449 HIDUP MEMBUJANG KARENA KETERBATASAN EKONOMI

Qardhawi juga menyatakan bahwa biaya pengobatan dan pendidikan pun termasuk kebutuhan primer yang harus dipenuhi. 149 Dari beberapa definisi tentang kemiskinan di atas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya yang dimaksud dengan miskin adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar atau pokok bagi suatu tingkat kehidupan yang layak menurut ukuran yang umum biasa yang berlaku pada masarakat setempat.

2. Membujang Karena Keterbatasan Ekonomi Menurut Pandangan Islam

Sepanjang sejarah manusia, perkawinan bukanlah suatu hal yang sulit. Bukan pula perkara yang dibenci oleh manusia normal. Di dalam perkawinan terdapat rasa cinta, rasa aman, saling melindungi antara suami isteri. Orang- orang yang selalu membicarakan perkawinan dan mengangggapnya sebagai beban, itu karena mereka menganggap bahwa dengan menikah berarti memberikan sesuatu kepada orang lain, yaitu nafkah. 150 Nash-nash Al-Quran dan sunnah mengisyaratkan bahwa menikah itu wajib bagi yang telah mampu untuk memberi nafkah berupa makanan, pakaian dan hubungan seksual. Sedangkan, pada awal masa perkembangan Islam, pernikahan hanya dihukumi sebagai perkara mubah saja. Tetapi kemudian pada saat pemerintahan Islam telah kaya raya, setiap muslim berhak 149 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat,

h. 449

150 Abdul Aziz, Perkawinan dan Masalahnya, h. 23 wajib untuk melangsungkan pernikahan, meski hal itu dilakukan dengan cara berhutang terlebih dahulu untuk membayar mahar dan kebutuhan lainnya. Karena, pemerintah dalam hal ini diharuskan untuk menanggung pembayaran hutang dari orang tersebut yang diambilkan dari bagian zakat atas orang yang berhutang. 151 Dalam teks-teks hadis yang lalu, menikah dinilai sebagai sunnah Allah yang sudah ditetapkan kepada manusia dan sunnah Rasul yang jika dikerjakan akan mendapat pahala. Tetapi dalam kajian fiqh, menikah tidak serta merta menjadi pilihan satu-satunya. Bisa saja orang memilih tidak menikah, karena tidak merasa berhasrat dan lebih memilih beribadah atau menuntut ilmu. Ada juga orang yang memilih tidak menikah karena kekurangan ekonomi atau merasa dirinya tidak mampu menghidupi isteri dan anak-anaknya kelak. 152 Oleh karena itu akan dijelaskan klasifikasi hukum nikah menurut pendapat Imam Mazhab a. Wajib. Menurut fuqaha, pernikahan menjadi wajib hukumnya apabila seseorang yakin akan jatuh ke dalam perzinaan jika tidak menikah. Hal ini berlaku bagi seseorang yang sudah mampu atas biaya pernikahan seperti mahar dan nafkah isteri, serta hak-hak pernikahan menurut syar’i. Jika tidak mampu menjaga diri dari kemaksiatan, maka untuk 151 Muhammad Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, 12-13 152 Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, h. 6 menahan syahwatnya adalah dengan berpuasa, karena berpuasa dapat menetapkan dan memelihara kesucian dirinya dari kemaksiatan. 153 Berdasarkan hadis Nabi saw. : ْ ﷲاﺪْ ْ دْﻮ ْ لﺎ : لﺎ ﺎ لْﻮ ر ﷲا ص : ﺎ ﺮﺸْﻌ بﺎ ﺸ ا ْ عﺎﻄﺘْ ا ْا ةءﺎ ْجوﺰﺘ ْ ﺈ ﺾﻏأ ﺮﺼ ْ ﺼْﺣأو جْﺮ ْ ْ و ْ ْﻊﻄﺘْ ْ ﻌ مْﻮﺼ ﺎ ﺈ ٌءﺎﺟو اور ىرﺎﺨ ا 154 Artinya: Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw. kepada kami: “Hai golongan orang-orang muda Barang siapa di antara kamu mampu menikah, hendaklah ia menikah, kerena yang demikian lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan, dan barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena merupakan pengebiri bagimu”. Muttafaq ‘alaih Sedangkan menurut ulama kontemporer Malikiyah, bagi sebagian manusia, nikah hukumnya wajib, bagi sebaian yang lain hukumnya disunahkan, dan bagi segian yang lain hukumnya boleh. Hal itu ditujukan bagi orang yang takut dirinya menderita kesusahan pendapatnya didasarkan kepada mashlahah mursalah. 155 Menurut pendapat ulama Dzahiriyah, menikah adalah fardhu hukumnya, yaitu ketika manusia mampu atas pernikahan dan biayanya, berdasarkan firman Allah surah An-Nisa4:3, surah An-Nur24:32 dan hadits Nabi 153 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, h. 6516 154 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Syarh Shahih Bukhari, Kairo: Daarul Hadits, 2004V. 14, H.293, No. Hadis 4678 155 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h. 3 saw. “Yaa ma’syarasy syabbaab...”. Menurut pendapat ini, shighat amr yang terkandung di dalam dalil-dalil di atas menunjukkan kewajiban, makanya menikah menjadi wajib hukumnya. Menurut Imam Nawawi , jika ada seseorang yang tidak beribadah dan dia membutuhkan nikah, serta ia mempunya kemampuan, yaitu atas biaya pernikahan, pakaian, mahar dan nafkah sehari-hari, maka nikah baginya lebih utama, agar tidak terlaksana kebatilan dan keburukan syahwat 156 b. Sunah. Menurut Jumhur kecuali Syafi’iyyah, menikah disunnahkan apabila seseorang berada dalam keadaan tengah-tengah sederhana, dengan syarat seseorang tidak takut jatuh ke dalam perzinaan jika tidak menikah, dan tidak takut berbuat dzalim jika ia menikah. Dan keadaan demikian adalah yang terdapat pada kebanyakan manusia, berdasarkan dengan hadis Nabi saw. tentang anjuran menikah jika sudah mampu dan berpuasa jika belum mampu, serta hadis yang menceritakan tentang tiga orang sahabat Nabi yang tidak ingin menikah karena ingin selalu beribadah sepenjang hidupnya, namun dilarang oleh Nabi. Selain itu menurut Mukhtar, pernikahan adalah hal yang dilakukan Nabi dan menjadi kebiasaannya, begitu juga para sahabat dan pengikut beliau yang mendawamkan pernikahan. 156 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, h. 6520 c. Mubah boleh. Menurut Ulama Syafi’iyyah, pada saat seseorang tidak berhasrat menikah dan tidak takut jatuh ke dalam perzinaan, maka menikah menjadi mubah boleh hukumnya, yaitu boleh meninggalkannya, namun juga boleh mengerjakannya. d. Makruh. Pernikahan dimakruhkan apabila seseorang takut terjatuh ke dalam penyimpangan dan kemudharatan, tapi ketakutannya tidak sampai kepada tahap yakin jika menikah, karena kelemahannya memberi nafkah, kejahatan pergaulan, atau tidak berhasrat kepada wanita. Menurut kalangan Hanafiyah, kemakruhan bisa menjadi keharaman dengan ukuran kuatnya ketakutan dan kelemahannya. Sedangkan menurut kalangan Syafi’iyyah, menikah dimakruhkan bagi lansia, orang yang sakit-sakitan dan impoten 157 e. Haram. Diharamkan menikah bagi seseorang yang yakin akan berlaku dzalim dan memberikan kemudharatan kepada perempuan, lemah atas biaya pernikahan, dan tidak dapat berlaku adil terhadap isteri apabila mempunyai lebih dari seorang istri. Namun, jika seseorang yakin akan jatuh ke dalam perzinaan jika tidak menikah, tetapi juga yakin akan mendzalimi isterinya, maka pernikahan hukumnya haram. 158 157 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, h. 6517 158 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, h. 6516 Namun demikian, bukan berarti bagi orang yang kekurangan harta dan merasa bila menikah kelak dia tidak akan mampu menafkahi anak isterinya, baginya tidak ada upaya untuk merealisasikan pernikahan, sehingga membiarkan dirinya jatuh kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang syariat. Apalagi bagi orang yang nafsu biologisnya sudah sangat mendesak, ditakutkan dia menyalurkannya dengan cara yang tidak halal. Banyak diceritakan dalam hadits Nabi mengenai kisah-kisah para sahabat yang tidak menikah karena mereka fakir atau tidak mampu dalam bidang ekonomi, namun kemudian Nabi memerintahkan kepada para sahabat yang lain untuk menolong sahabat yang kurang mampu tersebut dalam hal mahar dan walimahnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim diceritakan bahwa “Rasulullah bertanya kepada seorang sahabat, “Mengapa engkau tidak beristeri?” Ia menjawab: “Wahai Rasulullah, aku ini orang fakir, tidak mempunyai apa-apa”. Kemudian ia diam. Rasulullah mengulangi pertanyaan yang kedua kali. Ia menjawab dengan jawaban yang serupa. Lalu ia diam sambil berpikir, dalam hati berkata: “Demi Allah, Rasulullah saw. tentu lebih mgetahui perkara yang paling baik untukku, agamaku, akhiratku, serta perkara-perkara yang dapat mendekatkanku kepada Allah, maka kalau saja beliau bertanya kepadaku yang ketiga kali, tentu aku kerjakan”. Maka Rasulullah pun bertanya kepada sahabat tadi untuk ketiga kalinya: “Kenapa kamu tidak menikah?” Sahabat tadi menjawab: “Wahai Rasulullah, kawinkanlah aku” Beliau berkata: “Pergilah ke tempat bani fulan, katakan kepada mereka, bahwa Rasulullah memerintahkan kalian supaya menikahkan aku dengan gadis di antaramu”. Sahabat tadi berkata: “Wahai rasulullah, aku tidak mempunya apa-apa”. Beliau berkata kepada para sahabat: “Kumpulkan beberapa gram emas untuk saudara ini”. Maka mereka pun segera mengumpulkan beberapa gram emas lalu diberikan kepadanya. Kemudian mereka berangkat bersamanya menuju ke tempat yang dimaksud, lalu mereka mengawinkannya dengan seorang gadis di antara mereka. Kemudian Rasulullah berkata kepadanya: “Buatkanlah walimah pesta penikahan untuknya”. Maka para sahabat berkumpul dan meramaikan pesta perkawinan sahabat tadi dengan memotong seekor kambing”. 159 Dalam teks hadis yang mengaitkan pernikahan dengan kemampuan dan pembukaan peluang bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa sebagai ganti dari anjuran menikah menjelaskan bahwa bagi orang yang belum mampu atas biaya pernikahan adalah dengan berpuasa. Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah dalam bukunya Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, berpendapat tentang hadits ini mengenai lafadz Al baa-at diartikan dengan jima atau hubungan seksual dan juga menafsirkannya dengan makna biaya pernikahan. 160 Menurutnya, 159 Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 7-8 160

M. Fauzil Adhim, Saatnya Untuk Menikah, h. 29