mengembangkan ekspresi budaya tradisional dengan cara membangun fasilitas di daerah-daerah tertentu.
1. Aplikasi Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Bagi Aset
Intelektual Daerah
Dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah, terutama pada dekade terakhir ini, pemerintah daerah kabupatenkota seakan “berlomba”
mengupayakan peningkatan pendapatan daerah. Yang terakhir ini mencakup pula aset-aset intelektual milik daerah yang memiliki nilai
ekonomi dan potensi untuk dieksploitasi dengan mengikuti kaidah-kaidah dan tata niaga bisnis yang lazim. Hal ini dapat dipahami mengingat adanya
berbagai ragam bentuk dan jenis HKI yang memiliki kaitan dengan aset intelektual daerah, termasuk yang bersumber dari budaya dan tradisi.
75
Dengan adanya pengaturan benefit sharing, tentunya Pemerintah dapat mengalokasikan dana dalam APBN untuk pengembangan ekspresi
budaya tradisional. Selama ini belum ada pengaturan yang mengatur mengenai hal itu, maka dari itu peraturan pelaksaan UUHC harus lengkap
dengan diaturnya konsep benefit sharing.
76
Tentunya setiap daerah perlu anggaran untuk melestarikan ekspresi budaya tradisional seperti membangun fasilitas sanggar dan
75
Henry Soelistyo, Hak Kekayaan Intelektual: Konsepsi, Opini, dan Aktualisasi, Jakarta: Penaku, 2014, h. 321.
76
Wawancara Pribadi dengan Bapak Andi Staff Bagian Hak Cipta Di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: 27 April 2015.
perawatan alat-alat atau benda-benda tradisional. Hal ini dikarenakan, apabila dana hanya diandalkan dari kemampuan individu atau kelompok
masyarakat, akan tidak sebanding dengan banyaknya kebudayaan yang ada. Dengan dilestarikannya ekspresi budaya tradisional, hal itu pun dapat
meningkatkan pendapatan daerah itu sendiri. Yang paling utama adalah bahwa keberadaan ekspresi budaya tradisional daerah tersebut harus tetap
ada dan dapat diwariskan kepada anak cucu kita nanti.
Sejauh ini Indonesia telah memiliki seluruh perangkat hukum HKI. Persetujuan TRIPS yang diratifikasi tahun 1994 menjadi pemicu hampir
seluruh negara melakukan perubahan dan penyempurnaan serta melengkapi
peraturan hukum
yang belum
dimiliki. Dalam
perkembangannya, pada tahun-tahun awal Milenium ini, seluruh perangkat hukum HKI tersebut direvisi. Dengan selesainya penggantian UUHC maka
perangkat perundangan HKI nasional dapat dikatakan telah lengkap dan bulat. Ini berarti, mengkaji status aset-aset daerah berikut perlindungan
hukumnya dapat dengan utuh dipotret dari berbagai konsep HKI, termasuk
prinsip-prinsip hukum HKI nasional yang mengaturnya.
Apabila dikaitkan
dengan status
dan identitas
daerah pertanyaannya kemudian apakah karya-karya ragam seni rupa dalam
segala bentuknya termasuk seni pahat, seni patung, dan batik merupakan aset milik daerah atau milik pengrajin perorangan yang berdomisili di
daerah itu?. Untuk masalah ini ada dua kemungkinan jawaban.
Pertama, batik misalnya merupakan pemilik pengrajin sebagai penciptanya. Ini terjadi apabila batik itu merupakan karya perorangan yang
memiliki bobot seni dan diciptakan berdasarkan ide sendiri atau memenuhi syarat orisinalitas. Kedua, milik daerah. Ini terjadi apabila karya tersebut
merupakan karya tradisional yang telah menjadi milik umum karena usia perlindungannya telah usai. Karya-karya seperti ini lazim disebut sebagai
public domain . Sebagai milik umum, karya-karya seperti ini tidak dapat
diklaim sebagai milik daerah. Yang perlu dicatat adalah prinsip pembatasan yang diatur dalam UUHC. Intinya, ciptaan public domain
bebas digunakan oleh WNI tetapi tidak oleh WNA.
77
2. Pemanfaatan Ekspresi Budaya Tradisional Oleh Pihak Asing