Tinjauan hukum islam tentang hidup membujang karena keterbatasa ekonomi

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

FITRIA STEPHANY TAHIR NIM: 106044101397

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

DAFTAR ISI………..v

BAB 1 PENDAHULUAN ………....1

A. Latar Belakang Masalah………....1

B. Batasan dan Rumusan Masalah……….7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..9

D. Review Studi Terdahulu………....9

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan……….10

F. Sistematika Penulisan………...12

BABII TINJAUAN UMUM TENTANG MEMBUJANG...13

A. Pengertian Nikah………..13

B. Anjuran Menikah………..15

C. Pengertian Membujang……….30

D. Kendala-Kendala Pernikahan………...32

BAB III HIDUP MEMBUJANG MENURUT ISLAM………52

A. Anjuran Membujang………..52

B. Larangan Membujang………....63

C. Dampak-Dampak Hidup Membujang………....70

D. Hidup Membujang Karena Katerbatasan Ekonomi Menurut Pandangan Islam………..79


(3)

vi

BAB IV PENUTUP………..102

A. Kesimpulan……….102

B. Saran-saran………...103


(4)

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik untuk perorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram dan rasa kasih sayang antara suami dan isteri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang sah menghiasi dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih. Oleh karena itu pada tempatnyalah apabila Islam mengatur masalah perkawinan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah makhluk Allah yang lain.1

Hubungan manusia, laki-laki dan perempuan ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kapada Allah sebagai sang Pencipta. Perkawinan dilaksanakan atas dasar kerelaan pihak-pihak bersangkutan, yang dicerminkan dengan adanya ketentuan peminangan sebelum kawin dan ijab qabul dalam akad nikah yang dipersaksikan pula di hadapan masyarakat dalam suatu perhelatan (walimah). Hak dan kewajiban suami isteri timbal balik diatur rapih dan tertib sesuai dengan

1

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet. Ke-1, h. 20


(5)

tujuan perkawinan, demikian juga hak dan kewajiban orang tua dan anak-anaknya. Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri, sudah ditentukan bagaimana cara mengatasinya. Selain itu, adat sopan santun pergaulan dalam keluarga juga diatur dengan sebaik-baiknya agar keserasian hidup tetap terpelihara dan terjamin.2

Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa, hidup berpasang-pasangan atau hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan keberadaan malam berganti siang. Dan dengan kehendak-Nya, Allah menciptakan manusia dari satu jiwa, yang dari jiwa ini diciptakan pula pasangannya agar tumbuh kesenangan dan ketenangan. Dari makhluk yang diciptakan berpasang-pasangan inilah Allah menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya. Allah juga menghamparkan perasaan cinta yang melandasi tegaknya keluarga, dan melimpahkan kasih sayang yang menopang tonggak rumah tangga.3

Dalam Al-Quran juga dinyatakan bahwa berkeluarga juga termasuk sunnah Rasul-rasul terdahulu sampai Rasul terakhir Nabi Muhammad SAW. Di samping itu, Islam menganjurkan orang berkeluarga karena dari segi bertambah dan berkesinambungannya amal sekarang, dengan berkeluarga akan dipenuhi. Dengan

2

Ahmad Azhar Bashir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : UI-Press, 2000) Cet. Ke - 9, h. 1

3


(6)

berkeluarga orang dapat mempunyai anak, dan dari anak yang shaleh diharapkan mendapat amal tambahan di samping amal jariyah yang lain, karena doa anak yang soleh untuk orang tuanya akan selalu sampai walau sudah di liang kubur.4

Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dalam wujud aturan-aturan. Hukum Islam juga ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat, maka kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada kesejahteraan keluarga. Demikian pula kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup keluarganya. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, karena itu perkawinan sangat dianjurkan dalam Islam bagi yang telah mempunyai kemampuan. Tujuan itu dinyatakan dalam

Al-Quran maupun Hadits.5

Tuhan tidak mau menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki, dan tidak ada suatu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemulyaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan

4

Imam Al-Ghazali, Adabun Nikah, Alih Bahasa, Abu Asma Anshari, Etika Perkawinan Membentuk Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993), h. 6

5

Nabil Muhammad Taufik As-Samaluthi, Addienu Wal Binaaul Aailiy, Alih Bahasa Anshari Umar Sitanggal, Pengaruh Agama Terhadap Struktur Keluarga, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), Cet. Pertama, h. 236


(7)

saling ridha, dengan ucapan ijab qabul sebagai lambang dari adanya rasa saling meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuam itu telah saling terkait. Bentuk perkawinan itu telah memberikan jalan yang aman pada naluri sex, memelihara keturunan dengan baik, dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana ladang yang dapat ditaburi benih oleh sembarang petani. Pergaulan suami isteri sesungguhnya diletakan dibawah naungan naluri keibuan dan kebapaan, sehingga nantinya akan

membuahkan keturunan-keturunan yang bagus.6

Akan tetapi terjadi sebuah fenomena dimana seseorang memutuskan diri untuk tidak menikah. Mereka ada yang melihat perkawinan sebagai suatu hal yang menghambat mereka dalam berbagai hal. Tinta sejarah telah mencatat beberapa ulama besar yang tidak pernah merasakan dunia pernikahan seperti

Imam Ibnu Taimiyah (pengarang kitab Majmu’ah Fatawa) yang tidak menikah

karena disibukkan dengan bidang ilmu pengetahuan. Ia menghabiskan hidupnya dalam memperdalam keilmuan dan membuat buku demi kemajuan umat Islam di dalam hal ilmu pengetahuan. Selain itu, ada Imam Nawawi (beberapa karangan beliau seperti Raudhah Thalibin, Minhaj Thalibin), Rabi’ah al-Adawiyyah yang tidak melakukan pernikahan karena takut apabila ia menikah maka cintanya kepada Allah akan berkurang dan tidak khusyu’ dalam mengabdi dan beribadah

6

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa, Moh. Thalib , (Bandung : al-Ma’arif 1997), Cet. Ke -14, Jilid 6, hal 10


(8)

kepada Tuhannya karena disibukan dengan hal-hal keduniawian, dan mujadid besar abad 20 Syekh Said Nursi dengan gelar Badiuzzaman (pengarang kitab Risalah Nur), Jamaludin al-Afghani, Maulana Ubaidullah Sindi. Seorang ulama dari Damaskus Suria, Imam Abu Fattah Abu Ghuddah mengumpulkan para ulama ulama sejarah islam kedalam sebuah buku karangannya dengan judul, Al 'Ulama al Uzzab (Kumpulan Ulama Perjaka). Menceritakan kisah para ulama yang menjalani hidup tanpa didampingi seorang istri, disebabkan oleh kesibukan para ulama ini menuntut ilmu dan berda'wah, baik itu mengajar, mengarang, dan sebagainya, demi menjaga keutuhan dan kesatuan ajaran Islam dalam kemurniannya.7

Ini adalah contoh-contoh para Ulama yang tidak melakukan pernikahan karena takut terbuai dengan hal-hal keduniawian. Selain mereka masih banyak para sufi yang hidupnya membujang karena mereka ingin beribadah dengan sesungguhnya tanpa harus memikirkan hal-hal lain yang membuat mereka lupa akan Tuhannya.

Selain itu, ada juga orang yang tidak menikah karena lemah psikisnya atau karena sakit sehingga tidak dapat menunaikan kewajiban biologisnya atau karena

sebab lain yang memaksanya menghindari menikah,8 seperti kekurangpercayaan

kaum laki-laki terhadap perempuan yang sering keluar rumah secara berlebihan

7

Ach. Muzakki Khalil, “Kenapa Tidak Menikah”, artikel ini diakses pada tanggal 11-11-2009 dari http://laros.heavenforum.com/diskusi-dan-belajar-f7/knp-tak-menikah-t579.htm,

8


(9)

sehingga menimbulkan kecurigaan dan keragu-raguan atas kebersihan perempuan, yang juga menyebabkan laki-laki sulit mencari calon isteri untuk

hidup berumah tangga.9 Dan juga laki-laki yang memilih hidup bebas tanpa

ikatan perkawinan dengan “berpetualang” dari satu wanita ke wanita lain. Hal ini desebabkan karena keengganannya dengan segala atribut perkawinan, seperti prosedur pernikahan, tanggungan terhadap isteri dan anak, hak dan kewajiban suami isteri, aturan monogami, prosedur poligami, prosedur perceraian, prosedur rujuk, dan alasan-alasan negatif lain tentang hidup berumah tangga.10

Berbeda dengan fenomena-fenomena di atas, perkawinan menjadi salah satu hal yang terpikirkan tetapi dianggap jauh dari jangkauan bagi orang-orang yang hidupnya sangat amat kekurangan, yaitu dalam hal materi (keterbatasan

ekonomi)11. Mereka yang hidup dalam keadaan demikian, banyak yang

memutuskan untuk tidak menikah atau membujang12 karena takut tidak dapat

memenuhi nafkah lahir isteri, seperti makan sehari-hari, pakaian, dan tempat tinggal, serta ketidakmampuannya dalam memberi mahar perkawinan. Karena memang yang diwajibkan bukan hanya memberi nafkah batin saja tetapi juga

9

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hal. 27

10

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 28

11

Adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup

12

Dalam kamus bahasa Indonesia, membujang berarti menjadi orang yang belum atau tidak mau kawin


(10)

mancakup nafkah lahir, yang apabila tidak dapat dipenuhi maka akan berdosa. Padahal terhadap ketakutannya ini, Allah telah menjelaskan bahwa dengan menikah seseorang bukan akan menjadi berkurang rezkinya karena dibagi dengan isteri dan anak-anaknya, tetapi justru akan semakin terbuka pintu rezkinya. Selain itu, jika mereka lebih berusaha untuk meningkatkan taraf hidupnya, maka pasti ada jalan untuk hidup berumah tangga.13

Beranjak dari uraian di atas, penulis merasa perlu adanya suatu penelitian yang bersifat keilmuan. Dengan demikian, penulis tertarik untuk mencari dan menguraikan dengan jelas tentang bagaimana tinjauan hukum Islam tentang hidup membujang karena keterbatasan ekonomi, bukan hanya sebatas pada hukum dilarang atau dibolehkannya, tetapi juga mencakup mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan karenanya. Maka penulis melakukan penelitian dengan judul:

“TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG HIDUP MEMBUJANG KARENA KETERBATASAN EKONOMI ”

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH 1. Pembatasan Masalah:

Dilihat dari latar belakang yang dikemukakan, yaitu mulai dari tujuan pernikahan, pentingnya pernikahan, hikmah pernikahan, manfaat pernikahan,

13

Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga Panduan Pekawinan,


(11)

dan klasifikasi alasan-alasan hidup membujang atau tidak kawin, maka agar penelitian ini tidak melebar dan dapat terarah serta tersusun secara sistematis, penulis membatasi permasalahan ini hanya pada hukum seseorang hidup membujang karena keterbatasan ekonomi, serta dipaparkan tentang kendala-kendala dalam pernikahan yang membuat seseorang memutuskan untuk hidup membujang, dan dampak-dampak yang ditimbulkan akibat hidup membujang.

2. Perumusan Masalah:

Menikah dinilai sebagai sunah Allah dan sunah Rasul, itulah mengapa sebabnya begitu banyak ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang menganjurkan pernikahan. Sedangkan dalam kajian fikih, menikah tidak serta merta menjadi pilihan satu-satunya. Bisa saja orang memilih tidak menikah karena tidak merasa berhasrat dan lebih memilih beribadah atau menuntut ilmu, atau dikarenakan kondisi di mana seseorang tidak merasa mampu untuk menikah. Oleh karena itu, rumusan masalah tersebut penulis rincikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang hidup membujang karena

keterbatasan ekonomi?

b. Kendala apa saja yang ada dalam pernikahan sehingga menyebabkan

seseorang memutuskan untuk hidup membujang?


(12)

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Untuk memperoleh gelar sarjana Strata 1

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam tentang hidup membujang

karena katerbatasan ekonomi.

3. Untuk mengetahui kendala apa saja yang ada dalam pernikahan sehingga

menyebabkan seseorang memutuskan untuk hidup membujang.

4. Untuk mengetahui dampak apa saja yang ditimbulkan akibat hidup

membujang.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis, hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan yang luas dan mendasar mengenai tinjauan hukum Islam tentang hidup membujang karena keterbatasan ekonomi, sehingga hasil penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman penulis.

2. Bagi akademis, menambah pembendaharaan kepustakaan di dalam

maupun di luar kampus.

D. REVIEW STUDI TERDAHULU

Skripsi yang berjudul Hidup Membujang Menurut Perspektif Hukum Islam

oleh Abdul Hafiz, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah Konsentrasi Peradilan Agama Tahun 2004. Judul ini hanya


(13)

memfokuskan mengenai pandangan hukum Islam tentang hidup membujang beserta alasan-alasannya, yaitu yang dikaji dari buku-buku fikih munakahat kontemporer.

Sedangkan dalam tulisan ini yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Tentang

Hidup Membujang Karena Keterbatasan Ekonomi, bukan hanya meneliti tentang hukum seseorang hidup membujang karena keterbatasan ekonomi, tetapi juga dipaparkan tentang kendala-kendala dalam pernikahan yang menyebabkan seseorang hidup membujang, dan dampak-dampak yang ditimbulkan akibat hidup membujang yang dikaji dari beberapa kitab fikih klasik, kitab-kitab hadits kenamaan dan buku-buku fikih kontemporer. Dalam hal ini, possisi penelitian penulis sebagai pelengkap dari penelitian terdahulu.

E. METODE PENELITIAN

Untuk menjawab rumusan masalah yang sudah dipaparkan penulis

sebelumnya, maka kajian ini dilakukan dengan metode kepustakaan (library

research) atau kualitatif.14 Yaitu dengan cara membaca, mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang menjadi pembahasan. Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan normatif, yaitu analisis data didekati dari norma-norma hukum, maksudnya menganalisis dalil dan metode penetapan hukum yang digunakan dalam Al-Quran, hadits Nabi dan Fiqih. Kemudian penelitian yang digunakan dengan pendekatan penelitian

14


(14)

kualitatif yaitu sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dengan mengggunakan metode sebagai berikut:

1. Sumber Data

Dalam penyusunan ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:

a. Data primer, yakni diambil dari pendapat-pendapat Imam-imam Mazhab

mengenai hidup membujang karena keterbatasan ekonomi, juga

hadis-hadis Nabi yang terkumpul dalam kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim,

Nailul Authar, Bulughul Maram, Shahih Musli, dan Jawaahirul Bukhari. b. Data sekunder, yakni memanfaatkan berbagai literatur yang terkait dengan

pembahasan ini, bisa dari literatur buku-buku fikih munakahat berbahasa Indonesia dan literatur-literatur lainya. Tidak lupa juga penulis akan mengambil beberapa data dari koran, artikel dan internet jika diperlukan.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode dokumentasi.

3. Analisa Data

Seluruh data yang diperoleh dianalisa dan disusun secara sistematis dengan mengunakan metode deskriptif analitis. Adapun untuk teknik penulisan, penulis merujuk kepada buku panduan penulisan karya ilmiah yang dikeluarkan oleh Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.


(15)

F. SISTEMATIKA PENULISAN.

Penulisan skripsi ini mengacu pada sistem pembagian bab, dengan beberapa rincian sebagai sub bagian, yaitu :

Bab pertama, pendahuluan. Terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini merupakan kerangka landasan dalam penulisan skripsi ini.

Bab kedua, tinjauan umum tentang membujang, yaitu anjuran menikah, pengertian membujang dan juga kendala-kendala dalam perkawinan yang membuat seseorang memutuskan untuk hidup membujang disertai dengan alasan-alasannya.

Bab ketiga, hidup membujang menurut pandangan Islam. Dalam bab ini dipaparkan tentang anjuran dan larangan membujang, hidup membujang karena keterbatasan ekonomi menurut pandangan Islam, analisis hukumnya, dan dampak-dampak yang ditimbullkan akibat hidup membujang.


(16)

A. PENGERTIAN NIKAH

Menurut bahasa, nikah berarti penggabungan dan pencampuran. Sedangkan menurut istilah syariat, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal. Nikah berarti akad

dalam arti yang sebenarnya dan berarti hubungan badan dalam arti majazi

(metafora). Di pihak yang lain, Abu Hanifah berpendapat, nikah itu berarti hubungan badan dalam arti yang sebenarnya, dan berarti akad dalam arti majazi.15

Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya adalah:

ﺰ اا

و

جا

ْﺮ

ه

ْﺪ

و

ا

رﺎ

ع

ْﺪ

ْ

ْ ا

ْ

عﺎ

ﺮ ا

ْاﺎ

ْﺮ

ةأ

و

ْ ا

ْ

عﺎ

ْا

ْﺮ

أة

ﺮ ا

16

Artinya: “Perkawinan menurut syara yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”.

Abu Yahya Zakariya al-Anshari mendefinisikan nikah sebagai berikut:

اا

حﺎ

ْﺮ

ه

إ

و

ْ

ْ

إْ

حﺎ

أْو

ْﻮ

17 15

Syaikh Hasan Ayyub, Fiqhu Al-Usrati Al-Muslimati, Alih Bahasa, M. Abdul Ghoffar, EM.,

Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cet. Pertama, h. 3

16

Wahbah Al-Zuhayli, Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuh, (Kuala Lumpur: t.p, 1995), Cet. Ke-2, h.29

17

Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h.8


(17)

Artinya: “Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya”.

Selanjutnya, Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas sebagai berikut:

ْﺪ

ْﺪ

ْا

ْﺮ

ة

ْ

ﺮ ا

و

ْا

ْﺮ

أة

و

وﺎ

ﻬﺎ

و

ﻜْ

ﻬﺎ

ْ

ْﻮ

ق

و

ْ

ْ

وا

تﺎ

18

Artinya: “Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dengan wanita dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi.19Sedangkan kata kawin menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau persetubuhan.20

Dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan dalam pasal 1 bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan mambentuk kaluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.21

18

Chuzaimah T.Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet. Ke-1, h.53

19

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. Ke-3, edisi ke-2, h. 614

20

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.456

21

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), Cet. Ke-1, h. 3


(18)

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu “miitsaaqan gholiidzan” atau akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.22

Jadi, berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka perkawinan adalah ikatan yang sangat kuat antara seorang pria dengan wanita yang dengan hal tersebut, seorang laki-laki dibolehkan untuk bersenang-senang dengan wanita dan sebaliknya, dengan tujuan membentuk rumahtangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

B. ANJURAN MENIKAH

Kehidupan di dunia ini jika tanpa adanya kesenangan yang manunjang, maka akan terasa gersang. Merupakan kebijaksanaan Allah yang memberikan manusia kecenderungan terhadap kesenangan. Apabila direnungkan lebih jauh, maka kecenderungan (watak) tersebut mampu membebaskan manusia dari segala belenggu kenistaan, tentunya jika diarahkan pada apa yang diridhai oleh Allah.23

22

A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung: al-Bayan, 1994), Cet. Ke-1, h.118

23

Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), cet. Pertama h. 3


(19)

Setiap individu manusia yang normal meiliki rasa cinta, kasih sayang, ingin sesuatu dan syahwat kepada duniawi, terutama kepada wanita. Sesuai dengan firman Allah dalam surah:24

☺ ☺

)

ةﺪ ﺎ ا

/ : (

Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Al-Maidah/3: 14)

Dan firman Allah surah Al-Kahfi ayat 46:

)

ﻬﻜ ا

/ : (

Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.

Manusia remaja yang sudah sampai dewasa memerlukan teman hidup dan mencari seseorang yang dirasakan dapat memenuhi keperluan hidupnya. Oleh karena itu, ia harus membangun suatu rumah tangga yang juga harus melalui suatu ikatan yang dinamakan dengan perkawinan. Karena dengan perkawinan

24


(20)

)

موﺮ ا

/ :

(

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Rum/30: 21)

Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dn perempuan yang diatur dengan pernikahan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut. Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk menikah, karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam.26

25

Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga Panduan Pekawinan, h. 3

26


(21)

Firman Allah Ta’ala:

)

موﺮ ا

/ : (

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Ar-Ruum/30: 30)

Menikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis

dalam diri manusia, demi mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari

persilangan syar’i tersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan keturunan,

hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi semakin semarak.

Menikah juga merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan menikah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itu,

Rasulullah saw. mendorong untuk mempercepat nikah dan mempermudah jalan

untuknya.27

Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Karena dengan menikah dapat memelihara dari pertentangan-pertentangan syahwat, sehingga dengan begitu manusia dapat terjaga dari kerusakan. Harus disadari bahwa di antara

27

Yulianto Triatmojo, “Anjuran Untuk Menikah”, artikel ini diakses pada tanggal 22-03-2010 dari http://triatmojo.wordpress.com/2007/01/15/anjuran-islam-untuk-menikah/


(22)

penyebab kerusakan agama seseorang, sebagian besar adalah alat kemaluan dan perutnya. Dengan menikah, maka satu di antara dua penyebab itu paling tidak telah dikuasai.28 Di dalam kitab yang berjudul “Nahnul Ma’murun” diceritakan bahwa sesungguhnya pernikahan itu merupakan perkara yang sangat penting (utama) yang dapat memanjangkan usia dan membawa kita kepada kehidupan yang teratur.29

Bagi orang yang tidak mampu, Islam mengingatkan bahwa dengan menikah Allah akan memberikan manusia kehidupan yang berkecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitannya dan memberikannya kekuatan yang mampu mengatasi kemiskinan. Karena beristeri dapat membuka pintu rezki.30

Persoalan perkawinan bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup

manusia yang asasi, tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral

yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi

pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai akhlak yang luhur dan sentral.

Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam, Bani Adamlah yang memperoleh

28

Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 5

29

Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado pernikahan, h. 8

30


(23)

⌧ ⌧

⌧ ☺

)

ةﺮ ا

: /

(

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah/2: 30)

Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci dalam hal

pernikahan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal,

melakukan khitbah (peminangan), hingga bagaimana mewujudkan sebuah pesta

pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar

tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona.32

31

Ahmad Sanusi, Agama di Tengah Kemiskinan Refleksi atas Pandangan Islam dan Kristen dalam Perspektif Kerja Sama Antar Umat Beragama, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. Pertama, h. 66

32

Saleh Al-Fauzan, Al-Mukhalasul Fiqhi, (Saudi Arabia: Daar Ibnu Jauzi), Alih Bahasa, Abdul Hayyie Al-Kattani, Ahmad Ikhwani, Budiman Mushtofa, Fiqh Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), Cet. Pertama, h. 644,648


(24)

Islam juga mengajarkan bagaimana memperlakukan pasangan kala resmi

menjadi sang penyejuk hati, bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan

keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampaidalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rincidan detail.33

Menikah adalah salah satu hal yang harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syariat, yakni kemaslahatan dalam hidup. Bila diurutkan, ada tiga sumber alas an pokok kenapa pernikahan harus dilakukan. Pertama, menurut al-Qur’an;

kedua, menurut hadis; dan ketiga, menurut akal.34

1. Menurut al-Qur’an. Ada dua hal yang menonjol tentang pernikahan dalam

Al-Qur’an, pertama dalam surah al-A’raf: 189, menyatakan bahwa tujuan

perkawinan adalah untuk bersenang-senang. Dari ayat ini tampaknya kita tidak juga dilarang bersenang-senang, tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya karena memang diakui bahwa rasa senang itu

salah unsur untuk mendukung sehat rohani dan jasmani. Dan kedua, dalam

surah Al-Ruum: 21 terkandung makna ada tiga yang dituju dalam perkawinan, di antaranya adalah”35

33

Yulianto Triatmojo, “Anjuran Untuk Menikah”, artikel ini diakses pada tanggal 22-03-2010 dari http://triatmojo.wordpress.com/2007/01/15/anjuran-islam-untuk-menikah/

34

Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, (Jakarta: Qalbun Salim, 2007), Cet. Ke-1, h. 86

35


(25)

a. Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang/diam. Akar kata taskunu adalah sakana-sukun-sikin, yang semuanya berarti diam. Itulah sebabnhya pisau dinamakan sikin, karena bila diarahkan ke leher hewan ketika menyembelih, hewan tersebut akan diam.36

b. Mawaddah, membina rasa cinta. Akar kata mawadah adalah wadda yang berarti meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali. Karena itulah pasangan-pasangan muda di mana rasa cintanya sangat tinggi, termuat kandungan cemburu. Sedang rahmah/sayangnya masih rendah, banyak terjadi benturan karena tak mampu mengontrol rasa cinta yang terkadang sulit dikontrol, karena intensitasnya tinggi dan sering meluap-luap.37

c. Rahmah, yang berarti sayang. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya demikian rendah, sedangkan yang tinggi adalah rasa cinta/mawaddah. Dalam perjalanan hidupnya, semakin bertambahnya usia pasangan, maka

rahmahnya semakin naik, sedang mawaddahnya semakin turun.38

2. Menurut hadits. Ada dua hal yang dituju perkawinan menurut hadits.

Pertama, untuk pandangan dan menjaga faraj (kemaluan). Itulah makanya Nabi menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materil tidak memungkinkan. Kedua, sebagai kebanggan Nabi di hari kiamat,

36

Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, h. 87

37

Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, h. 88

38


(26)

yakni dengan banyaknya keturunan umat Islam melaliui perkawinan yang jelas. Secara tekstual, Nabi mengharapkan jumlah (kuantitas) yang banyak, karena dalam jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Namun demikian, walau jumlah besar jika kualitas rendah tetap saja Nabi mencelanya.39

3. Menurut akal. Menurut akal sehat yang sederhana, ada tiga yang dituju dalam suatu pernikahan:

Pertama, bumi ini cukup luas, yang tentunya harus diurus banyak orang, karena bumi ini Allah nyatakan dibuat untuk kita (manusia). Bila orangnya hanya sedikit, tentu banyak wilayah yang tersia-sia. Oleh karena itu, ntuk meningkatkan jumlah manusia, tentunya harus dengan perkawinan/pernikahan.40

Kedua, bila manusia banyak, tentunya harus diwujudkan ketertiban/keteraturan, terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib, maka akan terjadi kekacauan karena anak akan tidak dapat diketahui nasabnya (orang tuanya). Bila nasab tidak tertata rapi, maka kehidupan ini akan tidak menentu dan menjadi awal dari bencana besar.41

39

Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, h.89

40

Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, h. 89

41


(27)

Ketiga, untuk ketertiban kewarisan. Setiap orang yang hidup tentu akan memiliki barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya selembar papan atau sehelai kain. Ketika manusia itu wafat, tentu harus ada ahli waris yang menerima atau menampung harta peninggalan tersebut. Untuk tertibnya para ahli waris, maka harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yakni dengan pernikahan.42

Selanjutnya, untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka

rujukanyang paling sah dan benar adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan

rujukan ini, kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan

maupun beberapapenyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi

di masyarakatkita.43

Menikah disifati sebagai sunah Allah dan sunah Rasul. Sunah Allah, yaitu menurut qudrat dan iradat dalam penciptaan alam ini. Sedangkan sunah Rasul, yaitu sesuatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya dan untuk umatnya.44 Sifatnya sebagai sunah Allah, dapat dilihat dari rangkaian ayat-ayat sebagai berikut:

1. Firman Allah SWT yang menerangkan bahwa menikah adalah sunah para

Nabi dan Rasul dalam surah Ar-Ra’d ayat 38:

42

Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, h. 90

43

Hasbi Ash-Shiddieqiy, Al-Bayan, h. 916

44


(28)

☯ ⌧

)

ﺪ ﺮ ا

/

: (

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelummu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan” (QS. Ar-Ra’d/13: 38)

)

ءﺎ ﻷا

/

: (

Artinya: “Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Rabb-nya: ‘Ya Rabb-ku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkau-lah Waris Yang Paling Baik”. (QS. Al-Anbiyaa’/21: 89)

)

لا ناﺮ

/

: (

Artinya: “Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah Aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. (QS. Ali Imran/ 3: 28)

)

نﺎ ﺮ ا

/

: (

Artinya: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al Furqon/25: 74)

2. Menikah juga merupakan bagian dari tanda kekuasan Allah SWT,

berdasarkan firman Allah yang termaktub dalam surah Ar-Ruum ayat 21:


(29)

)

موﺮ ا

/ :

(

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Rum/30: 21)

3. Menikah adalah salah satu jalan untuk menjadikan seseorang kaya , yaitu

yang dituliskan dalam surah An-Nuur ayat 32:

)

رﻮ ا

/

: (

Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nuur/24: 32)

4. Menikah adalah ciri khas makhluk hidup, Allah menjelaskannya dalam surah

Az-Zariyat ayat 49:

⌧ ⌧

)

رﺬ ا

/

: (

Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. (QS. Az-Dzariyat/51: 49)

☺ ☺

)

/

: (

Artinya: “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (QS. Yaasin/36: 36)


(30)

)

فوﺮ ﺰ ا

/

: (

Artinya: “Dan Dialah yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi”. (QS. Az-Zukhruf/43: 12) ⌧ ) ا / : (

Artinya: “Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita”. (QS. An-Najm/53: 45)

Menikah juga disifati sebagai sunah Rasul. Di antara hadits-hadits Nabi yang memuat tentang anjuran dan motivasi menikah adalah sebagai berikut:

1. Hadits Nabi yang menganjurkan untuk menikah dan mencari keturunan:

ْ

ْ

ْ

رﺎ

لﺎ

:

ءﺎ

ر

ﻰ إ

ا

ا

ْ

و

لﺎ

إ

ْ أ

ةأﺮْ ا

تاذ

لﺎ و

ﺎﻬ إو

ﺎﻬ وﺰ ﺄ أ

لﺎ

ﺎ أ

ﺔ ﺎ ا

ﺎﻬ

ﺎ أ

ﺔ ﺎ ا

لﺎ

اﻮ وﺰ

دودﻮْا

دﻮ ﻮْا

ﺮ ﺎﻜ

ْ ﻜ

ﺄْا

)

اور

ﻮ أ

دواد

(

45

Artinya: “Dari Ma’qil bin Yasar berkata: telah dating seorang laki-laki kepada Nabi SAW. dan berkata: ……….dan beliau bersabda: “Kawinlah kalian dengan perempuan pecinta lagi subur, agar aku bisa berbangga tentang kalian di hadapan umat-umat lain pada hari kiamat nanti”. (HR.Abu Daud)

2. Hadits Nabi yang mengatakan bahwa hubungan badan antara suami isteri

guna mendapatkan keturunan atau untuk menyalurkan kebutuhan biologis adalah shadaqah:

ْ

أ

دﻮْ ﺄْا

ﺪ ا

ْ

أ

رذ

نأ

ﺎ ﺎ

ْ

بﺎ ْ أ

ا

ا

ْ

و

اﻮ ﺎ

ا

ْ

و

لﻮ ر

ا

هذ

ْهأ

رﻮ ﺪ ا

45


(31)

Dari Abu Dzar ia berkata: “ Bahwa sebagian dari sahabat Rasulullah SAW yang tengah berada dalam kondisi miskin berkata kepada beliau: Wahai Rasulullah, orang-orang kaya pergi menghadap Allah (meninggal dunia) dengan membawa banyak sekali pahala. Mereka mendirikan shalat dan berpuasa sebagaimana shalat dan puasa yang kami lakukan. Di samping itu, dengan kekayaan yang mereka miliki mereka bersedekah, sedangkan kami tidak dapat melakukan hal yang sama seperti mereka. Lalu Nabi berkata: Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang bisa kalian sedekahkan? Yaitu bahwa setiap kalimat tasbih, takbir, tahmid, dan tahlil kesemuanya itu adalah sedekah, jika kalian membaca dan mengamalkannya. Mencegah kemunkaran adalah sedekah dan pemberian mas kawin kalian adalah sedekah. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, apakah besenggama dengan isteri juga merupakan sedekah? Nabi menjawab dengan mengajukan pertanyaan: Bagaimana menurut pendapat kalian, seandainya ia menyalurkan syahwatnya kepada apa yang diharamkan oleh Allah, apakah baginya mendapat dosa? Sahabat menjawab: Ya. Maka Nabipun berkata: Begitu pula jika seseorang menyalurkan syahwatnya pada apa (tempat) yang dihalalkan, niscaya baginya mendapat pahala”. (HR. Muslim dan Nasa’i)47

3. Hadits Nabi mengenai menikah sebagai sunnah Nabi:

أ

ْ

ﻚ ﺎ

ر

ا

ْ

لﻮ

:

ءﺎ

ﺔ ﺎ

ْهر

ﻰ إ

تﻮ

جاوْزأ

ا

ا

ْ

و

نﻮ ﺄْ

ْ

ةدﺎ

ا

ا

ْ

و

اوﺮ ْ أ

ْ ﻬ ﺄآ

ﺎهﻮ ﺎ

اﻮ ﺎ

ْأو

ْ

ْ

ا

ا

ْ

و

ْﺪ

ﺮ ﻏ

مﺪ

ْ

ْذ

ﺎ و

ﺮ ﺄ

لﺎ

ْ هﺪ أ

ﺎ أ

ﺎ أ

أ

ْ ا

46

Imam Muslim, Shahih Muslim, (Kairo: Daarul Hadits, T. Th), No. Hadis 1674, V 177, h. 5

47


(32)

Artinya: “Anas bin Malik berkata: Telah dating tiga orang pembesar ke rumah isteri-isteri Nabi dengan maksud menanyakan perihal ibadah yang dilakukan oleh beliau. Tatkala diterangkan perihal ibadah mereka, mereka seakan-akan mengagungkannya seraya berkata: “Bagaimana dengan kita jika dibandingkan dengan Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni segala dosanya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang”. Salah seorang diantara merekapun berkata: “Kalau begitu, saya akan shalat sepanjang malam selamanya”. Yang lainnya berkata: “Aku akan berpuasa selama satu tahun, tanpa berbuka”. Kemudian yang lain juga berkata: “Aku akan menjauhi wanita dan selamanya tidak akan menikah”. Mendengar ungkapan mereka itu Rasulullah SAW pun mendatangi mereka seraya bersabda: Kaliankah yang telah mengatakan ini dan itu? Demi Allah, sungguh aku adalah hamba yang sangat takut dan sangat bertakwa kepada Allah jika dibandingkan dengan kalian. Akan tetapi, manakala berpuasa, aku berbuka. Setelah selesai dari melaksanakan shalat, akupun pergi tidur. Di samping itu, akupun mempunya isteri (menikah). Maka barang siapa yang tidak menyukai (tidak mengikuti) sunnahku, maka sesungguhnya ia bukan termasuk golonganku”. (HR. Bukhari)

Dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi di atas, dapat dilihat bahwa pernikahan akan mendatangkan kemaslahatan atau kebaikan yang sangat besar, di antaranya sebagai berikut:

1. Menikah berguna untuk meneruskan mata rantai keturunan manusia di

muka bumi, memperbanyak jumlah kaum muslimin, serta membuat gentar para kaum kafir dengan lahirnya para mujahid di jalan Allah dan orang-orang yang membentengi agamanya.

48

Imam bukhari, Shahih Bukhari, (Kairo: Daarul Hadits, 200,8), No Hadis 4675,V. 493, h. 15


(33)

2. Menikah dapat memeliharadan menjaga kemaluan, agar jangan sampai menikmati hal-hal yang diharamkan syariat, yang bisa merusak struktur kehidupan masyarakat

3. Menikah dapat menjadikan seorang laki-laki menjadi lebih bertanggung

jawab, melindungi dan berusaha untuk menafkahi isteri dan anak-anaknya.

4. Tercapainya ketenangan dan ketenteraman antara suami isteri serta

terwujudnya kedamaian jiwa.

5. Pernikahan sangat berperan dalam membantu menjaga pola hidup

masyarakat dalam tindak kekejian yang bisa menghancurkan akhlak manusia dan menjauhkannya dari kemuliaan.

6. Pernikahan akan mampu menjaga dan melestarikan keturunan, serta

menguatkan tali kekeluargaan dan persaudaraan antara satu sama lain. Sehingga keluarga-keluarga yang mulia bisa mencapai tujuannya dengan penuh kasih sayang, saling menjalin hubungan dan saling menolong dengan jalan yang benar.

7. Pernikahan akan mengangkat manusia dari kehidupan seperti binatang

kepada derajat kemanusiaan yang sangat mulia.49

C. PENGERTIAN MEMBUJANG

49


(34)

Kalau dalam agama Kristen terdapat konsep atau anjuran “rahbaniyah” yaitu tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara, maka pada sebagian kaum muslimin tampak gejala “tabathul”.Tabathul asal katanya adalah

“al-qath’u” yang berarti terputus. Sedangkan menurut istilah, tabathul adalah memutuskan hubungan dengan perempuan dan tidak menikah karena

mengkhususkan diri beribadah kepada Allah SWT.50

Bujangan atau perjaka adalah sebutan untuk seorang pria dewasa yang belum mempunyai istri. Istilah yang lain untuk ini adalah wadat dan selibat. Seorang bujangan adalah seorang pria yang belum pernah mengadakan hubungan seksual atau senggama. Pria yang masih bujangan disebut perjaka. Secara umum, bujangan juga direlasikan dengan kesucian. Sedangkan untuk wanita yang belum pernah melakukan senggama disebut perawan atau gadis.51

Ath-thabari mengatakan dengan mengutip perkataan Utsman bin Ma’dzun, yang dimaksud dengan membujang adalah mengharamkan diri untuk kawin, pakai wangi-wangian dan segala macam kenikmatan hidup. Membujang juga berarti memutuskan hubungan dari wanita dan meninggalkan pernikahan dengan

maksud beribadah kepada Allah SWT.52

50

M. Ali Ash-Shabuni, Az-Zawajul Islami Mubakkiran, Alih Bahasa, Masharu Ikhwaki dan Husein Abdullah, Pernikahan Dini Yang Islami, (Jakarta: Pustaka Amani, 1996), Cet. Ke-1, H. 33

51

Wikipedia, “Bujang”, artikel ini diakses pada tanggal 15-03-2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/bujang, diakses pada tanggal 20-03-2010

52


(35)

Sa’ad Thalib Al-Hamdani mengatakan bahwa hidup membujang adalah enggan kawin dengan maksud untuk tekun ibadah, menjauhkan diri dari

kesenangan dunia dan menghindarkan diri dari kewajiban mengasuh anak.53

Dalam kitabnya Jaami’u lil Ahkamil Qur’an, Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa tabathul ialah menjauhi kenikmatan atau kelezatan duniawi dan mengkhususkan diri untuk beribadah kepadanya.

D. KENDALA-KENDALA PERNIKAHAN

Pernikahan menjadi dambaan banyak orang, terutama para pemuda dan gadis-gadis. Pernikahan menjadi harapan ketika fungsi-fungsi hormonal tubuh sudah matang. Pernikahan juga menjadi mimpi indah ketika jiwa tidak lagi bisa dipuaskan dengan menjadi anak ideal. Akan tetapi masih ada sekelompok orang yang melecehkan dan menghina suatu pernikahan atau pura-pura menyesalinya. Bahkan ada juga di antara mereka yang sengaja menghabiskan hari-harinya dengan bercengkrama (ngobrol) bersama teman-teman begadangnya. Sesungguhnya perbuatan tersebut hanya akan membawa mereka semakin jauh dari jalan Allah dan mencemarkan kesucian di atas perkara yang agung ini, dimana suatu pernikahan ini sudah ditetapkan oleh syari’at Allah di dalam kitab suci-Nya (tepatnya mengenai kehidupan suami isteri).54

53

Agus Salim, Risalatun Nikah, (Jakarta: PT. Pustaka Amani), Cet. Ke- 3, H.20-21

54


(36)

Jika kita mencoba melontarkan suatu teori umum tentang realitas sosial maka kita akan melihat sebagian pemuda pamudi kita enggan menikah sebagaimana disyari’atkan Allah. Mereka justru memilih hidup membujang yang jelas-jelas berdampak negatif. Tentu banyak faktor yang melatarbelakangi, baik dari faktor sosial maupun non sosial yang membuat pemuda pemudi memilih alternatif tidak menikah. Padahal pernikahan akan dapat menentramkan jiwa, memperbaiki moral, menyehatkan kondisi fisik serta membawa kepada kematangan psikis dan sosial.55

Ada beberapa penyebab terpenting serta faktor penghambat perkawinan, bahkan yang mendorong pemuda kita memilih hidup bersantai-santai, berhura-hura dan melacur. Kendala-kendala yang menghalangi proses perkawinan bahkan menambah problem pembujangan tersebut, antara lain:

1. Mahalnya mas kawin

Mahalnya mas kawin merupakan suatu beban dalam bidang materi yang akan membuat seseorang enggan untuk melangsungkan pernikahan, pikiran jadi kacau dan tidak mustahil dia akan membatalkan perkawinannya karena tidak kuat membayar mas kawin yang terlampau mahal.56

55

Cemplia, “Anjuran Menikah”, Artikel ini diakses pada tanggal 22-03-2010 dari http://cemplia.wordpress.com/2008/06/12/anjuran-menikah/

56

Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, dan Kholid bin Ali bin Muhammab Al-Anbari, Al-Ziwaj Wa Al-Mubuur, Alih Bahasa, Musifin As’ad dan H. Salim Basyarahil,


(37)

Dewasa ini banyak orang yang jauh dari syariat Islam. Mereka memandang perkawinan dengan pandangan materi seperti seorang pedagang memandang barang-barang dagangannya. Mereka memberikan laba besar atau tidak tanpa mengenal moralitas atau statement-statement agama yang menjadi dasar perkawinan dan hidup berkeluarga.57

Seorang ayah yang mempunyai putri cantik atau memiliki anak yang sudah bekerja di suatu tempat yang prestise akan bangga dan prestisnyapun ikut naik. Jika datang laki-laki ingin melamar putrinya maka tarif putrinya dinaikkan. Laki-laki tersebut baru diterima manakala sanggup mengeluarkan mas kawin dan biaya-biaya hidup yang amat besar.58

Padahal Rasulullah sudah mengingatkan dalam haditsnya:

ْ

أ

ﺰ ْا

لﺎ

لﺎ

لﻮ ر

ا

ا

ْ

و

اذإ

ْ آءﺎ

ْ

نْﻮ ْﺮ

د

و

ﻮ ﻜْﺄ

ﺎ إ

اﻮ ْ

ْ ﻜ

ﺔ ْ

ضْرﺄْا

دﺎ و

اﻮ ﺎ

لﻮ ر

ا

ْنإو

نﺎآ

لﺎ

اذإ

ْ آءﺎ

ْ

نْﻮ ْﺮ

د

و

ﻮ ﻜْﺄ

ثﺎ

تاﺮ

)

اور

يﺬ ﺮ ا

(

59

Artinya: “Dari Abi Hatim al-Muzani, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Apabila datang (meminang) kepadamu, orang yang kamu ridha (karena agamanya) dan akhlaknya maka nikahkanlah (anakmu dengan) dia, jika tidak kamu lakukan maka akan timbul fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”. Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, jika hal itu

57

M. Nasikh ’Ulwan, Aqaabatuz Zawaj Wa Turuquhu Wa Mu’ajalatiha ‘Alaa Dlaulil Islam, Alih Bahasa, Moh. Nurhakim, Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua, Dan Negara, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. Ke-5, h. 36

58

M. Nasikh ’Ulwan, Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua, Dan Negara, h. 36

59

Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, (Kairo: Daarul Hadits, 2002), no. Hadis 1005, V.61, h. 4


(38)

memang ada?” Beliau menjawab: “Apabila dating (meminang) kepadamu, orang yang kamu ridha (karena agamanya) dan akhlaknya maka nikahkanlah anakmu dengan dia” diucapkan tiga kali”. (HR. Tirmidzi). Dengan demikian, ada beberapa hal yang menyebabkan mas kawin menjadi susah dijangkau, di antaranya adalah:

a. Karena sikap matrealistis sebagian orang tua wanita. Mereka tidak

mengerti makna sebuah perkawinan dan tujuannya yang sangat mulia.

b. Berubahnya pandangan tentang suami yang sekufu dan perbedaan

pemahaman tentang hal itu. Orang-orang kebanyakan menganggap bahwa suatu perkawinan sama dengan akad jual beli barang-barang pada umumnya, yaitu dengan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa memikirkan manfaat dan pengaruhnya.

c. Kehendak calon suami yang suka memamerkan kekayaan, serta

keinginannya yang berlebihan untuk memberikan kepuasan kepada orang tua wanita.

d. Adanya perhatian yang berlebihan terhadap pendapat-pendapat dan

permintaan-permintaan wanita yang senang dengan kemewahan dan kebanggaan.60

Syariat Islam adalah syariat yang lapang. Dan Islam sendiri adalah agama yang mudah dilaksanakan. Menurut Islam, batas minimal dari mahar itu sederhana sekali. Rasulullah saw. pernah bersabda:

60


(39)

ْ

ﺮ ﺎ

ْ

ﺪْ

ا

نأ

لﻮ ر

ا

ا

ْ

و

لﺎ

ْﻮ

نأ

ﺎ ر

ﻰ ْ أ

ةأﺮْ ا

ﺎ اﺪ

ءْ

ْﺪ

ﺎ ﺎ

ْ ﺎآ

ﺎ ﺎ

61

Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Kalau seorang laki-laki memberikan mahar berupa sepenuh dua genggam makanan, maka halallah perempuan itu baginya”. (HR. Ahmad)

Seruan Islam untuk menikah kepada mereka yang mampu adalah demi keselamatan dan terpeliharanya umat manusia serta terjaminnya untuk mendapatkan ketentraman, cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu Islam tidak menentukan batas maksimal mahar perkawinan. Hal ini diserahkan kepada kemufakatan kedua belah pihak, kemudahan dan adat istiadat jika diperlukan.62

Sekalipun Islam tidak menentukan batas maksimal mahar, tapi tetap memperingatkan jangan sampai mahar itu membelenggu, berlebih-lebihan dan memberatkan seseorang di batas kemampuannya. Islam adalah agama yang wasith dan adil. Karena berlebih-lebihan dan mempermahal mahar, akan mengakibatkan kaum muda lebih suka membujang, atau menyebabkan mereka terpaksa cari hutang. Dan akibatnya terbukalah pintu dari pelbagai problema sesudah perkawinan.63 Allah SWT berfirman:

61

Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, (Kairo: Daarul Hadits, t.th), no. Hadis 4296, V. 345, h. 29

62

Nabil Muhammad Taufiq As-Samaluthi, Ad-Dienu Wal Binaa’ul Aailiy Diraasatun Fi Ilmil Ijtimaail Aaliy, Alih Bahasa, Anshari Umar Sitanggal, Pengaruh Agama Terhadap Struktur Keluarga, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1987), Cet. Ke-1, H. 213

63

Nabil Muhammad Taufiq As-Samaluthi, Pengaruh Agama Terhadap Struktur Keluarga, h. 214


(40)

)

قﻼ ا

/

: (

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (At-Thalak/65 : 7)

Shalih bin Ghanim As-Sadlan dalam bukunya Al-Ahkam Al-Fiqhiyyah Li Ash-Shadaq Wa Waliamatil ‘Ursi mengatakan bahwa dampak negatif dari berlebihannya mahar diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Munculnya kelompok pemuda yang tidak mampu secara materil untuk

melaksanakan kewajiban berumah tangga dan pada gilirannya juga kelompok pemudi yang hidup tanpa suami. Dengan demikian dapat menimbulkan dampak sosial yang berbahaya, sebab kebutuhan biologis mereka tidak dapat terpenuhi.

b. Secara psikologis pemuda dan pemudi yang tidak menikah akan

mengalami depresi tekanan jiwa dan mental mereka menjadi labil.

c. Keretakan hubungan antara orang tua dan anak-anaknya dapat

menimbulkan akibat dari tekanan mental.

d. Wali pihak perempuan dapat mengeksploitasi anak perempuannya

untuk tujuan-tujuan materil dan menolak mengawinkan puterinya dengan lelaki yang baik dan memenuhi syarat agama, tetapi tidak


(41)

memenuhi harapan wali tersebut karena alasan yang bersifat materil, sehingga karena mengacu pada pertimbangan materil, lelaki bermoral rendah dan tidak memenuhi persyaratan agamanyapun dapat diterima karena semata pertimbangan materil.64

2. Biaya perkawinan mahal.

Di antara kendala-kendala perkawinan yang membuat terhambatnya seorang pemuda untuk menikah adalah mahalnya biaya perkawinan, sejak proses peminangan sampai walimah (resepsi) dan bulan madu. Selain mas kawin, orang tua calon isteri juga biasanya berharap ada pemberian-pemberian lain. Termasuk nafkah pada tahap berikutnya yang terlalu berat dipikul oleh calon suami. Seorang pelamar yang hanya mempunyai pendapatan yang pas-pasan dan gaji yang minim, tatkala melihat tuntutan yang demikian tinggi dalam proses perkawinan dan hidup berumah tangga,

kemungkinan akan mengambil alternatif hidup membujang.65 Padahal

Rasulullah sendiri dalam perkawinan-perkawinannya hanya satu kali mengadakan walimah, itu pun terbilang sangat sederhana, berdasarkan haditsnya:

64

Shaleh bin Ghanim Ash-Shadaq, Al-Ahkam Fi Al-Fiqhiyyah Lil Ash-Shadaq Wa Walimatil ‘Ursi, Alih Bahasa, Mustolah Maufur, Mahar Dan Walimah, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 1996), Cet. Ke-1, H. 42

65

M. Nasikh ’Ulwan,, Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua, dan Negara., h. 38


(42)

ْ

أ

لﺎ

:

ْوأ

ا

ا

ْ

و

ءْ

ْ

ْوأ

ْز

ْوأ

ةﺎ

)

ر

او

يرﺎ ا

(

66

Artinya: “Dari Anas ia berkata: Nabi saw tidak menyelenggarakan walimah atas penikahannya dengan isteri-isterinya, juga tidak menyelenggarakan walimah atas pernikahannya dengan Zainab, tetapi ia pernah menyelenggarakan walimah dengan seekor kambing”. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Sebenarnya banyak pemuda kita yang ingin menjaga dirinya dari dekadensi moral ketergelinciran hidup dengan jalan menikah sesuai dengan yang disyariatkan Allah. Tetapi karena begitu banyak kendala dan tuntutan maka mereka berbalik memilih hidup membujang secara frustatif. Jika mereka tidak mempunyai ketaqwaan kepada Allah jelas hal ini akan mengancam eksistensinya. Sikap demikian (membujang), cepat atau lambat akan menyebabkan tersebarnya perzinaan, kemungkaran, serta menambah penyakit moral.

3. Tingginya Kriteria yang Ditetapkan Wanita

Masalah lain yang banyak menimbulkan persoalan adalah munculnya kecenderunagn pada kaum wanita untuk meninggikan kriteria. Begitu tingginya kriteria yang ditetapkan sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah janji Allah sudah tidak dipercaya lagi, bahwa wanita yang baik akan

66

Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Kairo: Daarul Hadits, 2008), No. Hadis 4770, V. 155, h. 16


(43)

mendapatkan laki-laki yang baik sehingga harus dibuat kriteria yang karena begitu tingginya, hampir-hampir tidak dapat dicapai?67

Kendala seperti ini dapat kita amati hari demi hari dari apa yang telah berlaku di kalangan laki-laki dan wanita atau yang juga datang dari kaum ibu atau ayah, sehingga wanita sampai umur 30 tahun atau laki-laki berumur 40 tahun belum juga menikah. Kalau ditanya mengapa mereka belum beristeri atau bersuami, maka kebanyakan dari mereka akan menjawab bahwa mereka belum mendapatkan pasangan yang memenuhi syarat. Bahkan pada kebanyakan kasus yang sudah-sudah sikap semacam ini tidak jarang yang akhirnya membuat mereka para wanita harus “banting harga” ketika menjelang usia 30 tahun tidak kunjung datang pinangan. Selain itu juga hal ini dapat menyebabkan rumah tangga tidak berjalan dengan baik karena yang dipersiapkan adalah menerima kebaikan, bukan sama-sama menata rumah tangga untuk saling memperbaiki diri satu sama lain.68

Sikap memilih-milih atau angan-angan yang begitu tinggi terhadap pasangan hidup menjelang perkawinan hanya akan menimbulkan masalah pada bulan pertama atau ketiga dalam pernikahan. Sebab, biasanya apa yang dibayangkan kadangkala tidak sesuai sepenuhnya dengan yang kita hadapi.69

67

M. Fauzil Adhim, Saatnya Umtuk Menikah, (Jakarta: Gema Insani, 2000), Cet. Pertama, h. 17

68

M. Fauzil Adhim, Saatnya Umtuk Menikah, h. 18

69


(44)

Berbicara tentang kriteria calon pasangan ideal untuk dijadikan teman hidup, maka panduan yang paling tepat adalah hadits Rasulullah SAW :

ْ

أ

ْﻰ

ه

ْﺮ

ة

ا

ص

لﺎ

:

ْﻜ

ْا

أة

ْر

:

ﻬﺎ

،

و

ﻬﺎ

،

و

ﻬﺎ

،

و

ﺪْ

ﻬﺎ

،

ْ ﺎ

ْﺮ

ةا

ﺪ ا

ْ

ْ

ﺪا

ك

)

(

70

Artinya: Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Seorang wanita itu dinikahi kerana empat perkara: kerana harta, kerana keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka hendaklah diutamakan yang beragama, niscaya kamu berbahagia.” (Muttafaq ‘alaih)

Hadits di atas jika tidak dipahami secara benar akan melahirkan berbagai pemahaman. Pertama, dalam hal pasangan yang berharta, jika tidak dipahami betul-betul akan melahirkan pengertian bahwa hendaklah laki-laki yang tidak berharta (miskin) menikahi wanita yang berharta. Ini akan menyebabkan laki-laki tersebut disifati sebagai laki-laki-laki-laki pengikis harta (pengeretan). Bagitupun bagi wanita yang tidak berharta hendaklah menikah dengan laki-laki kaya, hal ini juga akan menyebabkan pandangan negatif kepada wanita itu yaitu sebagai wanita yang matrealistis. Sementara itu, bukankah janda-janda dan wanita-wanita miskin dianjurkan untuk dinikahi untuk membela nasib mereka? Jadi, pemahaman yang mungkin sesuai dengan hadits di atas tentang anjuran memilih pasangan yang berharta adalah laki-laki atau wanita yang pandai

70

Musthafa Muhammad ‘Umarah, Jawaahirul Bukhari, (Beirut: Daarul ‘Uluum, t.th), h. 421


(45)

menyimpan dan membelanjakan harta, bukan hanya semata-mata berharta sebelum menjalani kehidupan berumah tangga.71

Kedua, dalam hal keturunan, bukanlah dilihat dari segi kasta, kebangsawanan dan kedudukan dalam masyarakat. Namun lebih kepada segi nasab keluarganya, yaitu seseorang yang nasabnya tidak bercampur dengan perzinaan. Karena, apalah artinya memilih wanita atau laki-laki bangsawan atau yang berkedudukan tinggi, tetapi dalam darahnya mengalir darah seorang pezina.72

Ketiga, dalam hal kecantikan wanita atau ketampanan seorang lelaki, bukan saja dilihat dari tampilan luarnya yang bisa jadi menipu, tetapi juga akhlak, tutur kata, dan kesopanannya. Pada zaman sekarang banyak sekali wanita atau lelaki yang bagus hanya dari luarnya, namun tidak hatinya. Inilah yang harus dihindari, karena sedikit banyak akan memberi pengaruh terhadap pasangannya kelak, dan pastinya dalam hal mendidik anak.73

Keempat, memilih pasangan karena agamanya. Pada intinya nilai agamalah yang paling penting untuk dipertimbangkan. Karena tanpa agama, keluarga yang akan dibina akan hilang pedoman. Dalam hal ini juga bukan

71

Raisa Hakim, “4 Kriteria Pasangan Hidup Sempurna”, artikel ini diakses pada tanggal 10-05-2010, dari http://raisahakim.com/4-kriteria-pasangan-hidup-sempurna/

72

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet. Pertama, h. 35

73


(46)

Syarih rahimahullah berkata: “Kufu itu karena agama dan akhlaknya”. Sedangkan Imam Malik menegaskan, bahwa kufu itu hanya menyangkut agama saja, demikian juga apa yang dikutip dari Umar dan Ibnu Mas’ud dari kalangan Tabi’in seperti Muhammad bin Sirin dan Umar bin Abdul Aziz dengan dasar firman Allah surah Al-Hujurat ayat 13:75

)

تاﺮ ا

/ : (

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat 49:13)

Ibnu Hajar Al-Astqalani berkata di dalam Fathul Bari : “Pandangan tentang agama sebagai faktor kekufuan adalah sudah mutafaq ‘alaih (disepakati), sehingga tidak boleh seorang muslimah dikawin dengan laki-laki

74

A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, h. 432

75


(47)

kafir”. Dari keempat unsur kekufuan di atas ada yang menambahkan faktor bebas dari cacat, bahkan ada yang menyebut faktor timpang. Dan dari keseluruhan faktor, predikat yang dapat meningkatkan martabat seseorang yang paling tinggi secara mutlak adalah ilmu, bardasarkan hadits Nabi (“Ulama itu pewaris para Nabi”).76

4. Pengeluaran tidak pada tempatnya

Kendala yang juga tidak kalah penting pada zaman sekarang ini adalah barang antaran yang dibawa oleh pengantin laki-laki ke rumah pengantin wanita.mula-mula hanya sebuah Al-Qur’an, namun perlahan-lahan ditambah pula pakaian wanita, lalu perlengkapan kecantikan wanita, sampai perhiasan mahal, sehingga seandainya seluruh barang miliknya dijual tak akan cukup untuk membeli perhiasan tersebut. Dengan begitu, pastilah para pemuda akan mengatakan mereka tidak ingin menikah.77

Apa salahnya jika kita hanya membawa perlengkapan shalat dan Al-Qur’an? Apa kekurangannya jika kita tidak membawa emas? Memangnya apa yang akan terjadi? Apa salahnya jika kita menikahkan seorang lelaki yang hanya memiliki cincin biasa dan perempuan yang hanya memiliki cincin akik?78

76

Mu’ammal Hamidy, Imron A.M. dan Umar Fanani, Terjemah Nailul Authar, h. 2176

77

M. Fauzil Adhim, Saatnya Umtuk Menikah, h. 16

78


(48)

Padahal Islam telah melarang laki-laki memakai cincin yang terbuat dari emas atau perak seperti wanita, sekalipun dengan alasan untuk meminang. Karena hal itu merupakan kebiasaan yang tidak Islami. Sedangkan syariat Islam menghimbau kepada orang-orang mukmin agar menjaga keutuhan agamanya, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits (“Siapa saja yang menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk ke dalam kelompok/golongan tersebut”).79

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di dalam kitabnya yang

berjudul “Adab Az Zafaaf” menjelaskan: “Kebiasaan memakai cincin

tunangan adalah tradisi (kebiasaan) yang pernah dilakukan oleh orang-orang terdahulu, tepatnya ketika mereka mengadakan pesta perkawinan. Yaitu yang dipasang pada ibu jari sambil berkata atas nama bapak, kemudian dipindahkan ke jari telunjuk sambil berkata atas nama anak, kemudian dipindahkan ke jari tengah sambil berkata atas nama roh kudus, dengan disertai ucapan amin dan ia memindahkan ke jari manis sebagai tempat dari lafadz amin yang terakhir”.80

5. Menghalangi pendidikan atau karir

Salah satu kendala yang menghambat proses perkawinan adalah masa studi. Faktor ini banyak menjadi keluhan mahasiswa muslim. Rumah tangga

79

Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, h. 130

80


(49)

merupakan hantu yang menakutkan, sehingga mereka tidak mau menikah sebelum selesai kuliahnya. Mereka juga beranggapan bahwa berumah tangga itu adalah beban yang sangat besar, sehingga memerlukan persiapan yang cukup besar, ibarat orang membangun gedung raksasa. Bahkan ekstrimnya, ada yang beranggapan, lebih baik berbuat melanggar syariat Islam daripada gagal dalam kuliah.81

Sebenarnya rintangan semacam ini tidak sepenuhnya benar. Bahkan sebaliknya, dengan menikah akan lebih mudah merasa ketenangan jiwa. Adanya ketenangan dan penyejuk jiwa dari anak maupun istri atau suami, dan dapat lebih menolong seseorang mendapatkan ilmu. Karirpun tidak akan berpengaruh banyak seandainya semua bisa saling mengerti dan mau berbagi. Bukankah banyak rekan-rekan mahasiswa yang kuliah sampai ke luar negeri meskipun sudah memiliki tanggungan keluarga? Atau karir yang terus menanjak justru setelah berkeluarga. Karena jika masih lajang, biasanya seseorang malah belum tergerak untuk melakukan sesuatu buat dirinya, misalnya dengan menghabiskan waktu dengan berkumpul bersama teman-teman tanpa ada keperluan yang jelas, atau juga hanya hura-hura tanpa ada manfaatnya.82

81

Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Rumah Tangga, h. 6

82

My Quran Komunitas Muslim Indonesia, “Indahnya Menikah di Usia Muda”, artikel ini diakses pada tanggal 12-03-2010 dari http://myquran.com/forum/showthread.php/3557-Indahnya-Menikah-di-Usia-Muda


(50)

Namun demikian, masing-masing mahasiswa menghadapi alasan yang berbeda mengenai menikah dalam masa studi. Di bawah ini ada beberapa alasan pokok yang dikatakan para mahasiswa muslim tentang hal-hal yang menjadi penghalang mereka untuk menikah pada masa studi:

a. Karena kesulitan ekonomi dan biaya studi

b. Anggapan bahwa perkawinan merepotkan studi

c. Malu terhadap lingkungan keluarga83

6. Hasrat pemenuhan seks di luar syari’at Islam

Dewasa ini amat di sayangkan, banyak pemuda muslim ikut menahan diri untuk tidak menikah, bahkan menjauhkan masalah itu. Ini disebabkan karena munculnya gejala-gejala dekadensi moral yang telah merayap dalam masyarakat, dan adanya kerusakan-kerusakan sosial yang melanda setiap Negara dan bangsa.84

Bila para pemuda dan pemudi telah merasakan bahwa kebutuhan fitrahnya telah terpenuhi dengan cara di luar syari’at maka mereka akan berpikir, “Mengapa saya harus menikah? Mengapa saya harus bertanggung jawab terhadap isteri, keluarga dan anak-anak? Mengapa saya harus bersusah-susah dengan beban itu? Padahal tanpa isteripun saya dapat memuaskan nafsu

83

M. Naskih Ulwan,, Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua, Dan Negara, h. 47

84

Ahmad Saptono, “Prilaku Seks Bebas di Kalangan Remaja dan Orang Dewasa Yang Sudah Berkeluarga”, artikel ini diakses pada 12-04-2010 dari http://www.scribd.com/doc/13753330/Free-Sex


(51)

dengan berbagai jalan”. Pertanyaan-pertanyaan ini praktis akan membuat

mereka memilih hidup membujang daripada harus menikah.85

Jika ini kenyataannya, maka sungguh tepat hipotesa para ilmuwan sosial dan pendidikan yang mengatakan bahwa kendala terbesar seseorang untuk tidak mau menikah dan tidak mau beristeri adalah karena pemuasan fitrah di luar garis sebenarnya.

7. Kurangnya kesiapan materi

Pada dasarnya kelompok terbanyak dari umat kita adalah sebagai pekerja dan pegawai. Meskipun keduanya menghasilkan uang, namun kadar penghasilan mereka terbatas, bahkan ada yang sangat minim. Mengingat kenyataan hidup yang meminta banyak biaya sedangkan upah sangat memprihatinkan, maka mereka menjadi tidak optimis teradap pernikahan, karena mereka harus bertanggung jawab terhadap nafkah atau biaya isteri dan

anak-anaknya.86 Padahal anggapan demikian tidak sepenuhnya benar.

Pernikahan akan senantiasa membawa keberkahan (bertambahnya kebaikan), karena menikah berarti melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan semua rezki yang ada adalah di tangan Allah, sehingga manusia tidak bisa

85

Adsfundi, “Zina: Menyebabkan Muda-Mudi Enggan Menikah”, artikel ini diakses pada tanggal 12-04-2010 dari http://ummat-muhammad.blogspot.com/2009/11/zina-menyebabkan-muda-mudi-enggan.html

86


(52)

mengukur rezki yang Allah beri kepada makhluknya, sebagaimana firman-Nya :

)

دﻮه

/

: (

Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)”. (QS. Hud/11: 6)

Yang dimaksud binatang melata di sini ialah segenap makhluk Allah yang bernyawa. Menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan tempat berdiam di sini ialah dunia dan tempat penyimpanan ialah akhirat. Sedangkan, menurut sebagian ahli tafsir yang lain maksud tempat berdiam ialah tulang sulbi dan tempat penyimpanan ialah rahim.87

Namun demikian, pada kenyataannya tidak sedikit alasan kesiapan ekonomi untuk menikah melahirkan bencana demi bencana. Sebaliknya, meski tanpa kesiapan ekonomi tetapi bila seseorang bersungguh-sungguh memiliki kesiapan untuk memberi nafkah, itu sudah cukup sebagai bekal untuk menikah.88

Ada perbedaan antara kesiapan ekonomi dengan kesiapan memberi nafkah. Kesiapan ekonomi, sebagaimana banyak ditafsirkan adalah

87

Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Rumah Tangga, h. 15

88


(53)

kemampuan ekonomi yang dimiliki oleh seorang laki-laki, sehingga dengan kemampuan ekonomi ia dapat memberi nafkah. Sementara kesiapan memberi nafkah lebih berkaitan dengan kesiapan untuk sungguh-sungguh bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya. Sehingga meskipun saat menikah tidak memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, ia tetap dapat menafkahi keluarganya.89

Suatu ketika, seorang wanita datang menemui Nabi SAW. Suaminya seorang yang kaya, tetapi tidak memberi nafkah yang cukup kepadanya. Yang menjadi persoalan, apakah dibolehkan baginya mengambil harta milik suaminya tanpa sepengetahuan suaminya, sehingga dengan itu nafkahnya tercukupi. Ketika itu Nabi membolehkan dengan catatan sebatas yang dibutuhkan.90

Yang dapat dipetik dari kisah ini adalah kemampuan ekonomi tidaklah sendirinya menunjukkan kesiapan untuk memberi nafkah. Banyak wanita yang terlunta-lunta, mereka senantiasa menderita kekurangan, bukan karena selalu merasa kurang dengan apa yang diterimanya, melainkan karena suami yang tidak pernah mencukupi kebutuhannya. Termasuk untuk hal-hal yang

89

Faudzil Adzhim, Saatnya Untuk Menikah, h. 16

90


(54)

primer, seperti sandang, pangan dan papan. Padahal secara ekonomi suaminya sangat mampu.91

91


(55)

A. ANJURAN MEMBUJANG

Di dalam perkawinan atau pernikahan terkandung keutamaan-keutamaan sehingga dianjurkan dalam agama. Namun tidak menutup kemungkinan dalam perkawinan itupun terdapat bahaya-bahaya terhadap kelangsungan beribadah. Oleh karena itu ada sebagian ulama yang menganggap bahwa nikah itu lebih utama daripada mensucikan diri untuk beribadah kepada Allah. Menurut sebagian yang lain, meskipun mengakui keutamaannya namun lebih mendahulukan takhalliy (memusatkan diri untuk beribadah kepada Allah SWT) sepanjang tidak terlalu kuat nafsu seseorang untuk kawin sehingga merunyamkan dirinya atau mendesaknya kepada perbuatan jima’ (senggama). Sedangkan sebagian lagi menyatakan, lebih baik meninggalkan nikah di masa kini, kendatipun terdapat keutamaan di masa lalu, yakni ketika belum banyak timbul mata pencaharian yang terlarang manurut agama, dan juga sebelum menjalarnya tingkah laku buruk kaum wanita.92

Perbedaan pendapat ulama di atas tidak terlepas dari perbedaan cara pandang mereka mengenai shighat amr pada ayat Al-Quran surah An-Nisa/4 ayat 3:

92

Imam Ghazali, Al-Adab An-Nikah, Alih Bahasa, M. Al-Baqir, Menyingkap Hakikat Perkawinan, (Bandung: Karisma, 1996), Cet. Ke-8, h.15


(56)

) ﺎ ا ء / : (

Artinya: “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi” (An-Nisa/4: 3)

Dan hadis Nabi yang berbunyi:

ْ

ﷲاﺪْ

ْ

دْﻮ ْ

لﺎ

:

لﺎ

لْﻮ ر

ﷲا

ص

:

ﺮ ْ ﺎ

،بﺎ ا

عﺎ ْ ا

ﻜْ

ةءﺎ ْا

ْجوﺰ ْ

ﻏأ

ﺮ ْ

ْ أو

،جْﺮ ْ

ْ و

ْ

ْ ْ

ْ

،مْﻮ ا

ءﺎ ْﻮﻬ

. )

(

93

Artinya: Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw. kepada kami: “Hai golongan orang-orang muda! Barang siapa di antara kamu mampu menikah, hendaklah ia menikah, kerena yang demikian lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan, dan barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena merupakan pengebiri bagimu”. (Muttafaq ‘alaih)

Dari dalil-dalil di atas mereka ada yang memandang hukum nikah bisa jadi wajib, sunah, mubah, makruh, atau bahkan haram.94

Dalam buku Fikih Islam Wa Adillatuhu karangan Wahbah Zuhaily, dijelaskan bahwa menurut Imam Syaf’ii, jika ada seorang ahli ibadah dan menyibukkan diri dengan ilmu, maka yang demikian adalah lebih utama daripada menikah, karena sesungguhnya Allah memuji perbuatan Yahya as. Dalam firman-Nya surat Ali Imran ayat 39:

☺ ⌦ ☺ ⌧ ☺ 93

Muhammad Musthafa‘Umarah, Jawaahirul Bukhari, h. 422

94


(57)

)

لا ناﺮ

/

:

(

Artinya: “Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): "Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”. (Ali Imran/3: 39)

Kata al-hashur berarti seseorang yang tidak mendatangi wanita (menjima)

padahal ia mampu untuk mendatanginya. Jika menikah adalah lebih utama, maka mengapa Allah memuji perbuatan Yahya as. yaitu menjaga diri dari hawa nafsu yang dinilai sebagai pengikut orang-orang shaleh. Selain itu, Imam Nawawi menambahkan bahwa bagi orang yang tidak berhasrat untuk menikah padahal ia mampu, maka baginya dibolehkan untuk tidak menikah.95

Oleh karena itu, banyak dari ulama terdahulu yang lebih memilih memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah dan mengabdikan diri di bidang pendidikan ketimbang menikah yang dinilai sebagai amalan dunia seperti jual beli dan sejenisnya.96 Dalam bentuk syair Rabi’ah Al-Adawiyah mengatakan:

Aku mencintai-Mu dengan dua cinta.

Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu

Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingatmu.

Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir hingga Engkau terlihat

Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah untukku. Bagi-Mulah pujian untuk selamanya.

95

Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar Fikri Al-Ma’ashira, 2004M/1425H), V. 9, h. 2518

96


(1)

A. KESIMPULAN

Setelah dipaparkan seluruh hal yang berkaitan dengan hidup membujang karena faktor ekonomi menurut perspektif hukum Islam, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dalam hadis Nabi, puasa dinilai sebagai jalan keluar bagi orang yang belum mampu atas biaya pernikahan karena puasa merupakan penawar baginya. Tetapi apabila terdapat kondisi di mana seseorang sudah tidak mampu menahan godaan syahwatnya, sementara dia belum mampu atas biaya pernikahan, maka menurut Imam Ahmad, pernikahan menjadi wajib hukumnya. Dalam kondisi demikian tidak dibedakan hukumnya antara orang yang sudah mampu memberi nafkah dan yang belum mampu menafkahi, karena ditakutkan ia akan menyalurkan syahwatnya dengan jalan yang tidak halal

2. Di antara kendala-kendala yang dapat menyebabkan seseorang memilih untuk hidup membujang adalah sebagai berikut:

a. Mahalnya mas kawin dan biaya pernikahan b. Kurangnya kesiapan materi

c. Tingginya kriteria yang ditetapkan kaum wanita terhadap kaum pria d. Menghalangi pendidikan atau karir


(2)

102

e. Hasrat pemenuhan seks di luar syariat Islam

3. Dari kendala-kendala yang menyebabkan seseorang memilih hidup membujang melahirkan berbagai dampak, dimualai dari dampak kesehatan, dampak psikis, dampak sosial, sampai dampak keagamaan

B. SARAN-SARAN

Dari uraian di atas, maka penulis sampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Pemerintah dalam hal ini sangat berperan membantu mengatasi berbagai

faktor yang mengakibatkan seseorang hidup membujang karena keterbatasan ekonomi, karena dalam Undang Undang Dasar 1945 BAB XIV tentang Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Sosial, pasal 34 ayat 1 menyebutkan bahwa, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara”.

2. Peran BP4 juga sangat dibutuhkan dalam hal mensosialisasikan kendala-kendala perkawinan yang seharusnya dapat diatasi dan dampak-dampak negatif hidup membujang dalam bentuk seminar-seminar di kampus-kampus, dalam khotbah-khotbah jumat dan dalam pengajian-pengajian. Atau bila perlu pelajaran-pelajaran ini bisa dimasukkan ke dalam kurikulum mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah-sekolah Menengah Atas dan sederajat.


(3)

Adhim, M. Fauzil, Saatnya Umtuk Menikah, (Jakarta: Gema Insani, 2000), Cet. Pertama

Ayyub, Syaikh Hasan, Fiqhu Al-Usrati Al-Muslimati, Alih Bahasa, M. Abdul Ghoffar, EM., Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cet. Pertama

Baihaqi, Al-, Abi Bikr Ahmad Bin Husein, Sunan Ash-Shagir, (Beirut Lumnan: Daar Fikr), Jilid Ke-2

Bazemool, Salim, Terapi Islam Terhadap Rintangan Menjelang Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Mantiq, 1993), cet. ke-2

Bukhari, Imam, Shahih Bukhari, (Kairo: Daarul Hadits, 2004), V. 493

Bukhari, M., Hubungan Seks Menurut Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), Cet. Pertama

Bashir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : UII-Press, 2000) Cet. Ke – 9

Djalil, Basiq, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, (Jakarta: Qalbun Salim, 2007), Cet. Ke-1

Daud, Abu, Sunan Abi Daud, (Kairo: Daarul Hadits, 1999), No. Hadis 1754, V. 431 Fauzan, Al-, Saleh, Al-Mukhalasul Fiqhi, (Saudi Arabia: Daar Ibnu Jauzi), Alih

Bahasa, Abdul Hayyie Al-Kattani, Ahmad Ikhwani, Budiman Mushtofa, Fiqh Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), Cet. Pertama

Ghazali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet. Ke-1 Ghazali, Al-, Imam, Adabun Nikah, Alih Bahasa, Abu Asma Anshari, Etika

Perkawinan Membentuk Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993) Hajar Al-Asqalani, Ibnu, Syarh Shahih Bukhari, (Kairo: Daarul Hadits, 2004)V. 14


(4)

104

Hambal, Ahmad bin, Musnad Ahmad, (Kairo: Daar Hadis, T. Th), V. 345

Hasan, Sidik dan Abu Nasma, Lets Talk About Love, (Semarang: Tiga Serangkai, 200), Cet. Pertama

Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet. Pertama

Istanbuli, Al-, Mahmud Mahdi, Kado perkawinan, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), cet. Pertama

Musthafa‘Umarah, Muhammad, Jawaahirul Bukhari, (Beirut: Daarul ‘Uluum, t.th) V. 7, h.

Musnad, Al-, Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman, dan Kholid bin Ali bin Muhammab Al-Anbari, Al-Ziwaj Wa Al-Mubuur, Alih Bahasa, Musifin As’ad dan H. Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta: Pustaka Kautsar), Cet. Ke-2

Muslim, Imam, Shahih Muslim, (Kairo: Daar Hadis, T. Th), V. 175

Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet. Ke-9

Nawawi, Imam, Nuzhatul Muttaqin, Alih Bahasa, Muhil Dhofir dan Farid Dhofir, Syarah dan Terjemah Riyadush Shalihin, (Jakarta: Al-Istiqomah Cahaya Umat, 2006), Cet. Kedua

Qurthubi, Al-, Abdullah Muhammad Bin Ahmad Al-Anshari, Jaami’u Lil Ahkamil Qur’an, (Daarul Qurb, 2002), Jilid Ke-6

Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Kairo: Daarul Fikr, t.th) V.II

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa, Moh. Thalib , (Bandung : al-Ma’arif 1997), Cet. Ke -14, Jilid 6

Salim, Agus, Risalatun Nikah, (Jakarta : Pustaka Amani, 1989) Cet. Ke – 3

Samaluthi, As-, Nabil Muhammad Taufik, Addienu Wal Binaaul Aailiy, Alih Bahasa Umar Sitanggal, Anshari, Pengaruh Agama Terhadap Struktur Keluarga, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), Cet. Pertama


(5)

Sanusi, Ahmad, Agama di Tengah Perkawinan Refleksi atas Pandangan Islam dan Kristen dalam Perspektif Kerja Sama Antara Umat Beragama, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet, Pertama

Selamat, Kasmuri, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga Panduan Pekawinan, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), Cet. Pertama, h. 3

Shabuni, Ash-, M. Ali, Az-Zawajul Islami Mubakkiran, Alih Bahasa, Masharu Ikhwaki Dan Husein Abdullah, Pernikahan Dini Yang Islami, (Jakarta: Pustaka Amani, 1996), Cet. Ke-1

Shadaq, Ash-, Shaleh bin Ghanim, Al-Ahkam Fi Al-Fiqhiyyah Lil Ash-Shadaq Wa Walimatil ‘Ursi, Alih Bahasa, Mustolah Maufur, Mahar Dan Walimah, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 1996), Cet. Ke-1

Shiddieqiy, Ash-, Teungku Muhamad Hasbi, Al-Bayan Tafsir Penjelas Al-Quranul Karim, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), Cet. Pertama, Edisi Kedua Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan

Umat, (Bandung: Mizan,1997), Cet. Ke-7

Sudirman Abbas, Ahmad, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Anglo Media Jaya, 2004), Cet. Pertama

Sukandi, Muhammad Syarif, Terjemahan Bulughul Maram, (Bandung: Al-Ma’arif, 1983), Cet, Ke-6

Sukardi, Fathur, Motifasi Berkeluarga, (Jakarta : Pustaka Kautsar), Cet. Ke-4 Syarifudin, Amir, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media), Cet. Ke-2 Tirmidzi, Imam, Sunan Tirmidzi, (Kairo: Daarul Hadits, 2002), V. 261

T.Yanggo, Chuzaimah dan Anshari, Hafiz, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet. Ke-1

’Ulwan, M. Nasikh, Aqaabatuz Zawaj Wa Turuquhu Wa Mu’ajalatiha ‘Alaa Dlaulil Islam, Alih Bahasa, Moh. Nurhakim, Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua, dan Negara, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. Ke-5


(6)

106

Yuslem, Nawir, Ulumul Hadits, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), Cet. Pertama

Zuhaily, Wahbah, Fiqh Islam Wa Adilatuhu, (Damaskus: Dar Fikri Al-Ma’ashira, 2004M/1425H), Ahlwal Al-Syakhsiyyah Ahkam Ushrah, Juz 9 Ahmad Saptono, “Prilaku Seks Bebas di Kalangan Remaja dan Orang Dewasa Yang

Sudah Berkeluarga”, artikel ini diakses pada 12-04-2010 dari http://www.scribd.com/doc/13753330/Free-Sex

Adsfundi, “Zina: Menyebabkan Muda-Mudi Enggan Menikah”, artikel ini diakses pada tanggal 12-04-2010 dari http://ummat-muhammad.blogspot.com/2009/11/zina-menyebabkan-muda-mudi-enggan.html Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak, “Membujang Ala Sufi (Larangan

Membujang)”, artikel ini diakses pada tanggal 15-03-2010 dari http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/aqidah-manhaj/membujang-ala-sufi/ Cemplia, “Anjuran Menikah”, Artikel ini diakses pada tanggal 22-03-2010 dari

http://cemplia.wordpress.com/2008/06/12/anjuran-menikah/

Dewi sartika, “Free Sex no way! Sex education, why not? Part Dua”, artikel ini diakses pada tanggal 15-04-2010 dari http://dewi-fortuna.co.cc/page/2

M. A. Uswah, “Karena Ilmu Mereka Rela Membujang (Semangat Membara Para Ulama dalam Menggeluti Ilmu)”, artikel diakses pada tanggal 20-03-2010 dari

http://taman-buku.blogspot.com/2009/04/karena-ilmu-mereka-rela-membujang.html.

Yulianto Triatmojo, “Anjuran Untuk Menikah”, artikel ini diakses pada tanggal 22-03-2010 dari http://triatmojo.wordpress.com/2007/01/15/anjuran-islam-untuk-menikah/

“Pusat informasi kesehatan”, diakses pada tgl 04-05-2010 dari

http://infosehat7.blogspot.com/2009/07/macam-macam-penyakit-penyakit-kelamin.html

Raisa Hakim, “4 Kriteria Pasangan Hidup Sempurna”, artikel ini diakses pada tanggal 10-05-2010 dari http://raisahakim.com/4-kriteria-pasangan-hidup-sempurna/

Wikipedia, “Bujang”, artikel ini diakses pada tanggal 15-03-2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/bujang