Fauzil Adhim, Saatnya Umtuk Menikah, h. 18

mendapatkan laki-laki yang baik sehingga harus dibuat kriteria yang karena begitu tingginya, hampir-hampir tidak dapat dicapai? 67 Kendala seperti ini dapat kita amati hari demi hari dari apa yang telah berlaku di kalangan laki-laki dan wanita atau yang juga datang dari kaum ibu atau ayah, sehingga wanita sampai umur 30 tahun atau laki-laki berumur 40 tahun belum juga menikah. Kalau ditanya mengapa mereka belum beristeri atau bersuami, maka kebanyakan dari mereka akan menjawab bahwa mereka belum mendapatkan pasangan yang memenuhi syarat. Bahkan pada kebanyakan kasus yang sudah-sudah sikap semacam ini tidak jarang yang akhirnya membuat mereka para wanita harus “banting harga” ketika menjelang usia 30 tahun tidak kunjung datang pinangan. Selain itu juga hal ini dapat menyebabkan rumah tangga tidak berjalan dengan baik karena yang dipersiapkan adalah menerima kebaikan, bukan sama-sama menata rumah tangga untuk saling memperbaiki diri satu sama lain. 68 Sikap memilih-milih atau angan-angan yang begitu tinggi terhadap pasangan hidup menjelang perkawinan hanya akan menimbulkan masalah pada bulan pertama atau ketiga dalam pernikahan. Sebab, biasanya apa yang dibayangkan kadangkala tidak sesuai sepenuhnya dengan yang kita hadapi. 69 67 M. Fauzil Adhim, Saatnya Umtuk Menikah, Jakarta: Gema Insani, 2000, Cet. Pertama, h. 17 68

M. Fauzil Adhim, Saatnya Umtuk Menikah, h. 18

69 Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, h. 9 Berbicara tentang kriteria calon pasangan ideal untuk dijadikan teman hidup, maka panduan yang paling tepat adalah hadits Rasulullah SAW : ْ أ ْﻰ ه ﺮ ْﺮ ة ا ص لﺎ : ْﻜ ْا ﺮ أة ﻷ ْر : ﺎ ﻬﺎ ، و ﻬﺎ ، و ﺎ ﻬﺎ ، و ﺪْ ﻬﺎ ، ْ ﺎ ْﺮ ﺬ ةا ﺪ ا ْ ﺮ ْ ﺪا ك 70 Artinya: Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Seorang wanita itu dinikahi kerana empat perkara: kerana harta, kerana keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka hendaklah diutamakan yang beragama, niscaya kamu berbahagia.” Muttafaq ‘alaih Hadits di atas jika tidak dipahami secara benar akan melahirkan berbagai pemahaman. Pertama, dalam hal pasangan yang berharta, jika tidak dipahami betul-betul akan melahirkan pengertian bahwa hendaklah laki-laki yang tidak berharta miskin menikahi wanita yang berharta. Ini akan menyebabkan laki- laki tersebut disifati sebagai laki-laki pengikis harta pengeretan. Bagitupun bagi wanita yang tidak berharta hendaklah menikah dengan laki-laki kaya, hal ini juga akan menyebabkan pandangan negatif kepada wanita itu yaitu sebagai wanita yang matrealistis. Sementara itu, bukankah janda-janda dan wanita- wanita miskin dianjurkan untuk dinikahi untuk membela nasib mereka? Jadi, pemahaman yang mungkin sesuai dengan hadits di atas tentang anjuran memilih pasangan yang berharta adalah laki-laki atau wanita yang pandai 70 Musthafa Muhammad ‘Umarah, Jawaahirul Bukhari, Beirut: Daarul ‘Uluum, t.th, h. 421 menyimpan dan membelanjakan harta, bukan hanya semata-mata berharta sebelum menjalani kehidupan berumah tangga. 71 Kedua , dalam hal keturunan, bukanlah dilihat dari segi kasta, kebangsawanan dan kedudukan dalam masyarakat. Namun lebih kepada segi nasab keluarganya, yaitu seseorang yang nasabnya tidak bercampur dengan perzinaan. Karena, apalah artinya memilih wanita atau laki-laki bangsawan atau yang berkedudukan tinggi, tetapi dalam darahnya mengalir darah seorang pezina. 72 Ketiga , dalam hal kecantikan wanita atau ketampanan seorang lelaki, bukan saja dilihat dari tampilan luarnya yang bisa jadi menipu, tetapi juga akhlak, tutur kata, dan kesopanannya. Pada zaman sekarang banyak sekali wanita atau lelaki yang bagus hanya dari luarnya, namun tidak hatinya. Inilah yang harus dihindari, karena sedikit banyak akan memberi pengaruh terhadap pasangannya kelak, dan pastinya dalam hal mendidik anak. 73 Keempat , memilih pasangan karena agamanya. Pada intinya nilai agamalah yang paling penting untuk dipertimbangkan. Karena tanpa agama, keluarga yang akan dibina akan hilang pedoman. Dalam hal ini juga bukan 71 Raisa Hakim, “4 Kriteria Pasangan Hidup Sempurna”, artikel ini diakses pada tanggal 10-05-2010, dari http:raisahakim.com4-kriteria-pasangan-hidup-sempurna 72 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga, Jakarta: Prenada Media, 2003, Cet. Pertama, h. 35 73 Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, h. 9 Syarih rahimahullah berkata: “Kufu itu karena agama dan akhlaknya”. Sedangkan Imam Malik menegaskan, bahwa kufu itu hanya menyangkut agama saja, demikian juga apa yang dikutip dari Umar dan Ibnu Mas’ud dari kalangan Tabi’in seperti Muhammad bin Sirin dan Umar bin Abdul Aziz dengan dasar firman Allah surah Al-Hujurat ayat 13: 75 ⌧ تاﺮ ا : Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. QS. Al-Hujurat 49:13 Ibnu Hajar Al-Astqalani berkata di dalam Fathul Bari : “Pandangan tentang agama sebagai faktor kekufuan adalah sudah mutafaq ‘alaih disepakati, sehingga tidak boleh seorang muslimah dikawin dengan laki-laki 74

A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, h. 432