terdakwa dengan berbagai alasan, akibatnya proses peradilan berjalan lambat bahkan terkesan terkatung-katung.
Hambatan yang dihadapi oleh jurnalis dalam tugasnya mencari dan mengumpulkan data-data untuk diolah untuk menjadi konsumsi di
masyarakat luas dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hambatan Eksternal dan hambatan Internal.
1. Hambatan Eksternal
Hambatan eksternal yang dihadapi jurnalis merupakan faktor atau keadaan yang menghalangi dalam usahanya mendapatkan perlindungan
hukum dan rasa keadilan atas tindak pidana penganiayaan yang dialaminya dari aparat penegak hukum atau lembaga negara yang bertugas untuk
menyelesaikan perkara tersebut. Menurut Rizal Rudi Surya, S.H., selaku wakil Ketua Bidang
Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia PWI Provinsi Sumatera Utara, hambatan eksternal yang dihadapi oleh jurnalis korban tindak pidana
penganiayaan untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum adalah banyaknya aparat penegak hukum yang belum memahami dan belum
menggunakan Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers ketika menangani kasus yang menyangkut jurnalis.
125
Penerapan dari Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 dalam melindungi hak-hak dan menanggulangi kejahatan terhadap pers perlu
diutamakan mengingat asas “Lex specialis de rogat lex generalis” yang
125
Wawancara dengan Rizal Rudi Surya, S.H., selaku wakil Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia PWI Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 Mei 2015
berarti peraturan hukum yang khusus mengenyampingkan peraturan hukum yang umum.
Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers dianggap sudah cukup melindungi jurnalis korban tindak pidana penganiayaan.
126
2. Hambatan Internal
Hanya saja sosialisasi yang kurang tentang pentingnya penerapan Undang-
Undang No.40 tentang Pers terhadap masyarakat dan aparat penegak hukum menjadi penghambat tercapainya kepastian hukum.
Hambatan internal yang dihadapi jurnalis merupakan faktor atau keadaan yang menghalangi dalam usahanya mendapatkan perlindungan
hukum dan rasa keadilan atas tindak pidana penganiayaan yang dialaminya dari instansi yang membawahinya atau instansi mana dia berasal.
Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media
elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, dan menyalurkan informasi.
127
Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba
bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.
128
Pengertian bentuk kesejahteraan lainnya adalah peningkatan gaji, bonus, pemberian asuransi dan lain-lain. Pemberian kesejahteraan tersebut
126
Loc.cit.
127
Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 1 ayat 2
128
Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers , Pasal 10
dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawan pers.
Perusahaan pers adalah pihak pertama yang bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan yang bersifat segera terhadap wartawan
dan keluarga korban kekerasan, baik wartawan yang berstatus karyawan maupun non-karyawan.
Tanggung jawab perusahaan pers meliputi menanggung biaya pengobatan, evakuasi, dan proses pencarian fakta; berkoordinasi dengan
organisasi profesi wartawan, Dewan Pers, dan penegak hukum; serta memberikan pendampingan hukum.
129
Menurut Rizal Rudi Surya, S.H., selaku wakil Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia PWI Provinsi Sumatera Utara
Dewan Pers di Sumatera Utara sebagai instansi yang membawahi pers saat ini selalu melindungi jurnalis dan tidak menghambat jurnalis untuk
mendapatkan kepastian hukum selama jurnalis tersebut menjalankan tugasnya sesuai dengan Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers
dan Kode Etik Wartawan Indonesia KEWI. Perusahaan pers tetap melakukan
pendampingan meskipun memasuki proses hukum di kepolisianperadilan.
130
H. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
Dewan Pers di Sumatera Utara telah melaksanakan fungsi- fungsinya dengan baik sesuai dengan Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang
No. 40 Tahun 1999 yaitu:
129
Wawancara dengan Rizal Rudi Surya, S.H., selaku wakil Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia PWI Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 Mei 2015
130
Loc.cit.
I. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
J. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
K. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian
pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
L. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
M. Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-
peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
N. Mendata perusahaan, pers.
131
Perusahaan pers juga berkoordinasi dengan organisasi profesi wartawan untuk melakukan penanganan kasus kekerasan terhadap
wartawan, mengawal proses hukum dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesegera mungkin, mencakup proses-proses penanganan
kekerasan terhadap wartawan.
131
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 15 ayat 2
BAB IV KEBIJAKAN TERHADAP JURNALIS KORBAN TINDAK
PENGANIAYAAN
Kebijakan kriminal sebagai bentuk kebijakan publik dalam menanggulangi masalah kejahatan tidak lepas dari paham sebagai ranah
Sistem Peradilan Pidana yang merupakan representasi dari negara. Selain itu, kebijakan kriminal juga lebih dipahami sebagai upaya penegakan
hukum. Semakin rumit dan variatifnya masalah kejahatan, Sistem Peradilan
Pidana tidak lagi dapat dijadikan satu-satunya dasar dalam kebijakan kriminal. Khususnya upaya pencegahan kejahatan, lembaga-lembaga
negara yang difungsikan untuk melakukan pencegahan kejahatan harus melakukan kolaborasi yang terlembagakan dengan masyarakat dan swasta.
Kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang sudah terlampau tua usianya dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan
pertumbuhan penduduk, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh J. E. Sahetapy.
132
Upaya penanggulangan kejahatan kekerasan terhadap wartawan, dapat ditempuh melalui upaya penal dan upaya non penal. Upaya atau
kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang “kebijakan kriminal” criminal policy.
133
132
J. E. Sahetapy, Kausa Kejahatan Dan Beberapa Analisa Kriminologi. Bandung: Alumni 1981, hlm. 91
133
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 hlm. 77.