F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum acara pidana formeel strafrechtstrafprocessrecht pada khususnya, aspek
“pembuktian” memegang peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim.
11
Berdasarkan penjatuhan putusan tersebut, maka terdapat beberapa ajaran yang berhubungan dengan sistem pembuktian
yang diatur dalam KUHAP, yakni: a.
Conviction-in Time Sistem pembuktian conviction-in time, menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik
dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang
diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan
terdakwa.
12
Sistem pembuktian conviction-in time, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-
11
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2007, hlm. 158.
12
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Ed. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.
277.
Universitas Sumatera Utara
mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan
walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem
pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim.
13
Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar
“keyakinan hakim”. Keyakinan hakim yang “dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup
membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.
14
Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi.
15
b. Conviction-Raisonee
Sistem ini pun dapat dikatakan, “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem
pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem
13
Ibid.
14
Ibid.
15
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, hlm. 231.
Universitas Sumatera Utara
conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”.
16
Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem
conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim
harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang
masuk akal.
17
Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya vrije bewijstheorie.
18
c. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif Positief Wettelijke Stelsel
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang, yakni untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa
semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Terpenuhinya syarat- syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan
kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim, yakni apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah.
19
Menurut D. Simons, pada hakikatnya, sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif positief wettelijke bewijs theorie ini
16
Yahya Harahap, Loc. Cit.
17
Ibid., hlm. 278.
18
Andi Hamzah, Loc. Cit.
19
Yahya Harahap, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras.
20
Pemeriksaan perkara oleh hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuradukkan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan
dengan unsur subjektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang, tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya.
21
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih dekat kepada prinsip “penghukuman berdasar hukum”. Artinya penjatuhan hukuman terhadap
seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat
dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
22
Sistem ini, disebut juga teori pembuktian formal formele bewijstheorie.
23
d. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif Negatief Wettelijke Stelsel
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem
20
Lilik Mulyadi, Op. Cit., hlm. 193.
21
Yahya Harahap, Loc. Cit.
22
Ibid.
23
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 229
Universitas Sumatera Utara
pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time.
24
Rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan
kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem ini, memadukan unsur “objektif” dan “subjektif” dalam menentukan
salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut, misalnya, ditinjau dari segi cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim “tidak yakin” akan kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini
terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah.
25
Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan, akan tetapi keyakinan tersebut tidak
didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti inipun terdakwa tidak dapat
dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, diantara kedua komponen tersebut harus “saling mendukung”.
26
Wirjono Projodikoro berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif negatief wettelijk sebaiknya dipertahankan
berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana,
24
Yahya Harahap, Loc. Cit.
25
Ibid., hlm. 279.
26
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim
dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.
27
Dari beberapa teori penjatuhan putusan tersebut, yang dipakai dalam menganalisa putusan No. 63 KPID2007, yakni berdasarkan sistem pembuktian
negatif negatief wettelijke stelsel.
2. Kerangka Konsepsi