BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum yang berkualitas adalah hukum yang mengandung nilai-nilai keadilan bagi seluruh masyarakat dan sesuai dengan kehendakaspirasi masyarakat, sebab itu
hukum yang baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang kepada tiap-tiap orang. Tujuan hukum, disamping menjaga kepastian hukum juga
menjaga sendi-sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat.
1
Hal utama bagi kepastian hukum yakni, adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah
diluar pengutamaan nilai kepastian hukum. Dengan adanya nilai yang berbeda-beda tersebut, maka penilaian mengenai keabsahan hukum atau suatu perbuatan hukum,
dapat berlain-lainan tergantung nilai mana yang dipergunakan. Tetapi umumnya nilai kepastian hukum yang lebih berjaya, karena disitu diam-diam terkandung pengertian
supremasi hukum.
2
Mengenai peranan hakim dalam menegakkan kepastian hukum, maka tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dengan hakim, untuk
menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Hakim menjadi
1
Wasis SP, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: UMM Press, 2002, hlm. 21.
2
Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta: Buku Kompas, 2006, hlm. 59-60.
Universitas Sumatera Utara
faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari menang, melainkan untuk mencari kebenaran dan
keadilan.
3
Demi menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang, dalam pemeriksaan atas terdakwa, hakim senantiasa berpedoman pada
sistem pembuktian yang digariskan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu sistem negatif menurut undang-undang Negatief Wettelijke Stelsel.
Pasal 183 KUHAP berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.”
Berdasarkan kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang KUHAP, yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184
KUHAP alat-alat bukti terdiri dari: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh
dari alat-alat bukti tersebut.
4
Berdasarkan alat bukti dan keyakinan hakim tersebut, nantinya dapat ditentukan, bagaimanakah nilai alat-alat bukti tersebut masing-masing,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 sampai dengan Pasal 189 KUHAP. Menilai kebenaran keterangan para saksi maupun terdakwa, hakim harus
dengan sungguh-sungguh memperhatikan: persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain, persesuaian keterangan antara keterangan saksi dengan alat bukti
3
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progressif, Jakarta: Buku Kompas, 2007, hlm. 275.
4
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996, hlm. 262.
Universitas Sumatera Utara
lain, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu, cara hidup dan kesusilaan saksi, serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya Pasal 185 ayat 6 KUHAP.
5
Penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa di tingkat pengadilan negeri dalam kasus pembunuhan ini, hanya mempertimbangkan kepada keterangan
saksi yakni, saksi yang hanya mendengar dari orang lain saja testimonium de auditu dan tidak ada mendengar, melihat dan mengalami sendiri peristiwa pidana tersebut,
bahkan tidak ada menemui barang bukti yang dipergunakan untuk membunuh korban, yang dalam hal ini adalah saudara kandung terdakwa, serta tidak
mempertimbangkan keterangan saksi A de Charge dan Visum et Repertum, telah menimbulkan permasalahan dalam ranah hukum pidana terlebih dalam penjatuhan
putusan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan dalam menjatuhkan putusan yang seharusnya berdasarkan kepada fakta hukum yang diperoleh di persidangan, sesuai
hukumundang-undang yang berlaku dan keyakinan hakim.
6
Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara pembunuhan ini, yakni berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 63 KPid2007,
5
Agar keadilan itu sungguh-sungguh dapat ditegakkan dan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti ditetapkan dalam Pasal 4 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, yang diubah oleh UU No. 35 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
6
Binsar Gultom, Pandangan Kritis Seorang Hakim Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, hlm. 114.
Universitas Sumatera Utara
bahwa ternyata Pemohon Kasasi tidak dapat membuktikan putusan tersebut adalah merupakan pembebasan yang tidak murni, dikarenakan Pemohon Kasasi tidak dapat
mengajukan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut.
7
Demikian halnya dengan Putusan Pengadilan Tinggi No. 212PID2006PT-MDN, yang menyatakan bahwa
terdakwa tidak terbukti melakukan kejahatan sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum JPU dan dinyatakan bebas murni.
Putusan Mahkamah Agung No. 63 KPid2007 dan Putusan Pengadilan Tinggi No. 212PID2006PT-MDN tersebut, bertentangan dengan Putusan Pengadilan
Negeri No. 1616Pid.B2005PN-LP, yang menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pembunuhan”.
8
Putusan PN Lubuk Pakam ini, hanya mendasarkan pertimbangan kepada keterangan saksi yakni,
saksi yang hanya mendengar dari orang lain saja testimonium de auditu dan tidak ada mendengar, melihat dan mengalami sendiri peristiwa pidana tersebut, bahkan
tidak ada menemui barang bukti yang dipergunakan untuk membunuh korban, yang dalam hal ini adalah saudara kandung terdakwa, serta tidak mempertimbangkan
keterangan saksi A de Charge dan Visum et Repertum. Dasar pertimbangan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 183
KUHAP hingga Pasal 189 KUHAP, yang menyebabkan unsur barangsiapa tidak
7
Putusan Mahkamah Agung No. 63 KPid2007, tanggal 26 Maret 2007, hlm. 16.
8
Putusan Pengadilan Negeri No. 1616Pid.B2005PN-LP, tanggal 22 Mei 2006, hlm. 47.
Universitas Sumatera Utara
terbukti.
9
Oleh sebab itu, unsur selanjutnya seharusnya tidak akan dilanjutkan, akan tetapi hakim tetap melanjutkan proses peradilan tersebut, sehingga menimbulkan rasa
ketidakadilan, dan tidak adanya kepastian hukum yang seharusnya diciptakan dalam praktek peradilan.
Berdasarkan putusan Majelis Hakim yang menyatakan, bahwa kesalahan terdakwa tidak terbukti dalam suatu pemeriksaan persidangan yang terbuka untuk
umum dan diputus dengan amar putusan yang berbunyi “membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan”, maka ia berhak untuk menjalankan proses
tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi.
10
Dari uraian diatas tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas suatu
tulisan yang berjudul “ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN Studi Kasus No. 63 KPid
2007”. B.
Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini:
1. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam Putusan No.63 KPid2007;
9
Putusan Pengadilan Tinggi No. 212Pid2006PT-MDN, tanggal 22 Agustus 2006, hlm. 19.
10
Martiman Prodjohamidjojo, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
2. Apakah terdakwa dari Putusan No. 63 KPid2007 dapat mengajukan ganti rugi
dan rehabilitasi.
C. Tujuan Penelitian