PENDAHULUAN PENGATURAN HUKUM TERHADAP JURNALIS KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEBIJAKAN TERHADAP JURNALIS KORBAN TINDAK

Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul dan pembahasan yang sama oleh orang lain dengan skripsi yang dibuat oleh penulis, maka hal tersebut dapat penulis pertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini penulis menguraikan apa yang menjadi landasan pemikirannya yang dituangkan dalam bentuk latar belakang permasalahan, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, dan metode penelitian.

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP JURNALIS

KORBAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN Bab ini merupakan pembahasan pengaturan hukum apa saja yang memberikan perlindungan hukum terhadap jurnalis korban tindak pidana penganiayaan. BAB III FAKTOR TERJADINYA TINDAK PENGANIAYAAN TERHADAP JURNALIS DAN HAMBATAN YANG DIHADAPI JURNALIS KORBAN TINDAK PENGANIAYAAN Bab ini berisi tentang faktor-faktor terjadinya penganiayaan terhadap jurnalis dan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh jurnalis dalam mendapatkan perlindungan hukum.

BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP

JURNALIS KORBAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN Bab ini membahas tentang kebijakan pemerintah terhadap jurnalis korban tindak pidana penganiayaan.

BAB V PENUTUP

Bab ini penulis akan menyampaikan kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang ada berdasarkan hasil penelitian serta saran-saran yang diharapkan menjadi solusi dari permasalahan yang dibahas.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif atau doktrineryaitu ditekankan pada penggunaan data sekunder.Penelitian hukum normatif atau doktriner yang juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen, karena lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. 20 Penelitian hukum normatif mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan “justifikasi” preskriptif tentang suatu peristiwa hukum. 21 Penelitian hukum normatif menjadikan sistem norma sebagai pusat kajiannya. 22 Sistem norma dalam arti yang sederhana adalah sistem kaidah atau aturan. 23 20 Ediwarman, Metode Penelitian Hukum Panduan penyusunan Skripsi, Tesis, dan Desertasi, Medan:P.T. Sofmedia,2015,Halaman 97 21 Mukti Fajar, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999, halaman 36 22 Loc.cit. 23 Ranuhandoko, Terminologi Hukum, Jakarta, Grafika, 2003, halaman 419 Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana khususnya tindak pidana penganiayaan terhadap jurnalis.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang diterapkan dalam penelitian hukum yang akan dilakukan oleh peneliti adalah dengan menganalisis pasal-pasal yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap jurnalis korban tindak penganiayaan, menganalisis berlakunya hukum positif dan pengaruh berlakunya hukum positif terhadap jurnalis korban tindak penganiayaan serta faktor non hukum terhadap terbentuknya serta berlakunya ketentuan hukum positif.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi Sumatera Utara dengan melakukan wawancara tertulis dengan Bapak Rizal Rudi Surya,S.H.,selaku Wakil Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia PWI Provinsi Sumatera Utara 2010-2015. Penelitian dilaksanakan pada Tanggal 18 Mei 2015.

4. Alat Pengumpulan Data

Peneliti menggunakan alat pengumpulan data berupa Studi Kepustakaan atau Studi Dokumen Documentary Study dan wawancara Interview yang berhubungan dengan perlindungan terhadap jurnalis korban tindak penganiayaan. Penelitian empiris yang bertujuan medapatkan bahan primer yang berupa peraturan perundang-undangan dan buku-buku yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap jurnalis korban penganiayaan dan bahan sekunder berupa bahan acuan lainnya yang mendukung penulisan skripsi ini. 24 Wawancara interview merupakan cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada narasumber yang diwawancarai, yang merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi 25

5. Prosedur Pengumpulan Data

untuk memperoleh data yang diperlukan. Prosedur pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini, diperlukan metode pengumpulan data dengan cara studi pustaka terhadap bahan- bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non-hukum 26

6. Analisis Data

. Memanfaatkan berbagai literatur untuk mempelajari dan menganalisa kasus berupa perundang-undangan, buku-buku, artikel dan media lainnya yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap jurnalis korban penganiayaan. Analisis data Kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. 27 Metode penelitian ini menggunakan teknik analisis mendalam in- depth analysis, yaitu mengkaji masalah secara kasus perkasus karena 24 Ediwarman, Op.cit. hlm 114 25 Ibid , hlm 117 26 Mukti Fajar, Op.cit. halaman 160 27 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1982, halaman 93 metodologi kualitatif yakin sifat suatu masalah satu akan berbeda dengan sifat dari masalah lainnya. Tujuan dari metodologi ini bukan suatu generalisasi tetapi pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah.

BAB II Pengaturan Hukum Terhadap Jurnalis Korban Tindak Penganiayaan

A. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

Menurut Pasal 1 Undang-Undang ini, di jelaskan bahwa Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. 28 Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, dan menyalurkan informasi. Penyampaian informasi oleh pers baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia. 29 Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi. 30 Kantor berita adalah pusat pengumpulan dan penyebaran berita, bahan-bahan informasi dan karangan-karangan guna melayani harian, penerbitan berkala, badan umum dan swasta lainnya yang usahanya 28 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 1 ayat 1 29 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 1 ayat 2 30 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 1 ayat 3 meliputi segala perwujudan kehidupan dan penghidupan masyarakat Indonesia dalam tata pergaulan dunia. 31 Kewartawanan adalah pekerjaan kegiatan usaha yang sah, yang berhubungan dengan pengumpulan, pengadaan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar dan lain sebagainya untuk perusahaan pers, radio, televisi dan film. 32 Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. 33 Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Hak-hak yang dimiliki oleh wartawan dijamin oleh Pasal 28 Undang-undang Dasar tahun 1945, yaitu “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh undang-undang.” 34 Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia. 35 Sedangkan Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh Perusahaan pers asing. 36 Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik. 37 31

M. Djen Amar, op.cit.hlm 39

32 Loc.cit. hlm 39 33 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 1 ayat 4 34 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 1 ayat 5 35 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 1 ayat 6 36 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 1 ayat 7 37 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 1 ayat 8 Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum. 38 Hak Tolak Wartawan adalah hak karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. 39 Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. 40 Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. 41 Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. 42 Pengertian Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan. 43 Kebebasan pers adalah hak dalam mengelola berita dan mengumumkannya tanpa harus ada izin terlebih dahulu, meskipun demikian, setelah diterbitkan, penerbitnya haruslah bertanggung jawab. 44 Menurut Pasal 2, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, 38 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 1 ayat 9 39 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 1 ayat 10 40 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 1 ayat 11 41 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 1 ayat 12 42 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 1 ayat 13 43 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 1 ayat 14 44

M. Djen Amar, op.cit. hlm 76

dan supremasi hukum. 45 Menurut Pasal 3 fungsi Pers nasional adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.Dan pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Kebebasan ini merupakan salah satu cara masyarakat mengemukakan aspirasinya. 46 Menurut Pasal 4 kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara adalah pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. 47 Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam kode Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers. 48 Penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran tidak berlaku pada media cetak dan media elektronik.Siaran yang bukan merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dalam ketentuan undang-undang yang berlaku.Menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. 49 45 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 2 46 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 3 47 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 4 48 Penjelasan atas Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 4 ayat 1 49 Penjelasan atas Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 4 ayat 2 Tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak Tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan. 50 Menurut Pasal 5 Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.Pers wajib melayani Hak Jawab dan Hak Tolak. Hak tolak dapat digunakan wartawan ketika dimintai keterangan oleh pejabat penyidik atau diminta menjadi saksi di pengadilan demi melindungi kepentingan dari sumber informasi. 51 Pers nasional menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut. 52 Menurut Pasal 6 Pers nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar.Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran, 50 Penjelasan atas Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 4 ayat 3 51 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers, Pasal 5 52 Penjelasan atas Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 5 ayat 1 serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib. 53 Menurut Pasal 7 Undang-Undang ini, Wartawan bebas memilih organisasi wartawan, dan wajib mentaati Kode Etik Jurnalistik, yaitu kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. 54 Menurut Pasal 8, dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Pengertianperlindungan hukum adalah jaminan perlindungan Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kode Etik Jurnalistik dibuat oleh Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI.Tujuannya adalah menjunjung tinggi konstitusi dan menegakkan kemerdekaan pers yang bertanggungjawab, mematuhi norma-norma profesi kewartawanan, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 55 Perlindungan hukum merupakan bukti bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.Baik itu yang bersifat preventif atau pencegahan maupun dalam bentuk yang bersifat represif atau pemaksaan, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam menegakkan peraturan hukum. 53 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers, Pasal 6 54 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers, Pasal 7 55 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers, Pasal 8 Menurut Pasal 9, setiap warga negara Indonesia berhak atas kesempatan yang sama untuk bekerja sesuai dengan Hak Asasi Manusia, termasuk mendirikan perusahaan pers sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pers nasional mempunyai fungsi dan peranan yang penting dan strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Negara dapat mendirikan perusahaan pers dengan membentuk lembaga atau badan usaha untuk menyelenggarakan usaha pers. Perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. 56 Menurut Pasal 10, perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. 57 Menurut Pasal 11, Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Pengertian bentuk kesejahteraan lainnya adalah peningkatan gaji, bonus, pemberian asuransi dan lain-lain. Pemberian kesejahteraan tersebut dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawan pers. 58 56 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers , Pasal 9 57 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers , Pasal 10 58 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers, Pasal 11 Penambahan modal asing pada perusahaan pers dibatasi agar tidak mencapai saham mayoritas dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Pasal 12 Pengumuman secara terbuka dilakukan dengan cara : A. Media cetak memuat kolom nama, alamat, dan penanggung jawab penerbitan serta nama dan alamat percetakan; B. Media elektronik menyiarkan nama, alamat, dan penanggungjawabnya pada awal atau akhir setiap siaran karya jurnalistik; C. Media lainnya menyesuaikan dengan bentuk, sifat dan karakter media yang bersangkutan. 59 Pengumuman tersebut dimaksud sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan.Dan jawab adalah perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi dan pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Pasal 13 Undang-Undang no.40 tahun 1999 tentang Pers, Perusahaan pers dilarang memuat Iklan: A. Yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat; B. Minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku; C. Peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok. 60 59 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers, Pasal 12 60 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers, Pasal 13 Menurut Pasal 14, dalam mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara Indonesia dan negara dapat mendirikan kantor berita. 61 Menurut Pasal 15, menjelaskan tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas pers nasional. Mendirikan kantor berita berfungsi membantu wartawan dalam menjalankan tugasnya yaitu mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan segala jenis saluran yang tersedia. 62 A. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; Dewan Pers mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: B. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; C. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; D. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; E. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; F. Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan- peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; G. Mendata perusahaan, pers. 63 61 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers, Pasal 14 62 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers, Pasal 15 ayat 1 Anggota Dewan Pers terdiri dari: A. Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; B. Pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; C. Tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dari atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. 64 Keanggotaan Dewan Pers ditetapkan dengan Keputusan Presiden dan berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari organisasi pers, perusahaan pers, bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat. Menurut Pasal 16, peredaran pers asing dan pendiri perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 65 Menurut Pasal 17, masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.Untuk melaksanakan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dapat dibentuk lembaga atau organisasi pemantau media media watch. 66 63 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers, Pasal 15 ayat 2 64 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers, Pasal 15 ayat 3 65 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers, Pasal 16 66 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers, Pasal 17 Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam berupa : a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers; b. Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional. Menurut Pasal 18, ketentuan pidana bagi setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2, serta Pasal 13 dipidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah.Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 12. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat 2 dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 seratus juta rupiah. 67

B. Peraturan Dewan Pers No.5Peraturan-DPIV2008 tentang

Standar Perlindungan Profesi Wartawan Menyatakan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dihilangkan dan harus dihormati.Rakyat Indonesia telah 67 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Pasal 18 memilih dan berketetapan hati melindungi kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat itu dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat dan bagian penting dari kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat.Wartawan adalah pilar utama kemerdekaan pers. Pelaksanaan tugas wartawan mutlak mendapat perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Untuk itu Standar Perlindungan Profesi Wartawan dibuat: 1. Perlindungan yang diatur dalam standar ini adalah perlindungan hukum untuk wartawan yang menaati kode etik jurnalistik dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi; 2. Dalam melaksanakan tugas jurnalistik, wartawan memperoleh perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Tugas jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui media massa; 3. Dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan dilindungi dari tindak kekerasan, pengambilan, penyitaan dan atau perampasan alat-alat kerja, serta tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak manapun; 4. Karya jurnalistik wartawan dilindungi dari segala bentuk penyensoran; 5. Wartawan yang ditugaskan khusus di wilayah berbahaya dan atau konflik wajib dilengkapi surat penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, asuransi, serta pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang berkaitan dengan kepentingan penugasannya; 6. Dalam penugasan jurnalistik di wilayah konflik bersenjata, wartawan yang telah menunjukkan identitas sebagai wartawan dan tidak menggunakan identitas pihak yang bertikai, wajib diperlakukan sebagai pihak yang netral dan diberikan perlindungan hukum sehingga dilarang diintimidasi, disandera, disiksa, dianiaya, apalagi dibunuh; 7. Dalam perkara yang menyangkut karya jurnalistik, perusahaan pers diwakili oleh penanggungjawabnya; 8. Dalam kesaksian perkara yang menyangkut karya jurnalistik, penanggungjawabnya hanya dapat ditanya mengenai berita yang telah dipublikasikan. Wartawan dapat menggunakan hak tolak untuk melindungi sumber informasi; 9. Pemilik atau manajemen perusahaan pers dilarang memaksa wartawan untuk membuat berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik dan atau hukum yang berlaku. 68

C. Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum

Pidana 68 Peraturan Dewan Pers No.5Peraturan-DPIV2008 tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan Menurut Pasal 170 KUHP, bahwa siapa yang secara terang- terangan dan secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, bila la dengan sengaja menghancurkan barang atau bila kekerasan yang digunakan itu mengakibatkan luka-luka. Pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, bila kekerasan itu mengakibatkan luka berat dan diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, bila kekerasan itu mengakibatkan kematian. 69 Menurut Pasal 351 KUHP, Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4500,-. 70 Perbuatan itu menjadikan luka berat, pelaku dihukum penjara selama-lamanya lima tahun. Apabila mengakibatkan kematian dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.Luka berat atau mati disini harus hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud oleh pelaku. Undang-undang tidak memberikan ketentuan apakah yang di artikan dengan penganiayaan mishandeling itu. Menurut Yurisprudensi, maka yang diartikan dengan penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak penderitaan, rasa sakit, atau luka. 69 Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Pasal 170 70 Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Pasal 351 Penganiayaan diartikan merusak kesehatan orang dengan sengaja.Percobaan melakukan tindak penganiayaan ringan ini tidak dapat dihukum. Menurut Pasal 352, bahwa penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan pekerjaan sebagai penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak- banyaknya Rp. 4500,-. Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya, bila kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada dibawah perintahnya.Dan percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum. 71

D. Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Menurut Pasal 2, bahwa Undang-Undang ini memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidanadalam lingkungan peradilan. 72 Menurut Pasal 3, pelaksanaan perlindungan saksi dan korban berasaskan pada: Perlindungan kepada Saksi dan Korban tujuannya adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi danatau korban dan melindungi hak- haknya agar tidak dilanggar oleh orang lain. 71 Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Pasal 352 72 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 2 A. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia; B. Rasa aman; C. Keadilan; D. Tidak diskriminatif; dan E. Kepastian hukum. 73 Menurut Pasal 4, tujuan perlindungan saksi dan korban adalah memberikan rasa aman kepada Saksi danatau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. 74 Perlindungan ini melindungi fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perlindungan saksi dan korban adalah diperlukan dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. 75 Menurut Pasal 5 ayat 1 mengatur tentang hak-hak dari saksi dan korban,yaitu: 76 A. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, sertabebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telahdiberikannya; Perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama yang diperlukan Saksi dan Korban.Apabila perlu, Saksi dan Korban harus ditempatkan dalam suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapa pun untuk menjamin agar Saksi dan Korban aman. 73 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 3 74 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 4 75 Siswanto Sunarso, Op.cit. hlm. 255 76 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 5 ayat 1 Jika saksi mendapat ancaman dan gangguan, akan memberikan dampak terhadap kesaksian yang tidak benar, kesaksian yang direkayasa, dan pada akhirnya menimbulkan resiko hukum terhadap saksi dan korban itu sendiri. 77 B. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungankeamanan; C. Memberikan keterangan tanpa tekanan; D. Mendapat penerjemah; Hak ini diberikan kepada Saksi dan Korban yang tidak lancar berbahasa Indonesia untuk mempelancar persidangan. E. Bebas dari pertanyaan yang menjerat; F. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; Seringkali Saksi dan Korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan, tetapi Saksi dan Korban tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh karena itu, sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus diberikan kepada Saksi dan Korban. G. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; Informasi ini penting untuk diketahui Saksi dan Korban sebagai tanda penghargaan atas kesediaan Saksi dan Korban dalam proses peradilan tersebut. H. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; Ketakutan Saksi dan Korban akan adanya balas denda dari terdakwa cukup beralasan dan ia berhak diberi tahu apabila seorang terpidana yang dihukum penjara akan dibebaskan. 77 Siswanto Sunarso, Op.cit. Halaman 257 I. Dirahasiakan identitasnya; Dalam berbagai kasus, terutama yang menyangkut kejahatan terorganisasi, Saksi dan Korban dapat terancam walaupun terdakwa sudah dihukum. Dalam kasus-kasus tertentu, Saksi dan Korban haruslah dirahasiakan identitasnya. J. Mendapat identitas baru; Saksi dan Korban dapat diberi identitas baru untuk menghindari ancaman dari berbagai pihak walaupun terdakwa sudah dihukum termasuk menyangkut kasus kejahatan yang terorganisir. K. Mendapat tempat kediaman sementara; Jika keamanan Saksi dan Korban sudah sangat mengkhawatirkan, pemberian tempat sementara pada Saksi dan Korban harus dipertimbangkan agar Saksi dan Korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan.Dan yang dimaksud dengan tempat kediaman sementara adalah tempat tertentu yang bersifat sementara dan dianggap aman. L. Mendapat tempat kediaman baru; Jika keamanan Saksi dan Korban sudah sangat mengkhawatirkan, pemberian tempat baru pada Saksi dan Korban harus dipertimbangkan agar Saksi dan Korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan.Dan yang dimaksud dengan tempat kediaman baru adalah tempat tertentu yang bersifat permanen dan dianggap aman M. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; Saksi dan Korban yang tidak mampu membiaya dirinya untuk mendatangi lokasi, perlu mendapat bantuan biaya dari Negara. N. Mendapat nasihat hukum; Yang dimaksud dengan nasihat hukum adalah nasihat hukum yang dibutuhkan oleh Saksi dan Korban apabila diperlukan. O. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; Yang dimaksud dengan biaya hidup sementara adalah biaya hidup yang sesuai dengan situasi yang dihadapi pada waktu itu, misalnya biaya untuk makan sehari-hari. P. Mendapat pendampingan. Menurut Pasal 5 ayat 2 menyatakan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan kepada Saksi danatau Korban tindak pidanadalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK. 78 Menurut Pasal 5 ayat 3 menyatakan selain kepada Saksi danatau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimanadimaksud pada ayat 2, dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pulaorang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidanameskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat Yang dimaksud dengan tindak pidana dalam kasus tertentu antara lain, tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi danatau Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya . 78 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 5 ayat 2 sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjangketerangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.” 79 A. Bantuan medis; dan Yang dimaksud dengan “ahli” adalah orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Menurut Pasal 6 ayat 1 menyatakan Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana terorisme, Korban tindakpidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasanseksual, dan Korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,juga berhak mendapatkan: B. Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. 80 Yang dimaksud dengan “bantuan medis” adalah bantuan yang diberikan untuk memulihkan kesehatan fisik Korban, termasuk melakukan pengurusan dalam hal Korban meninggal dunia misalnya pengurusan jenazah hingga pemakaman. Yang dimaksud dengan “rehabilitasi psikososial” adalah semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, 79 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 5 ayat 3 80 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 6 ayat 1 psikologis, sosial, dan spiritual Korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar. Antara lain LPSK berupaya melakukan peningkatan kualitas hidup Korban dengan melakukan kerja sama dengan instansi terkait yang berwenang berupa bantuan pemenuhan sandang, pangan, papan, bantuan memperoleh pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan. Yang dimaksud dengan “rehabilitasi psikologis” adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada Korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan Korban. Rehabilitasi psiko-sosial adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban. Pasal 6 ayat 2 menyatakan Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan berdasarkan Keputusan LPSK.”Pemberian bantuan medis dan bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban harus memenuhi prosedur dari LPSK. 81 Menurut Pasal 7 ayat 1 menyatakan setiap Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan Korban tindak pidana terorisme selain mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6, juga berhak atas kompensasi. 82 81 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 6 ayat 2 82 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 7 ayat 1 Menurut Pasal 7 ayat 2 menyatakan kompensasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat diajukan oleh korban,keluarga, atau kuasanya kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia melalui LPSK. 83 Menurut Pasal 7 ayat 3 menyatakan Pelaksanaan pembayaran Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diberikan oleh LPSKberdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengajuan Kompensasi oleh Keluarga dilakukan jika Korban meninggal dunia, hilang, tidak cakap hukum, atau tidak mampu secara fisik. 84 Menurut Pasal 7 ayat 4 menyatakan pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme dilaksanakan sesuai denganketentuan Undang-Undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme. Pendanaan yang diperlukan untuk pembayaran Kompensasi dibebankan pada anggaran LPSK. 85 Menurut Pasal 7A ayat 1 menyatakan Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa: 86 83 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 7 ayat 2 84 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 7 ayat 3 85 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 7 ayat 4 86 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 7 A ayat 1 A. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; B. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibattindak pidana; danatau C. Penggantian biaya perawatan medis danatau psikologis. Menurut Pasal 7A ayat 2 menyatakan Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Keputusan LPSK. 87 MenurutPasal 7A ayat 3 menyatakan Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yangtelah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK. 88 MenurutPasal 7A ayat 4 menyatakan Dalam hal permohonan Restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada penuntut umum untuk dimuatdalam tuntutannya. 89 MenurutPasal 7A ayat 5 menyatakan dalam hal permohonan Restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada pengadilan untuk mendapatpenetapan. 90 87 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 7 A ayat 2 88 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 7 A ayat 3 89 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 7 A ayat 4 90 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 7 A ayat 5 MenurutPasal 7A ayat 6 menyatakan dalam hal Korban tindak pidana meninggal dunia, Restitusi diberikan kepada Keluarga Korban yang merupakan ahli waris Korban. 91 MenurutPasal 7Bmenyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan pemberian Kompensasi dan Restitusisebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 7A diatur dengan Peraturan Pemerintah. 92 Menurut Pasal 8 ayat 1 menyatakan perlindungan terhadap Saksi danatau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diberikansejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 93 Menurut Pasal 8 ayat 2 menyatakan dalam keadaan tertentu, Perlindungan dapat diberikan sesaat setelah permohonan diajukankepada LPSK. 94 Menurut Pasal 9 menjelaskan Saksi danatau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakimdapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa. 95 Saksi danatau Korban sebagaimana dimaksud pada dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita Ancaman yang besar adalah ancaman yang menyebabkannya tidak dapat memberikan kesaksiannya. 91 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 7 A ayat 6 92 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 7 B 93 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 8 ayat 1 94 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 8 ayat 2 95 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 9 ayat 1 acara yang memuat tentang kesaksian tersebut. 96 Saksi danatau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. Pejabat yang berwenang adalah penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 97 Menurut Pasal 10 ayat 1 Saksi, Korban, Saksi Pelaku, danatau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian danatau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik. Kehadiran pejabat ini untuk memastikan bahwa Saksi danatau Korban tidak dalam paksaan atau tekanan ketika Saksi danatau Korban memberikan keterangan. 98 Menurut Pasal 10 ayat 2 dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, danatau Pelapor atas kesaksian danatau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan Yang dimaksud dengan pelapor adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana. Dan keterangan tidak dengan itikad baik dalam ketentuan ini antara lain memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat. 96 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 9 ayat 2 97 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 9 ayat 3 98 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 10 ayat 1 kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap. 99 99 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 10 ayat 2

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PENGANIAYAAN

TERHADAP JURNALIS DAN HAMBATAN YANG DIHADAPI JURNALIS KORBAN PENGANIAYAAN

A. Pengertian Penganiayaan

Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata penganiayaan berasal dari kata aniaya yang artinya perbuatan bengis, penindasan, sadis dan sebagainya; sewenang-wenang. 100 Menurut Pompe hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan diatur pidananya. 101 Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh terdiri dari dua macam, yaitu: Penganiayaan merupakan salah satu tindak kejahatan. Kejahatan terhadap tubuh manusia misdrijven tegen het lijf ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian. 102 1. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai 100 Desi Anwar,Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Amelia, Surabaya; 2005 hlm. 32 101 Bambang Purnomo, Hukum Pidana, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1982, hlm. 9 102 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, PT Raja Grafindo Persada; Jakarta; 2004, hlm. 7 penganiayaan mishandeling, dimuat dalam Bab XX buku II, pasal 351 sampai dengan pasal 358. 2. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam pasal 360 Bab XXI yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka. Pandangan dalam doktrin tersebut juga dianut dalam praktik hukum, seperti tampak dalam arrest Hoge Raad HR tanggal 25 Juni 1894 yang dinyatakan bahwa penganiayaan adalah “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka. Kesengajaan ini harus dicantumkan dalam surat tuduhan” 103 Arrest HR lainnya yang memberikan penafsiran secara lebih sempurna yang dapat menghilangkan kelemahan pandangan dalam doktrin tadi, adalah seperti arrest HR 10-2-1902 yang menyatakan bahwa “jika . Tetapi dalam arrest lainnya pandangan dalam doktrin yang mendasarkan pada sejarah pembentukan pasal yang bersangkutan dianut tidak secara utuh, hal ini berhubung karena pengertian menurut doktrin terlalu luas. Berdasarkan pengertian dalam doktrin tadi, maka perbuatan seperti seorang guru atau orang tua yang memukul anak, atau dokter yang melukai sebagian tubuh pasien dalam rangka pelaksanaan operasi untuk menyembuhkan suatu penyakit adalah termasuk juga pada pengertian penganiayaan. 103 Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Rajawali Pers: Jakarta, 1994, hlm 211 menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan. Contohnya dalam batas-batas yang diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang anak” 104 Arrest HR lainnya 20-4-1925 menyatakan bahwa “dengan sengaja melukai tubuh orang lain tidak dianggap sebagai penganiayaan, jika maksudnya untuk mencapai suatu tujuan lain, dan di dalam menggunakan akal itu tidak sadar bahwa ia melewati batas-batas yang wajar.” . 105 Berdasarkan doktrin dan pendapat dari arrest-arrest HR yang telah dikemukakan dapat ditarik kesimpulan perihal arti penganiayaan, ialah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan si petindak. 106 a Adanya kesengajaan; Pengertian seperti yang baru disebutkan di atas itulah yang banyak dianut dalam praktik hukum selama ini. Dari pengertian itu, maka penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : b Adanya perbuatan; c Adanya akibat perbuatan dituju yakni : 1 Rasa sakit, tidak enak pada tubuh; 104 Ibid , hlm 212 105 Loc.cit 106 Adami Chazawi, Op.cit hlm 12 2 Lukanya tubuh; d Bertujuan pada akibatnya. Unsur luka dalam arrest-arrest HR tersebut merupakan alternatif penjelasan dari rasa sakit yang berlebihan sehingga menimbulkan luka pada tubuh. Yang bertujuan agar masyarakat dengan sendirinya memahami bahwa unsur luka tersebut menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Unsur adanya kesengajaan dan bertujuan pada akibatnya adalah bersifat subyektif. Sedangkan unsur adanya perbuatan dan adanya akibat perbuatan bersifat objektif. Walaupun unsur-unsur itu tidak ada dalam rumusan pasal 351, akan tetapi harus disebutkan dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan dalam persidangan. 107 Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja penganiayaan dapat dibedakan menjadi enam macam. Yaitu : 108

1. Penganiayaan Biasa

Pemberian kualifikasi sebagai penganiayaan biasa gewone mishandeling yang dapat disebut juga dengan penganiayaan bentuk pokok atau bentuk standard terhadap ketentuan pasal 351 sungguh tepat, setidak- tidaknya untuk membedakannya dengan bentuk-bentuk penganiayaan lainnya. Pada rumusan kejahtan-kejahatan lain, pembentuk Undang-Undang dalam membuat rumusannya adalah dengan menyebut unsur tingkah laku 107 Ibid, hlm. 13 108 Ibid, hlm. 7 dan unsur-unsur lainnya, seperti kesalahan, melawan hukum, atau unsur mengenai objeknya, mengenai cara melakukannya dan sebagainya. Pada kejahatan yang diberi kualifikasi penganiayaann pasal 351 ayat 1 ini, dirumuskan secara singkat, yaitu dengan menyebut kualifikasinya sebagai penganiayaan mishandeling sama dengan judul dari Bab XX, dan menyebutkan ancaman pidananya. Pasal 351 merumuskan sebagai berikut : 1 Penganiayaan pidana paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500. 2 Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun. 3 Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. 4 Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 5 Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Penganiayaan yang dirumuskan pada ayat 1 hanya memuat kualifikasi kejahatan dan ancaman pidananya saja, maka dari rumusan tersebut tidak dapat diketahui unsur-unsurnya, dan juga tidak diketahui dengan jelas tentang pengertiannya. Latar belakang mengapa pembentuk Undang-Undang membuat rumusan yang sangat singkat demikian itu, dapat diketahui dari sejarah pembentukan pasal yang bersangkutan dari KUHP WvS Belanda. Pada mulanya dalam rancangan dari pasal yang bersangkutan yang diajukan oleh Menteri Kehakiman Belanda ke Parlemen, terdapat 2 rumusan yakni : a. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakitpenderitaan pada tubuh orang lain. b. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merusak kesehatan tubuh orang lain. Terdapat keberatan dari sebagian anggota Parlemen berhubung dengan tidak terang atau kaburnya pengertian tentang rasa sakitpenderitaan tubuh, maka Menteri Kehakiman mengubah rumusan yang pertama dengan hanya menyebutkanmerumuskan kata penganiayaan mishandeling saja, atas dasar pertimbangan bahwa semua orang sudah memahami artinya. Sedangkan pengertian dari rumusan yang kedua ditempatkan dalam ayat 4 dari Pasal 351 KUHP, yang dapat dianggap sebagai perluasan arti dari kata penganiayaan. Oleh karena rumusan kejahatan ini hanya disebut kualifikasinya saja. Dalam doktrinilmu pengetahuan hukum pidana, berdasarkan sejarah pembentukan dari pasal yang bersangkutan, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit pijn atau luka letsel pada tubuh orang lain. 109 109 Loc.cit. Menurut doktrin penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 110 1 Rasa sakit pada tubuh, dan atau a. Adanya kesengajaan; b. Adanya perbuatan; c. Adanya akibat perbuatan yang dituju, yakni : 2 Luka pada tubuh. Unsur yang pertama adalah berupa unsur subjektif kesalahan, unsur kedua dan ketiga berupa unsur objektif. Kesengajaan disini berupa sebagai maksud atau opzet als oogmerk disamping harus ditujukan pada akibatnya. Sifat kesengajaan yang demikian lebih nyata lagi pada rumusan pada ayat 4. Mengenai unsur tingkah laku sangatlah bersifat abstrak, karena dengan istilahkata perbuatan saja, maka dalam bentuknya yang kongkret tak terbatas wujudnya, yang pada umumnya wujud perbuatan-perbuatan itu mengandung sifat kekerasan fisik dan harus menimbulkan rasa sakit tubuh atau luka tubuh. Luka diartikan dengan terjadinya perubahan dari tubuh, atau menjadi lain dari rupa semula sebelum perbuatan itu dilakukan, misalnya lecet pada kulit, putusnya jari tangan, dan lain sebagainya. Sedangkan rasa 110 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakata; 2012, hlm. 105 sakit tidak memerlukan adanya perubahan rupa pada tubuh, melainkan pada tubuh timbul rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau penderitaan. Dalam hal penganiayaan biasa dan penganiayaan ringan pada dasarnya percobaan dapat terjadi, dan sudah ada kepentingan hukum yang dibahayakan, tetapi bahaya terhadap suatu kepentingan hukum di sini dipandang oleh pembentuk Undang-Undang tidak sebesar bahaya pada kejahatan lain seperti pembunuhan Pasal 338 atau pencurian Pasal 362. Bahaya yang ditimbulkan merupakan bahaya yang dipandang sebagai bahaya yang belum patut untuk dipidana. Oleh karena itu terhadap percobaan penganiayaan biasa dan ringan tidak diancam pidana oleh Undang-Undang.

2. Penganiayaan Ringan

Kejahatan yang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan ringan lichte michandeling oleh Undang-Undang ialah penganiayaan yang dimuat dalam pasal 352, yang rumusannya sebagai berikut: 111 A. Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau larangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana 111 R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, cet. 16, Jakarta: Rajawali Pers, 2012 , hlm. 216 sebagai pengaiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500 B. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya. Penganiayaan bentuk ringan tidak terdapat dalam WvS Belanda. Dengan dibentuknya penganiayaan ringan ke dalam KUHP adalah sebagai perkecualian dari asas Concordantie yang memuat: 1. Mengenai batasan dan ancaman pidana bagi penganiayaan ringan. 2. Alasan pemberat pidana pada penganiayaan ringan. Batasan penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang : 1 Bukan berupa penganiayaan berencana 353; 2 Bukan penganiayaan yang dilakukan: a. Terhadap ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya; b. Terhadap pegawai negeri yang sedang dan atau karena menjalankan tugasnya yang sah; c. Dengan memasukkan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan unutk dimakan atau diminum pasal 363; 3. Tidak menimbukan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian. Tiga unsur itulah, di mana unsur kedua dan ketiga terdiri dari beberapa alternatif, yang harus dipenuhi untuk menetapkan suatu penganiayaan sebagai penganiayaan ringan.

3. Penganiayaan Berencana

Pasal 353 mengenai penganiaan berencana merumuskan sebagai berikut: 112 a. Penganiayaan dengan rencana lebih dulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun; b. Jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun; c. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Ada tiga macam penganiayaan berencana, yakni : a. Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian; b. Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat; c. Penganiayaan berencana yang berakibat kematian. Kejahatan yang dirumuskan pasal 353 dalam praktik hukum diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berencana, oleh sebab terdapatnya unsur 112 Ibid, hlm 217 direncanakan lebih dulu meet voorbedachte rade sebelum perbuatan dilakukan. 113 Direncanakan lebih dulu, adalah bentuk khusus dari kesengajaan opsettelijk dan merupakan alasan pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subyektif, dan juga terdapat pada pembunuhan berencana. 114

4. Penganiayaan Berat

Penganiayaan yang oleh Undang-Undang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berat, ialah dirumuskan dalam pasal 354 yang rumusannya adalah sebagai berikut: 115 Penganiayaan berat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1 Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8 tahun; 2 Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun. 116 d. Akibat : luka berat. a. Kesalahannya : kesengajaan Opzettelijk; b. Perbuatan : melukai berat; c. Objeknya: tubuh orang lain; 113 Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Pasal 353 114 Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Pasal 340 115 KUHP dan KUHAP beserta penjelasannya; Citra Umbara, 2006, hlm. 109 116 Loc.cit. Perbuatan melukai berat zwar lichamelijk letsel toebrengt atau dapat disebut juga, menjadikan luka berat pada tubuh orang lain haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan Opzettelijk disini haruslah diartikan secara luas. Penganiayaan berat hanya ada dua bentuk, yakni : a. Penganiayaan berat biasa ayat 1, dan b. Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian ayat 2.

5. Penganiayaan Berat Berencana

Penganiayaan berat berencana, dimuat dalam pasal 355, yang rumusannya sebagai berikut: 117 Kedua bentuk penganiayaan ini harus terjadi secara serentakbersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus 1 Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan penjara paling lama 12; 2 Jika perbuatan itu menimbulkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Dipandang dari sudut untuk terjadinya penganiayaan berat berencana ini, maka kejahatan ini adalah berupa bentuk gabungan antara penganiayaan berat Pasal 354 ayat 1 dengan penganiayaan berencana pasal 353 ayat 1, dengan kata lain suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana. 117 Ibid, hlm. 110 terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.

6. Penganiayaan Terhadap Orang-Orang Berkualitas Tertentu atau

dengan Cara Tertentu yang Memberatkan Macam penganiayaan yang dimaksudkan adalah penganiayaan sebagaimana yang dimuat dalam pasal 356, yang rumusannya adalah sebagai berikut : 118 Bentuk khusus dari Penganiayaan Terhadap Orang-Orang Berkualitas Tertentu atau dengan Cara Tertentu yang Memberatkan mempunyai sifat yang memberatkan pidana pada penganiayaan biasa pasal 351, penganiayaan berencana pasal 353, penganiayaan berat pasal 354 dan penganiayaan berat berencana pasal 355 terletak pada 2 hal, yaitu : Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 352, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga : 1. Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau anaknya; 2. Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah; 3. Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kejahatan untuk dimakan atau diminum. 118 Loc.cit a. Pada kualitas pribadi korban sebagai : 1 Ibunya; 2 Bapaknya yang sah; 3 Istrinya; 4 Anaknya; 5 Pegawai negeri ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah. b. Pada cara melakukan penganiayaan, yakni dengan memberikan bahan untuk dimakan atau diminum yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan.

B. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Penganiayaan Terhadap

Jurnalis Menurut Rizal Rudi Surya, S.H., selaku wakil Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia PWI Provinsi Sumatera Utara faktor-faktor yang menyebabkan tindak penganiayaan terhadap jurnalis di Indonesia. Yaitu 119 a Pelaku Penganiayaan Tidak Memahami Jurnalis Adalah Profesi Yang Dilindungi : Kemerdekaan pers yang telah dijamin oleh pemerintah dalam pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang bertujuan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin, yakni untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. 119 Wawancara dengan Rizal Rudi Surya, S.H., selaku wakil Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia PWI Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 Mei 2015 Pengetahuan tentang kemerdekaan pers di masyarakat haruslah disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik demi mencapai kehidupan yang demokratis. Kehidupan yang demokratis merupakan pertanggung jawaban kepada rakyat yang terwujud bila penyelenggaraan negara yang berfungsi secara transparan sehingga masyarakat memperoleh informasi dengan benar tanpa adanya rekayasa atau campur tangan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan sendiri. Sosialisasi tentang pentingnya kebebasan dan perlindungan pers demi pemberitaan yang transparan kepada masyarakat akan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang fungsi pers. Selain itu dengan dibentuknya lembaga atau organisasi pemantau media media watch oleh masyarakat juga dapat berperan dalam menambah wawasan tentang pentingnya fungsi pers. Kegiatan ini berupa pemantauan dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers, menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional. b Wartawan Yang Tidak Bekerja Sesuai Dengan Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Jurnalis dalam menjalankan tugasnya mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi haruslah berdasarkan Undang-Undang no. 40 tahun 1999 dan Kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh dewan pers. Kode etik jurnalistik mengandung empat asas, yaitu: 120 Hal lain yang ditekankan kepada wartawan dan pers dalam asas ini adalah harus menunjukkan identitas kepada narasumber, dilarang melakukan plagiat, tidak mencampurkan fakta dan opini, menguji 1. Asas Demokratis Demokratis berarti berita harus disiarkan secara berimbang dan independen, selain itu, Pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi, dan pers harus mengutamakan kepentingan publik Wartawan Indoensia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proposional. Sebab, dengan adanya hak jawab dan hak koreksi ini, pers tidak boleh menzalimi pihak manapun. Semua pihak yang terlibat harus diberikan kesempatan untuk menyatakan pandangan dan pendapatnya, tentu secara proposional. 2. Asas Profesionalitas Secara sederhana, pengertian asas ini adalah wartawan Indonesia harus menguasai profesinya, baik dari segi teknis maupun filosofinya. Misalnya Pers harus membuat, menyiarkan, dan menghasilkan berita yang akurat dan faktual. Dengan demikian, wartawan indonesia terampil secara teknis, bersikap sesuai norma yang berlaku, dan paham terhadap nilai-nilai filosofi profesinya. 120 httpWikipedia.orgwikikode_etik_jurnalistik di akses tanggal 31 Agustus 2015 informasi yang didapat, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang , dan off the record, serta pers harus segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang tidak akurat dengan permohonan maaf. 3. Asas Moralitas Sebagai sebuah lembaga, media massa atau pers dapat memberikan dampak sosial yang sangat luas terhadap tata nilai, kehidupan, dan penghidupan masyarakat luas yang mengandalkan kepercayaan. Kode Etik Jurnalistik menyadari pentingnya sebuah moral dalam menjalankan kegiatan profesi wartawan. Untuk itu, wartawan yang tidak dilandasi oleh moralitas tinggi, secara langsung sudah melanggar asas Kode Etik Jurnalistik. Hal-hal yang berkaitan dengan asas moralitas antara lain Wartawan tidak menerima suap, Wartawan tidak menyalahgunakan profesi, tidak merendahkan orang miskin dan orang cacat Jiwa maupun fisik, tidak menulis dan menyiarkan berita berdasarkan diskriminasi SARA dan gender, tidak menyebut identitas korban kesusilaan, tidak menyebut identitas korban dan pelaku kejahatan anak-anak, dan segera meminta maaf terhadap pembuatan dan penyiaran berita yang tidak akurat atau keliru. 4. Asas Supremasi Hukum Dalam hal ini, wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum yang berlaku. Untuk itu, wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku. Dalam memberitakan sesuatu wartawan juga diwajibkan menghormati asas praduga tak bersalah c Perusahaan Pers Yang Belum Total Dalam Membela Wartawan Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi. 121 Pasal 10 Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan bahwa 122 Bentuk dari kesejahteraan lainnya yang disebut dalam Pasal 10 ini adalah peningkatan gaji, bonus, pemberian asuransi terhadap pers, dan juga perlindungan yang diberikan perusahaan pers untuk membela wartawan dalam pekerjaannya. “Perusahaan Pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.” 123 121 Undang-Undang no.40 tahun 1999, tentang Pers, Pasal 1 ayat 2 122 Undang-Undang no.40 tahun 1999, tentang Pers, Pasal 10 123 Undang-Undang no.40 tahun 1999, tentang Pers, Penjelasan atas Pasal 10 Perusahaan pers pada umumnya berupaya menyelesaikan masalah penganiayaan terhadap jurnalis dengan cara berdamai. Untuk segi bisnis penyelesaian masalah tersebut adalah bagus, namun untuk jangka panjang tidak menimbulkan efek jera kepada pelaku. Penyelesaian masalah melalui peradilan yang berdasarkan Undang- Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers akan memberikan pemahaman- pemahaman kepada masyarakat dan pelaku penganiayaan bahwa jurnalis adalah profesi wakil publik yang dilindungi oleh Undang-Undang dan mendorong aparat untuk lebih proaktif agar membawa kasus tersebut kejalur hukum untuk memberikan hukuman yang setimpal.

C. Bentuk Hambatan yang Dihadapi Jurnalis Korban Tindak Pidana

Penganiayaan Penegakan hukum guna mewujudkan rasa keadilan yang diharapkan oleh setiap orang kadang-kadang terbentur dengan adanya hambatan menghalangi untuk mendapatkan rasa keadilan tersebut. Hambatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah faktor atau keadaan yg membatasi, menghalangi, atau mencegah pencapaian sasaran; kekuatan yg memaksa pembatalan pelaksanaan 124 Terdapat juga hambatan yang berupa proses peradilan yang sering berjalan lambat, menyebabkan terhambatnya hakim dalam memutuskan vonis. Alasan keterlambatan tersebut bisa dikarenakan ketidakhadiran pencapaian tujuan tertentu. Hambatan yang dihadapi dalam hal perlindungan hukum terhadap jurnalis dapat berupa peraturan yang mengatur dalam penegakan hukum dirasakan kurang lengkap dan memadai atau bahkan tidak ada Undang- UndangPeraturan untuk menjerat para pelaku tindak pidana, sehingga korban lebih dirugikan. 124 www.kbbi.web.idkendala diakses pada tanggal 5 Juni 2015 terdakwa dengan berbagai alasan, akibatnya proses peradilan berjalan lambat bahkan terkesan terkatung-katung. Hambatan yang dihadapi oleh jurnalis dalam tugasnya mencari dan mengumpulkan data-data untuk diolah untuk menjadi konsumsi di masyarakat luas dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hambatan Eksternal dan hambatan Internal.

1. Hambatan Eksternal

Hambatan eksternal yang dihadapi jurnalis merupakan faktor atau keadaan yang menghalangi dalam usahanya mendapatkan perlindungan hukum dan rasa keadilan atas tindak pidana penganiayaan yang dialaminya dari aparat penegak hukum atau lembaga negara yang bertugas untuk menyelesaikan perkara tersebut. Menurut Rizal Rudi Surya, S.H., selaku wakil Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia PWI Provinsi Sumatera Utara, hambatan eksternal yang dihadapi oleh jurnalis korban tindak pidana penganiayaan untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum adalah banyaknya aparat penegak hukum yang belum memahami dan belum menggunakan Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers ketika menangani kasus yang menyangkut jurnalis. 125 Penerapan dari Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 dalam melindungi hak-hak dan menanggulangi kejahatan terhadap pers perlu diutamakan mengingat asas “Lex specialis de rogat lex generalis” yang 125 Wawancara dengan Rizal Rudi Surya, S.H., selaku wakil Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia PWI Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 Mei 2015 berarti peraturan hukum yang khusus mengenyampingkan peraturan hukum yang umum. Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers dianggap sudah cukup melindungi jurnalis korban tindak pidana penganiayaan. 126

2. Hambatan Internal

Hanya saja sosialisasi yang kurang tentang pentingnya penerapan Undang- Undang No.40 tentang Pers terhadap masyarakat dan aparat penegak hukum menjadi penghambat tercapainya kepastian hukum. Hambatan internal yang dihadapi jurnalis merupakan faktor atau keadaan yang menghalangi dalam usahanya mendapatkan perlindungan hukum dan rasa keadilan atas tindak pidana penganiayaan yang dialaminya dari instansi yang membawahinya atau instansi mana dia berasal. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, dan menyalurkan informasi. 127 Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. 128 Pengertian bentuk kesejahteraan lainnya adalah peningkatan gaji, bonus, pemberian asuransi dan lain-lain. Pemberian kesejahteraan tersebut 126 Loc.cit. 127 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 1 ayat 2 128 Undang-Undang no. 40 tahun 1999, tentang Pers , Pasal 10 dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawan pers. Perusahaan pers adalah pihak pertama yang bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan yang bersifat segera terhadap wartawan dan keluarga korban kekerasan, baik wartawan yang berstatus karyawan maupun non-karyawan. Tanggung jawab perusahaan pers meliputi menanggung biaya pengobatan, evakuasi, dan proses pencarian fakta; berkoordinasi dengan organisasi profesi wartawan, Dewan Pers, dan penegak hukum; serta memberikan pendampingan hukum. 129 Menurut Rizal Rudi Surya, S.H., selaku wakil Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia PWI Provinsi Sumatera Utara Dewan Pers di Sumatera Utara sebagai instansi yang membawahi pers saat ini selalu melindungi jurnalis dan tidak menghambat jurnalis untuk mendapatkan kepastian hukum selama jurnalis tersebut menjalankan tugasnya sesuai dengan Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Wartawan Indonesia KEWI. Perusahaan pers tetap melakukan pendampingan meskipun memasuki proses hukum di kepolisianperadilan. 130 H. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; Dewan Pers di Sumatera Utara telah melaksanakan fungsi- fungsinya dengan baik sesuai dengan Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 yaitu: 129 Wawancara dengan Rizal Rudi Surya, S.H., selaku wakil Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia PWI Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 Mei 2015 130 Loc.cit. I. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; J. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; K. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; L. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; M. Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan- peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; N. Mendata perusahaan, pers. 131 Perusahaan pers juga berkoordinasi dengan organisasi profesi wartawan untuk melakukan penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan, mengawal proses hukum dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesegera mungkin, mencakup proses-proses penanganan kekerasan terhadap wartawan. 131 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 15 ayat 2

BAB IV KEBIJAKAN TERHADAP JURNALIS KORBAN TINDAK

PENGANIAYAAN Kebijakan kriminal sebagai bentuk kebijakan publik dalam menanggulangi masalah kejahatan tidak lepas dari paham sebagai ranah Sistem Peradilan Pidana yang merupakan representasi dari negara. Selain itu, kebijakan kriminal juga lebih dipahami sebagai upaya penegakan hukum. Semakin rumit dan variatifnya masalah kejahatan, Sistem Peradilan Pidana tidak lagi dapat dijadikan satu-satunya dasar dalam kebijakan kriminal. Khususnya upaya pencegahan kejahatan, lembaga-lembaga negara yang difungsikan untuk melakukan pencegahan kejahatan harus melakukan kolaborasi yang terlembagakan dengan masyarakat dan swasta. Kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang sudah terlampau tua usianya dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan pertumbuhan penduduk, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh J. E. Sahetapy. 132 Upaya penanggulangan kejahatan kekerasan terhadap wartawan, dapat ditempuh melalui upaya penal dan upaya non penal. Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang “kebijakan kriminal” criminal policy. 133 132 J. E. Sahetapy, Kausa Kejahatan Dan Beberapa Analisa Kriminologi. Bandung: Alumni 1981, hlm. 91 133 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 hlm. 77. Pandangan bahwa upaya negara untuk menanggulangi kejahatan tidaklah mutlak menggunakan kebijakan penal, tetapi dapat menggunakan sarana non penal. Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis adalah melalui penggunaan sarana non penal karena lebih bersifat preventif dibandingkan dengan penggunaan sarana penal. 134

a. Kebijakan Penal

Kebijakan penal adalah suatu upaya dalam penanggulangan kejahatan dengan jalan menggunakan hukum pidana sebagai prioritas utama. Hukum pidana dalam upaya penal ini meliputi hukum pidana materil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana yang melalui sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuan tertentu. Kebijakan hukum pidana dengan sarana penal atau menggunakan hukum pidana terkait dengan penentuan: 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana kriminalisasi. 2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelaku atau pelanggar penalisasi. Hukum pidana dalam upaya penal ini berfungsi ganda yaitu fungsi primernya adalah sebagaimana sarana penanggulangan kejahatan yang rasional sebagai bagian dari kebijakan kriminal criminal policy dan fungsi sekundernya adalah sebagai sarana pengaturan terhadap kontrol sosial. 135 134 Ibid, hlm. 78 135 M.Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 49-50. Menurut Howard Jones, pidana merupakan salah satu bentuk reaksi atau respons terhadap kejahatan. 136 Penggunaan hukum pidana sebagai upaya penal dalam penanggulangan kejahatan harus benar setelah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. 137 Usaha dalam menghadapi masalah tentang pidana selayaknya diarahkan untuk tercapainya suatu kebijakan hukum pidana yang diharapkan dapat menanggulangi masalah kejahatan baik sebagai gejala patologi individual maupun sebagai gejala patologi sosial. 138 Upaya penal dalam penanggulangan kejahatan mempunyai keterbatasan diantaranya bersifat pragmentarissimplistiktidak structural- fungsional; simptomatiktidak kausatiftidak eliminatif; individualistik atau offender-oriented tidak victimoriented; lebih bersifat represiftidak preventif; harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya tinggi. 139 Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu: 140 a. Tahap formulasi kebijakan legislatif; b. Tahap aplikasi kebijakan yudikatifyudisial; c. Tahap eksekusi kebijakan eksekutifadministratif. 136 Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm. 25. 137 Ibid, hlm. 37. 138 Muladi Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, hlm. 169-170 139 Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm. 78 140 Ibid, halaman 79 Namun, dengan keterbatasan tersebut bukan berarti penggunaanya dapat diabaikan begitu saja. Upaya penal ini masih dianggap cukup relevan dan efektif dalam menanggulangi kejahatan. Penerapan dari Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 dalam melindungi hak-hak dan menanggulangi kejahatan terhadap pers perlu diutamakan. Aparat penegak hukum yang terkadang masih menggunakan pasal- pasal dalam KUHP untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tindak pidana penganiayaan terhadap pers memperlihatkan bahwa pihak aparat penegak hukum masih belum berpihak terhadap pers dan mendukung tidak terciptanya kebebasan pers. Penggunaan pasal-pasal dalam KUHP tersebut bertolak belakang dengan asas “Lex specialis de rogat lex generalis” yang berarti peraturan hukum yang khusus mengenyampingkan peraturan hukum yang umum. Dimana ketentuan hukum dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 dianggap sudah tepat untuk melindungi hak-hak jurnalis. Penggunaan dan penerapan Undang-Undang no. 40 tahun 1999 secara serius dalam menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis dipandang mencapai tujuan pemberian hukuman sebagai upaya penal dalam rangka perlindungan dan menanggulangi tindak pidana penganiayaan terhadap jurnalis. Pasal 2 Undang-Undang nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memberikan perlindungan dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan 141 Perlindungan ini melindungi fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perlindungan saksi dan korban adalah diperlukan dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. yang berfungsi untuk memberikan rasa aman kepada saksi danatau korban dan melindungi hak-haknya agar tidak dilanggar oleh orang lain. 142 Disisi lain wartawan merupakan tenaga kerja yang juga dilindung oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional walaupun tidak secara khusus melalui Jaminan kecelakaan kerja, berhubungan dengan Pasal 8 undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dikatakan “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum”. 143

b. Kebijakan Non Penal

Dalam rangka penanggulangan kejahatan, upaya non penal dianggap kebijakan kriminal criminal policy yang lebih baik dibandingkan dengan upaya penal. Dikarenakan upaya non penal lebih bersifat pencegahan atau preventif terhadap suatu tindak kriminal melalui berbagai proses yang lebih efektif. Dibandingkan dengan upaya penal yang ruang lingkup kebijakannya hanya meliputi hukum pidana materil, hukum pidana formil, dan di bidang hukum pelaksanaan pidana, upaya non penal meliputi 141 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 2 142 Siswanto Sunarso, 2012. Op.cit. hlm. 255 143 Undang-Undang No.40 Tahun 1999, Tentang Pers, Pasal 8 seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal ini adalah untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. 144 Oleh karena itu, suatu kebijakan kriminal harus dapat dintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang non penal itu kedalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu. Penanggulangan kejahatan melalui upaya penal lebih fokus pada sifat “repressive” dalam usaha pembrantasan, penumpasan, dan pembalasan sesudah kejahatan terjadi, sedangkan upaya non penal lebih fokus pada sifat “preventive” yaitu pencegahan, pengendalian, dan penangkalan sebelum kejahatan terjadi. Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan penal. Dengan keterbatasan upaya penal,maka harus didukung dengan upaya non penal. Salah satu jalur non penal untuk mengatasi masalah-masalah sosial seperti dikemukakan diatas adalah lewat jalur “kebijakan sosial” social policy. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya- upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Keseluruhan kegiatan pencegahan dari upaya non penal ini mempunyai kedudukan yang sangat penting yang harus diintensifkan dan diefektifkan. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan. 145 144 M.Hamdan,op.cit, halaman 28-29 145 Muladi Barda Nawawi Arief, Op.cit, halaman 159 Sasaran utama dari upaya non penal ini adalah menangani faktor- faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan mengingat sifatnya yang lebih menitikberatkan pencegahan terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut pandang politik kriminal secara makro atau global, maka upaya-upaya non penal ini menduduki posisi kunci strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. 146 146 Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm. 49 Pemerintah dapat menanggulangi tindak pidana penganiayaan terhadap jurnalis dengan menerapkan upaya non penal. Sosialisasi dan publikasi melalui pers merupakan salah satu langkah yang sangat baik dan efektif untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana penganiayaan terhadap jurnalis yang mengancam kemerdekaan pers. Pengadaan kegiatan-kegiatan seminar ataupun diskusi publik merupakan sarana publikasi dan sosialisasi yang baik untuk menambah wawasan masyarakat luas tentang pentingnya kemerdekaan pers, baik hak untuk menyampaikan pendapat baik lisan atau tulisan, mencari dan menyebarluaskan informasi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN