.2. Teori Pengeluaran Pemerintah... 19

2.4. Pendidikan ... 21

2.5. Industri... 23

2.5.1. Pengertian Industri... 23

2.5.2. Klasifikasi Industri ... 24

2.5.3.Teori Pertumbuhan Industri... 26

2.5.4. Peranan Sektor Industri Terhadap Pembangunan Daerah ... 27

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 29


(7)

3.3. Pengolahan Data ... 30

3.4. Model Analisis... 30

3.5. Defenisi Operasional ... 32

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Sumatera Utara ... 33

4.1.1. Lokasi dan Keadaan Geografis... 33

4.1.2. Iklim ... 33

4.1.3. Kondisi Geografis Kota Tanjung Balai ... 34

4.1.4. Kondisi Geografis Kota Tebing Tinggi ... 34

4.1.5. Kondisi Geografis Kota Medan... 35

4.1.6. Kondisi Geografis Kota Binjai ... 36

4.1.7. Kondisi Geografis Kota Sibolga ... 36

4.1.8. Kondisi Geografis Kota Pematang Siantar... 37

4.2. Gambaran Perekonomian Sumatera Utara ... 37

4.2.1. Ketimpangan Antarkota... 40

4.2.2. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ... 43

4.2.3. Perkembangan Pendidikan ... 44

4.2.4. Perkembangan Industri ... 46

4.3. Analisis Hasil Penelitian... 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan... 55

5.5. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

2.1 Jenis Industri Berdasarkan KLUI 25

4.1 Perkembangan PDRB Atas Dasar Harga Konstan,

Tiap Kota di Sumatera Utara Tahun 2003 – 2007 40 4.2 Perkembangan Jumlah Penduduk Tiap Kota

di Sumatera Utara Tahun 2003 – 2007 41 4.3 Perhitungan Indeks Williamson Tiap Kota

di Sumatera Utara Tahun 2003 – 2007 42 4.4 Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Tiap Kota di

Sumatera Utara Tahun 2003 – 2007 44 4.5 Perkembangan Jumlah Siswa Tamat SMA/Sederajat

Tiap Kota di Sumatera Utara Tahun 2003 – 2007 46 4.6 Perkembangan Jumlah Industri Besar/Sedang Tiap Kota

di Sumatera Utara Tahun 2003 – 2007 47 4.7 Hasil Analisis dengan Metode FEM dan REM 48


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1 Hipotesa Neo Klasik 13

2.2 Teori Human Capital


(10)

ABSTRACT

Economic growth is one of main factors of economic development. It is true that development process affected not only by economic factor such as natural resources, capital accumulation, organization, technological progress, labour specialization, and production scale but also by non economic factor such as social factor, human factor, politic factor, and administrative factor.

The research is aimed at analyzing the effect factors of government expenditures, total industry and total high school students in term of income disparity in North Sumatera, with periods of 2003-2007 using Fixed Effect Model (FEM).

Estimation result with pooled data using Fixed Effect Model (FEM) show that government expenditures, industry and total high school students are positively and significantly, except total high school students not significantly affecting income disparity in North Sumatera.

Keywords: government expenditures, total industry, total high school students and income disparity


(11)

ABSTRAK

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu unsur utama dalam pembangunan ekonomi, walaupun disadari bahwa proses pembangunan bukan hanya ditentukan oleh faktor ekonomi seperti: sumberdaya alam, akumulasi modal, organisasi, kemajuan teknologi, pembagian kerja dan skala produksi tetapi juga faktor nonekonomi seperti: faktor sosial, faktor manusia, faktor politik dan administratif.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah, pesebaran industri dan jumlah siswa tamat SMA/Sederajat terhadap ketimpangan pendapatan di tiap kota Sumatera Utara dengan kurun waktu 2003-2007 dengan menggunakan Fixed Effect Model (FEM).

Hasil estimasi data panel dengan Fixed Effect Model (FEM) menunjukkan bahwa nilai tambah industri daerah dan pengeluaran pemerintah daerah mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional Sumatera Utara. Kepadatan penduduk daerah mempunyai pengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional Sumatera Utara

Kata kunci: pengeluaran pemerintah daerah, jumlah industri, jumlah siswa tamat SMA/Sederajat, dan ketimpangan pendapatan.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Perencanaan pembangunan diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Kebijaksanaan pembangunan dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan cara memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada. Namun hasil pembangunan kadang belum dirasakan merata dan masih terdapat kesenjangan antar daerah.

Pendapatan penduduk tidak selalu merata, bahkan yang sering terjadi justru sebaliknya. Manakala pendapatan terbagikan secara merata kepada seluruh penduduk di wilayah tersebut, maka dikatakan distribusi pendapatannya merata, sebaliknya apabila pendapatan tersebut terbagi secara tidak merata (ada yang kecil, sedang dan besar) dikatakan ada ketimpangan dalam distribusi pendapatannya. Semakin besar perbedaan pembagian pendapatan regional tersebut berarti semakin besar pula kesenjangan/ketimpangan distribusi pendapatan.

Pada tahap awal pembangunan, perbedaan laju pertumbuhan ekonomi regional yang cukup besar antar daerah telah mengakibatkan perbedaan dalam distribusi pendapatan antar daerah. Namun dalam jangka panjang, ketika faktor-faktor produksi di daerah semakin dioptimalkan dalam pembangunan maka perbedaan laju pertumbuhan output antar daerah akan cenderung menurun. Hal itu


(13)

dapat dilihat dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita rata-rata di setiap daerah seiring dengan waktu yang berjalan.

Pelaksanaan pembangunan daerah yang baik hanya dapat dilakukan apabila terjadi keseimbangan peran dari tiga pilar, yaitu: pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat. Ketiganya mempunyai fungsi dan peran masing-masing dalam mengisi pembangunan.

Pemerintahan (eksekutif dan legislatif) memainkan peran untuk menjalankan dan menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain. Adapun peran sektor swasta adalah mewujudkan penciptaan lapangan kerja dan pendapatan. Masyarakat berperan dalam penciptaan interaksi sosial, ekonomi dan politik.

Ketiga pilar tersebut memainkan perannya sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam tata kelola kepemerintahan yang baik. Tetapi untuk melaksanakan dan mencapai tujuan tersebut haruslah dipertimbangkan banyak faktor lain, seperti tersedianya tenaga ahli, para pengusaha untuk melaksanakan proyek-proyek industri, keadaan prasarana yang ada, tersedianya pasar, dan sebagainya.

Untuk menilai keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi regional terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan. Salah satu indikator pembangunan ekonomi regional adalah pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan oleh pertumbuhan Product Domestic Regional Bruto (PDRB). Dengan melihat angka PDRB suatu daerah, maka dapat memberikan gambaran pembangunan yang telah dicapai.


(14)

Nilai tersebut dapat dihitung menurut harga yang berlaku (yaitu harga-harga yang berlaku pada tahun dimana PDRB dihitung) dan menurut harga-harga tetap (harga-harga yang berlaku pada tahun dasar perbandingan, misalnya tahun 1983, 1993, 1997). Pengukuran PDRB adalah lebih baik menggunakan harga tetap (konstan), karena pengaruh naiknya tingkat harga setiap tahun atau tingkat inflasi dapat dihilangkan sehingga pertumbuhannya menjadi lebih rill.

Secara umun dalam suatu wilayah ada tempat-tempat dimana penduduk/kegiatan kurang terkonsentrasi. Tempat konsentrasi penduduk dan kegiatannya dinamakan dengan istilah kota, yaitu sebagai pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, pusat pemukiman, dan sebagainya. Daerah di luar pusat konsentrasi dinamakan dengan istilah seperti daerah pedesaan, wilayah belakang (hinterland), dan daerah pertanian atau daerah pedesaan.

Kota merupakan konsentrasi kegiatan tidak saja ekonomis, melainkan juga politik, sosial, hukum, budaya, dan lain-lain. Daerah perkotaan tumbuh disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain skala ekonomi dalam memproduksikan barang-barang dan jasa-jasa kebutuhan sehari-hari dan faktor pendekatan atau kedekatan lokasi dari berbagai kegiatan ekonomi.

Semakin besarnya kontribusi pembangunan kawasan perkotaan terhadap pembangunan mengakibatkan semakin berkembangnya kawasan perkotaan yang ditandai dengan semakin meningkatnya kegiatan ekonomi di kawasan tersebut, bahkan dapat memberikan dampak pada daerah sekitarnya.

Berkembangnya suatu kota tidak saja disebabkan oleh semakin meningkatnya kegiatan ekonomi, tetapi juga disebabkan bertambahnya jumlah penduduk yang berdiam dikawasan perkotaan. Semakin meningkat kegiatan


(15)

ekonomi di daerah perkotaan, akan menarik penduduk untuk bertempat tinggal di kota. Semakin banyak penduduk maka akan semakin banyak pula kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh penduduk yang pada akhirnya akan meningkatkan kegiatan perekonomian kota.

Dalam perencanaan wilayah sangat perlu untuk menetapkan suatu tempat pemukiman atau tempat berbagai kegiatan itu sebagai kota atau bukan. Hal ini karena kota memiliki fungsi yang berbeda sehingga kebutuhan fasilitasnya pun berbeda dibandingkan dengan daerah pedesaan atau pedalaman. Karena fungsinya yang berbeda, kebijakan pembangunan pun bisa berbeda antar wilayah perkotaan dengan wilayah pedesaan, sehingga dalam kenyataannya dapat disaksikan bahwa kegiatan produksi terutama industri dan jasa seringkali bertumpuk pada suatu tempat, yaitu di perkotaan. Hal ini menyebabkan kesenjangan perekonomian dan ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah.

Secara umum diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat, semakin baik tingkat kesejahteraannya. Namun disisi lain jika tingginya pendapatan masyarakat tidak disertai dengan pemerataan distribusi pendapatan maka hal tersebut belum mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya secara keseluruhan.

Apabila mempercayai kenaikan angka pendapatan perkapita tanpa menghiraukan distribusi pendapatan maka melalaikan masyarakat termiskin. Jika golongan masyarakat termiskin ini jumlahnya semakin banyak maka penderitaan mereka akan dapat menimbulkan kerawanan sosial. Oleh karena itu penanggulangan ketimpangan distribusi pendapatan tidak saja penting dan perlu


(16)

ditinjau dari sudut pertimbangan moral tetapi juga ditinjau dari segi ancaman ketegangan sosial yang terselubung di dalamnya.

Pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara relatif tinggi, tetapi pertumbuhan tersebut diiringi dengan ketimpangan antar wilayah yang semakin besar. Model pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara mengacu pada pertumbuhan ekonomi, bukan mengacu pada pemerataan pembangunan yang semakin baik (Sirojuzilam, 2008).

Ketimpangan disebabkan secara alami karena proses pembangunan, dan ketidakseimbangan kebijakan, seperti investasi pemerintah yakni dalam bentuk pengeluaran pemerintah daerah. Anaman (kutipan dalam Noegroho. Y.S dan Soelistianingsih. 2007) menyatakan bahwa semakin besar pengeluaran pemerintah daerah yang tidak produktif, semakin kecil tingkat pertumbuhan perekonomian daerah, tetapi pada umumnya pengeluaran pemerintah membawa dampak positip bagi pertumbuhan ekonomi.

Strategi industrialisasi juga dipercaya sebagai jalan pintas untuk menyulap kinerja ekonomi perekonomian suatu negara. Negara-negara berkembang, baik di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menyelenggarakan strategi tersebut secara serentak dengan harapan bisa segera mengangkat kemakmuran negara dan rakyatnya. Dipercaya pula, ketertinggalan yang cukup jauh negara berkembang terhadap negara maju bisa diperpendek dengan mendorong sektor industri ini secara lebih cepat lagi.

Persoalan ketimpangan sesungguhnya justru muncul pada titik ini, yakni kesepakatan bahwa sektor industri merupakan basis pertumbuhan ekonomi dan dengan begitu harus didukung sepenuhnya dengan mengabaikan sektor lainnya.


(17)

Keyakinan bahwa sektor industri merupakan mesin yang bisa memacu pertumbuhan ekonomi dalam banyak hal dapat dipahami, tetapi dalam dosis tertentu bisa pula dianggap berlebihan. Dipahami dalam pengertian bahwa sektor industri selalu memproduksi barang dan jasa setelah melalui proses pengolahan (manufacturing) sehingga dapat meningkatkan nilai produk dan menjadi sumber pendapatan nasional. Tetapi bisa dianggap berlebihan apabila timbul keyakinan sektor industri tersebut dapat tumbuh tanpa dukungan sektor lainnya, khususnya bagi sebuah daerah/wilayah yang memiliki potensi di sektor pertanian.

Dalam penelitian ini, perbedaan jumlah perusahaan industri besar/sedang di wilayah perkotaan juga akan mempengaruhi ketimpangan pendapatan antar wilayah. Dengan adanya proses industrialisasi mendorong meningkatnya modal, tenaga kerja dan nilai tambah industri yang dimiliki suatu daerah/wilayah. Daerah perkotaan lebih berkembang dari segi ekonomi, karena terdapat investasi negara dan swasta, dan fasilitas infrastruktur yang terkonsentrasi tinggi.

Ketimpangan yang terjadi juga dipicu oleh masalah pendidikan. Manusia yang berkualitas kinerja ekonomi, merupakan salah satu faktor penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Tingkat pembangunan manusia yang tinggi akan mempengaruhi perekonomian melalui peningkatan produktifitas dan kreatifitas. Oleh sebab itu, pembangunan manusia perlu dilakukan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah/ kota.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin mengetahui lebih lanjut tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan khususnya antar kota di Sumatera Utara, sehingga penelitian ini diberi judul :


(18)

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan Antar Kota Di Sumatera Utara”.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka perumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Apakah Pengeluaran Pemerintah Daerah mempengaruhi ketimpangan pendapatan antar kota di Sumatera Utara.

2. Apakah jumlah siswa tamat SMA/sederajat berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan antar kota di Sumatera Utara.

3. Apakah persebaran jumlah industri (besar/sedang) mempengaruhi ketimpangan pendapatan antar kota di Sumatera Utara.

1.3Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari permasalahan yang menjadi objek penelitian, dimana tingkat kebenarannya masih perlu dibuktikan atau diuji.

Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah :

1. Pengeluaran Pemerintah Daerah berpengaruh positif terhadap ketimpangan pendapatan antar kota di Sumatera Utara, ceteris paribus.

2. Jumlah siswa tamat SMA/Sederajat per penduduk berpengaruh positif terhadap ketimpangan pendapatan antar kota di Sumatera Utara, ceteris paribus.


(19)

3. Persebaran jumlah industri (besar/sedang) berpengaruh positif terhadap ketimpangan pendapatan antar kota di Sumatera Utara, ceteris paribus.

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui besarnya pengaruh tingkat pengeluaran pemerintah daerah terhadap ketimpangan pendapatan antar kota di Sumatera Utara. 2. Untuk mengetahui besarnya pengaruh jumlah siswa tamat SMA/Sederajat

terhadap ketimpangan pendapatan antar kota di Sumatera Utara.

3. Untuk mengetahui besarnya pengaruh jumlah industri (besar/sedang) terhadap ketimpangan pendapatan antar kota di Sumatera Utara.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian ini adalah :

1. Menambah wawasan ilmu pegetahuan penulis, khususnya dalam bidang ilmu ekonomi tentang ketimpangan pendapatan antar kota di Sumatera Utara.

2. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pihak yang berkepentingan seperti kepada pengambil keputusan khususnya mengenai ketimpangan pendapatan di Sumatera Utara.

3. Sebagai bahan untuk para peneliti lain terutama yang tertarik dalam bidang ekonomi regional dengan ruang lingkup dan kajian yang berbeda.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat menjadi meningkat. Jadi pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian.

Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan oleh faktor-faktor produksi akan selalu mengalami pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya. Investasi akan menambah barang modal dan teknologi yang digunakan juga berkembang. Di samping itu tenaga kerja bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk seiring pengalaman kerja dan pendidikan menambah ketrampilan mereka.

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu unsur utama dalam pembangunan ekonomi regional. Sasaran analisis pertumbuhan ekonomi regional ini adalah untuk menjelaskan mengapa suatu daerah dapat tumbuh cepat dan ada ada pula yang tumbuh lambat. Disamping itu, analisis pertumbuhan ekonomi regional ini juga dapat menjelaskan mengapa terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah/daerah.


(21)

Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sampai saat ini masih merupakan target utama pembangunan suatu wilayah, walaupun pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata sangat bervariasi sesuai dengan potensi ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Melalui pertumbuhan ekonomi daerah yang cukup tinggi tersebut diharapkan kesejahteraan masyarakat akan dapat ditingkatkan.

Untuk mengatakan tingkat pertumbuhan ekonomi regional harus dibandingkan dengan tingkat pendapatan regional dari tahun ke tahun atau dapat diformulasikan sebagai berikut:

1 1 t t t t PDRB PDRB PDRB g PDRB PDRB      

Dimana: gt = Pertumbuhan Ekonomi

PDRB = Produk Domestik Regional Bruto

 = Perubahan

Laju pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat perkembangan pembangunan suatu daerah. Tetapi pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan berarti telah terjadi pembangunan. Dalam keadaan ini terdepat perbedaan pengertian antara pertumbuhan ekonomi (growth) dengan pembangunan.

Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan peningkatan produksi barang-barang dan jasa-jasa dalam masyarakat (output), sebaliknya pembangunan bukan saja memerlukan peningkatan produksi barang-barang dan jasa-jasa tetapi juga harus terjadi perubahan dan menjamin pembagiannya (distribusi) secara lebih merata kepada segenap lapisan masyarakat.


(22)

Strategi pertumbuhan ekonomi mengabaikan masalah pemerataan ini. Dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan secara otomatis akan terjadi perembesan ke bawah (trickle-down effect) sehingga menguntungkan juga kelompok masyarakat miskin. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan, dan hasil pertumbuhan ekonomi akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai lapisan paling bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah.

Ada beberapa teori pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal, yaitu :

1. Export Base Models, yang dipelopori oleh North (1955) dan kemudian dikembangkan oleh Tiebout (1956).

Kelompok ini mendasarkan pandangannya dari sudut teori lokasi, yang berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi suatu region akan lebih banyak ditentukan oleh jenis keuntungan lokasi dan dapat digunakan daerah tersebut sebagai kekuatan ekspor. Keuntungan lokasi tersebut umumnya berbeda-beda setiap region dan hal ini tergantung pada keadaan geografi daerah setempat. Pertumbuhan suatu daerah ditentukan oleh eksploitasi kemanfaatan alamiah dan pertumbuhan basis ekspor daerah yang bersangkutan yang juga dipengaruhi oleh tingkat permintaan eksternal dari daerah-daerah lain. Pendapatan yang diperoleh dari penjualan ekspor akan mengakibatkan berkembangnya kegiatan-kegiatan penduduk setempat, perpindahan modal dan tenaga kerja, keuntungan-keuntungan eksternal dan pertumbuhan ekonomi regional lebih lanjut.


(23)

Ini berarti untuk meningkatkan pertumbuhan suatu region, strategi pembangunannya harus disesuaikan dengan keuntungan lokasi yang dimilikinya dan tidak harus sama dengan strategi pembangunan pada tingkat nasional

2. Neo Classic Models, yang dipelopori oleh Stein (1964), kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Roman (1965) dan Siebert (1969).

Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan sangat ditentukan oleh kemampuan daerah tersebut untuk meningkatkan produksinya, sedangkan kegiatan produksi suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerah yang bersangkutan, tetapi juga ditentukan pula oleh mobilitas tenaga kerja dan mobilitas modal antar daerah.

Dalam hal ini penganut model Neo Klasik beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi, baik modal maupun tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar. Akibatnya, pada saat itu modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan regional cenderung melebar. Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar.

Dengan demikian, nantinya setelah negara yang bersangkutan telah maju maka ketimpangan regional akan berkurang. Perkiraan ini kemudian dikenal sebagai Hipotesa Neo Klasik yang digambarkan pada grafik 2.1 berikut :


(24)

Ketimpangan Regional

Kurva Ketimpangan Regional

Tingkat Pembangunan 0

Gambar 2.1 Hipotesa Neo Klasik

3. Cumulative Causation Models. Teori ini dipelopori oleh Myrdal (1975) dan kemudian diformulasikan lebih lanjut oleh Kaldor.

Teori ini berpandapat bahwa peningkatan pemerataan pembangunan antar daerah tidak hanya dapat diserahkan pada kekuatan pasar (market mechanism) tetapi perlu adanya campur tangan pemerintah dalam bentuk program-program pembangunan regional terutama untuk daerah-daerah yang relatif masih terbelakang.

4. Core Poriphery Models, yang mual-mula dikemukakan oleh Friedman (1966).

Teori ini menekankan analisa pada hubungan yang erat dan saling mempengaruhi antara pembangunan kota (core) dan desa (periphery). Menurut teori ini, gerak langkah pembangunan daerah perkotaan akan lebih banyak ditentukan oleh keadaan desa-desa sekitarnya. Sebaliknya corak pembangunan daerah pedesaan tersebut juga sangat ditentukan oleh arah pembangunan


(25)

perkotaan. Dengan demikian aspek interaksi antar daerah (spatial interaction) sangat ditonjolkan.

Walaupun terdapat beberapa alternatif model pertumbuhan regional yang menghasilkan kesimpulan yang berbeda, akan tetapi dalam prakteknya tidak ada keharusan untuk menerapkan hanya salah satu saja dari model tersebut. Ada kalanya dapat pula dilakukan penggabungan dari model-model tersebut agar cakupan pembahasan dan faktor penentu pertumbuhan menjadi lebih lengkap sesuai dengan potensi dan permasalahan yang terdapat pada daerah/wilayah yang bersangkutan.

2.2 Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

Pendapatan penduduk tidak selalu merata, bahkan yang sering terjadi justru sebaliknya. Manakala pendapatan terbagikan secara merata kepada seluruh penduduk di wilayah tersebut, maka dikatakan distribusi pendapatannya merata, sebaliknya apabila pendapatan regional tersebut terbagi secara tidak merata (ada yang kecil, sedang dan besar) dikatakan ada ketimpangan dalam distribusi pendapatannya. Semakin besar perbedaan pembagian pendapatan regional tersebut berarti semakin besar pula ketimpangan distribusi pendapatan. Terdapat berbagai ukuran kesenjangan regional mulai dari yang paling sederhana hingga paling rumit.

Dalam usaha untuk menekan laju ketimpangan ini, maka harus ditentukan kebijakan yang tepat. Pemilihan kebijakan yang tepat akan menciptakan stabilitas pertumbuhan ekonomi yang cukup baik sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh


(26)

pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu keterlibatan semua pelaku ekonomi dalam pembangunan daerah harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

2.2.1 Hipotesa Neo Klasik

Kuznets (1976), seperti dikutip oleh Todaro (2004) mengemukakan Hipotesis Neo Klasik tentang ketimpangan wilayah (regional disparity) mengikuti suatu pola yang berbentuk huruf U terbalik (gambar 2.1), dimana pada proses permulaan pembangunan, ketimpangan wilayah akan cenderung meningkat. Akan tetapi apabila pembangunan berlanjut terus dan mobilitas modal serta tenaga kerja telah lancar, barulah ketimpangan wilayah mulai berkurang.

Berdasarkan hipotesa ini, dapat diambil suatu kesimpulan sementara bahwa pada negara-negara sedang berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut akan menjadi lebih rendah.

Kebenaran Hipotesa Neo Klasik ini kemudian diuji kebenarannya oleh Jefrey G. Williamson pada tahun 1966 melalui suatu studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Hipotesa Neo Klasik yang diformulasikan secara teoritis ternyata terbukti benar secara empirik.

Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang mula-mula ditemukan Jefrey G. Williamson yang digunakan dalam studinya pada tahun 1966 disebut dengan Williamson Indeks/Indeks Williamson. Secara statistik, indeks ini


(27)

adalah coefficient of variation yang lazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan.

Istilah Williamson Indeks muncul sebagai penghargaan kepada Jefrey G. Williamson yang mula-mula menggunakan teknik ini untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah dan indeks ini cukup lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.

Indeks Williamson menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai data dasar. Formulasi indeks Williamson ini secara statistik dapat ditampilkan sebagai berikut :

Vw =

Y

n F Y

Yi ) * i/ (   2

dimana :

Vw = indeks Williamson (Nilai Vw antara 0 dan 1) Yi = PDRB di kota ke i

Ỹ = Rata-rata PDRB seluruh kota penelitian. fi = Penduduk di kota i

n = Total penduduk seluruh kota penelitian.

2.3. Pengeluaran Pemerintah Daerah

Dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat secara relatif pengeluaran pemerintah juga akan meningkat, terutama pengeluaran pemerintah untuk mengatur hubungan dalam masyarakat seperti: hukum, pendidikan, kebudayaan, dan sebagainya. Kebijakan ini dikaitkan dengan peranan pemerintah sebagai penyedia dari barang publik.


(28)

Pengeluaran pemerintah diukur dari total belanja rutin dan belanja pembangunan dari pemerintah daerah. Variabel ini digunakan untuk mengukur pengeluaran pemerintah yang tidak memperbaiki produktivitas perekonomian. Semakin besar pengeluaran pemerintah daerah yang tidak produktif, semakin kecil tingkat pertumbuhan perekonomian daerah.

Anaman (2004), dikutip dari Sihotang (2006) menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah yang terlalu kecil akan merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran konsumsi pemerintah yang boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Tetapi pada umumnya pengeluaran pemerintah membawa dampak positip bagi pertumbuhan ekonomi.

2.3.1. Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah Daerah 2.3.1.1. Pengeluaran Rutin

Pengeluaran rutin yaitu pengeluaran untuk pemeliharaan atau penyelenggaraan roda pemerintahan sehari-hari, meliputi: belanja pegawai, belanja barang, berbagai macam subsidi (subsidi daerah dan subsidi harga), angsuran dan bunga utang pemerintah serta jumlah pengeluaran lain.

Anggaran belanja rutin memegang peranan penting untuk menunjang kelancaran mekanisme sistem pemerintahan serta upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas, yang pada gilirannya akan menunjang tercapainya sasaran dan tujuan setiap tahap pembangunan. Penghematan dan efisiensi pengeluaran rutin perlu dilakukan untuk menambah besarnya tabungan pemerintah yang diperlukan untuk pembiayaan pembangunan nasional. Penghematan dan efisiensi tersebut


(29)

antara lain diupayakan melalui penajaman alokasi pengeluaran rutin, pengendalian dan koordinasi pelaksanaan pembelian barang dan jasa kebutuhan departemen/lembaga negara non departemen dan pengurangan berbagai macam subsidi secara bertahap.

2.3.1.2 Pengeluaran Pembangunan

Pengeluaran pembangunan yaitu pengeluaran yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan baik prasarana fisik dan nonfisik. Pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk membiayai program-program pembangunan sehingga anggarannya selalu dapat disesuaikan dengan dana yang dimobilisasi. Dana ini kemudian dialokasikan pada berbagai bidang sesuai dengan prioritas yang direncanakan.

Dalam teori ekonomi makro, pengeluaran pemerintah terdiri dari tiga pos utama yang dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang dan jasa 2. Pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai.

3. Pengeluaran pemerintah untuk transfer payments. Transfer payment adalah pos yang mencatat pembayaran atau pemberian pemerintah langsung kepada warganya yang meliputi pembayaran subsidi atau bantuan langsung kepada berbagai golongan masyarakat, pembayaran pension, pembayaran bunga untuk pinjaman pemerintah kepada masyarakat. Secara ekonomis, transfer payment mempunyai status dan pengaruh yang sama dengan gaji pegawai, meskipun administrasi keduanya berbeda (Boediono, 2001).


(30)

Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator besarnya kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah itu. Semakin besar dan semakin banyak kegiatan pemerintah, semakin besar pula pengeluaran pemerintah yang bersangkutan.

2.3.2 Teori Pengeluaran Pemerintah 2.3.2.1. Teori Makro

a. Model Pembangunan Tentang Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave (2003) yang menghubungkan pengeluaran pemerintah dengan tahapan-tahapan pembangunan ekonomi. Pada tahap awal perkembangan, menurut mereka rasio pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan nasional relatif besar. Hal ini dikarenakan pada tahap ini pemerintah harus menyediakan berbagai sarana dan prasarana. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan guna memacu pertumbuhan agar dapat lepas landas.

b. Hukum Wagner

Pengamatan empiris oleh Wagner (2005) terhadap negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang pada abad ke-19 menunjukkan bahwa aktivitas pemerintah dalam perekonomian cenderung semakin meningkat. Wagner mengukur perbandingan pengeluaran pemerintah terhadap produk nasional. Wagner menamakan hukum aktivitas pemerintah yang selalu meningkat (law of ever increasing state activity).


(31)

c. Teori Peacock dan Wiseman

Peacock dan Wiseman adalah dua orang yang mengemukakan teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang terbaik. Pandangan mereka mengenai pengeluaran pemerintah adalah bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut.

Menurut Peacock dan Wiseman (1961), perkembangan ekonomi menyebabkan pungutan pajak meningkat yang meskipun tarif pajaknya mungkin tidak berubah pada gilirannya mengakibatkan pengeluran pemerintah meningkat pula. Jadi dalam keadaan normal, kenaikan pendapatan nasional menaikkan pula baik penerimaan maupun pengeluaran pemerintah.

Apabila keadaan normal jadi terganggu, katakanlah karena perang atau ekstenalitas lainnya maka pemerintah terpaksa harus memperbesar pengeluarannya untuk mengatasi gangguan dimaksud. Konsekuensinya timbul tuntutan untuk memperoleh penerimaan pajak lebih besar. Pungutan pajak yang lebih besar menyebabkan dana swasta untuk investasi dan modal kerja menjadi berkurang.

2.3.2.2. Teori Mikro

Tujuan dari teori mikro mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menimbulkan permintaan akan barang publik dan faktor-faktor yang mempengaruhi tersedianya barang publik. Interaksi antara permintaan dan penawaran untuk barang publik menentukan


(32)

jumlah barang publik yang akan disediakan melalui anggaran belanja. Jumlah barang publik yang akan disediakan tersebut selanjutnya akan menimbulkan permintaan akan barang lain.

Sebagai contoh, misalnya pemerintah menetapkan akan membuat sebuah pelabuhan udara baru. Pelaksanaan pembuatan pelabuhan udara baru tersebut menimbulkan permintaan akan barang lain yang dihasilkan oleh sektor swasta, seperti semen, baja, alat-alat pengangkutan dan sebagainya.

2.4. Pendidikan

Pendidikan merupakan komponen penting dan vital terhadap pembangunan terutama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pendidikan juga berfungsi meningkatkan produktivitas, selain dari itu kemampuan untuk menyerap teknologi memerlukan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan mendapatkan pekerjaan atau pendapatan yang semakin tinggi di masa yang akan dating dan juga menyatakan bahwa membuat keputusan umtuk melakukan investasi pada human capital.

Asumsi dasar teori human capital adalah bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilan melalui pendidikan. Setiap tambahan satu tahun sekolah berarti di satu pihak meningkatkan kemampuan kerja dan tingkat penghasilan seseorang. Akan tetapi di pihak lain menunda penerimaan penghasilan selama satu tahun dalam mengikuti pendidikan tersebut. Selain penundaan menerima penghasilan, orang yang melanjutkan pendidikan harus


(33)

membayar biaya secara langsung seperti: uang sekolah, pembelian buku-buku, biaya transportasi, dan lain-lain dan juga biaya tidak langsung.

Dalam hal ini, tingkat penghasilan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, jelas ketimpangan pendapatan akan bertambah atau semakin besar mengingat para pelajar dari keluarga yang berpenghasilan tinggi jauh lebih besar peluangnya untuk meneruskan pendidikannya sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Anak-anak dari pekerja atau petani miskin dalam prakteknya sangat sulit meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Dengan demikian, sistem pendidikan yang pada umumnya di negara yang sedang berkembang justru meningkatkan ketimpangan distribusi pendapatan dalam masyarakatnya.

Pendapatan

Gambar 2.3 Teori Human Capital (Pengambilan Keputusan untuk Melanjutkan Sekolah)

Keterangan :

3

Umur 2

18 22

1

C

H

H

C


(34)

a) Garis HH : Pendapatan jika bekerja pada usia 18 tahun (Diasumsikan tamat SMA/Sederajat).

b) Garis CC : Pendapatan jika bekerja pada usia 22 tahun ( Diasumsikan tamat Sarjana).

c) Daerah 1 : Biaya-biaya langsung pendidikan (direct cost). Adapun yang dimaksud adalah segenap biaya moneter (uang) yang harus dipikul siswa dan keluarganya untuk membiayai pendidikan. Biaya-biaya ini meliputi: iuran sekolah, buku-buku, pakaian seragam, biaya transportasi, dan lainnya.

d) Daerah 2 : Biaya-biaya tidak langsung pendidikan (indirect cost). Investasi dalam pendidikan seorang anak bukan hanya meliputi biaya langsung ataupun biaya-biaya moneter (uang) yang harus dikeluarkan secara nyata, akan tetapi juga biaya-biaya yang berupa pendapatan potensial yang harus dikorbankan, apalagi jika si anak sudah mencapapai umur dimana ia mulai dapat memberikan sumbangan produktifnya kepada penghasilan keluarga.

Pada tahap ini, untuk setiap tahun si anak berada di sekolah akan berarti hilangnya sejumlah penghasilan yang sedianya dapat dihasilkan oleh individu tersebut bila ia menggunakan waktunya untuk bekerja untuk keluarga.

2.5. Industri

2.5.1 Pengertian Industri

Industri mempunyai dua pengertian yaitu pengertian secara luas dan pengertian secara sempit. Dalam pengertian secara luas, industri mencakup semua usaha dan kegiatan di bidang ekonomi yang bersifat produktif sedangkan pengertian secara sempit, industri adalah suatu kegiatan yang mengubah suatu


(35)

barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi atau barang setengah jadi. Dalam hal ini termasuk kegiatan jasa industri dan pekerja perakitan (assembling).

Dalam istilah ekonomi, industri mempunyai dua pengertian. Pertama, industri merupakan himpunan perusahaan-perusahaan sejenis, contoh industri kertas berarti himpunan perusahaan-perusahaan penghasil kertas. Kedua industri adalah sektor ekonomi yang didalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi (Dumairy, 1996).

Dalam pengertian kedua, kata industri sering disebut sektor industri pengolahan/manufaktur yaitu salah satu faktor produksi atau lapangan usaha dalam perhitungan pendapatan nasional menurut pendekatan industri.

2.5.2. Klasifikasi Industri

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara, penggolongan industri dibagi atas empat golongan dengan didasarkan pada banyaknya jumlah tenaga kerja tanpa melihat alat yang digunakan dalam proses peroduksinya. Keempat golongan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Industri Rumah Tangga, jumlah tenaga kerja 1-4 orang 2. Industri Kecil, jumlah tenaga kerja 5-19 orang

3. Industri Sedang, jumlah tenaga kerja 20-99 orang 4. Industri Besar, jumlah tenaga kerja > 100 orang.

Untuk keperluan perencanaan negara, anggaran negara dan analisis pembangunan, pemerintah membagi sektor industri menjadi tiga subsektor, yaitu:


(36)

1. Subsektor industri pengolahan nonmigas; 2. Subsektor pengilangan minyak bumi; 3. Subsektor pengolahan gas alam cair.

Berdasarkan kode ISIC (International Standard of Industrial Classification) atau KLUI (Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia) dua digit, industri dapat digolongkan sebagai berikut :

Tabel 2.1 Jenis Industri Berdasarkan KLUI Kode ISIC Jenis Industri 31 32 33 34 35 36 37 38 39

Industri makanan, minuman, dan tembakau Industri tekstil, pakaian jadi, dan kulit

Industri kayu dan barang-barang dari kayu termasuk alat-alat rumah tangga dari kayu

Industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan dan penerbitan

Industri kimia dan barang-barang dari kimia, minyak bumi, batu bara, karet dan barang-barang dari plastik

Industri barang-barang galian bukan logam, kecuali minyak bumi dan batu bara

Industri logam dasar

Industri barang-barang dari logam, mesin dan perlengkapannya Industri pengolahan lainnya.

Sumber: Dumairy, 1996

2.5.3. Teori Pertumbuhan Industri


(37)

dipercaya di seluruh dunia sebagai satu-satunya sektor yang membawa suatu perekonomian menuju kemakmuran. Sektor industri dijadikan leading sector

sebab sektor ini mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan sektor pertanian. Kelebihan sektor industri antara lain: produknya mempunyai dasar tukar (term of trade) yang tinggi, nilai tambah besar, bagi pengusaha mempunyai keuntungan besar dan proses produksinya lebih bisa dikendalikan manusia.

Dalam implementasinya ada 4 teori yang dilaksanakan oleh beberapa negara yang melandasi industrialisasinya (Dumairy, 1996). Teori-teori tersebut adalah:

1. Keunggulan komparatif (comparative advantage), jenis industri yang dikembangkan oleh negara yang menganut teori ini adalah industri yang merupakan keunggulan komparatif negara itu.

2. Keterkaitan industri (industrial linkage), jenis industri yang dikembangkan oleh negara yang menganut teori ini adalah yang mempunyai keterkaitan yang luas dengan sektor lain.

3. Penciptaan kesempatan kerja (employment creation), jenis industri yang dikembangkan oleh negara yang menganut teori ini adalah industri yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar.

4. Loncatan teknologi (technology jump), jenis industri yang dikembangkan oleh negara yang menganut teori ini adalah industri yang mempunyai teknologi tinggi sehingga akan terjadi alih teknologi bagi sektor lain.

2.5.4. Peranan Sektor Industri Terhadap Pembangunan Daerah

Pembangunan industri di daerah merupakan bagian dari segi pembangunan industri secara nasional, dimana keberhasilan dari pembangunan industri di daerah


(38)

merupakan salah satu kunci pokok suksesnya pelaksanaan pembangunan industri nasional. Perkembangan industri baik industri besar, sedang maupun kecil menjadi sasaran utama di Indonesia khususnya di Sumatera Utara, yang akan mengalami perubahan ke arah yang lebih sempurna. Dalam rangka menuju era industrialisasi semua sektor industri harus berkembang sesuai dengan kebijakan industri nasional yaitu: industri harus didukung oleh partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya dan dibina secara langsung melalui sentra-sentra industri dengan mengaitkan program pembangunan industri dengan pusat pengembangan wilayah kawasan industri.

Sektor industri harus dikembangkan karena merupakan sektor yang potensial dalam membantu suksesnya pelaksanaan pembangunan dimana sektor ini dapat menyerap tenaga kerja yang banyak, mempunyai peluang pasar yang lebih baik bila dibandingkan dengan sektor lainnya. Adanya penduduk yang sangat padat di Indonesia dalam arti kuantitasnya besar memang mempunyai segi positif yaitu memberi sumber daya manusia yang besar bagi sektor industri yang sedang tumbuh dan berkembang. Sektor industri merupakan salah satu media untuk menyediakan lapangan kerja di samping sektor lainnya. Sektor industri sebagai salah satu sektor yang diprioritaskan dalam pembangunan ekonomi diharapkan mampu untuk menyerap tenaga kerja sehingga tingkat pengangguran dapat berkurang.

Adanya sasaran yang hendak dicapai dalam program pembangunan nasional yaitu menempatkan sektor industri sebagai penyedia lapangan kerja merupakan titik tolak dalam mengupayakan manusia Indonesia menjadi kekuatan utama dalam pembangunan. Untuk dapat menampung penyediaan tenaga kerja,


(39)

yang demikian secara produktif maka dibutuhkan pertumbuhan disektor industri dimana penyerapan tenaga kerja ini akan dapat mengurangi pengangguran.

Upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara melalui pembangunan di sektor industri yang mana pelaksanaan pembangunannya sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan daerah Sumatera Utara bertujuan untuk mempercepat proses industrialisasi sehingga dapat menciptakan struktur ekonomi yang sehat. Pengembangan industri yang diarahkan kepada usaha yang berorientasi ekspor sekaligus dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri serta menyerap tenaga kerja yang ada.


(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan antar kota di Sumatera Utara. Jumlah kota di Sumatera Utara yang digunakan adalah sebanyak enam kota yakni Sibolga, Tanjung Balai, Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Medan, Binjai dengan periode kajian yang dipergunakan adalah 5 tahun yakni dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data sekunder dengan jenis data panel. Data bersumber dari BPS (Badan Pusat Statistik), perpustakaan ,dan sumber-sumber lainnya seperti jurnal dan hasil-hasil penelitian sebelumnya.

Data yang digunakan antara lain adalah:

PDRB kota di Sumatera Utara atas dasar harga konstan, realisasi pengeluaran pemerintah daerah, jumlah lulusan SMA/Sederajat di setiap kota di Sumatera Utara, dan jumlah industri (besar/sedang) menurut sub sektor industri di tiap kota di Sumatera Utara.


(41)

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Eviews 5.

3.4 Model Analisis

Model yang digunakan untuk menganalisis data adalah model ekonometrika dengan teknik analisis data panel (time series cross dan section data), yakni dengan metode Generalized Least Square (GLS). Metode ini menggunakan dua model pendekatan yaitu Fixed Effects Model/FEM (Model Efek Tetap) dan Random Effects Model/REM (Model Efek Random).

Untuk menentukan model terbaik dari metode GLS tersebut maka dapat dilakukan dengan Hausman Test, dengan ketentuan :

1. Apabila H0 diterima (χ2hitung < χ2tabel), maka model yang digunakan adalah Random Effects Model/REM dan sebaliknya

2. Apabila H0 ditolak (χ2hitung > χ2tabel), maka model yang akan digunakan adalah Fixed Effects Model/FEM.

Untuk menganalisis besarnya ketimpangan pendapatan antar kota diukur dengan perhitungan indeks Williamson. Dasar perhitungannya adalah dengan menggunakan PDRB dengan rumus :

Vw =

Y

n F Y

Yi ) * i/ (   2

Nilai Vw antara 0 dan 1,

dimana :


(42)

Yi = PDRB di kota ke i

Ỹ = Rata-rata PDRB seluruh kota penelitian. fi = Penduduk di kota i

n = Total penduduk seluruh kota penelitian.

Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan antar kota di Sumatera Utara selama kurun waktu 5 tahun, dapat dituliskan dengan fungsi :

KPend = f(PPD, TSMA, I)

Dari fungsi di atas dispesifikasikan ke dalam model ekonometrika sebagai berikut: KPendit = β0 + βt PPDit + β2 TSMAit + β3 Iit + µit

dimana :

KPend = ketimpangan pendapatan antar kota (juta rupiah). PPD = pengeluaran pemerintah daerah (juta rupiah). TSMA = jumlah siswa tamat SMA/Sederajat (ribu jiwa). I = jumlah industri (besar/sedang) (unit).

β0 = Konstanta.

β1, β2, β3 = Koefisien Regresi. i = Kota (1, 2, …, 6)

t = Tahun (2003, 2004,…., 2007)


(43)

3.5 Defenisi Operasional

Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, untuk memberikan batasan penelitian memudahkan analisis, dijabarkan beberapa defenisi operasional variabel, yakni sebagai berikut :

1. PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat pada suatu daerah dalam satu wilayah pada periode tertentu (dalam juta rupiah).

2. Pengeluaran Pemerintah Daerah adalah besarnya anggaran yang dikeluarkan pemerintah di dalam APBD pertahun (dalam juta rupih).

3. Ketimpangan pendapatan merupakan ketidakseimbangan pemerataan pendapatan yang terjadi di suatu daerah tertentu.

4. Jumlah siswa tamat SMA/Sederajat per kota adalah jumlah lulusan pendidikan yang berhasil ditamatkan untuk jenjang SMA/Sederajat (dalam ribu jiwa).

5. Jumlah industri (besar/sedang) adalah jumlah industri (besar/sedang) yang diukur dengan jumlah unit perusahaan.


(44)

BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Sumatera Utara 4.1.1 Lokasi dan Keadaan Geografis

Provinsi Sumatera Utara berada di bagian Barat Indonesia, terletak pada garis 10 - 40 Lintang Utara dan 980 - 1000 Bujur Timur, dengan luas 71.680 km2. Letak provinsi ini sangat strategis karena berada pada jalur perdagangan internasional yang berdekatan dengan Malaysia dan Singapura.

Batas-batasnya :

 Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

 Sebelah Timur dengan Negara Malaysia di Selat Malaka.

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat.

 Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

4.1.2. Iklim

Karena terletak dekat garis khatulistiwa, Provinsi Sumatera Utara tergolong ke dalam daerah beriklim tropis. Ketinggian permukaan daratan Provinsi Sumatera Utara sangat bervariasi, sebagian daerahnya datar, hanya beberapa meter di atas permukaan laut, beriklim cukup panas bisa mencapai 34,20C, sebagian daerah berbukit dengan kemiringan yang landai, beriklim sedang dan sebagian lagi berada pada daerah ketinggian yang suhu minimalnya


(45)

Sebagaimana Provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Sumatera Utara mempunyai musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai dengan September dan musim penghujan biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan bulan Maret, diantara kedua musim itu diselingi oleh musim pancaroba.

4.1.3. Kondisi Geografis Kota Tanjung Balai

Secara Geografis Kota Tanjung Balai terletak pada 2058’00’ LU dan 99048’00 BT. Kota dengan luas 6052,90 Ha ini terletak pada ketinggian 0-3 m dari permukaan laut. Kota ini terdiri dari 5 kecamatan dan 30 kelurahan.

Batas-batas wilayahnya adalah:

 Sebelah Utara : Kabupaten Asahan

 Sebelah Selatan : Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Asahan

 Sebelah Barat : Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Asahan

 Sebelah Timur : Kecamatan Sei Sepayang, Kabupaten Asahan

4.1.4. Kondisi Geografis Kota Tebing Tinggi

Secara Geografis Kota Tebing Tinggi terletak pada 3019’- 3021’ LU dan 98011’- 98021’ BT. Kota dengan luas 38438 km2 (termasuk wilayah seluas 59,9 Ha) ini terletak pada ketinggian 26-34 m di atas permukaan laut. Kota ini terdiri dari 3 Kecamatan dan 27 Kelurahan.

Batas-batas wilayahnya adalah:

 Sebelah Utara : PTPN III Kebun Rambutan, Kecamatan Tebing Tinggi; Kabupaten Serdang Bedagai


(46)

 Sebelah Selatan : PTPN III Kebun Pabatu, Kecamatan Tebing Tinggi; Kabupaten Serdang Bedagai

 Sebelah Barat : PTPN III Kebun Gunung Pamela, Kecamatan Tebing Tinggi; Kabupaten Serdang Bedagai

 Sebelah Timur : PT. Socfindo Kebun Tanah Bersih, Kecamatan Tebing Tinggi; Kabupaten Serdang Bedagai

4.1.5. Kondisi Geografis Kota Medan

Kota Medan merupakan ibukota dari Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis Kota Medan terletak pada 2027’- 2047’ LU dan 98035’- 98044’ BT. Kota dengan luas 265,10 km2 ini terletak pada ketinggian 2,5 – 37,5 m di atas permukaan laut. Kota ini terdiri dari 21 Kecamatan dan 151 Kelurahan.

Batas-batas wilayahnya adalah:

 Sebelah Utara : Kabupaten Deli Serdang

 Sebelah Selatan : Kecamatan Deli Serdang

 Sebelah Barat : Kecamatan Deli Serdang


(47)

4.1.6. Kondisi Geografis Kota Binjai

Secara geografis Kota Binjai terletak pada 3031’- 3040’ LU dan 98027’- 98032’ BT. Kota dengan luas 90,23 km2 ini terletak pada ketinggian 28 m di atas permukaan laut.

Batas-batas wilayahnya adalah:

 Sebelah Utara : Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat dan Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang

 Sebelah Selatan : Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat dan Kecamatan Kutalimbaru Kabupaten Deli Serdang

 Sebelah Barat : Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat

 Sebelah Timur : Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang

4.1.7. Kondisi Geografis Kota Sibolga

Secara geografis Kota Sibolga terletak pada 1044’ LU dan 98047’ BT. Luas wilayah kota Sibolga adalah 10.77 km2 atau 1.077 Ha. Kota 1 – 50 m di atas permukaan laut dan beriklim cukup panas dengan suhu mencapai 32.7 0 C di bulan Februari.

Batas-batas wilayahnya adalah:

 Sebelah Utara : Kabupaten Tapanuli Tengah

 Sebelah Selatan : Kabupaten Tapanuli Tengah

 Sebelah Barat : Teluk Tapian Nauli/ Kabupaten Tapanuli Tengah


(48)

4.1.8. Kondisi Geografis Kota Pematang Siantar

Secara geografis Kota Siantar terletak pada 3001’09”- 2054’40” LU dan 9906’23”- 9901’10” BT, berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Simalungun. Kota dengan luas 79.971 km2 ini terletak pada ketinggian 400 m di atas permukaan laut.

Batas-batas wilayahnya adalah:

 Sebelah Utara : Kecamatan Tapian Dolok

 Sebelah Selatan : Kecamatan Tanah Jawa

 Sebelah Barat : Kota Pematang Siantar

 Sebelah Timur : Kecamatan Pematang Bandar

4.2. Gambaran Perekonomian Sumatera Utara

Mulai pulihnya perekonomian Indonesia mulai berdampak pada perekonomian Provinsi Sumatera Utara. Salah satu indikator membaiknya ekonomi Provinsi Sumatera Utara adalah meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi. Perekonomian Sumatera Utara dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Untuk melihat fluktuasi pertumbuhan ekonomi secara riil dari tahun ke tahun disajikan perubahan PDRB atas dasar harga konstan secara berkala. Pertumbuhan yang positif menunjukkan adanya peningkatan perekonomian, sebaliknya apabila negatif menunjukkan terjadinya penurunan.

Selama tahun 2007, konsumsi masih menjadi penyumbang utama terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah Sumatera Utara. Kegiatan investasi juga mencatat peningkatan tinggi. Bahkan pertumbuhan investasi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di wilayah lain. Membaiknya investasi, terutama


(49)

didorong oleh pembangunan infrastruktur seperti pembangunan dan perbaikan jalan lintas timur Sumatera serta peningkatan investasi di sektor perkebunan.

Pertumbuhan ekspor wilayah Sumatera selama tahun 2007 juga menunjukkan peningkatan. Kenaikan ekspor, terutama, didorong oleh meningkatnya permintaan komoditas perkebunan seperti crude palm oil (CPO) dan produk turunannya, serta karet dan produk karet.

Sektor pertanian masih memberikan peranan yang cukup dominan dalam perkembangan ekonomi Sumatera Utara, walaupun dalam beberapa tahun terakhir peranannya sudah mulai digeser oleh sektor industri. Sumatera Utara merupakan salah satu pusat perkebunan di Indonesia. Perkebunan di Sumatera Utara telah dibuka sejak penjajahan Belanda. Komoditi hasil perkebunan yang paling penting dari Sumatera Utara saat ini antara lain kelapa sawit, karet, kopi, coklat dan tembakau. Bahkan di kota Bremen Jerman Tembakau Deli sangat terkenal.

Sektor pertanian di wilayah Sumatera selama tahun 2007 tumbuh relatif tinggi, terutama, didorong oleh tingginya pertumbuhan subsektor tanaman perkebunan (karet dan kelapa sawit). Meningkatnya luas lahan perkebunan menjadi salah satu faktor pendorong kenaikan produksi karet dan kelapa sawit. Di samping itu, kenaikan harga karet dan harga CPO dunia menjadi pemicu semakin meningkatnya produksi kelapa sawit dan karet.

Di sektor perdagangan, membaiknya pertumbuhan itu tidak terlepas dari membaiknya konsumsi dan pertumbuhan di sektor-sektor yang memiliki keterkaitan erat dengan sektor perdagangan, di antaranya adalah sektor bangunan dan sektor industri. Peningkatan pertumbuhan di sektor bangunan, antara lain,


(50)

didorong oleh program rekonstruksi pascabencana Tsunami dan perluasan lahan perkebunan kelapa sawit.

Sektor industri mempunyai peranan sebesar 25,36 % pada tahun 2004. Jika dilihat peranan industri menurut besar kecilnya perusahaan, kelompok industri besar sedang menghasilkan nilai tambah terbesar. Sedangkan jika dilihat menurut kelompok, industri makanan, minuman, dan tembakau menempati urutan pertama. Pada urutan terakhir ditempati oleh kelompok industri pengolahan barang lainnya. Pada tahun 2006, sektor industri menjadi penyumbang utama dalam peningkatan PDRB dengan peranan mencapai 25,74 persen. Selanjutnya diikuti oleh sektor pertanian (22,18 %) dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (18,96 %). Sementara sektor-sektor lain hanya memberikan total kontribusi sebesar 33.12 % terhadap perekonomian di Sumatera Utara.

Pada sektor perhubungan, rasio jumlah kendaraan terhadap panjang jalan lebih tinggi. Hal ini mencerminkan bahwa bertambahnya jumlah kendaraan lebih cepat dari perkembangan panjang jalan. Lalu lintas angkutan laut (penumpang dan barang) antar negara mengalami peningkatan. Sama halnya dengan angkutan laut antar pulau di pelabuhan yang diusahakan juga menunjukkan perkembangan. Angkutan udara (penumpang dan barang) internasional dan domestik mengalami peningkatan

Perbankan menunjukkan kinerja yang mnggembirakan yang tercermin dari meningkatnya dana yang dihimpun dan juga kredit yang disalurkan oleh Bank pemerintah maupun Bank swasta Nasional. Membaiknya sektor ini memberikan peluang dan harapan pada sektor riil untuk mengembangkan usahanya.


(51)

4.2.1. Ketimpangan Antarkota

Terjadinya kesenjangan pendapatan antar kota di Sumatera Utara dapat dilihat dari kecenderungan ketimpangan pembangunan yang terjadi. Untuk memberikan gambaran terhadap ketimpangan tersebut, maka alat analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson. Indeks ini menggunakan data perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan juga perkembangan jumlah penduduk dari masing-masing kota.

Adapun perkembangan PDRB yang digunakan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.1 Perkembangan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tiap Kota di Sumatera Utara

Tahun 2003 – 2007 (Jutaan Rupiah ) Kota

Tahun

Sibolga T. Balai P. Siantar T. Tinggi Medan Binjai 2003 6189477 7345543 6862092 6248169 11748852 6314485 2004 6189477 7345543 6862092 6248169 11748852 6314485 2005 6331930 7468769 7158614 6460242 12411650 6439516 2006 6410618 7551912 7429209 6692677 13174810 6605547 2007 6692413 7684976 7308632 7018280 14090603 6868205 Sumber : Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, Sumatera Utara Dalam Angka (Berbagai edisi)

Persebaran penduduk juga berhubungan dengan pola pemukiman suatu daerah. Faktor-faktor yang mempengaruhi persebaran penduduk antara lain: iklim, letak dan bentuk dataran/tanah, kesuburan tanah, sumberdaya alam,sosial budaya dan teknologi. Apabila persebaran penduduk di setiap daerah tidak merata, akibat langsung yang terlihat adalah kepadatan penduduk yang tidak merata. Kepadatan penduduk merupakan indikator dari tekanan penduduk di suatu daerah.


(52)

Penyebaran penduduk tiap kota di Sumatera Utara tidak merata, hal ini dapat dilihat dari tabel 4.2, dimana jumlah penduduk terbanyak berada pada kota Medan, karena Medan merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian untuk Provinsi Sumatera Utara.

Tabel 4.2 Perkembangan Jumlah Penduduk Tiap Kota di Sumatera Utara

Tahun 2003 – 2007 (Jutaan Rupiah ) Kota

Tahun

Sibolga T. Balai P. Siantar T. Tinggi Medan Binjai 2003 85505 144979 223949 132760 1979341 225535 2004 87260 149238 227551 134382 2010676 232236 2005 88717 152814 230487 135671 2036185 237904 2006 91941 156475 235372 137959 2067288 244256 2007 93207 159932 236607 139409 2083156 248256 Sumber : BPS Sumatera Utara, Sumatera Utara Dalam Angka (Berbagai edisi)

Dari data PDRB Atas Dasar Harga Konstan dan data pesebaran jumlah penduduk, maka dapat diperoleh ketimpangan pendapatan yang dihitung dengan menggunakan indeks Williamson.

Nilai indeks Williamson terletak antara 0 sampai dengan 1. Nilai indeks yang semakin dekat dengan angka 1 menunjukkan kesenjangan pendapatan yang semakin meningkat, dan sebaliknya jika semakin mendekati angka 0, maka kesenjangan pendapatan semakin rendah.

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, indeks Williamson dari tahun 2003 – 2007 dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut :


(53)

Tabel 4.3 Perhitungan Indeks Williamson Tiap Kota di Sumatera Utara

Tahun 2003 – 2007 Kota Tahun

Sibolga T. Balai P. Siantar T. Tinggi Medan Binjai

2003 0.028 0.001 0.018 0.035 0.467 0.048

2004 0.029 0.003 0.022 0.035 0.485 0.044

2005 0.031 0.007 0.020 0.035 0.512 0.047

2006 0.035 0.012 0.019 0.035 0.547 0.049

2007 0.034 0.017 0.033 0.033 0.589 0.049

Rata-rata 0.032 0.010 0.023 0.035 0.520 0.048

Sumber : Data Diolah dari tabel 4.1 dan tabel 4.2.

Dari hasil nilai indeks Williamson di atas, maka dari tahun 2003 – 2007 ketimpangan pendapatan antar kota di Sumatera Utara terus meningkat. Ketimpangan pendapatan yang paling besar berada pada kota Medan dimana rata-rata kesenjangan pendapatan dari tahun 2003 – 2007 adalah sebesar: 0.520, diikuti kota Binjai (0.048), Tebing Tinggi (0.035), Sibolga (0.032), Pematang Siantar (0.023) dan yang paling kecil adalah Tanjung Balai (0.010) .

Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan/ketimpangan di kota Medan adalah yang terbesar, meskipun kota Medan adalah pusat pemerintahan dan pusat perekonomian untuk Provinsi Sumatera Utara. Model pembangunan ekonomi di Medan masih mengacu pada pertumbuhan ekonomi, bukan mengacu pada pemerataan pembangunan yang semakin baik.

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan adalah bertanda positif sesuai dengan hipotesa Kuznets yang menyatakan bahwa pada tahap-tahap awal pembangunan, semakin baik distribusi pendapatan akan


(54)

diikuti dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan dan peningkatan PDRB erat kaitannya dengan ketimpangan distribusi pendapatan antara daerah. Opportunity cost dalam menghadapi pertumbuhan adalah besarnya ketimpangan distribusi pendapatan.

4.2.2. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Daerah

Perkembangan Pengeluaran Pemerintah tiap kota di Sumatera Utara dari tahun 2003 – 2007 cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Besar kecilnya Pengeluaran Pemerintah dari suatu daerah/wilayah sangat tergantung atau sangat dipengaruhi pada besar kecilnya penerimaan. Dalam suatu perekonomian, semakin besar penerimaan maka pengeluaran semakin besar pula.

Pada umumnya, pengeluaran pemerintah tidak akan mengalami penurunan atau selalu mengalami kenaikan. Kenaikan tersebut terjadi karena adanya pembangunan sarana dan prasarana yang baru serta untuk perawatan asset-asset yang telah ada. Perkembangan Pengeluaran Pemeriantah tiap kota penelitian dapat dilihat pada tabel 4.4.


(55)

Tabel 4.4 Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Tiap Kota di Sumatera Utara

Tahun 2003 – 2007 ( Jutaan Rupiah ) Kota

Tahun

Sibolga T. Balai P. Siantar T. Tinggi Medan Binjai 2003 123400 136600 179300 161700 125300 185300 2004 121500 139800 202500 139100 1004800 189300 2005 156500 176600 219300 160500 1135900 196900 2006 174400 204400 288400 197500 1322400 274600 2007 294500 310700 395000 292600 1751800 358600 Sumber : BPS Sumatera Utara, Sumatera Utara Dalam Angka (Berbagai edisi)

Dari tabel 4.4 dapat dilihat bahwa setiap tahun pengeluaran pemerintah tiap kota menunjukkan peningkatan. Hal ini sesuai dengan teori Keuangan Negara, dan kota Medan merupakan wilayah/daerah dimana jumlah pengeluaran pemerintahannya adalah yang paling besar dan kota Sibolga merupakan daerah dengan jumlah pengeluaran pemerintah yang paling kecil dibandingkan dengan kota-kota lainnya.

4.2.3. Perkembangan Pendidikan

Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi banyak negara dari masa ke masa. Salah satu upaya untuk memutus lingkaran kemiskinan adalah melalui pendidikan, baik pendidikan yang ditempuh melalui jalur formal, informal, maupun nonformal.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak, khususnya pemerintah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada tahun 1984 pemerintah telah mengupayakan wajib belajar sekolah dasar, yang kemudian


(56)

dilanjutkan dengan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada 1994 (Wajar Dikdas). Wajar Dikdas adalah kewajiban bagi setiap warga negara yang berumur tujuh tahun atau lebih untuk mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara (pendidikan sembilan tahun, terdiri atas program pendidikan enam tahun di Sekolah Dasar (SD) dan program pendidikan tiga tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)) sampai tamat.

Pendidikan merupakan komponen penting terhadap pembangunan terutama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dimana pendidikan dapat meningkatkan produktivitas. Selain itu kemampuan untuk menyerap teknologi memerlukan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Dalam penelitian ini, perkembangan pendidikan dilihat dengan menggunakan data jumlah siswa tamat SMA/Sederajat. Semakin banyak penduduk yang berpendidikan SMA/Sederajat diharapkan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Jumlah siswa tamat SMA/Sederajat cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2003 – 2007 di tiap kota. Jumlah siswa yang paling besar jumlahnya berada di kota Medan dan jumlah siswa yang paling kecil adalah Tanjung Balai. Hal ini bisa saja disebabkan karena jumlah penduduk yang paling banyak dari tiap kota di Sumatera Utara adalah Medan dan juga Medan adalah pusat pemerintahan dan pusat perekonomian.

Adapun perkembangan jumlah siswa tamat SMA/Sederajat tiap kota di Sumatera Utara dari tahun 2003 – 2007 dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut:


(57)

Tahun 2003 – 2007 ( Ribu Jiwa ) Kota

Tahun

Sibolga T. Balai P. Siantar T. Tinggi Medan Binjai

2003 6370 4888 35340 14507 183720 17174

2004 6293 4899 32463 14459 110592 19203

2005 6475 4995 29838 10156 125366 18263

2006 9167 6812 41340 21391 107666 25307

2007 6583 5634 28731 13749 122535 9390 Sumber : BPS Sumatera Utara, Sumatera Utara Dalam Angka (Berbagai edisi)

4.2.3. Perkembangan Industri

Sektor industri pengolahan dari tahun 2003 kembali menjadi sektor utama dalam pembentukan PDRB, menggeser peran sektor pertanian. Meskipun demikian tidak di semua kota sektor industri pengolahan menjadi penyumbang terbesar dalam pembentukan PDRB. Sektor industri pengolahan menjadi penyumbang terbesar dalam pembentukan PDRB umumnya pada daerah yang memiliki potensi perkebunan sekaligus terdapat kegiatan industri khususnya agroindustri yang mengolah hasil-hasil perkebunan seperti kelapa sawit dan karet.

Sejak tahun 2003, sektor industri pengolahan memberi kontribusi terbesar di Sumatera Utara meskipun dalam persentase yang kecil. Pada tahun 2005, kontribusi sektor industri pengolahan meningkat menjadi sekitar 25,97% yang didorong oleh kenaikan pada subsektor industri non migas.

Besarnya sumbangan subsektor industri non migas berasal dari industri makanan, minuman, dan tembakau. Industri non migas lain yang besar sumbangannya terhadap nilai tambah industri pengolahan adalah industri pupuk,


(58)

kimia dan barang dari karet dan industri logam dasar besi dan baja yang masing-masing memberikan sumbangang sebesar 17,62 % dan 10,63%.

Jika dilihat laju pertumbuhannya, sektor industri pengolahan terus mengalami peningkatan selama periode 2003 – 2005. Pertumbuhan sektor ini di tahun 2005 mencapai 4,75 %. Hal ini didukung oleh subsektor industri nonmigas yang juga tumbuh 4.77 % dengan golongan industri alat angkutan, mesin, dan peralatannya tumbuh paling tinggi yaitu 6,98 %. Kemudian diikuti oleh pertumbuhan industri makanan, minuman, dan tembakau yang tumbuh sebesar 4,88%. Sementara itu subsektor industri migas juga tumbuh 2,75%.

Adapun perkembangan jumlah industri besar/sedang tiap kota di Sumatera Utara dari tahun 2003 -2007 dapat dilihat pada tabel 4.6.

Tabel 4.6 Perkembangan Jumlah Industri Besar/Sedang Tiap Kota di Sumatera Utara

Tahun 2003 – 2007 (unit) Kota Tahun

Sibolga T. Balai P. Siantar T. Tinggi Medan Binjai 2003 2 32 42 19 206 34 2004 2 32 42 19 206 34 2005 1 20 42 18 189 33 2006 1 23 44 20 239 20 2007 1 20 44 16 233 20 Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka, 2003-2004

Dari tabel 4.6 dapat dilihat bahwa jumlah industri yang paling banyak berada pada kota Medan dan jumlah industri yang paling sedikit berada di kota Sibolga. Perkembangan industri dari tahun 2003 – 2004 cenderung stabil/tetap


(59)

kecuali kota Pematang Siantar jumlah industrinya dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.

4.3. Analisis Hasil Penelitian

Adapun hasil analisis regresi terhadap model estimasi yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 4.7 Hasil Analisis dengan Metode FEM dan REM

Metode FEM Metode REM

Variable Coefficient Prob. Coefficient Prob. C -0.289987 0.0256* -0.392626 0.0016* LPP? 0.023859 0.0000* 0.023761 0.0000*

LP? 0.004505 0.6859* 0.012496 0.2257* I? 0.001093 0.0003* 0.001556 0.0000*

R-squared 0.997250* 0.786631*

F-statistic 951.7649* 31.95162*

Prob(F-statistic) 0.000000* 0.000000* Keterangan :

* Signifikan pada α = 1% ** Signifikan pada α = 5% *** Signifikan pada α = 10%

Untuk menentukan secara tepat model yang akan digunakan apakah model

fixed effect atau random effect maka dilakukan uji Hausmann. Uji Hausmann akan memberikan penilaian dengan menggunakan Chi-square statistics sehingga keputusan pemilihan model dapat ditentukan secara benar. Hasil uji Hausmann


(60)

Tabel 4.8 Hasil Uji Hausman Correlated Random Effects - Hausman Test

Pool: POOL3

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 9.839709 3 0.0200

Berdasarkan uji hausman yang dilakukan, diperoleh Chi-Sq Statistik sebesar 9.84 yang signifikan pada tingkat signifikasi 5% (9.35) maka model yang lebih baik digunakan adalah model FEM.

Dari hasil analisis dengan model FEM, maka diperoleh nilai koefisien determinansi R2 adalah sebesar 0.9973 artinya adalah bahwa secara keseluruhan variable bebas (lpp, lp, i) dapat menjelaskan variable terikat (kpend) sebanyak 99.73 % dan sisanya yakni 0.27 % dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model persamaan atau dijelaskan oleh error (µ).

Berdasarkan nilai F-statistik yakni sebesar 951.765, dengan tingkat signifikasi sebesar 0.0000 (α = 1 %) dan F-tabel sebesar 4.64 (F-hitung > F-tabel) menunjukkan bahwa secara bersamaan variabel bebas (Pengeluaran Pemerintah, Jumlah Siswa Tamat SMA/Sederajat, Jumlah Industri) secara bersama-sama mampu memberi pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat (Ketimpangan Pendapatan) di tiap kota Sumatera Utara tahun 2003-2007 dengan tingkat kepercayaan 99%.


(61)

Analisis Pengeluaran Pemerintah

Variabel Pengeluaran Pemerintah memiliki hubungan yang positif terhadap Ketimpangan Pendapatan, yang artinya bahwa semakin besar Pengeluaran Pemerintah akan menyebabkan semakin besar terjadinya Ketimpangan Pendapatan atau apabila variabel lainnya dianggap konstan, maka kenaikan 1% Pengeluaran Pemerintah akan meningkatkan ketimpangan pendapatan sebesar 0.024 % di tiap kota Sumatera Utara.

Dari persamaan diperoleh bahwa koefisien regresi sebesar 0.023859 dan nilai t-hitung sebesar 5.25, dengan tingkat signifikasi sebesar 0.0000 (α = 1 %) dan t-tabel sebesar 2.78 (t-hitung > t-tabel). Hal ini berarti bahwa variabel Pengeluaran Pemerintah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ketimpangan pendapatan di tiap kota Sumatera Utara.

Pengeluaran Pemerintah provinsi Sumatera Utara dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Besar kecilnya pengeluaran sangat dipengaruhi atau sangat tergantung pada besar kecilnya penerimaan. Makin besar penerimaan maka pengeluaran semakin besar pula.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh yang positif terhadap ketimpangan pendapatan. Hal ini terkait dengan fakta bahwa pengeluaran pemerintah untuk memperbaiki kemiskinan. Fakta ini menunjukkan bahwa kelompok penduduk yang berpendapatan menengah dan penduduk paling kaya memperoleh manfaat yang relatif lebih besar dibandingkan dengan kelompok penduduk miskin, dan juga pembangunan yang terlalu memfokuskan kepada pertumbuhan ekonomi tanpa


(62)

berorientasi pada pemerataan, akan dapat menyebabkan terjadinya kesenjangan antar daerah.

Hal ini juga terjadi disebabkan karena pertumbuhan ekonomi di tiap kota Sumatera Utara sangat tinggi, sedangkan pembangunan yang terlalu memfokuskan kepada pertumbuhan ekonomi tanpa berorientasi pada pemerataan, akan dapat menyebabkan terjadinya kesenjangan antar daerah. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya kebijakan pemerintah dalam hal pembangunan yang dilaksanakan pada tiap wilayah belum mampu meningkatkan pemerataan pendapatan penduduk dengan baik.

Analisis Jumlah Siswa Tamat SMA/Sederajat

Variabel Jumlah Siswa Tamat SMA/Sederajat memiliki hubungan yang positif terhadap Ketimpangan Pendapatan, yang artinya bahwa semakin besar jumlah siswa tamat SMA/Sederajat akan menyebabkan semakin besar terjadinya Ketimpangan Pendapatan atau apabila variabel lainnya dianggap konstan, maka kenaikan 1% jumlah siswa tamat SMA/Sederajat akan menaikkan ketimpangan pendapatan sebesar 0.0045%.

Dari persamaan diperoleh bahwa koefisien regresi sebesar 0.004505 dan nilai t-hitung sebesar 0.41 dan t-tabel sebesar 1.71 (t-hitung < t-tabel) dengan tingkat signifikasi sebesar 0.6859 (α = 10%). Hal ini berarti bahwa variabel jumlah siswa tamat SMA/Sederajat memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap ketimpangan pendapatan di tiap kota Sumatera Utara.

Analisis yang dapat diberikan sebagai alasan tidak signifikannya jumlah siswa tamat sma/sederajat adalah bahwa adanya dampak dari teori spread effect


(63)

dan backwash effect artinya ada pergerakan besar atau keluarnya orang-orang yang memiliki kualitas baik dari wilayah yang kurang berkembang ke wilayah yang lebih maju, sehingga dengan demikian akan berdampak buruk terhadap daerah yang ditinggal.

Hal ini selanjutnya mengungkapkan bahwa produktivitas tenaga kerja yang semakin tinggi akan menyebabkan kenaikan dalam pendapatan karena pendidikan yang lebih tinggi, sehingga dengan demikian akan berpengaruh terhadap pemerataan pendapatan/ ketimpangan pendapatan (terkait dengan teori human capital). Dalam hal ini, tingkat pendidikan umumnya meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi.

Analisis Pesebaran Jumlah Industri (Besar/Sedang)

Variabel jumlah industri memiliki hubungan yang positif terhadap Ketimpangan Pendapatan, yang artinya bahwa semakin besar/banyak jumlah indusri yang dimiliki suatu wilayah akan menyebabkan semakin tinggi terjadinya Ketimpangan Pendapatan pada daerah tersebut atau apabila variabel lainnya dianggap konstan, maka kenaikan 1% jumlah industri akan menaikkan ketimpangan pendapatan sebesar 0.0011 %.

Dari persamaan diperoleh bahwa koefisien regresi sebesar 0.001093 dan nilai t-hitung sebesar 4.33 dan t-tabel sebesar 2.78 (t-hitung > t-tabel) dengan tingkat signifikasi sebesar 0.0003 (α = 1 %). Hal ini berarti bahwa variabel jumlah industri (besar/sedang) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ketimpangan pendapatan di tiap kota Sumatera Utara.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Boediono, 1998. Teori Pertumbuhan Ekonomi. BPFE, Yogyakarta.

Kamaluddin, Rustian. 2000. Kondisi Hasil Pembangunan dan Terjadinya Ketimpangan Antardaerah. Universitas Trisakti. Jakarta.

Larief, Dochak. 2001. Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global. Cetakan Kedua. Muhammadiyah University Press, Surakarta.

Munandar, Haris, Ferry Kurniawan dan Santoso. 2007. Mencari Hubungan antara Kebijakan Moneter dengan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan : Kajian Menggunakan data Regional Indonesia. Biro Riset Ekonomi, Jakarta.

Nachrowi D. Nachrowi dan Hardius Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Noegroho. Y.S dan Soelistianingsih. 2007. Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah dan Faktor-faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional. Parallel Session IVA : Urban dan Regional. Kampus UI Depok.

Pratomo, Wahyu Ario dan Paidi Hidayat. 2007. Pedoman Praktis penggunaan Eviews dalam ekonometrika. Penerbit USU Press. Medan.

Reksohadiprodjo, Sukanto dan Arief Ramelan. 2001. Ekonomi Perkotaan. Edisi Keempat. BPFE. Yogyakarta.

Sihotang, Jus Samuel. 2006. Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan antar Propinsi di Indonesia. USU Repository. Medan


(2)

Kelimabelas. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sukirno, Sadono. 2006. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Edisi Kedua. Kencana, Jakarta.

Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Cetakan Kedua. PT Bumi Aksara, Jakarta.

Tasrif, Muhammad dan Adrisman Tahar. 2003. Struktur Perekonomian Indonesia, Sumberdaya Teknologi, dan Prakarsa Berindustri. Penelitian Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat.


(3)

Lampiran 1

DATA KETIMPANGAN PENDAPATAN (KPEND), PENGELUARAN PEMERINTAH (LPP), JUMLAH SISWA TAMAT SMA/SEDERAJAT (LP),

DAN JUMLAH INDUSTRI (I) TAHUN 2003-2007

Kota KPEND? LPP? LP? I?

_SIBOLGA-2003 0.0276 11.723 8.7472 2.0000

_SIBOLGA-2004 0.0297 11.708 8.7472 2.0000

_SIBOLGA-2005 0.0314 11.961 8.7757 1.0000

_SIBOLGA-2006 0.0348 12.069 9.1234 1.0000

_SIBOLGA-2007 0.0340 12.593 8.7922 1.0000

_T_BALAI-2003 0.0011 11.723 8.4968 32.000

_T_BALAI-2004 0.0033 11.708 8.4968 32.000

_T_BALAI-2005 0.0073 11.961 8.5162 20.000

_T_BALAI-2006 0.0123 12.069 8.8264 23.000

_T_BALAI-2007 0.0166 12.593 8.6366 20.000

_P_SIANTAR-2003 0.0175 12.097 10.388 42.000

_P_SIANTAR-2004 0.0224 12.218 10.388 42.000

_P_SIANTAR-2005 0.0203 12.298 10.304 42.000

_P_SIANTAR-2006 0.0195 12.572 10.630 44.000

_P_SIANTAR-2007 0.0331 12.887 10.266 44.000

_T_TINGGI-2003 0.0353 11.993 9.5791 19.000

_T_TINGGI-2004 0.0351 11.843 9.5791 19.000

_T_TINGGI-2005 0.0352 11.986 9.2258 18.000

_T_TINGGI-2006 0.0349 12.193 9.9707 20.000

_T_TINGGI-2007 0.0330 12.587 9.5287 16.000

_MEDAN-2003 0.4668 11.738 11.614 206.00

_MEDAN-2004 0.4852 13.820 11.614 206.00

_MEDAN-2005 0.5123 13.943 11.739 189.00

_MEDAN-2006 0.5469 14.095 11.587 239.00

_MEDAN-2007 0.5891 14.376 11.716 233.00

_BINJAI-2003 0.0478 12.130 9.8628 34.000

_BINJAI-2004 0.0436 12.151 9.8628 34.000

_BINJAI-2005 0.0474 12.190 9.8126 33.000

_BINJAI-2006 0.0496 12.523 10.139 20.000


(4)

Hasil Analisis Eviews 5.0 dengan FEM

Dependent Variable: KPEND? Method: Pooled Least Squares Date: 06/05/09 Time: 08:13 Sample: 2003 2007

Included observations: 5 Cross-sections included: 6

Total pool (balanced) observations: 30

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -0.290132 0.120680 -2.404138 0.0255

LPP? 0.023860 0.004544 5.250958 0.0000

LP? 0.004519 0.010987 0.411277 0.6850

I? 0.001093 0.000253 4.325253 0.0003

Fixed Effects (Cross)

_SIBOLGA--C -0.006409 _T_BALAI--C -0.054934 _P_SIANTAR--C -0.077287 _T_TINGGI--C -0.027756 _MEDAN--C 0.198508 _BINJAI--C -0.032122

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.997250 Mean dependent var 0.110747 Adjusted R-squared 0.996202 S.D. dependent var 0.187497 S.E. of regression 0.011555 Akaike info criterion -5.840047 Sum squared resid 0.002804 Schwarz criterion -5.419688 Log likelihood 96.60071 F-statistic 951.8095 Durbin-Watson stat 2.464268 Prob(F-statistic) 0.000000


(5)

Lampiran 3

Hasil Analisis Eviews 5.0 dengan REM

Dependent Variable: KPEND?

Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects) Date: 06/05/09 Time: 08:19

Sample: 2003 2007 Included observations: 5 Cross-sections included: 6

Total pool (balanced) observations: 30

Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -0.392626 0.111680 -3.515625 0.0016

LPP? 0.023761 0.004543 5.230243 0.0000

LP? 0.012496 0.010068 1.241073 0.2257

I? 0.001556 0.000199 7.825395 0.0000

Random Effects

(Cross) _SIBOLGA--C 0.025853

_T_BALAI--C -0.031236 _P_SIANTAR--C -0.075496 _T_TINGGI--C -0.008878

_MEDAN--C 0.108906

_BINJAI--C -0.019149

Effects Specification

S.D. Rho

Cross-section random 0.050224 0.9497

Idiosyncratic random 0.011555 0.0503

Weighted Statistics

R-squared 0.786631 Mean dependent var 0.011335 Adjusted R-squared 0.762012 S.D. dependent var 0.026620 S.E. of regression 0.012986 Sum squared resid 0.004385 F-statistic 31.95162 Durbin-Watson stat 2.338316

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.898309 Mean dependent var 0.110747 Sum squared resid 0.103674 Durbin-Watson stat 0.098897


(6)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Larisma S. Sihotang

NIM : 060523017

Departemen : Ekonomi Pembangunan

Fakultas : Ekonomi

Adalah benar telah membuat skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, dengan mengambil judul: “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan Antarkota Di Sumatera Utara ”.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk digunakan seperlunya.

Medan, Juni 2009

Yang Membuat Pernyataan,


Dokumen yang terkait

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengangguran Di Sumatera Utara

12 117 80

Analisis Faktor Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan Antar Propinsi di Indonesia

6 44 3

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PULAU SUMATERA TAHUN 2011- ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PULAU SUMATERA TAHUN 2011-2015.

0 4 15

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PULAU SUMATERA TAHUN 2011- ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PULAU SUMATERA TAHUN 2011-2015.

0 3 16

PENDAHULUAN ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PULAU SUMATERA TAHUN 2011-2015.

0 3 10

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan Di Provinsi Jawa Timur (Tahun 2011-2015).

0 2 13

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan Di Provinsi Jawa Timur (Tahun 2011-2015).

0 3 17

ANALISIS KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DI Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Di Kabupaten Banjarnegara Tahun 1990-2010.

0 1 15

ANALISIS KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DI Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Di Kabupaten Banjarnegara Tahun 1990-2010.

0 0 13

TAP.COM - ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ... 1604 6090 1 PB

0 11 20