Kerangka Teori Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum acara pidana formeel strafrechtstrafprocessrecht pada khususnya, aspek “pembuktian” memegang peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. 11 Berdasarkan penjatuhan putusan tersebut, maka terdapat beberapa ajaran yang berhubungan dengan sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP, yakni: a. Conviction-in Time Sistem pembuktian conviction-in time, menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. 12 Sistem pembuktian conviction-in time, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata- 11 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2007, hlm. 158. 12 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Ed. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 277. Universitas Sumatera Utara mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. 13 Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar “keyakinan hakim”. Keyakinan hakim yang “dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. 14 Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. 15 b. Conviction-Raisonee Sistem ini pun dapat dikatakan, “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem 13 Ibid. 14 Ibid. 15 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, hlm. 231. Universitas Sumatera Utara conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. 16 Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 17 Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya vrije bewijstheorie. 18 c. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif Positief Wettelijke Stelsel Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang, yakni untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Terpenuhinya syarat- syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim, yakni apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. 19 Menurut D. Simons, pada hakikatnya, sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif positief wettelijke bewijs theorie ini 16 Yahya Harahap, Loc. Cit. 17 Ibid., hlm. 278. 18 Andi Hamzah, Loc. Cit. 19 Yahya Harahap, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. 20 Pemeriksaan perkara oleh hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuradukkan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya. 21 Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih dekat kepada prinsip “penghukuman berdasar hukum”. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 22 Sistem ini, disebut juga teori pembuktian formal formele bewijstheorie. 23 d. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif Negatief Wettelijke Stelsel Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem 20 Lilik Mulyadi, Op. Cit., hlm. 193. 21 Yahya Harahap, Loc. Cit. 22 Ibid. 23 Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 229 Universitas Sumatera Utara pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. 24 Rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem ini, memadukan unsur “objektif” dan “subjektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut, misalnya, ditinjau dari segi cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim “tidak yakin” akan kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. 25 Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan, akan tetapi keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti inipun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, diantara kedua komponen tersebut harus “saling mendukung”. 26 Wirjono Projodikoro berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif negatief wettelijk sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, 24 Yahya Harahap, Loc. Cit. 25 Ibid., hlm. 279. 26 Ibid. Universitas Sumatera Utara janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan. 27 Dari beberapa teori penjatuhan putusan tersebut, yang dipakai dalam menganalisa putusan No. 63 KPID2007, yakni berdasarkan sistem pembuktian negatif negatief wettelijke stelsel.

2. Kerangka Konsepsi

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA CABUL TERHADAP ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO : 988 K/Pid/2007)

0 3 16

Tindak Pidana Penyertaan Pembunuhan Perspektif Hukum Islam (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 959 K/Pid/2012)

1 7 116

SKRIPSI ANALISIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA ANALISIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 3 11

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK) DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak) dalam Perkara Tindak Pidana Pembunuhan.

0 3 19

ANALISIS PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 964 K/PID/2015).

0 2 12

IMPLEMENTASI UPAYA HUKUM KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA (Studi Kasus Putusan Nomor : 576PID.B2010PN.Mks)

0 0 118