Pengaruh Implementasi Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah (Dengan Pendekatan Balanced Scorecard)
FISKAL TERHADAP KINERJA PEMERINTAH
KABUPATEN ACEH TENGAH
(DENGAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD)
T E S I S
Oleh
NIZARNI YUHAYANI
067017038/Akt
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
(2)
(DENGAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD)
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
dalam Program Studi Ilmu Akuntansi Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
NIZARNI YUHAYANI
067017038/Akt
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
(3)
FISKAL TERHADAP KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TENGAH
(DENGAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD)
Nama Mahasiswa : Nizarni Yuhayani Nomor Pokok : 067017038
Program Studi : Ilmu Akuntansi
Menyetujui Komisi Pembimbing
( Prof.Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS,MBA,Ak) ( Dra. Sri Mulyani,MBA, Ak)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof.Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak) (Prof.Dr.Ir.T. Chairun Nisa B.,M.Sc)
(4)
menemukan kejelasan tentang fenomena Pengaruh Desentralisasi Fiskal (kewenangan penetapan basis pajak, kewenangan penetapan tarif pajak, kewenangan penetapan jenis pajak, kewenangan penetapan program dan kegiatan, dan kewenangan penetapan anggaran program dan kegiatan. terhadap Kinerja Pemerintah Kabupaten Aceh tengah dengan Pendekatan Penilaian Balanced Scorecard (Perspektif Finansial, Perspektif Pelayanan, Bisnis Internal dan Pertumbuhan & Pembelajaran). Hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan kepada Pemerintah agar dalam desentralisasi fiskal tetap searah dengan tujuan awalnya. Manfaat selanjutnya adalah dapat mendorong Pemerintah untuk merumuskan alat ukur kinerja Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah yang lebih komprehensif, yang tidak hanya diukur dengan kinerja finansial saja dalam hal ini peningkatan rasio PAD terhadap APBD dan Peningkatan PDRB, tetapi perlu memperhatikan kinerja non finansial.
Objek Penelitian adalah seluruh Pemerintah Daerah se Kabupaten Aceh Tengah yang terdiri 14 unit Dinas tk II, 5 unit Kantor, 4 unit Badan serta terdapat 14 Kepala bagian di Kantor Bupati, termasuk didalamnya 3 Asisten Bupati. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebar Kuesioner, Metode ini digunakan dalam rangka mengumpulkan data yang langsung dicari sendiri oleh peneliti pada saat penelitian di lapangan. Selain itu dibutuhkan juga data-data yang tidak dikumpulkan sendiri oleh peneliti secara langsung di lapangan melainkan Data yang dikumpulkan melalui teknik dokumentasi ini meliputi data-data tentang kinerja financial (PAD, PDRB, dll), dan pelaksanaan desentralisasi fiskal (DAU, Dana bagi hasil, dll).
Hasil Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada Pengaruh yang signifikan antara Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja pemerintah Aceh tengah dengan Pendekatan Balanced Scorecard. Namun dari kelima indikator variabel independen tersebut, hanya ada satu variabel yang mempunyai kaitan paling erat, yakni Penetapan Jenis Pajak yang ditentukan oleh Pemerintahan Aceh Tengah terhadap tiga perspektif penilaian kinerja Pemerintahan yaitu Perpektif Financial, Perpektif Proses Internal dan Perspektif Pertumbuhan & Pembelajaran. Namun tidak mempunyai korelasi yang erat dengan Perspektif Pelayanan Masyarakat.
Kata Kunci : Desentralisasi Fiskal, Kinerja Pemerintahan Aceh Tengah, Balanced Scorecard
(5)
Target of this Research is to prove empirically and find clarity about phenomenon Influence of Fiscal Decentralization ( to authority specifying of tax bases, to authority specifying of tax rate, to authority specifying of tax type, to authority specifying of activity and program, and to authority specifying of program budget and activity. to Governmental Performance of Middle Aceh distrik, with Approach of Assessment Balanced Scorecard ( In Finansial Perpective, Service Perpective, Internal Business Perpective and Growth & Study Perpective). Result of research expected can give input to Government in expection of fiscal decentralization remain to be unidirectional with a purpose to initially. Benefit hereinafter is can push Government to formulate Governmental performance measuring instrument of Middle Aceh which more comprehensive, which do not only measured with just finansial performance in this case the make-up of PAD ratio to APBD and Improvement PDRB, but require to pay attention performance of non finansial.
The object of this research is all Local Government in middle Aceh. The data collecting is conducted by disseminating Kuesioner, This Method used in order to collecting namely data which is direct to be searched by researcher. Besides needed also namely data which not collected by self by researcher but collected Data through this documentation technique data, about financial performance ( PAD, PDRB, etc), and fiscal decentralization execution ( DAU, Fund sharing holder, etc).
The result of this Research can be concluded that there is significant Influence of Fiscal Decentralization to governmental Performance of Middle Aceh with Approach of Balanced Scorecard. But from is fifth of the independent variable indicator, there's only one variable having influence bearing, namely to authority specifying of tax type by Governance of Middle Aceh to three is in perpective of assessment of Governance performance that is Financial perpective, Internal Process perpective and Growth & Study perpective. But don't have hand in glove correlation In Service Society Perpectively.
Keyword : Fiscal Decentralization, Performance Governance of Middle Aceh, Balanced Scorecard
(6)
Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah serta bimbingan-Nya selama mengikuti perkuliahan dan
menyelesaikan tesis ini, Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan berbagai pihak tidak
mungkin tesis ini dapat terselesaikan. Untuk ini perkenankan penulis menyampaikan
rasa terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak Prof.Chairudin P.Lubis, DTM&H, SpA(K), selaku Rektor Universitas
Sumatra Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister.
2. Ibu Prof.Dr.Ir.T.Chairuman Nisa B, M.Sc dan Prof.Dr.Ir. Rahim Matondang
selaku direktur dan pembantu dierktur 1 sekolah pasca sarjana Universitas
Sumatera Utara, atas kesempatan kami menjadi mahasiswa program magister
akuntansi pada sekolah pasca sarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Prof.Dr.Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA Ak dan Ibu Sri Mulyani, MBA,Ak
selaku pembimbing yang telah memberikan perhatian dan dorongan melalui
bimbingan dan saran dalam penyelesain tesis ini.
4. Bapak Drs.Rasdianto, MA, Ak Bapak Drs.Indhar Yahya, MBA, Ak dan Bapak
Drs.Zainul Bahri Torong, Msi, Ak selaku dosen penguji. Terima kasih atas saran
(7)
dan memberikan semangat kepada penulis, dan Suami Ku Luthfi ST terima kasih
atas cinta dan kasih sayang nya yang selalu diberikan kepada penulis dan
anakku Annisa Naylatul Izzah, kehadiranmu membuat Ine kuat dalam
perjuangan menyelesaikan studi ini.
6. Keluarga Besar dan Perumnas, atas segala bantuan dan dukungan kepada penulis
untuk menyelesaikan studi ini.
7. Teman- teman Angkatan 11 yang tidak dapat penulis cantumkan namanya
Khusus Rekan - rekan di Sekateriat Daerah Kabupaten Aceh Tengah dan teman
–teman lainnya yang pada kesempatan ini tidak dapat penulis cantumkan
namanya satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dengan keterbatasan pengetahuan penulis, maka itu
dengan segala kerendahan hati penulis memohon segala kritik dan saran demi
perbaikan hasil penelitian ini. Teima kasih
Medan, Juni 2008 Penulis
(8)
N a m a : Nizarni Yuhayani
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Takengon, 26 Juni 1977
Agama : Islam
Alamat : Jl. Asir-asir atas No. 19 Takengon
Orang Tua
• Ayah : Ruslan Ema. BA ( Alm )
• Ibu : Nuraini
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Strata 1 : Universitas Syiah Kuala
2. SMA : SMA Negri 1 Kutacane
3. SMP : SMP Negri 2 LHOKSEUMAWE
(9)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang... ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 7
1.3. Tujuan Penelitian... 8
1.4. Manfaat Penelitian... 9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1. Landasan Teori... 11
2.1.1. Konsep Desentralisasi Fiskal ... 11
2.1.2. Implementasi Desentralisasi Fiskal... 18
(10)
2.1.4. Pengukuran Kinerja Pemerintah dengan Balance Scorecard... 29
2.2. Penelitian Terdahulu ... 37
2.2.1. Peneliti Tentang Desentralisasi Fiskal ... 37
2.2.2. Peneliti Tentang Balanced Scorecard ... 39
2.2.3. Peneliti Tentang Kinerja Organisasi Pemerintah ... 39
2.2.4. Peneliti Tentang Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Finansial ... 41
2.3. Kerangka Konseptual... 43
2.4. Hipotesis ... 45
BAB III METODA PENELITIAN ... 47
3.1. Rancangan Penelitian... 47
3.2. Populasi dan Sampel ... ... 48
3.3 Prosedur Pengumpulan Data... 49
3.3.1. Jenis Data ... 49
3.3.2. Sumber Data... 50
3.3.3. Prosedur Pengumpulan Data... 50
3.4 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel... 51
3.5 Pengujian Kelayakan Instrumen ... 54
(11)
BAB IV HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN ... 57
4.1. Identitas Responden ... 57
4.2. Deskripsi Variabel ... 57
4.3. Pengujian Normalitas Data ... 59
4.4. Uji Multikolinearitas ... 65
4.5. Uji Heterokedastisitas ... 66
4.6. Uji Autokorelasi... 69
4.7. Pengujian Hipotesis Secara Parsial ... 70
4.8. Pengujian Hipotesis Secara Simultan ... 75
4.9. Pengujian Hipotesis Secara Connonical Correlation ... 79
4.10. Pembahasan... 83
BAB V KESIMPULAN & SARAN ... 100
5.1. Kesimpulan ... 100
5.2. Keterbatasan Penelitian... 102
5.3. Saran ... 103
(12)
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
2.1 Perbedaan Antara Manajemen Tradisional dan Manajemen Balance
Scorecard... 32
2.2 Peneliti Terdahulu... 42
3.1 Definisi Operasional Variabel... 49
4.1 Identitas Responden... 57
4.2 Statistik Deskriptif Variabel... 58
4.3 Uji Multikolinearitas... 65
4.4 Koefisien Regresi Perpektif Pelayanan Sebagai Variabel Dependent 71 4.5 Koefisien Regresi Perpektif Finansial Sebagai Variabel Dependent 72 4.6 Koefisien Regresi Perpektif Proses Internal Sebagai Variabel Dependent... 73
4.7 Koefisien Regresi Perpektif Pertumbuhan & Pembelajaran Sebagai Variabel Dependent... 74
4.8 Pengujian Hipotesis Simultan, Perpektif Pelayanan Sebagai Variabel Dependent... 76
4.9 Pengujian Hipotesis Simultan, Perpektif Finansial Sebagai Variabel Dependent... 77
4.10 Pengujian Hipotesis Simultan, Perpektif Proses Internal Sebagai Variabel Dependent... 78
4.11 Pengujian Hipotesis Simultan, Perpektif Pertumbuhan & Pembelajaran Sebagai Variabel Dependent... 79
4.12 Pengujian Hipotesis Dengan Cononical Correlations... 80
(13)
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
4.1 Normalitas Data untuk Variabel ”X1”... 60
4.2 Normalitas Data untuk Variabel ”X2”... 60
4.3 Normalitas Data untuk Variabel ”X3”... 61
4.4 Normalitas Data untuk Variabel ”X4”... 61
4.5 Normalitas Data untuk Variabel ”X5”... 62
4.6 Normalitas Data untuk Variabel ”Y1”... 62
4.7 Normalitas Data untuk Variabel ”Y2”... 63
4.8 Normalitas Data untuk Variabel ”Y3” ... 63
4.9 Normalitas Data untuk Variabel ”Y4” ... 64
4.10 Uji Heterokedastisitas Perpektif Pelayanan Sebagai Variabel Dependent... 66
4.11 Uji Heterokedastisitas Perpektif Finansial Sebagai Variabel Dependent ... 67
4.12 Uji Heterokedastisitas Perpektif Proses Internal Sebagai Variabel Dependent... 68
4.13 Uji Heterokedastisitas Perpektif Pertumbuhan & Pembelajaran Sebagai Variabel Dependent... 69
(14)
No 1
DAFTAR LAMPIRAN
Judul
Frequency Table...
Halaman 112
2 Analisa Regression... 121
3 Regression... 122
4 Uji Validasi & Realiability Variable ( X )... 125
(15)
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejarah pembangunan ekonomi di Indonesia, peranan pemerintah dalam
berbagai sektor sangat signifikan yaitu melalui instrumen moneter dan fiskal. Tujuan
intervensi pemerintah terhadap sistem perekonomian sebagaimana tertuang dalam
SPPN UU No. 5 tahun 2005 tentang Sistem Perencanaan Pembanganan Nasional
meliputi: (1) pertumbuhan ekonomi, (2) pemerataan hasil-hasil pembangunan; dan (3)
stabilisasi. Pencapaian ketiga tujuan pembangunan ekonomi tersebut dilakukan
pemerintah dengan melaksanakan berbagai instrumen kebijakan moneter dan fiskal.
Instrumen pokok dalam kebijakan moneter yang diambil pemerintah adalah kebijakan
suku bunga dan money supply. Sementara untuk instrumen kebijakan fiskal yang utama adalah pengenaan pajak dan subsidi. Kebijakan fiskal yang akan dilaksanakan
pemerintah tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang
disusun setiap tahun.
Alokasi anggaran pemerintah antar sektor merupakan indikator keberpihakan
pemerintah dalam memacu pertumbuhan sektor tersebut. Pada awal pembangunan,
perhatian pemerintah sebagian besar diarahkan untuk pembangunan sektor pertanian,
terutama dalam mencapai swasembada pangan. Untuk itu, berbagai program
dilaksanakan dalam rangka mendorong produksi pertanian terutama tanaman pangan,
(16)
investasi pemerintah untuk pembangunan infrastruktur seperti saluran irigasi dan
pencetakan areal baru.
Pada dasawarsa terakhir, perubahan lingkungan strategis baik internal maupun
eksternal sangat cepat dan besar pengaruhnya terhadap kebijakan pemerintah baik
fiskal maupun moneter. Beberapa perubahan lingkungan strategis telah terjadi, baik
domestik maupun internasional, seperti: (1) dinamika ekonomi global dengan segala
manfaat dan kelemahannya; (2) perubahan sistem manajemen pembangunan ke arah
desentralisasi dan otonomi daerah di Kabupaten/Kota; dan (3) reorientasi peran
pemerintah dalam pembangunan dari sebagai “pelaku” menjadi “pemicu dan
pemacu” pembangunan yang dilaksanakan masyarakat (Suryana A, 2001).
Sementara itu perubahan lingkungan strategis domestik yang sangat besar
mempengaruhi kebijakan perekonomian adalah desentralisasi fiskal dan otonomi
daerah. Perubahan lingkungan strategis tersebut berdampak pada perubahan
kebijakan yang diambil pemerintah serta pada penerimaan dan belanja pemerintah.
Dalam konteks perimbangan keuangan pusat dan daerah, berarti sebagian penerimaan
dalam negeri diserahkan penggunaannya kepada daerah. Sebagai konsekuensinya
jumlah anggaran pembangunan yang dikelola pemerintah pusat menurun drastis.
Secara garis besar, fiskal dalam keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah.
Kedua komponen tersebut sangat menentukan kedudukan suatu pemerintahan daerah
dalam rangka melaksanakan otonomi. Implementasi desentralisasi fiskal dan
(17)
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 1999 (yang kini direvisi dengan cara
mengganti menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004),
memberikan kewenangan yang luas dan nyata kepada pemerintah daerah untuk
mengelola dan mengatur sumberdaya sesuai dengan kepentingan masyarakat
daerahnya. Pemerintah daerah berwenang untuk menetapkan prioritas pembangunan
sesuai dengan potensi dan sumberdaya yang dimilikinya.
Dengan adanya perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke
desentralistik, yang dimulai pada tahun anggaran 2001 (Januari 2001) tersebut
membawa konsekwensi perlunya diadakan perubahan pendekatan pada manajemen
keuangan daerah terutama pada sisi pengelolaan fiskal. Kebijakan perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah juga perlu disesuaikan dengan
semangat pelaksanaan otonomi daerah yakni dengan menerapkan kebijakan
desentralisasi fiskal.
Sementara itu, menurut Abimanyu (2003), dalam pelaksanaan desentralisasi
fiskal, kebijakan pengalokasian anggaran belanja bagi daerah, baik dalam bentuk
dana perimbangan maupun dana alokasi khusus diupayakan tetap konsisten dengan
kebijakan fiskal nasional. Kebijakan dimaksud lebih diarahkan untuk memperkecil
ketimpangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dengan tetap menjaga
netralitas fiskal, memperkecil ketimpangan, serta meningkatkan akuntabilitas,
(18)
Kondisi sosial, ekonomi dan politik dalam negeri juga menyebabkan
terjadinya persaingan kepentingan (competing urgency) yang sangat besar dari kegiatan-kegiatan yang dibiayai pemerintah pusat, hal ini disebabkan karena
banyaknya masalah mendasar yang harus ditangani pemerintah pusat.
Masalah-masalah tersebut antara lain pengentasan kemiskinan, pengangguran, Masalah-masalah politik
dan pembayaran hutang. Akibatnya alokasi anggaran pembangunan menjadi lebih
rendah.
Akibat perubahan yang sangat dinamis pada aspek lingkungan strategis
(internal maupun eksternal) dengan berbagai konsekuensinya terhadap kebijakan
pemerintah dan arah kebijakan pembangunan di Indonesia maka peneliti tertarik
untuk mengkaji apakah perubahan kebijakan pemerintah tersebut berdampak
terhadap kinerja pemerintah daerah.
Dengan diberikannya kewenangan yang lebih besar ini, maka daerah harus
mampu melaksanakan dan mempertanggungjawabkan kewenangannya tersebut
dalam bentuk peningkatan kinerja pemerintah daerah dalam arti menjadi lebih efisien,
efektif, akuntabel, transparan dan responsif secara berkesinambungan (Mardiasmo,
2002a). Oleh karenanya, pengukuran kinerja suatu daerah sangat penting, guna
mengevaluasi dan sebagai informasi yang akurat bagi perencanaan dan perumusan
kebijakan selanjutnya (Dwiyanto,dkk.,2003). Beberapa jenis informasi yang
digunakan disiapkan dalam rangka menjamin bahwa pekerjaan yang telah ada,
dilakukan secara efektif dan efisien. Dalam masa proses pertumbuhan suatu daerah
(19)
pengendalian tugas, laporan anggaran dan laporan non-finansial, laporan penggunaan
dan pengendalian biaya, laporan kinerja pegawai dan sebagainya.
Konsep pengukuran kinerja yang hanya mengandalkan pada aspek finansial
saja, saat ini mulai ditinggalkan, karena dianggap hanya mengejar tujuan
kemampulabaan (profatibility) jangka pendek semata. Terlebih jika pengukuran
kinerja dilakukan bagi organisasi pemerintah yang tidak berorientasi profit, maka
sangat diperlukan ukuran-ukuran yang lebih komprehensif. Kinerja pemerintah
tidak hanya diukur melalui perspektif finansial saja, tetapi juga perspektif
non-finansial, seperti masalah kinerja pegawai yang dihubungkan dengan prestasi
produksi dan kualitas pelayanan publik.
Kecenderungan untuk selalu menilai kinerja organisasi hanya berdasarkan
pada perspektif finansial, mengikuti paradigma rational goal model yang mudah terukur secara kuantitatif. Bahkan dalam kegiatan di lingkungan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang bersifat setengah profit, tingkat kesehatan atau kinerja
organisasi pada umumnya diukur berdasarkan tiga kriteria utama, seperti Rentabilitas,
Likuiditas, dan Solvabilitas.
Dari semua ukuran tersebut, secara organisatoris aspek-aspek eksternal
organisasi kurang diperhatikan, seperti tingkat kepuasan pelanggan, loyalitas
pelanggan, employee retention dan lain sebagainya, sehingga organisasi yang hanya berorientasi pada profit tidak dijamin kelanggengannya dalam persaingan global yang menunjukan suatu persaingan yang hypercompetitive. Oleh karenanya muncul pemikiran baru yang dipelopori oleh Kaplan dan Norton tahun 1996 untuk
(20)
memperkenalkan konsep Balanced Scorecard sebagai suatu measurement system
yang mencoba untuk menyeimbangkan alat ukur lama yang hanya berdimensi pada
profitabilitas dengan dimensi-dimensi baru seperti aspek kualitas yang memiliki
elemen-elemen penyeimbangnya. Dengan pengukuran kinerja yang seimbang ini
diharapkan dapat mengintegrasikan energi, kemampuan dan pengetahuan organisasi
yang spesifik (spesific organizational knowledge and ability) dari organisasi agar dapat mencapai long-term strategic goals.
Upaya penyeimbangan ini menyangkut pihak-pihak di dalam dan di luar
organisasi yang dijadikan tolak ukur guna mengimbangi scorecard yang berdimensi ukuran profitabilitas. Biasanya tolak ukur yang dikembangkan adalah aspek
customer satisfaction, employee retention, dan lain sebagainya seperti yang disebut diatas. Peningkatan sales ataupun penurunan cost tidak ada artinya apabila menimbulkan ketidakpuasan dimata masyarakat yang pada akhirnya menurunkan
tingkat kepuasan masyarakat. Demikian pula karena manajemen mengencangkan
ikat pinggang untuk menurunkan cost, sehingga pengiritan ini akan berdampak pada
turn-over pegawai yang tinggi ataupun employee retention yang menurun, sehingga banyak pegawai handal yang meninggalkan organisasi, sehingga untuk
penyembuhannya (recovery) memerlukan waktu lagi untuk recrutment, training dan lain sebagainya.
Menurut Sidik (2002) secara konsepsional, kebijakan Pemerintah di bidang
hubungan keuangan Pusat dan Daerah akan mengacu pada beberapa konsep
(21)
dapat dikembangkan konsep Balanced Scorecard. Konsep Balanced Scorecard yang meskipun tidak 100 % tapi secara filosofis dapat dianalogkan, seperti halnya dengan
perencanaan strategi yang telah menjadi acuan dalam perencanaan pemerintah baik di
tingkat Pusat maupun Daerah. Secara formal pengukuran kinerja Pemerintah Daerah
diatur dalam Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyusunan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah, yaitu untuk meningkatkan kinerja organisasi. Inpres No.
7 Tahun 1999 tersebut mengamanatkan agar setiap pengalokasian atau pengeluaran
anggaran pemerintah harus didasarkan pada pencapaian tujuan sesuai dengan visi dan
misi setiap unit organisasi yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Ukuran kinerja
didasarkan pada pencapaian output, outcome, benefit, dan impact.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kinerja Pemerintah
Kabupaten/Kota yang akan diteliti tidak saja dari aspek finansial, tetapi juga dari
aspek lain seperti pelayanan (masyarakat), perspektif proses bisnis internal dan
perspektif pertumbuhan dan pembelajaran, dengan menggunakan kerangka konsep
sistem manajemen kinerja yang terintegrasi dalam Balance Scorecard.
1.2. Rumusan masalah
Secara umum rumusan masalah dalam penelitian ini adalah akan menjawab
pertanyaan : Apakah Desentralisasi Fiskal telah berjalan baik, pada Pemerintah
(22)
terhadap Kinerja Pemerintah Kabupaten Aceh tengah yang diukur dengan pendekatan
kerangka konsep Balanced Scorecard?
Berdasarkan rumusan masalah secara umum di atas, maka dampak
Desentralisasi Fiskal terhadap kinerja Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dengan
pendekatan balanced scorecard dapat dibuat rumusan masalah secara khusus dalam
penelitian ini sebagai berikut: “Apakah Desentralisasi Fiskal (kewenangan penetapan
basis pajak, kewenangan penetapan tarif pajak, kewenangan penetapan jenis pajak,
kewenangan penetapan program dan kegiatan, dan kewenangan penetapan anggaran
program dan kegiatan berpengaruh langsung terhadap Kinerja Pemerintah Kabupaten
Aceh tengah dalam Perspektif Finansial , Perspektif Pelayanan, Bisnis Internal dan
Pertumbuhan & Pembelajaran ?”
1.3. Tujuan Penelitian
Secara khusus penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: “Untuk
membuktikan Desentralisasi Fiskal (kewenangan penetapan basis pajak, kewenangan
penetapan tarif pajak, kewenangan penetapan jenis pajak, kewenangan penetapan
program dan kegiatan, dan kewenangan penetapan anggaran program dan kegiatan.
berpengaruh langsung terhadap Kinerja Pemerintah Kabupaten Aceh tengah dalam
Perspektif Finansial, Perspektif Pelayanan, Bisnis Internal dan Pertumbuhan &
(23)
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat dibedakan menjadi manfaat operasional bagi
pembuat kebijakan, manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dan manfaat bagi
peneliti.
1.4.1 Manfaat Operasional bagi Pembuat Kebijakan
Desentralisasi Fiskal yang diterapkan hingga saat ini bukanlah tujuan
tetapi adalah alat untuk mencapai tujuan yaitu mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat di daerah dan pada gilirannya nanti akan mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan
kepada Pemerintah agar dalam desentralisasi fiskal tetap searah dengan tujuan
awalnya. Manfaat selanjutnya adalah dapat mendorong Pemerintah untuk
merumuskan alat ukur kinerja Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah yang lebih
komprehensif, yang tidak hanya diukur dengan kinerja finansial saja dalam
hal ini peningkatan rasio PAD terhadap APBD dan Peningkatan PDRB, tetapi
perlu memperhatikan kinerja non finansial.
1.4.2 Manfaat bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Dengan diimplementasikannya Desentralisasi Fiskal sejak tahun 2001
hingga saat ini terjadi perubahan sistem administrasi dan pengambilan
keputusan yang selama ini di dominasi Pemerintah Pusat beralih kepada
Pemerintah Daerah. Penelitian ini mendeskripsikan secara empiris
(24)
Kemudian melihat pengaruh Desentralisasi Fiskal tersebut terhadap Kinerja
Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah. Dalam perjalanan penelitian ini telah
dikumpulkan rumusan konsep dan teori, terjadi proses baik metodologis,
analitis dan penarikan kesimpulan yang mencirikan berkembangnya ilmu
pengetahuan di bidang Manajemen, khususnya Manajemen Keuangan Daerah
dan Desentralisasi Fiskal.
1.4.3 Manfaat bagi Peneliti lain
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
berguna, khususnya bagi para peneliti yang ingin mendalami Desentralisasi
Fiskal dan hubungan antar variabel yang berpengaruh terhadap Kinerja
Pemerintah Kabupaten/Kota. Kepada para peneliti selanjutnya dapat
melakukan penelitian lanjutan dengan cara menggali indikator yang lebih
dalam dan relevan serta belum dibahas dalam penelitian ini, kemudian dapat
(25)
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. LANDASAN TEORI
2.1.1. Desentralisasi Fiskal
Lahirnya kebijakan otonomi daerah yang ditandai dengan diundangkannya
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian
disusul dengan kebijakan desentralisasi fiskal yang berlandaskan Undang-Undang
No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah tidak terlepas dari tuntutan reformasi yang bergulir mulai beberapa tahun
sebelumnya. Salah satu isu utama yang menjadi agenda reformasi adalah adanya
perubahan sistem pemerintahan daerah dari sentralistik menuju ke desentralistik.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa sistem pemerintahan Indonesia di era orde
baru lebih bernuansa sentralistik, walaupun secara formal dinyatakan dalan
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 bahwa prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan
daerah salah satunya adalah prinsip desentralisasi.
a. Konsep Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi menurut jenisnya dapat dibedakan dalam beberapa konsep,
yaitu (Campo dan Sundaram, 2002; Sidik (2002); Martinez-Vazquez dan McNab
(26)
Desentralisasi geografis atau desentralisasi teritorial, yakni pembagian suatu
wilayah menjadi wilayah-wilayah yang lebih kecil dengan kewenangan yurisdiksi
yang jelas diantara daerah-daerah tersebut;
Desentralisasi fungsional yakni pendistribusian kewenangan dan
tanggungjwab negara kepada unit-unit fungsional yang berbeda-beda dalam suatu
pemerintahan;
Desentralisasi politik dan administrasi. Desentralisasi politik berkenaan
dengan kewenangan pembuatan keputusan yang bergeser dari pemerintah yang lebih
tinggi ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Dalam konteks ini partisipasi
masyarakat lokal dalam proses pembuatan keputusan mendapat peluang yang sangat
luas. Sedangkan desentralisasi administrative erat kaitannya dengan desentralisasi
politik, bahkan secara faktual keduanya sulit dibedakan. Namun lebih difokuskan
pada operasionalisasi atau implementasi kebijakan/ keputusan publik agar berhasil
secara optimal.
Desentralisasi finansial, yakni berkaitan dengan pelimpahan tanggung jawab
pembelanjaan dan pendapatan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Bentuk-bentuk desentralisasi finansial ini antara lain adalah self-financing beberapa
penyelenggaraan pembangunan di daerah, cofinancing atau coproduction dengan
pihak-pihak swasta, intesifikasi dan ekstensifikasi pajak-pajak daerah dan retribusi,
pinjaman daerah, serta transfer atau subsidi antar tingkatan pemerintahan.
Berkaitan dengan desentralisasi finansial atau disebut juga sebagai
(27)
Pemerintah kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsi alokasi, fungsi
distribusi dan fungsi stabilisasi, bertujuan untuk mengatur dan mengurus
perekonomian daerah dalam rangka menciptakan stabilitas perekonomian secara
nasional (Suyono, 2003). Ketiga fungsi tersebut menjadi wewenang dan
tanggungjawab pemerintah pusat. Namun untuk menuju kepada sistem pemerintahan
yang lebih efektif dan efisien, sebagian besar wewenang dan tanggungjawab
pemerintah pusat tersebut didesentralisasikan kepada pemerintah daerah, dimana
tetap ada sebagian wewenang dan tanggungjawab yang masih dikendalikan
pemerintah pusat, contohnya seperti kebijakan yang mengatur variabel ekonomi
makro.
Melalui desentralisasi fiskal seperti ini diharapkan dapat meningkatkan
efektivitas pembangunan dan penyediaan pelayanan umum karena semakin dekatnya
masyarakat dengan pemerintah sehingga mampu mengakomodasi kondisi masyarakat
dan wilayah yang heterogen. Disamping itu melalui kebijakan desentralisasi ini juga
diharapkan mampu menciptakan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab
(good government), meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, dan
peningkatan efektivitas dan efisiensi pemerintahan (Bird, 2003; Sidik, 2002; Bahl dan
McMullen, 2000). Dengan demikian desentralisasi merupakan alat untuk mencapai
salah satu tujuan bernegara, terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik
dan menciptakan proses pengambilan keputusan yang lebih demokratis.
Komponen kunci dan utama dalam kebijakan desentralisasi adalah
(28)
keuangan daerah menjadi lebih besar. Pengertian desentralisasi fiskal adalah
pelimpahan kewenangan kepada daerah untuk menggali dan menggunakan sendiri
sumber-sumber penerimaan daerah sesuai dengan potensinya masing-masing (Sidik,
2002; Bird dan Vaillancourt, 2000).
Pemberian wewenang kepada daerah yang lebih luas dalam pemungutan pajak
dan retribusi dapat berakibat pada penurunan investasi dan usaha secara makro
maupun regional karena ini berpotensi melahirkan ekonomi biaya tinggi. Pada sisi
lain desentralisasi juga memunculkan potensi terjadi konflik kepentingan antara
daerah dan nasional. Penyerahan pengelolaan terhadap daerah dapat menyebabkan
beberapa tujuan pembangunan ekonomi secara nasional tidak tercapai.
Sejalan dengan hal ini, menurut Nurkholis (2001), terdapat isu utama yang
mengemuka dan harus segera direspon oleh pemerintah daerah, yaitu: 1) paradigma
baru yang menempatkan rakyat sebagai mitra yang berkedudukan sejajar dalam
perencanaan pembangunan daerah. Hal ini menuntut pemerintah daerah untuk
merencanakan strategi pembangunan daerahnya dengan lebih baik dan terarah, serta
mengimplementasikannya secara transparan dan accountable; 2) perlu disadari bahwa
otonomi daerah harus membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi
setiap pelaku dalam rambu-rambu yang disepakati bersama sebagai jaminan
terselenggaranya keteraturan sosial. Otonomi harus memberikan peluang yang sehat
bagi persaingan antar daerah, yang tentu saja harus dibarengi dengan persyaratan
minimum bagi daerah-daerah yang belum mampu mensejajarkan diri dalam suatu
(29)
b. Landasan Hukum Desentralisasi Fiskal
Pelaksanaan pemerintahan dalam suatu negara merupakan implementasi dari
amanat konstitusi yang mendasarinya. Kebijakan desentralisasi memiliki landasan
hukum yang kuat dan dimuat dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang
memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Dalam pasal ini dan penjelasannya disebutkan bahwa Negara Indonesia terbagi dalam
daerah yang bersifat otonom atau bersifat daerah administratif. Implementasi dari
amanat UUD tersebut direalisasikan dalam bentuk undang-undang, yaitu
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Jika dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 diatur bahwa yang disebut
pemerintah daerah adalah kepala daerah dan DPRD sehingga kedudukan DPRD
sebagai lembaga eksekutif, maka di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999,
secara tegas menetapkan bahwa di daerah dibentuk DPRD sebagai badan legislatif
daerah yang berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah daerah selaku badan
eksekutif daerah yang terdiri dari kepala daerah beserta perangkat daerah. Sedangkan
pada Undang-Undang pemerintahan daerah yang terbaru yakni UU No.32 Tahun
2004, menyatakan bahwa penyelenggara Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah
Daerah dan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah (bukan lembaga
legislatif daerah).
Seiring dengan perkembangan sosial ekonomi dan dari berbagai pengalaman
(30)
5 Tahun 1974 tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi sosial ekonomi
masyarakat dan wilayah, dengan puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi yang
diiringi dengan adanya tuntutan reformasi di segala bidang termasuk di dalamnya
tuntutan desentralisasi/otonomi. Dalam rangka merespon aspirasi tersebut,
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah.
Dalam Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa kewenangan daerah
mencakup kewenangan seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama serta kewenangan bidang lain yang meliputi: kebijakan tentang perencanaan
nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan
keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan
dan pemberdayaan sumberdaya manusia, pemberdayagunaan sumberdaya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional. Selanjutnya
pada pasal 8 ayat 1 dinyatakan bahwa kewenangan pemerintahan yang diserahkan
kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan
pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia sesuai
dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Sedangkan pada pasal 11 ayat 2,
disebutkan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan
(31)
perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup,
pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dalam rangka
desentralisasi fiskal berarti bahwa kepada daerah diberikan wewenang untuk
memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah. Dengan demikian proporsi antara pemberian
wewenang terhadap tugas, tanggungjawab dan pemberian wewenang dalam
pengelolaan keuangan untuk mendukung wewenang, tugas dan tanggungjawab
tersebut hendaknya berimbang.
Setelah dikeluarkannya undang-undang yang menjadi landasan pelaksanaan
desentralisasi fiskal, maka disusun perundangan di bawahnya yang berimplementasi
di lapangan, yaitu dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom, dan
Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan PBB
antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Banyak lagi aturan hukum dan perundangan
yang mendukung pelaksanaan desentralisasi yang bersifat sektoral, seperti
perpajakan, pendidikan, bagi hasil SDA dan lain sebagainya.
Selanjutnya Undang-Undang No.22 dan 25 Tahun 1999 direvisi menjadi
Undang-Undang No.32 dan 33 Tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang tersebut
penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila
penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber
(32)
tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian sumber keuangan
yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi
sumber keuangan daerah (penjelasan atas UU.No.32 Tahun 2004).
Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber-sumber keuangan antara
lain berupa: kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan
pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan
retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya
nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola
kekayaan daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta
sumber-sumber pembiayaan. Dengan pengaturan tersebut, pada prinsipnya
Pemerintah menganut prinsip : uang mengikuti fungsi.
2.1.2. Implementasi Desentralisasi Fiskal
a. Implementasi Undang-undang No. 22 dan No. 25 Tahun 1999
Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal berdasarkan
Undang-undang No. 22 dan No. 25 Tahun 1999 efektif dimulai pada tahun anggaran 2001
(Januari 2001). Dari sisi keuangan negara pelaksanaan desentralisasi fiskal telah
membawa konsekuensi pada perubahan pengelolaan fiskal yang mendasar. Total
dana yang di transfer ke daerah dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi fiskal
pada tahun anggaran 2001 mencapai Rp 81,67 trilyun. Angka ini mencapai 5,7
persen dari PDB yang berarti terjadi peningkatan tajam dibandingkan dengan tahun
(33)
signifikan pada transfer dana ke daerah menyebabkan peranan pemerintah pusat
dalam pengelolaan berkurang secara signifikan dan sebaliknya peranan daerah
meningkat (Boediono, 2002). Sementara pada tahun 2002, jumlah dana yang
didaerahkan meningkat menjadi Rp 94,5 trilyun atau sebesar 5,6 persen dari PDB
(Sidik, 2002).
Belanja pemerintah daerah secara garis besar dapat dikelompokan menjadi
belanja rutin dan belanja pembangunan. Melalui belanja pembangunan inilah
sebenarnya yang diharapkan menjadi stimulan pertumbuhan ekonomi. Dengan
demikian penentuan alokasi anggaran pembangunan antar sektor sangat menentukan
kinerja sektor tersebut. Perubahan alokasi anggaran pembangunan antar sektor akan
menyebabkan terjadinya perubahan alokasi sumberdaya, penyerapan tenaga kerja
sektoral dan kontribusi sektoral terhadap produk domestik regional.
Sarundajang (2001) menyatakan bahwa salah satu hal yang belum diatur
dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 adalah tentang tipologi daerah, dimana
masing-masing daerah memiliki keragaman potensi sumberdaya alam maupun
kekhususan-kekhususan lainnya yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Pemberian otonomi luas secara merata pada masing-masing daerah akan
dikhawatirkan menyebabkan terjadinya kesenjangan yang tajam antara daerah yang
kaya dengan yang miskin sehingga dapat menyebabkan ketidakadilan.
Munculnya otonomi daerah dapat menimbulkan permasalahan seperti
penyimpangan DAU Tahun 2001 sebesar 40 % yang erat kaitannya dengan
(34)
kesulitan dalam pengaturan DAU. Terlepas dari adanya dugaan penyimpangan DAU,
daerah-daerah memiliki penafsiran sendiri mengenai otonomi daerah. Daerah
memiliki perbedaan dalam mengartikan dan menafsirkan soal DAU. Ada daerah
yang beranggapan bahwa DAU merupakan hibah yang diberikan pusat ke daerah
tanpa ada pengembalian. Daerah lain mengartikan bahwa DAU tidak perlu
dipertanggungjawabkan karena DAU merupakan konsekuensi dari penyerahan
kewenangan atau tugas-tugas umum pemerintahan ke daerah. Sementara daerah
lainnya beranggapan bahwa DAU harus dipertanggungjawabkan, baik ke masyarakat
lokal maupun ke pusat, karena DAU berasal dari APBN.
c. Sumber-Sumber Penerimaan Daerah
Sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi daerah
menurut UU No. 25 Tahun 1999 pasal 3 meliputi: (1) Pendapatan Asli Daerah
(PAD), (2) Dana Perimbangan, (3) Pinjaman Daerah, dan (4) Lain-lain penerimaan
yang syah. Adapun menurut UU No.33 Tahun 2004 agak berbeda, dimana sumber
penerimaan ini dipilah menjadi pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan
daerah terdiri dari PAD, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan. Sedangkan
pembiayaan bersumber dari: sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan
pinjaman daerah, dana cadangan daerah dan hasil kekayaan daerah yang dipisahkan.
1) Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan asli daerah merupakan salah satu wujud dari desentralisasi fiskal
untuk memberikan sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan
(35)
daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan
kekayaan daerah lainnya, dan pendapatan asli daerah lainnya yang syah.
Kewenangan daerah dalam memungut pajak dan retribusi diatur dengan
Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan ditindaklanjuti dengan PP No.
66 Tahun 2001 tentang retribusi daerah (Sidik, 2002). Berdasarkan Undang-Undang
tersebut daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis
retribusi dengan pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum
dipungut di hampir semua daerah dan merupakan jenis pungutan yang baik. Selain itu
pemerintah kabupaten dan kota juga diberi kewenangan untuk memungut jenis pajak
dan retribusi lainnya sesuai kriteria tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang.
2) Dana Perimbangan
Untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat
dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu
yang didasarkan atas daerah penghasil (by origin) (Sidik, 2002). Dana perimbangan antara pusat dan daerah menurut UU No.25 Tahun 1999 meliputi: (1) bagian daerah
dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan, dan penerimaan sumberdaya alam, (2) dana alokasi umum, dan (3) dana
alokasi khusus. Sedangkan menurut UU No.33 Tahun 2004, dana perimbangan ini
(36)
umum, dan dana alokasi khusus. Namun konteks penelitian ini masih mengacu pada
pelaksanaan UU No.25 Tahun 1999.
3) Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana alokasi khusus merupakan dana yang berasal dari APBN, yang
dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan khusus, yang meliputi:
kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus DAU seperti
kebutuhan di kawasan transmigrasi, investasi baru, pembangunan jalan di kawasan
terpencil dan lain sebagainya, dan kebutuhan yang merupakan komitmen atau
prioritas nasional, termasuk di dalamnya adalah kegiatan penghijauan dan reboisasi.
4) Pinjaman Daerah
Sebagai salah satu bentuk desentralisasi fiskal, daerah dapat meminjam baik
dari pusat atau lembaga keuangan dalam negeri maupun luar negeri dengan
persetujuan pemerintah pusat. Pinjaman jangka panjang digunakan untuk
pembiayaan pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah yang dapat
menghasilkan penerimaan untuk pembayaran pinjaman serta memberikan manfaat
bagi pelayanan umum. Pinjaman jangka pendek hanya dilakukan dalam rangka
pengelolaan kas daerah (Sidik, 2002).
d. Ukuran Keberhasilan Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal di tingkat Kabupaten/Kota pada umumnya diukur dari
besarnya persentase sumbangan Pendapatan asli Daerah (PAD) terhadap total
Pendapatan daerah (APBD) (Kuncoro, 2004). Semakin rendah PAD berarti semakin
(37)
lain, derajat kemandirian daerah masih rendah. Selain PAD, derajat desentralisasi
fiskal juga biasa diukur dari persentase dana perimbangan, khususnya persentasi
sumbangan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap total penerimaan daerah dan
persentase sumbangan bagi hasil terhadap total penerimaan daerah (Dwiyanto, 2003).
DAU yang diterima daerah merupakan block grant yang diberikan kepada semua daerah kabupaten/kota dengan tujuan untuk mengisi kesenjangan antara kapasitas dan
kebutuhan fiskalnya. Meskipun DAU merupakan transfer pusat terhadap daerah
bukan berarti kemandirian daerah dalam menggunakan dana tersebut terbatas. Hal ini
sesuai dengan prinsip untuk mengatasi horizontal imbalance dimana penggunaan DAU ditetapkan sepenuhnya oleh daerah yang bersangkutan (Kuncoro, 2004).
Dengan demikian daerah memiliki keleluasaan/kemandirian untuk mengalokasikan
dan mendistribusikan sumber pembiayaan yang berasal dari dana perimbangan
tersebut sesuai dengan kepentingan daerah. Demikian juga halnya dengan penerimaan
yang berasal dari dana bagi hasil. Besarnya alokasi DAU dan Dana bagi hasil dapat
menjadi indikator derajat desentralisasi fiskal karena sesungguhnya dana
perimbangan adalah dana daerah yang kewenangan pengalokasiannya berada di
tangan pusat (Suparmoko, 2001; Dwiyanto, 2003).
Dalam penelitian ini keberhasilan desentralisasi fiskal ditinjau dari kacamata
daerah, yakni seberapa besar kebijakan tersebut memberikan kontribusi terhadap
kapasitas keuangan daerah yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan pelayanan
publik dan kesejahteraan masyarakat di daerah dengan tidak mengurangi aspek makro
(38)
Dalam penelitian ini, indikator derajat desentralisasi fiskal yang dianggap
lebih relevan dan mudah dipahami adalah sebarapa besar tingkat kemandirian daerah
dalam mengelola sumber-sumber keuangannya, besarnya persentase DAU dan Dana
bagi hasil yang diterima masing-masing Kabupaten/Kota yang penggunaannya sesuai
dengan aspirasi daerah. Variabel ini diukur dengan menggunakan indikator sebagai
berikut : kewenangan dalam penetapan basis pajak dan retribusi, kewenangan dalam
penetapan tarif pajak dan retribusi, kewenangan dalam penetapan jenis pajak dan
retribusi, kewenangan dalam penetapan program dan kewenangan dalam penetapan
anggaran.
2.1.3 Kinerja Pemerintah Kabupaten/Kota
a. Konsep Kinerja
Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukan dengan hasil kerja.
Hawkins (The Oxford Paperback Dictionary, 1979) mengemukakan pengertian
kinerja sebagai berikut : “Performance is: (1) the process or manner of performing,
(2) a notable action or achievment, (3) the performing of a play or other
entertainment”. Sementara Bernardin dan Russel (1993) mendefinisikan kinerja
(performance) sebagai: “ ... as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period” (...adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu
selama kurun waktu tertentu). Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa
pencapaian kinerja yang tinggi merupakan suatu prestasi bagi setiap organisasi dan
(39)
selalu meningkatkan kinerjanya. Semakin tinggi kinerja organisasi, semakin tinggi
tingkat pencapaian tujuan organisasi.
b. Kinerja Organisasi Pemerintah
Mengacu pada definisi dan pemahaman konsep kinerja sebagaimana
dipaparkan di atas, maka tujuan atau perencanaan organisasi merupakan aspek utama
dalam langkah-langkah mencapai kinerja organisasi. Kinerja yang pada umumnya
menggambarkan prestasi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya sangat
dipengaruhi oleh jenis dan karakteristik organisasi serta lingkungan dimana ia berada.
Bagi organisasi pemerintah tentunya sedikit banyak memiliki lingkungan khusus
yang berbeda dengan organisasi privat. Sesuai dengan karakteristiknya, organisasi
pemerintah merumuskan pernyataan visi dan misi untuk lebih mengutamakan
kepentingan publik (customer orientation) melalui pemberian pelayanan dan pelaksanaan program-program pembangunan di semua aspek kehidupan masyarakat
dengan tanpa menciptakan tingkat kesenjangan sosial – ekonomi yang makin tinggi.
Sebagai konsekwensi logis dari pengutamaan visi dan misi tersebut,
organisasi pemerintah dituntut untuk selalu mengadaptasikan dirinya di
tengah-tengah lingkungan yang semakin dinamis, kompetitif dalam arus globalisasi.
Tantangan tidak saja berasal dari luar organisasi tetapi juga dari dalam organisasi
sendiri, seperti kualitas sumberdaya aparatur yang masih rendah, budaya kerja dan
sistem nilai yang masih mendorong terjadinya KKN, serta keterbatasan anggaran, dan
lain sebagainya. Adapun tantangan yang berasal dari luar organisasi pada umumnya
(40)
tuntutan customer (dalam hal ini masyarakat pengguna jasa), perkembangan teknologi yang sangat pesat, serta masuknya sistem pasar bebas yang tidak dapat
dihindari.
Seluruh tantangan dan perubahan lingkungan tersebut harus mampu direspon
secara tepat oleh organisasi pemerintah di semua level (pusat, provinsi dan
kabupaten/kota). Salah satu bentuk respon organisasi pemerintah adalah dengan
merumuskan rencana strategis organisasi pemerintah pada masing-masing bagian
atau unsur dalam kelembagaan pemerintahan. Dari rencana strategis tersebut dapat
diketahui apa yang menjadi prioritas tujuan pemerintah sehingga dapat dirumuskan
strategi yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
c. Pengukuran Kinerja Organisasi Pemerintah
Pengukuran atau penilaian kinerja merupakan bagian dari proses manajemen
kinerja secara keseluruhan. Menurut Siegel dan Marconi (1989) penilaian kinerja
adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi dan
karyawannya berdasarkan sasaran, standar, dan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya (dalam Tangkilisan, 2003). Pengukuran kinerja ini sangat penting bagi
peningkatan atau kemajuan suatu organisasi dan termasuk di dalamnya adalah seluruh
karyawannya untuk menghasilkan capaian yang lebih baik lagi. Menurut Vincent
Gazpersz (2003), dalam manajemen modern, pengukuran terhadap fakta-fakta akan
menghasilkan data, yang kemudian apabila data itu dianalisis secara tepat akan
(41)
peningkatan pengetahuan para manajer dalam pengambilan keputusan atau tindakan
manajemen untuk meningkatkan kinerja organisasi.
Sedangkan Hansen dan Mowen, 1995, (dalam Tangkilisan, 2003)
membedakan pengukuran kinerja secara tradisional dan kontemporer. Pengukuran
kinerja tradisional dilakukan dengan membandingkan kinerja aktual dengan kinerja
yang dianggarkan ataupun dengan biaya standar sesuai dengan karakteristik
pertanggungjawabannya. Ukuran yang digunakan adalah return on investment (ROI), laba residu (residual income), dan nilai tambah ekonomis (economic value added). Sedangkan pengukuran kinerja kontemporer adalah pengukuran yang menggunakan
aktivitas sebagai pondasinya. Pendekatan ini memandang bahwa ukuran kinerja yang
didasarkan pada aspek finansial saja tidak sepenuhnya mencerminkan kinerja
sesungguhnya. Ukuran kinerja, dalam hal ini, didesain untuk menilai seberapa baik
aktivitas dilakukan dan dapat mengidentifikasi apakah telah dilakukan perbaikan
yang berkesinambungan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Mardiasmo (2002b) bahwasanya tujuan
utama penyelenggaraan otonomi daerah antara lain adalah untuk meningkatkan
pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Peningkatan pelayanan
publik dimaksud adalah secara kuantitas maupun kualitas serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Adapun memajukan perekonomian yang dimaksud adalah
dengan menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber-sumber daya
daerah sehingga memberikan dampak peningkatan aspek finansial daerah (PAD,
(42)
Dengan demikian, keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah dapat diukur
berdasarkan pencapaian tujuan sebagaimana ditetapkan.
Kinerja pemerintah daerah dengan sendirinya merupakan keseluruhan capaian
atau hasil – hasil selama pelaksanaan otonomi daerah. Untuk mencapai tingkat
kinerja seperti yang diharapkan tentunya perlu dirumuskan rencana kinerja yang
memuat penjabaran sasaran dan program yang telah ditetapkan dalam rencana
strategik pemerintah daerah. Berdasarkan rencana strategik tersebut maka dapat
diukur sejauhmana pemerintah daerah telah mampu mencapai sasaran atau
target-target (kinerja) yang telah ditetapkan baik dengan indikator kuantitatif maupun
kualitatif. Indikator-inikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja
dikategorikan dalam kelompok: (a) masukan (inputs); (b) keluaran (outputs) ; (c)
hasil (outcomes); (d) manfaat (benefits); (e) dampak (impacts) (dalam Simbolon,
2003).
Masukan (inputs) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan
kegiatan dan program dapat berjalan dalam rangka menghasilkan output. Keluaran
(outputs) adalah segala sesuatu berupa produk / jasa (fisik dan atau non fisik)
sebagai hasil langsung dari pelaksanaan suatu kegiatan dan program berdasarkan
masukan yang digunakan. Hasil (Outcomes) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah. Outcomes
merupakan ukuran seberapa jauh setiap produk/jasa dapat memenuhi kebutuhan dan
harapan masyarakat. Manfaat (Benefits) adalah kegunaan suatu keluaran (outputs) yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Dapat berupa tersedianya fasilitas yang
(43)
dapat diakses oleh publik. Dampak (Impact) adalah ukuran tingkat pengaruh sosial, ekonomi, lingkungan atau kepentingan umum lainnya yang dimulai oleh capaian
kinerja setiap indikator dalam suatu kegiatan. Indikator-indikator tersebut secara
langsung atau tidak langsung dapat mengindikasikan sejauh mana keberhasilan
pencapaian sasaran.
Sedangkan ukuran kinerja sesuai dengan pola yang telah dirancang oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) terutama memusatkan perhatian pada hal-hal
yang strategis saja, yaitu antara lain: (1) pertumbuhan ekonomi; (2) laju inflasi; (3)
pertumbuhan pendapatan daerah (Kompas, 17 April 2003). Selain ukuran kinerja
pemerintah yang bersifat kuantitatif (finansial) tersebut, perlu pula dinilai tingkat
kinerja yang bersifat kualitatif (non finansial) sehubungan dengan penerapan
prinsip-prinsip good governance.
2.1.4 Pengukuran Kinerja Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Balanced Scorecard
a. Konsep Balanced Scorecard
Dalam manajemen strategi seringkali dijumpai kesulitan dalam
mengaplikasikan antara teori dan praktek. Hal ini menurut Davis (2004), disebabkan
oleh konsepnya yang terlalu dinamis dimana mainstream dari strategi belum mengaplikasikan kenyataan di lapangan, dan strategi seringkali fokus pada variabel
yang kelihatannya “objektif”, padahal sebenarnya kurang bisa diterima. Balance Scorecard merupakan sekelompok tolok ukur kinerja yang terintegrasi dan berasal dari strategi dalam mendukung suatu organisasi. Suatu strategi pada dasarnya
(44)
merupakan suatu teori tentang bagaimana mencapai tujuan organisasi. Dalam
pendekatan Balanced Scorecard, manajemen puncak menjabarkan strateginya ke dalam tolok ukur kinerja sehingga bawahannya memahami dan dapat melaksanakan
sesuatu untuk mencapai strategi tersebut.
Menurut Lee dan Ko (2000), ada dua tahapan pokok dalam mengembangkan
sistem manajemen stratejik, yaitu: 1) memadukan analisis SWOT dengan Balanced Scorecard, dan 2) menggunakan metodologi QFD (Quality Function Deployment) dengan Balanced Scorecard. Namun memadukan analisis SWOT dengan Balanced Scorecard sesuai dengan pendapat Kaplan dan Norton (1996a), bahwa Balanced Scorecard menerjemahkan misi dan strategi organisasi kedalam pengukuran kinerja dan menyediakan kerangka untuk pengukuran sistem manajemen stratejik. Menurut
Hansen dan Mowen (2000), Balanced Scorecard adalah sebuah sistem akuntansi yang memiliki tujuan dan pengukuran berdasarkan empat perspektif yang berbeda,
yaitu: perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses, dan perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan (infrastruktur). Sedangkan Garrison dan Noreen
(2000), menyebutkan bahwa Balanced Scorecard terdiri dari suatu cakupan yang terpadu dari pengukuran kinerja yang merupakan turunan dari strategi organisasi dan
mendapat dukungan dari keseluruhan organisasi.
Kaplan dan Norton (1992) menyebutkan balanced scorecard sebagai pelacak elemen utama dari strategi sebuah perusahaan melalui peningkatan dan kemitraan
berkelanjutan dari kerjasama kelompok dalam skala global. Balanced Scorecard
(45)
telah diambil, juga diliengkapi dengan ukuran operasional tentang kepuasan
konsumen, proses internal dan aktivitas perbaikan serta inovasi organisasi. Dengan
Balanced Scorecard di sistem manajemennya, sebuah organisasi dapat memonitor hasil jangka pendek dari tiga perspektif tambahan, yaitu konsumen, proses bisnis
internal, pembelajaran dan pertumbuhan untuk mengevaluasi strategi dalam hal
kinerja organisasi. Simmons (2000) dalam bukunya Performance Measurement of Control System for Implementing Strategy, menerangkan bahwa Balanced Scorecard
adalah perpaduan dari tujuan perusahaan yang terjalin untuk memperoleh hasil
dengan didasarkan pada kapabilitas dan inovasi, dengan aset fisik yang tidak dapat
dihitung. Sedangkan Nurkholis (2001), menyebutkan Balanced Scorecard sebagai suatu alat manajemen yang menerjemahkan visi, misi dan strategi organisasi ke
dalam satu set pengukuran kinerja komprehensif untuk menghasilkan kerangka
pengukuran kinerja organisasi melalui perspektif finansial, pelanggan, proses bisnis
internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan.
Jika Balanced Scorecard diimplementasikan untuk organisasi publik, banyak kendala yang harus diperhatikan. Menurut Moore (2003), terdapat kesulitan untuk
menggunakan Balanced Scorecard dalam organisasi publik yang non-profit: 1) dalam organisasi publik pengukuran yang utama adalah pada kriteria non finansial; 2) fokus
dari perhatian dalam organisasi publik adalah bukan pada pelanggan atau klien yang
memperoleh manfaat dari kegiatan organisasi, tetapi pihak ketiga dan legitimasi
anggota dewan; 3) fokus dari organisasi publik yang hendak dibangun adalah manfaat
(46)
Dari definisi di atas, Balanced Scorecard dapat dimulai dari visi dan strategi organisasi, dimana berbagai faktor kesuksesan yang penting didefinisikan.
Ukuran-ukuran kinerja dibangun sebagai alat bantu untuk menetapkan target dan mengukur
kinerja dalam area kritis tujuan-tujuan strategis. Sebagai konsekuensi dari perbedaan
antara sistem manajemen tradisional dan sistem manajemen strategis Balanced Scorecard, pelaporan pada sistem manajemen tradisional semata-mata digunakan sebagai alat pengendalian, sedangkan pelaporan pada sistem manajemen strategis
Balanced Scorecard digunakan sebagai alat strategis.
Perbedaan kedua sistem manajemen ini dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Perbedaan antara Manajemen Tradisional dan Manajemen Balanced Scorecard
Manajemen Tradisional Manajemen Balance Scorecard
1) Pengendalian melalui anggaran 2) Berfokus pada fungsi-fungsi dalam
organisasi
3) Mengabaikan pengukuran kinerja atau pengukuran kinerja dilakukan secara terpisah
4) Informasi fungsional tunggal
1) Umpan-balik dan pem-belajaran 2) Berfokus pada tim fungsional silang 3) Pengukuran kinerja terintegrasi
yang dilakukan berdasarkan hubungan sebab-akibat
4) Informasi fungsional silang dan disebarluaskan ke seluruh fungsi dalam organisasi
Sumber: Gaspersz (2003) hal 11
Dari definisi yang sudah dikemukakan oleh Horgren, Sundem dan Stratton
(1999), Simmons (2000), Hansen dan Mowen (2000), Garrison dan Noreen (2000),
(47)
disimpulkan bahwa Balanced Scorecard adalah sistem untuk mengukur suatu manajemen organisasi yang didasarkan pada empat perspektif, yaitu perspektif
keuangan, perspektif pelanggan (dalam hal ini adalah masyarakat), perspektif proses
internal, dan perspektif pembelajaran.
Konsep Balanced Scorecard sangat penting untuk dibangun secara akurat dengan alasan: 1) menggambarkan visi masa depan untuk seluruh organisasi. Jika visi
ini salah, maka berarti tidak mungkin telah ada upaya yang dijalankan secara baik; 2)
menciptakan pemahaman yang menyeluruh. Mampu menciptakan model yang baik
sesuai dengan strategi yang memungkinkan staf mengetahui cara memberikan
kontribusi pada keberhasilan organisasi; 3) fokus pada perubahan usaha yang harus
dilakukan. Jika indikator-indikator utama yang benar dapat teridentifikasi, maka
investasi dan inisiatif yang ada akan membawa tercapainya tujuan jangka panjang
yang diinginkan; 4) menyebabkan terorganisasinya proses pembelajaran di tingkat
eksekutif.
b. Perspektif Balanced Scorecard dalam Organisasi Pemerintah
Balanced Scorecard (BSC) dapat dipergunakan dalam organisasi pemerintahan. Karena dengan BSC pimpinan pemerintahan dapat mengetahui apa
harapan rakyat dan apa kebutuhan pegawai pemerintah untuk memenuhi harapan
rakyat itu. Menurut Sidik (2002), ada beberapa keuntungan bagi pemerintahan
apabila menggunakan BSC, diantaranya: (1) BSC menempatkan seluruh organisasi
(48)
memfasilitasi perbaikan kinerja; (4) memperbaiki komunikasi kepada stakeholders;
dan (5) memberikan data untuk acuan (benchmark).
Balanced Scorecard mempertahankan perspektif keuangan karena tolok ukur keuangan berguna dalam mengikhtisarkan konsekuensi tindakan ekonomi terukur
yang telah diambil. Tolok ukur kinerja keuangan menunjukkan bagaimana strategi,
implementasi dan eksekusi perusahaan memberikan kontribusi bagi perbaikan
organisasi. Tujuan finansial biasanya terkait dengan pengukuran kemampulabaan,
seperti laba operasi Return on Capital Employed (ROCE) dan Economic Value Added
(EVA). Tujuan keuangan alternatif dapat berupa pertumbuhan sasaran yang cepat
atau perolehan arus kas. Perspektif keuangan menggambarkan konsekuensi tindakan
ekonomi yang lain (Horgren, Sundem dan Stratton, 1999; Morse, Davis dan
Hargraves, 2000). Bagi pemerintah daerah, kinerja finansial terefleksi dalam
Kemandirian APBD, Efisienai pengelolaan Sumber Dana dan Efektivitas pengelolaan
Sumber Dana.
Balanced Scorecard memiliki empat perspektif (Kaplan and Norton, 1996a, 1996b; Olve, et al, 1999; Shulver, et al (2000); Hansen dan Mowen, 2000; Simmons, 2000; Lawrie dan Cobbold, 2002) yaitu:
1) Perspektif Pelanggan/ Pelayanan
Dalam konteks Pemerintah daerah, tolok ukur perspektif pelanggan pada
dasarnya terfokus pada bagaimana Pemerintah Daerah memperhatikan
publiknya melalui pelayanan yang diberikan. Oleh karena itu indikator
(49)
sistem pilihan publik, sistem informasi pelanggan, sistem keluhan pelanggan,
jaminan mutu (Osborne dan Plastrik, 2000).
2) Perspektif Finansial
Balance Scorecard menggunakan tolok ukur kinerja finansial, seperti laba bersih dan Return on Investment (ROI), karena tolok ukur tersebut secara umum digunakan dalam organisasi yang mencari laba. Tolok ukur keuangan
memberikan bahasa umum untuk menganalisis dan membandingkan
perusahaan. Orang yang menyediakan dana untuk perusahaan, seperti lembaga
keuangan dan pemegang saham sangat mengandalkan tolok ukur kinerja
finansial dalam memutuskan apakah meminjamkan atau menginvestasikan
dana.
Dalam manajemen pemerintahan, khususnya pemerintahan daerah,
kemampuan mengelola sumber-sumber daya lokal yang terbatas merupakan
suatu syarat bagi keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah. Pengelolaan
sumber-sumber daya termasuk sumber daya finansial pada umumnya dalam
bentuk upaya-upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD),
meningkatkan efisiensi penggunaan sumber dana, serta meningkatkan
efektivitas penggunaan dana. Ketiganya menjadi penting mengingat dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berarti harus melaksanakan
pembangunan seringkali masih diwarnai dengan fenomena pemborosan dan
pengadaan program-program yang tidak sesuai dengan permasalahan riil di
(50)
3) Perspektif Proses Bisnis Internal
Dalam proses bisnis internal para manajer mengidentifikasi berbagai
proses penting yang harus dikuasai perusahaan dengan baik agar mampu
memenuhi tujuan para pemegang saham dan segmen pelanggan sasaran. Sitem
pengukuran kinerja pada perspektif ini tidak saja memusatkan perhatian pada
perbaikan biaya, mutu dan ukuran berdasarkan waktu proses bisnis perusahaan
tetapi juga memperhatikan tuntutan kinerja proses internal atas dasar harapan
pihak eksternal. Perkembangan terbaru adalah dengan mengikutkan proses
inovasi sebagai suatu komponen penting dalam perspektif ini. Dalam Organisasi
Pemerintah daerah, khususnya di era otonomi dimana dituntut lebih
meningkatkan pelayanan publik, maka tuntutan melakukan terobosan perubahan
/ inovasi-inovasi proses sangat menentukan kinerjanya. Proses bisnis internal
bagi organisasi pemerintah meliputi indikator-indikator berikut : restrukturisasi,
inovasi proses, deregulasi organisasional, koordinasi (Osborne dan Plastrik,
2000).
4) Perspektif pertumbuhan dan pembelajaran
Tujuan di dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan
menyediakan infrastruktur untuk mencapai tujuan dari ke 3 perspektif Balance
Scorecard lainnya, dan merupakan pendorong untuk mencapai hasil yang baik
sekaligus mendorong perusahaan menjadi Learning Organization dan memicu
pertumbuhannya. Titik sentral dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan
(51)
bertanggungjawab untuk mengembangkan kemampuan karyawan, mendorong
atau memotivasi mereka untuk selalu bekerja dengan menjunjung tinggi prinsip
disiplin kerja dalam arti luas.
Dalam organisasi pemerintah khususnya Pemerintah Daerah, perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan, dapat diukur melalui beberapa indikator
Kompetensi pegawai, Disiplin Pegawai dan Motivasi Pegawai.
2.2. PENELITIAN TERDAHULU
2.2.1 Penelitian tentang Desentralisasi Fiskal
Pengalaman dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di banyak negara
menunjukkan hal yang berbeda, sebagai contoh di RRC. Sebagian besar dana yang
didistribusikan pemerintah pusat ke daerah berasal dari pajak-pajak yang dibagi
hasilkan seperti pajak pertambahan nilai (VAT), pajak sumber alam (natural resources taxes), pajak bangunan (construction taxes), pajak saham (security taxes), pajak perdagangan dan industri (industrial and commercial taxes), dan pajak pendapatan perusahaan joint-venture asing. Sedangkan jenis pajak daerah yang merupakan wewenang pemerintah lokal antara lain pajak penghasilan perusahaan
daerah, pajak bisnis, pajak tanah perkotaan, pajak penghasilan perorangan dan PPN
tanah (Bahl, 2001).
Islam (1999) dalam penelitiannya di Indonesia menegaskan bahwa
desentralisasi seharusnya diikuti dengan perubahan struktur sosial, ekonomi dan
(52)
dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process di Daerah Istimewa Yogyakarta menyimpulkan bahwa sebagian besar proporsi DAU terkonsentrasi di
Pulau Jawa, khususnya di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun,
dengan jumlah penduduk yang relatif besar, rata-rata DAU perkapita di propinsi ini
relatif lebih rendah dibandingkan rata-rata DAU perkapita nasional.
Menurut Lembaga Penelitian Smeru (2002), salah satu kelemahan
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah adalah lambatnya pemerintah pusat
menerbitkan peraturan pendukungnya. Di pihak lain, dalam beberapa kasus
pemerintah daerah cenderung menempatkan otonomi sebagai tujuan, bukan sebagai
alat untuk mencapai tujuan. Dua kondisi tersebut menimbulkan berbagai ekses dalam
aspek kehidupan pemerintahan dan kemasyarakatan. Idealnya, penyelesaian
permasalahan yang timbul akibat kedua hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Halim (2001) dengan menggunakan data
fiskal seluruh propinsi di Indonesia memperoleh kesimpulan sebagai berikut: bahwa
setahun setelah kebijakan fiscal stress (kemampuan sebuah pemerintah daerah memenuhi anggarannya) dicanangkan tahun 1997 ternyata secara rata-rata seluruh
provinsi di Indonesia belum mampu menurunkan peran PAD terhadap total anggaran
penerimaan/pendapatan daerah provinsi.
Wuryanto (1996) menggunakan SAM interregional Indonesia untuk
mensimulasi perubahan komposisi penyusunan fiskal, dengan memfasilitasi lebih
banyak sistem desentralisasi anggaran, tanpa perubahan total pengeluaran investasi
(53)
meningkatkan pendapatan rumahtangga regional di hampir semua region-region
teristimewa di Jawa. Namun peningkatan pendapatan rumah tangga di luar Jawa
yang awalnya rendah, cenderung menimbulkan ketidakmerataan pendapatan
dibandingkan skenario aktual.
2.2.2 Penelitian tentang Balanced Scorecard
Berbagai studi yang terkait dengan desentralisasi fiskal di berbagai daerah di
Indonesia dan luar negeri telah banyak dilakukan. Namun, penelitian yang secara
spesifik menelaah dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja pemerintah
dengan pendekatan Balance Scorecard belum pernah dilakukan, baik di Indonesia maupun di negara lain. Ekholm dan Wallin (2003) yang melakukan penelitian
dengan membandingkan pertumbuhan perusahaan dan pengukuran kinerja keuangan
yang menggunakan sistem manajemen keuangan tradisional, Economic Value Added
(EVA), dan sistem manajemen modern, Balance Scorecard, di Swedia memperoleh hasil bahwa pertumbuhan penjualan suatu perusahaan tidak saja dilihat dari kinerja
keuangan, tetapi juga kombinasi dengan aspek lainnya.
Menurut Kaplan dan Norton (1992), dari pengalaman beberapa perusahaan
yang menerapkan Balance Scorecard telah menunjukkan kelebihan manajerial, seperti: 1) elemen yang semula tampak terpisah, dengan diterapkannya Balance Scorecard menjadi berorientasi konsumen, mempersingkat waktu respons, meningkatkan kualitas, menekan kerja kelompok, mengurangi waktu peluncuran
(54)
dimana peningkatan di satu area telah dicapai mungkin dengan pengorbanan di area
lain.
Penerapan Balance Scorecard dalam organisasi pemerintah, pertama kali dilakukan oleh Pemerintahan Kota Charlotte, North Carolina, Amerika Serikat tahun
1994. Walaupun, pertama kali Balanced Scorecard digunakan oleh sektor swasta,
manajemen kota telah mengadopsinya untuk diterapkan dalam sektor publik. Hasil
yang diperoleh berdasarkan studi terbaru tahun 2001, mengindikasikan bahwa
Balance Scorecard telah berhasil dalam menurunkan tingkat kejahatan, meningkatkan persepsi tentang keamanan publik, mengembangkan kapasitas untuk
penyelesaian masalah lingkungan tempat tinggal, dan meningkatkan keselamatan
kendaraan dan pejalan kaki.
2.2.3 Penelitian tentang Kinerja Organisasi Pemerintah
Ukuran atau kriteria kinerja organisasi sangat bervariasi bahkan kadangkala
kontroversial (Goodman dan Pennings, 1980; Cameron, 1986; Chakraverthy, 1986;
Eccles, 1991). Kontroversi tersebut utamanya terfokus pada keraguan apakah kriteria
tradisional yakni menggunakan ukuran – ukuran keuangan semata (ROI, growth) sudah memadai untuk menilai kinerja sebuah organisasi, ataukah masih diperlukan
ukuran-ukuran lain yang bersifat non-finansial, seperti kepuasan pelanggan
(konsumen), kepuasan shareholders, dll untuk mengukur pencapaian kinerja
organisasi (Glaister dan Buckley, 1998). Dari perdebatan panjang tersebut,
disimpulkan bahwa ukuran atau kriteria kinerja organisasi sangat dipengaruhi dan
(55)
organisasi. Sebagaimana ungkapan Anderson (1990) dimana kinerja organisasi
(perusahaan) kecil di tengah lingkungan yang tidak bersahabat dapat dikatakan lebih
tinggi daripada kinerja organisasi yang lebih besar tetapi berada dalam lingkungan
yang relatif stabil (bersahabat).
Dwiyanto,dkk melakukan penelitian mengenai kinerja instansi pemerintah di
Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogjakarta, dan Sulawesi selatan dengan
menggunakan indikator tingkat akuntabilitas. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa di Sumatra Barat tingkat akuntabilitas buruk sebesar 90,9 %, di DIY tingkat
akuntabilitas buruk sebesar 87,1 % dan di Sulawesi selatan tingkat akuntabilitas
buruk sebesar 87 % (dalam Dwiyanto,dkk.,2002).
2.2.4 Penelitian tentang pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Finansial
Kerk L.Phillips dan Gary Woller (1997) melakukan penelitian mengenai
pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada 40 negara, baik
negara maju maupun negara yang masih terbelakang. Melalui pengujian empirik,
secara statistik mereka menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif signifikan
antara tingkat desentralisasi penerimaan dengan pertumbuhan ekonomi di
negara-negara maju. Artinya bahwa semakin tinggi desentralisasi penerimaannya maka
pertumbuhan ekonomi justru semakin rendah. Temuan ini klasik mengingat sudah
banyak diteliti dan diketahui bahwa apabila daerah tidak lagi mendapat transfer dana
dari pemerintah Pusat maka anggaran penerimaan daerah menjadi sangat terbatas
(56)
menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. Tetapi mereka gagal menemukan
hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi di negara-negara
yang masih terbelakang (less-developed countries).
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu
Judul Penelitian Peneliti Hasil Temuan Regional Decentralization in Indonesia
Anggaran Daerah dan “Fiscal Stress” .
The Balanced Scorecard-Measures that Drive Performance
Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia
Fiscal Decentralization and Economic Performance in Indonesia
Shareholder/Stakeholder Value Management, Company Growth and Financial Performance
Islam, I (1999)
Halim, A. (2001 )
Kaplan dan Norton (1992)
Dwiyanto, Agus. Dkk. (2002 )
Wuryanto,L.E. (1996)
Ekholm, B-G. and J.Wallin
Desentralisasi Fiskal, Struktur Sosial, Ekonomi & politik
Ternyata secara rata-rata provinsi di Indonesia belum mampu
menurunkan peran PAD terhadap total anggaran penerimaan
Dari pengalaman beberapa perusahaan yang menerapkan Balance Scorecard telah
menunjukkan kelebihan manajerial
Dari Semua Propinsi yang dijadikan sampel menunjukkan akuntabilitas instansi Pemerintah yang rendah
Desentralisasi fiskal dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga regional
Bahwa pertumbuhan penjualan suatu perusahaan tidak saja dilihat dari kinerja keuangan,
(1)
Astuti.S.J.W. 2005. Peluang dan tantangan penerapan E-governance dalam konteks otonomi daerah. Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik. Vol.XVIII.No.2.April.
Bahl, R. 2001. China:Evaluating the Impact of Intergovernmental Fiscal Reform in Fiscal Desentralization in Developing Countries. Cambridge University Press. United Kingdom.
Banker, R.D., H. Chang, S. N. Janakiraman and C. Konstans. 2000. A Balanced Scorecard Analysis of Performance Metrics. School of Management Tne University of Texas at Dallas. Working Paper.
Bird, R. 2003. Asymmetric Fiscal Decentralization: Glue or Solvent?. International Studies Programme. Georgia State University. Working Paper.
Boediono. 2002. Kebijakan Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Rangka Pelaksanaan Azaz Desentralisasi Fiskal. Paper disampaikan pada Rapat Koordinasi Pendayagunaan Aparatur Negara Tingkat Nasional Tahun 2002, 11 Pebruari 2002. Jakarta.
Bryant.C. dan L.G.White. 1987. Managing Development in the third world. Westview Press Inc.Boulder.Colorado.
Business Week, Can Traditional Batik Service, Nopember 7, 1994 hal. 140-141 Cobbold, I., and G. Lawrie. 2002. Classification of Balanced Scorecards based on
their intended use. 2GC Conference Paper. 2GC Limited. http://www.2gc.co.uk.
Davis, J. G. 2004. Capabilities: A Different Perspective. Australian Journal of Management. 29 (1): 39-44.
Denhardt,J.V. and Denhardt.R.B. 2003. The New Public service: Serving not Steering. New York.M.E. Sharpe.Inc.
Dwiyanto, Agus. Dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Yogjakarta.
Ekholm, B-G. and J.Wallin. 2003. Shareholder/Stakeholder Value Management, Company Growth and Financial Performance: An Exploratory Study. Working Paper. Swedish School of Economics and Business Administration. Faguet, J-P. 2002. Does Decentralization Increase Government Responsiveness to
(2)
Garrison, R.H., and E.W. Noreen. 2000. Managerial Accounting. 9th Edition. Irwin McGraw Hill.
Gaspersz, V. 2003. Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balance Scorecard dengan Six Sigma untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Halim, A. 2001. Anggaran Daerah dan “Fiscal Stress” (Sebuah Studi Kasus pada Anggaran Daerah Provinsi di Indonesia). Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Oktober 2001. 16 (4):346-357.
Handoko, T. Hani., 1997. Manajemen Personalia Dan Sumber Daya Manusia,Edisi kedua cetakan keempat. Penerbit Yogyakarta: BPFE UGM.
Hansen, D.R., and M.M. Mowen. 2000. Management Accounting. 5th Edition. South-Western College Publishing.
Haris, Samsuddin, dkk. 1999. Indonesia Di Ambang Perpecahan, Penerbit Erlangga, Jakarta
Horngren, C.T., G.L. Sundem and W.O. Stratton. 1999. Introduction to Management Accounting. 11th Edition. Prentice Hall.
Idrus, M. S. 2001. Modul Analisis Data dengan Program SPSS for Window Ver. 10.05 untuk mata kuliah Marketing Research dan Multivariate Data Analisys, Fekon, Universitas Brawijaya, Malang.
Indriantono, N dan Supomo. 1999. Metode Penelitian Bisnis : Untuk Akuntansi dan Manajemen, BPFE, Yogjakarta.
Islam, I. 1999. Regional Decentralization in Indonesia: Towards Social Accord. United Nation Support for Indonesia Recovery. Working Paper.
Kadjatmiko. 2002. Dinamika Sumber Keuangan bagi Daerah dalam Rangka Otonomi Daerah. Makalah Disampaikan dalam Matching National Policy Agenda with Local Fiscal Practices: International Workshop on Fiscal Desentralization. Bandung: 4-5 September 2002.
Kaplan, R. S., and D. P. Norton. 1992. The Balanced Scorecard-Measures that Drive Performance. Harvard Business Review. 1:71-79.
Keban, Jeremias T. 2000. Pengantar Administrasi Publik. Modul untuk Matrikulasi Program Magister Manajemen.UGM.
(3)
Kotler,P. 1994. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and Control. Englewood Cliffts.N .J: Prentice-Hall International.Inc.
Krome, D. 2001. Balanced Scorecard in the Public Sector. BDO Kendalls Article. 1 (June):1-2.
Kuntjoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan daerah: Reformasi, Perencanaan, strategi dan Peluang, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Lawrie, G., I. Cobbold and J. Marshall. 2003. Design of A Corporate Performance Management System in A Devolved Governmental Organisation. 2GC Research Paper. 2GC Limited. http://www.2gc.co.uk.
Lembaga Penelitian Smeru. 2002. Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah Atas Kinerja Pelayanan Publik: Kasus Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Lembaga penelitian Smeru. http://www.gtzsfdm.or.id.
Lipe, M. G., and S. E. Salterio. 2000. The Balanced Scorecard: Judgmental Effects of Common and Unique Performance Measures. The Accounting Review. 28 (5): 283-298.
Ludigdo, U. 2001. Strategi Cost Management: Suatu Perspektif Perkembangan Akuntansi Manajemen. Jurnal Lintasan Ekonomi. 13 (1): 11-19.
Mahi, R. 2002. Strategi Pembiayaan Pelayanan Publik Era Otonomi Daerah: Pengalaman Internasional dan Indonesia. Analisis CSIS. 31 (4): 422-435. Manila, I.GK., 1996, Praktek Manajemen Pemerintahan Dalam Negeri, Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mardiasmo.2002a. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi. Yogjakarta. Martoyo, Susilo. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia, BPFE, Yogyakarta.. McTigue, M., J. Ellig, and S. Richardson. 2001. 2nd Annual Performance Report
Scorecard: Which Federal Agencies Inform the Public?. Mercatus Center George Mason University Press. Working Paper.
Monash Internasional, Tasman Economics dan Center of Economic & Public Policy Studies-UGM]. 2002. Fiscal Desentralization. Laporan Penelitian Asian Development Bank.
Moore, M. 2003. The Public Value Scorecard: A Rejoinder and an Alternative to “Strategic Performance Measurement and Management in Non-Profit
(4)
Organizations” by Robert Kaplan. The Hauser Center for Non-Profit Organizations. The Kennedy School of Government. Harvard University. Working Paper.
Morse, W.J., J.R. Davis and A.L. Hargreaves. 2000. Managerial Accounting: A Strategic Approach. 2nd Edition. South-Western College Publishing.
Nitisemito, Alex S. 1996, Manajemen Personalia, Balai Aksara, Jakarta
Niven, P. R. 2001. Maintaining the Balanced Scorecard. Journal Perform. 2(2): 13-19.
Nurkholis. 2001. Perencanaan Strategik Organisasi Pemerintahan dengan Pendekatan Balance Scorecard. Jurnal Lintasan Ekonomi. XVIII (1):31-39
Prasojo, E. 2001. Perimbangan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah: Indonesia dan Jerman dalam Perbandingan. Analisis CSIS. 31 (4): 436-450.
Pramusinto, A. 2002. Paradoks-Paradoks Pelaksanaan Otonomi Daerah: Beberapa Catatan dari Lapangan. Analisis CSIS. 31 (4): 462-478.
Rab, Tabrani. 1999. Menuju Riau Berdaulat : Penjarah Minyak Riau, Riau Cultural Institute, Pekan Baru.
Sabirin, S. 2003. Prinsip-Prinsip Pengendalian Hutang Pemerintah Daerah dalam Mendorong Pembangunan Daerah yang Berkesinambungan Sekaligus Mendukung Kestabilan Ekonomi-Moneter. Makalah disampaikan dalam Seminar “Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Melalui Penerbitan Obligasi Daerah dan Menyongsong Pembentukan DPD. Jakarta: 31 Januari 2003.
Santoso Budi,. 1998. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit, Petunjuk Teknis untuk Staf Manajemen, PT. Grasindo /Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Saragih, J.P. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
Sarundajang, S.H. 2001. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah.Pusataka Sinar Harapan. Jakarta.
Sedarmayanti, 2003, Good Governance dalam rangka Otonomi Daerah, Mandar Maju, Bandung.
(5)
Sidik, M. 2002. Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang Mengacu pada Pencapaian Tujuan Nasional. Paper disampaikan pada Seminar Nasional Public Sector Scorecard, Jakarta 17-18 April 2002. Jakarta.
Simamora, Henry. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: STIE YKPN.
Simbolon. A.2003. Laporan akuntabilitas instansi pemerintah (LAKIP). Dispendad.Jakarta.
Solimun. 2002. Multivariate Analysis Structural Equation Modelling (SEM) Lisrel dan Amos, Universitas Negeri Malang.
Subramaniam, N., and N. M. Ashkanasy. 2001. The Effect of Organizational Culture Perceptions on the Relationship Between Budgetary Participation and Managerial Job-Related Outcomes. Australian Journal of Management. 26 (1): 35-59.
Sulitiyani, A.T dan Rosidah. 2003. Manajemen SDM : Konsep, Teori dan Pe-ngembangan dalam kontek Organisasi Publik. Graha Ilmu. Yogjakarta.
Suparmoko.M. 2001. Ekonomi Politik: Untuk Keuangan dan Pembangunan daerah. Andi.Yogjakarta.
Suryana, A. 2001. Dinamika Kebijakan Perberasan Nasional. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Suyono. 2003. Tinjauan tentang Fungsi Ekonomi Pemerintah. http://www.kimpraswil.go.id/itjen/buletin/2324fung.htm.
Syaukani, HR. 2000. Pengalaman Pahit Otonomi Setengah Hati, Harian Suara Kaltim, 10-08-2000.
Tajoeddin. 2001 Aspirasi terhadap ke tidak merataan, Disparitas Regional dan konflik vertikal di Indonesia, Working Paper :01/01 Unsfir, Jakarta.
Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2003. Manajemen Modern untuk Sektor Publik: Strategic management, Total quality management, Balanced scorecard, scenario planning. Balairung & Co. Yogjakarta.
(6)
Tim FE UAD dan BPK Perwakilan III Jogajakarta, 2002, dalam Prosiding Workshop Internasional : Implementasi Desentralisasi Fiskal sebagai upaya member-dayakan daerah dalam membiayai Pembangunan Daerah, Fisip Unpar, Bandung TIM Peneliti ILD. 2004 Kompilasi Undang undang Otonomi Daerah dan sekilas
Proses Kelahiranya (1903-2004), Institute for Local Development dan Yayasan TIFA, Jakarta.
Timofeev, A. 2001. Fiscal Decentralization and Soft Budget Constraints. Economic Education and Research Consortium. Working Paper Series.
Tjiptono,F. 1996. Manajemen Jasa. Penerbit Andi.Yogjakarta.
Tunggal, A. W. 2003. Pengukuran Kinerja dengan Balanced Scorecard. Penerbit Harvarindo.
Wuryanto, L.E. 1996. Fiscal Decentralization and Economic Performance in Indonesia:An Interregional Computable General Equilibrium Approach. A Dissertation of Doctor of Philosophy at Cornell University. Unpublished. Zheitaml, V.A. and Bittner, M.J., 1996, Service Marketing, McGraw-Hill