1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya tradisional merupakan hasil pemikiran atau ide yang bisa terjadi pada setiap diri manusia berdasarkan kemampuan, keahlian dan
keterampilan yang mereka punya. Karya-karya tersebut dihasilkan di daerah mereka berada. Karya tradisional perlu dilindungi karena termasuk Hak
Kekayaan Intelektual HKI yang mengandung hak eksklusif artinya hak yang melekat pada diri manusia. Suatu karya tradisional patut dilindungi agar tidak
terjadi suatu hal yang tidak diinginkan seperti pembajakan, plagiat, dan kejahatan lainnya. Dengan kata lain, perlindungan terhadap karya tradisional
diperlukan agar hasil karya yang mereka lahirkan tidak dapat direbut atau diakui oleh mereka yang tidak menyadari pentingnya HKI.
Munculnya ketidakadilan yang dirasakan oleh negara berkembang terjadi karena ekspresi budaya tradisional bangsa-bangsa di dunia ketiga itu
tidak mendapat perlindungan sebagaimana kekayaan intelektual di negara maju.
1
Masalah hak cipta muncul berkaitan dengan masalah liberalisasi ekonomi di satu pihak dan masalah kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia
di pihak lain. Kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia masih dalam masa
1
Agus Sardojono, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, Bandung: PT Alumni, 2010 h. 35.
transisi industrial yang belum semuanya mengerti dan memahami masalah hak cipta yang sebelumnya tidak kenal. Masyarakat transisi industrial digambarkan
sebagai masyarakat yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat agraris yang bercorak komunal-tradisional ke masyarakat industri yang bercorak
individual-modern. Perubahan itu berkaitan dengan struktur hubungan masyarakat yang belum tuntas ke corak yang lebih rasional dan komersial
sebagai akibat dari proses pembangunan yang dilakukan. Dalam masyarakat semacam itu, hukum yang mengatur juga
mencerminkan masa peralihan yang digambarkan sebagai wajah hukum yang berpijak pada dua kaki dengan langkah yang berbeda, yakni satu kaki sedang
melangkah pada corak hukum modern sementara kaki yang lain masih menapak pada hukum tradisional. Demikian halnya dengan hukum yang
mengatur masalah hak cipta, meskipun secara normatif tidak banyak mengandung masalah untuk diberlakukan di Indonesia, akan tetapi secara
kultural akan banyak mengalami problem dalam pelaksaannya.
2
HKI mencegah dilakukannya tindakan penjiplakan atau plagiat, yaitu suatu tindakan dengan maksud menarik keuntungan dari ciptaan-ciptaan
yang merupakan kekayaan intelektual seseorang. HKI juga menetapkan kaidah-kaidah hukum yang mengatur ganti rugi yang harus dipikul oleh orang
yang melanggarnya dengan melakukan tindakan penjiplakan.
3
2
Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005 h. 201-202.
3
Ibid , h. 190.
Langkah Dewan Perwakilan Rakyat DPR Republik Indonesia dan Pemerintah mengganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta adalah upaya sungguh-
sungguh dari negara untuk melindungi hak ekonomi dan hak moral Pencipta dan pemilik Hak Terkait sebagai unsur penting dalam pembangunan kreativitas
nasional. Teringkarinya hak ekonomi dan hak moral dapat mengikis motivasi para Pencipta dan pemilik Hak Terkait untuk berkreasi. Hilangnya motivasi
seperti ini akan berdampak luas pada runtuhnya kreativitas makro bangsa Indonesia. Bercermin kepada negara-negara maju tampak bahwa pelindungan
yang memadai terhadap Hak Cipta telah berhasil membawa pertumbuhan ekonorni kreatif secara signifikan dan mernberikan kontribusi nyata bagi
perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Isu-isu di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan hak-hak penduduk
asli telah menjadi sumber perdebatan tahun terakhir ini. Perkembangan untuk memecahkan isu-isu sekitar pokok masalah ini tidaklah mudah mengingat
rumitnya pokok masalah ini dan kontradiksi-kontradiksi untuk mengakui bentuk-bentuk perlindungan. Sejumlah kasus yang dialami oleh negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia, adalah mengenai penyalahgunaan terhadap sumber-sumber daya biologis dan sumber daya genetika, danatau yang
berhubungan dengan ekspresi budaya tradisional telah menyoroti kebutuhan dan menekankan urgensi untuk memusatkan perhatian pada isu ini, karena
meningkatnya “biopiracy” tanpa persetujuan atau ijin dari para pemegang hak dan tanpa kompensasi yang memadai.
4
Di tingkat Internasional, Indonesia telah ikut serta menjadi anggota dalam Agreement Establishing The World Trade Organization persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia yang mencakup Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual yang selanjutnya disebut TRIPs, melalui
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Konsekuensi penerimaan dan keikutsertaan Indonesia dalam
persetujuan TRIPs membawa pengaruh bagi Indonesia untuk mengakomodasi semua peraturan HAKI. Di samping itu, untuk perlindungan secara
internasioanl TRIPs mengisyaratkan agar negara-negara anggota menyesuaikan peraturan nasionalnya dengan Paris Convention 1967, Bern Convention
1971, Rome Convention 1961 dan Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits 1989 Article 2and Article 3, TRIPs Agreement
1994. Isyarat itu sudah barang tentu menghendaki agar Indonesia turut
meratifikasi keempat konvensi itu di samping WTO yang sudah diratifikasi. Sampai saat ini dari keempat konvensi itu, Indonesia baru hanya meratifikasi
4
Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional
, Depok: LPHI-FHUI, 2005 h. 17.
dua konvensi dari 4 konvensi yang diharuskan tersebut yakni Paris Convention 1967
dan Bern Convention 1971.
5
Seiring dengan masuknya TRIPs Agreement dalam WTO, muncul anggapan pada sebagian masyarakat bahwa sistem HKI merupakan salah satu
alat bagi negara maju untuk melindungi kepentingan perdagangan mereka. Anggapan ini tidak seluruhnya benar karena sesungguhnya yang kaya akan
sumber daya alam akan turut terlindungi. Tentunya hal ini sangat tergantung bagi negara yang bersangkutan mau memanfaatkannya atau tidak melalui
pengembangan sistem HKI yang ada. Kekayaan alam yang dimiliki oleh negara berkembang yang terkait dengan indikasi geografis, ekspresi budaya
tradisional termasuk ekspresi foklor dan sumber daya genetika perlu mendapatkan perhatian lebih karena ini merupakan aset yang sangat potensial
bagi kemakmuran bangsa.
6
Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 yang berjudul „Ekspresi Budaya Tradisional dan Hak Cipta atas Ciptaan yang
Penciptanya Tidak Diketahui ‟ menetapkan :
1 Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.
2 Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara
ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat 1.
5
Ok Saidin,Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,Jakarta: Rajawali Pers, 2010 h. 24.
6
Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional
, Depok: LPHI-FHUI, 2005, h. 2.
3 Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya.
4 Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh
Negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Undang-undang Hak Cipta Tahun 2014 secara garis besar mengatur yang membedakan dengan Undang-undang sebelumnya yaitu,
pelindungan Hak Cipta dilakukan dengan waktu lebih panjang sejalan dengan penerapan aturan di berbagai negara sehingga .jangka waktu pelindungan Hak
Cipta di bidang tertentu diberlakukan selama hidup pencipta ditambah 70 tujuh puluh tahun setelah pencipta meninggal dunia. Pelindungan yang lebih
baik terhadap hak ekonomi para pencipta danatau Pemilik Hak Terkait, termasuk membatasi pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus sold
flat . Penyelesaian sengketa secara efektif melalui proses mediasi, arbitrase
atau pengadilan, serta penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana. Berbicara mengenai HKI, perlu dipahami kembali bahwa HKI
bukan masalah perlindungan hukum semata. HKI juga terkait erat dengan alih teknologi, pembangunan ekonomi, dan martabat bangsa. Dalam suatu hasil
kajian yang dilakukan WIPO dinyatakan bahwa HKI merupakan sebuah kekuatan yang dapat dipergunakan untuk memperkaya kehidupan seseorang
dan masa depan suatu bangsa secara material, budaya dan sosial. Dengan demikian, pengembangan sistem HKI nasional sebaiknya tidak hanya
dilakukan dengan pendekatan hukum legal approach tapi juga dengan pendekatan teknologi dan bisnis business and technological approach.
Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas, jelas pula bahwa pengembangan sistem HKI nasional bukan saja menjadi tugas dan tanggung
jawab satu instansi, dalam hal ini Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, tetapi juga perlu didukung oleh berbagai pihak. Jalinan kerja sama
dan koordinasi yang baik dengan berbagai instansi pemerintah terkait dan juga kalangan swasta akan sangat membantu pencapaian tujuan sistem HKI
nasional. Hal yang tidak kalah penting adalah partisipasi masyarakat yang semakin memahami dan sadar akan keberadaan dan pentingnya HKI.
7
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk menulis dalam bentuk penelitian dengan judul sebagai berikut: “Perlindungan Hukum
Ekspresi Budaya Tradisional Untuk Kepentingan Komersial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah