Hasan, Terjemah Bulughul Maram, h. 96

Imam Ja’far Shadiq bertanya, “Apa maksudmu?” Wanita itu menjawab, “Aku sama sekali tidak akan menikah”. Imam Ja’far Shadiq bertanya kembali, “Kenapa engkau enggan menikah?” Wanita itu menjawab, “Dengan tidak menikah aku berharap akan memiliki derajat yang tinggi”. Imam Ja’far Shadiq berkata, “Jangan engkau lakukan itu Jika meninggalkan kawin memiliki nilai maknawiyah, maka Sayidah Fatimah A-z-Zahrah lebih layak untuk melakukannya, karena tidak ada seorang wanita pun yang mampu meraih ketinggian derajat maknawiyah melebihi sayyidah Fatimah Az-Zahrah”. 173 Dengan demikian, nampaknya Imam Ahmad mencoba memberikan jalan keluar dalam hal ini. Menurutnya, dalam kondisi seperti ini tidak dibedakan hukummenikah bagi orang yang sudah mampu memberikan nafkah dan yang belum mampu untuk menafkahi. Syekh Taqiyyuddin berkata, “Apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad dan kebanyakan para ulama adalah jelas dan benar. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak disyaratkan bagi orang tersebut untuk mampu memberi nafkah. 174 Rasulullah smenikahkan seorang laki-laki dengan syarat yang sangat mudah. Dalam banyak riwayat diceritakan bahwa Rasulullah banyak menikahkan laki- laki yang miskin, yaitu tidak mapan dalam hal materi, bahkan dalam salah satu haditsnya beliau hanya memerintahkan hafalan Al-Quran sebagai mahar bagi 173

A. Hasan, Terjemah Bulughul Maram, h. 96

174 Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, h. 640 isterinya. 175 Dibolehkan pula menjadikan jasa manfaat sebagai mahar, walaupun jasa itu berupa mengajarkan Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa menikah adalah perkara yang mudah dan dilarang untuk mempersulitnya. 176 Gambaran yang memberatkan pikiran seperti takut tidak bisa memberi nafkah isteri dan anak sudah biasa menghalangi seseorang untuk berani melangkah berumah tangga. Di sisi lain, sering kita perhatikan dalam kehidupan sehari-hari, seseorang sebelum menikah telah mengumpulkan kekayaan berjuta-juta rupiah sebagai syarat untuk memulai kehidupan berumah tangga, akan tetapi sebelum berumah tangga ia telah melakukan hubungan-hubungan yang melanggar syariat Islam, seperti pergaulan bebas dan sebagainya. 177 Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil bodoh, karena semua rizki telah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rizki yang dikaruniakan Allah, misalnya dengan berkata : “Hidup sendiri saja saya sudah susah, apalagi kalau menikah, yang artinya saya harus memberi nafkah anak dan isteri”. Perkataan ini adalah perkataan yang bathil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah saw. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. 175 Haidar Abdullah, Kebebasan Seksual Dalam Islam, h. 97-98 176 Mu’ammal Hamidi, Imran A.M. Dan Umar Fanani, Terjemahan Nailul Authar, h. 2237 177 Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, h. 6 Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang ingin menikah, dalam firman-Nya surah An-Nur24 ayat 32 178 Islam memang mempermudah pernikahan, namun bukan berarti bahwa pernikahan itu tidak memerlukan syarat-syarat yang jelas dan pasti. Kaum pria amat lemah dalam menghadapi gejolak seksual. Dan tatkala mereka tidak lagi mampu menguasai dirinya, maka mereka akan menerima pelbagai bentuk perjanjian asalkan mereka dapat melampiaskan nafsu mereka. Kemudian setelah keinginan mereka terpenuhi, mereka pun akan meremehkan janji-janji yang telah mereka berikan. 179 Di sini muncul suatu kekhawatiran bahwa jika pernikahan itu dapat dilakukan dengan semudah dan sesederhana itu, maka kaum pria akan dengan mudah menceraikan isteri mereka, dan yang demikian itu justru akan membuat rapuh bangunan rumah tangga. Maka cara untuk memperkuat tali pernikahan adalah dengan memperhatikan agama, ketakwaan dan akhlak calon suami, dan bukan dengan memperbanyak jumlah mahar. 180 Oleh karena itu, hendaklah dipersiapkan terlebih dahulu sebelum memasuki jenjang pernikahan seperti: 178 Hasbi Ash-Shidieqqy, Tafsir Al-Bayan, h. 796 179 Haidar Abdullah, Kebebasan Seksual Dalam Islam, h. 97 180 Haidar Abdullah, Kebebasan Seksual Dalam Islam, h. 98 1. Bekal ilmu, yaitu mengajarkan ilmu agama kepada pasangan, mengingatkan dan menasehati pasangan, mendampingi pasangan, melayani pasangan, dan hal-hal lainnya yang bersifat kewajiban dan hak suami isteri. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab, seperti menyediakan keperluan sandang, pangan dan papan kepada pasangan sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan dengan itu, isteri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut untuk diberikan sesuatu di luar batas kemampuan pasangan. 3. Kesiapan psikis, yaitu kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan pendampinginya dan berlaku bijak terhadap kekurangan-kekurangan sendiri. Kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja yang pastinya berbeda dengan apa yang ditemukan dalam keluarga orang tuanya. 4. Kesiapan ruhiyah, seseorang yang memiliki kebersihan ruhiyah dengan ketakwaan kepada Allah, sikapnya akan tetap terkendali oleh ketakwaannya, ia akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang diterimanya, ia juga akan mudah menerima targhib wa tarhib, lebih mendahulukan naqli daripada aqli , dan mendahulukan dalil yang jelas daripada dzan persangkaan sekalipun terhadap masalah yang tampaknya musykil. 5. Kesiapan menerima anak, apabila semua kesiapan di atas telah dimiliki oleh seorang yang ingin menikah, maka kesiapan memiliki anak secara otomatis akan timbul, karena perkara memiliki anak bukanlah suatu tanggungan yang mudah. 181 Oleh karena itu, selain syarat-syarat yang ditentukan syar’i untuk menikah, hendaklah diperhatikan juga lima faktor di atas, agar apa yang dimaksud dengan keseimbangan hidup berkeluarga bisa tercapai. Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang secara tegas menganjurkan keseimbangan antara materiil dan spiritual. Ayat-ayat tersebut jelas sekali menyentuh hati sebelum diterima akal. Al-Quran memperingatkan, hendaklah seorang muslim tetap memenuhi hak Allah di dalam beribadah, di tengah-tengah kesibukannya bekerja dan perniagaan. 182 Dalam QS. An-Nur ayat 37 Allah berfirman: ⌧ رﻮ ا : Artinya: “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingati Allah, dan dari mendirikan sembahyang, dan dari membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang di hari itu hati dan penglihatan menjadi goncang”. QS. An-Nur24: 37 Al-Quran juga mengingatkan hendaklah seorang muslim tetap berusaha mencari rezki dan memenuhi hak-hak dirinya dan keluarganya, di samping kesibukannya bermunajat kepada Allah dan beribadah di masjid. Hal ini disinyalir dalam surah Al-Jumu’ah ayat 10: 181

M. Fauzil Adhim, Saatnya Untuk Menikah, h. 31-39