Sistematika Penulisan Sejarah Hak Kekayaan Intelektual

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan analisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompakan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian, kemudian dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.

6. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Ada pun sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut:

Bab I adalah Pendahuluan, pada bab ini akan membahas latarbelakang,

pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan review kajian terdahulu, metode penelitian, kerangka konseptual serta sistematika penulisan.

Bab II adalah Tinjauan Umum, bab ini akan membahas mengenai sejarah Hak

Kekayaan Intelektual, pengertian Hak Kekayaan Intelektual, tujuan Hak Kekayaan Intelektual, dan pengertian ekspresi budaya tradisional. Bab III membahas tentang bentuk perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional. Yang memuat perlindungan ekspresi budaya tradisional dalam undang-undang nasional dan secara umum. Bab IV adalah Analisis, bab ini akan membahas mengenai penerapan konsep benefit sharing untuk kepentingan komersial. Dalam bab ini membahas penggunaan ekspresi budaya tradisional yang menyimpang seperti Reog Ponorogo dan Angklung. Selain itu, membahas benefit sharing dalam ekspresi budaya tradisional. Bab V adalah Penutup, bab ini akan membahas mengenai hasil penelitian dari skripsi dan saran-saran yang dikemukakan dari hasil penelitian. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL

A. Sejarah Hak Kekayaan Intelektual

Sejak awal tahun 1980-an, pembaharuan di bidang HKI terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia dimulai dari tiga cabang terbesar HKI, yaitu: Hak Cipta, Merek, dan Paten, sampai dengan cabang-cabang lainnya seperti Desain Industri, Rahasia Dagang, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Varietas Tanaman. Menanggapi pembaharuan yang telah dilakukan oleh pemerintah, banyak pengamat HKI menilai kebijakan itu lebih disebabkan karena faktor keterpaksaan dari pada kebutuhan. Timbulnya anggapan demikian didasarkan pada pengamatan bahwa pembaharuan muncul bukan atas kesadaran sendiri melainkan karena tekanan dari negara-negara maju. Seorang pengamat HKI, Christoph Antons menangkap kesan ini dengan mengatakan bahwa “ketertarikan pemerintah Indonesia terhadap hukum HaKI lebih disebabkan oleh tekanan dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat”. Pada pertengahan tahun 1990-an fokus diskusi HKI mulai bergeser dari isu nasional ke isu internasional. Negara-negara maju yang memprakarsai perlindungan HKI secara internasional mulai menunjukan eksistensinya sedangkan negara-negara berkembang hanya bisa pasrah dan menurut kemauan pihak-pihak industri besar setelah mengalami berbagai kekalahan dalam beberapa lobi di tingkat internasional. 16 Terlebih setelah diluncurkannya perjanjian TRIPs, sebuah perjanjian internasional tentang perlindungan HKI, ruang gerak untuk menyuarakan ketaksetujuan atas kehadiran HKI, seperti tidak ada lagi. Meskipun perjanjian TRIPs telah dihasilkan dan setiap negara yang tergabung di dalam WTO telah sepakat untuk melindungi HKI sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, keberadaan HKI di dalam perjanjian tersebut tetap dianggap sebagai suatu yang berlebihan, terutama dari sudut pandang negara-negara berkembang. Banyak pihak berpendapat bahwa HKI sebenarnya adalah salah satu bentuk penjajahan baru yang diterapkan oleh negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang dan terbelakang. A. Samuel Oddie di dalam sebuah tulisannya menyebutkan bahwa perlindungan HKI di bawah perjanjian TRIPs sebagai sebuah “bentuk penjajahan ekonomi yang sopan” a polite form of economic imperialism . Timbulnya pendapat yang demikian didasarkan pada fakta bahwa keuntungan dan perlindungan HKI lebih dirasakan oleh negara- negara maju ketimbang negara-negara berkembang. Akibatnya, banyak negara berkembang yang bersikeras untuk melindungi HKI tidak seketat negara-negara maju dengan pertimbangan untuk mengurangi monopoli 16 Tim Lindsey, ed., dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: PT. Alumni, 2013, h. 73. perusahaan multinasional serta memperlancar proses alih teknologi ke negara-negara berkembang. 17 Fenomena di atas telah membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa dari sudut pandang negara-negara berkembang, HKI adalah topik yang kontroversial dan bersifat dilematis. Jika perlindungan HKI dilaksanakan secara ketat, pembangunan akan terhambat. Sebaliknya, kurang memadainya perlindungan hukum di bidang HKI, akan menjadi bumerang dan selanjutnya menjadi landasan kuat bagi World Trade Organization untuk mengeluarkan sanksi dagang terhadap negara-negara berkembang. Sebagai konsekuensinya, manfaat HKI untuk negara-negara berkembang selalu diperdebatkan dengan memfokuskan pada dampak negatif yang ditimbulkan oleh sistem HKI, seperti mahalnya harga barang dan isu alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Keadaan ini tentu kurang menguntungkan bagi negara-negara berkembang yang nota bene adalah konsumen terbesar dari produk-produk yang sarat HKI. Pertanyaan-pertanyaan penting pun kemudian muncul. Haruskah kita terus menentang perlindungan HKI pasca perjanjian TRIPs ataukah kita mencoba memanfaatkannya untuk kepentingan pembangunan? Jika kita telah memilih sikap, langkah apa yang harus diambil? Menunggu bantuan 17 Ibid, h. 74. dari pihak asing ataukah mencoba berbenah dengan menggali potensi diri sendiri? 18

B. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual

Dokumen yang terkait

Perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional untuk kepentingan komersial berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta

18 54 87

Perlindungan Hukum Pemegang Hak Terkait Terhadap Penggandaan Hak Cipta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

0 25 113

Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya Tradisional Oleh Negara Sebagai Pemegang Hak Cipta Kekayaan Intelektual Komunal Masyarakat Sulawesi Tenggara Dikaitkan Dengan Hak Ekonomi Berdasarkan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.

3 5 24

Perlindungan Hak Cipta atas Penyewaan Buku Tanpa Izin Secara Komersial oleh Taman Bacaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.

0 0 1

Perlindungan Hukum Pemegang Hak Terkait Terhadap Penggandaan Hak Cipta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

0 0 7

Perlindungan Hukum Pemegang Hak Terkait Terhadap Penggandaan Hak Cipta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

0 0 1

Perlindungan Hukum Pemegang Hak Terkait Terhadap Penggandaan Hak Cipta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

0 0 18

Perlindungan Hukum Pemegang Hak Terkait Terhadap Penggandaan Hak Cipta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

0 0 42

Perlindungan Hukum Pemegang Hak Terkait Terhadap Penggandaan Hak Cipta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

0 0 4

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL PADA UPACARA SEDEKAH KAMPUNG DITINJAU DARI PASAL 38 UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA DIKABUPATEN BANGKA BARAT

0 0 14