ANALISIS HUKUM MEMBUJANG KARENA KETERBATASAN

yang bathil karena tidak percaya terhadap pertolongan yang Allah janjikan kepada orang-orang yang belum mampu menikah dan sunah Rasul.

E. ANALISIS HUKUM MEMBUJANG KARENA KETERBATASAN

EKONOMI Setelah diketahui latar belakang seseorang memutuskan untuk hidup membujang yang berisi pelbagai macam alasan terutama atas dasar keterbatasan ekonomi, disertai dengan dalil-dalil yang dipergunakan untuk menguatkan pendapat mereka. Dan dalil-dalil yang dipergunakan bagi orang yang menganjurkan perkawinan bahkan yang melarang untuk hidup membujang, juga kekuatan dalil-dalil yang mereka kemukakan, maka kita akan menganalisisnya supaya dapat ditentukan hukum dari hidup membujang. Orang yang enggan kawin dan memutuskan untuk hidup membujang berpegang pada hadits-hadits maudhu’ palsu yang tidak pernah disabdakan oleh Rasulullah saw. Ahli-ahli sufi berpegang kuat pada hadits di atas, karena mereka suka mengerjakan bid’ah, mengikuti hawa nafsunya. Mereka tidak dapat membedakan hadits shahih dengan hadits dha’if dan maudhu’, karena mereka bukan ahli hadits. Di kalangan orang zuhud atau para ahli ibadah, ada yang beranggapan membuat hadits-hadits yang bersifat mendorong agar giat beribadah targhib atau yang bersifat mengancam agar tidak melakukan tindakan yang tidak benar tarhib dalam rangka bertaqarrub kepada Allah adalah diperbolehkan, dan mereka mengatakan bahwa berdustanya mereka adalah untuk kebaikan bukan untuk keburukan. 167 Sedangkan dalil yang dipergunakan dalam hal menganjurkan perkawinan dan melarang hidup membujang adalah dalil-dalil yang termaktub dalam Al-Quran, dan hadits yang digunakan untuk menguatkan hal ini adalah hadits yang shahih. Selain itu, hal ini juga dikuatkan dengan riwayat-riwayat sahabat dan perkataan- perkataan mereka yang menganjurkan untuk menikah dan menjauhi hidup membujang. Dengan begitu, banyak manfaat yang dapat kita ambil dalam perkawinan, baik dalam hal keduniawian maupun spiritual, karena dengan perkawinan jiwa sesorang akan tenang, selain itu juga dapat meneruskan keturunan, 168 yang mana untuk kehidupan akhirat, anak yang shalih akan terus memberikan manfaat besar kepada kedua orang tuanya, yaitu doa yang selau sampai walaupun orang tuanya sudah di liang kubur. 169 Dari klasifikasi hukum perkawinan di atas jika dikaitkan dengan kemampuan ekonomi, maka terdapat perbedaan pendapat antara Imam mazhab. Menurut fuqaha, apabila seseorang belum mampu atas biaya pernikahan, maka untuk menahan syahwatnya adalah dengan berpuasa, karena berpuasa dapat menetapkan dan memelihara kesucian dirinya dari kemaksiatan, bukan dengan menikah. 167 Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001, cet. ke-1, h. 312 168 Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 9 169 Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 6 Dengan demikian, membujang baginya lebih baik daripada menikah, karena pernikahan bukan saja menyangkut diri sendiri tetapi juga orang lain pasangan, ditakutkan seseorang akan berlaku dzalim kepada pasangannya karena ia tidak mampu atas biaya berumah tangga. 170 Wahbah Zuhaily dalam bukunya Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu membantah pendapat kalangan Syafi’iyah mengenai seseorang yang sudah mampu menikah baik lahir maupun bathin, namun tidak berhasrat untuk menikah, serta orang- orang yang memilih selama hidupnya tidak akan menikah karena ingin memfokuskan diri beribadah kepada Allah dan mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan adalah tindakan yang terpuji sebagaimana Allah memuji Yahy as. Karena menurutnya ini adalah syariat yang ditetapkan bagi kaum terdahulu sebelum kaum Nabi Muhammad saw., dan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah berbeda dengan syariat Nabi-nabi sebelumnya. 171 Selain itu, jika pernikahan dikaitkan dengan ibadah, maka akan mengandung kesempurnaan yaitu kemaslahatan yang banyak, di antaranya adalah menjaga diri dan memperbanak keturunan. 172 Diriwayatkan bahwa ada seorang wanita datang menghadap Imam Ja’far Shadiq dan berkata, “Aku seorang wanita yang meninggalkan urusan dunia”. 170 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, h. 6516 171 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, h. 6518 172 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, h. 6520 Imam Ja’far Shadiq bertanya, “Apa maksudmu?” Wanita itu menjawab, “Aku sama sekali tidak akan menikah”. Imam Ja’far Shadiq bertanya kembali, “Kenapa engkau enggan menikah?” Wanita itu menjawab, “Dengan tidak menikah aku berharap akan memiliki derajat yang tinggi”. Imam Ja’far Shadiq berkata, “Jangan engkau lakukan itu Jika meninggalkan kawin memiliki nilai maknawiyah, maka Sayidah Fatimah A-z-Zahrah lebih layak untuk melakukannya, karena tidak ada seorang wanita pun yang mampu meraih ketinggian derajat maknawiyah melebihi sayyidah Fatimah Az-Zahrah”. 173 Dengan demikian, nampaknya Imam Ahmad mencoba memberikan jalan keluar dalam hal ini. Menurutnya, dalam kondisi seperti ini tidak dibedakan hukummenikah bagi orang yang sudah mampu memberikan nafkah dan yang belum mampu untuk menafkahi. Syekh Taqiyyuddin berkata, “Apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad dan kebanyakan para ulama adalah jelas dan benar. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak disyaratkan bagi orang tersebut untuk mampu memberi nafkah. 174 Rasulullah smenikahkan seorang laki-laki dengan syarat yang sangat mudah. Dalam banyak riwayat diceritakan bahwa Rasulullah banyak menikahkan laki- laki yang miskin, yaitu tidak mapan dalam hal materi, bahkan dalam salah satu haditsnya beliau hanya memerintahkan hafalan Al-Quran sebagai mahar bagi 173

A. Hasan, Terjemah Bulughul Maram, h. 96