di semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi menurut tempat diadakannya, yaitu disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut
dan pengaruh adat Iainnya pada masa lampau.
32
Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut hukum adat Tionghoa, perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita
untuk hidup bersama dalam membina rumah tangga dan mendapatkan keturunan untuk meneruskan nama keluarga atau marga dari ayahnya.
3. Syarat-syarat Perkawinan Menurut Hukum Adat Tionghoa
Dalam adat-istiadat Tionghoa sebenarnya tidak ada diatur secara tertulis mengenal syarat-syarat perkawinan sebagaimana syarat-syarat perkawinan yang
diatur di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Jadi tidak ditentukan secara pasti mengenai Syarat-syarat perkawinan, namun hanya
dilaksanakan menurut adat-istiadat yang dilakukan secara terus-menerus dan turun temurun serta berulang-ulang dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Demikian juga halnya orang-orang Tionghoa yang berimigrasi dari Republik Rakyat Cina atau biasa juga disebut “Tiongkok”. Umumnya orang-orang Tionghoa
yang berimigrasi ke Indonesia membawa adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan dari tanah leluhur mereka, termasuk juga di dalamnya hukum adat perkawinan. Salah satu
adat yang harus mereka taati adalah keluarga yang satu marga slice dilarang menikah, karena mereka dianggap masih mempunyai hubungan darah antara satu
dengan Iainnya. Misalnya marga Hwang dilarang menikah dengan marga Hwang dari keluarga lain, sekalipun baik antara kedua calon mempelai maupun keluarga kedua
32
Ibid., hal. 12.
calon mempelai tidak saling kenal. Akan tetapi pernikahan dalam satu keluarga sangat diharapkan agar supaya harta tidak jatuh ke orang lain. Misalnya antara lain,
pernikahan dengan anak bibi tidak satu marga, tetapi masih satu nenek moyang. Ada beberapa yang sekalipun telah memeluk agama lain, seperti Katolik, namun
masih menjalankan adat istiadat ini. Sehingga terdapat perbedaan di dalam melihat adat istiadat perkawinan, yaitu terutama dipengaruhi oleh adat lain, adat setempat,
agama, pengetahuan dan pengalaman mereka masing-masing.
33
Pada dasarnya syarat-syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat dipengaruhi oleh pandangan dari masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri. Hal ini
terutama pandangan dari keluarga dan kedua calon mempelai terhadap calon mempelai pria atau mempelai wanita dan anak mereka. Yang pasti, syarat-syarat
perkawinan adat Tionghoa harus sesuai dengan tujuan dari suatu perkawinan menurut hukum adat Tionghoa, yang mana syarat-syarat tersebut lebih memberatkan calon
mempelai pria daripada calon mempelai wanita. Hal ini wajar, karena masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia menganut asas
kekeluargaan patrilinial, dimana seorang laki-laki bertindak sebagai seorang kepala keluarga dan kepala rumah tangga. Semua kewajiban atas keluarga sepenuhnya
menjadi tanggung jawab seorang suami atau seorang ayah. Sedangkan wanita sebagai seorang isteri hanya akan mengikuti kehidupan suaminya. Susah atau senangnya
kehidupan seorang isteri tergantung sepenuhnya pada kemampuan suami untuk mencukupi kebutuhan dan membahagiakan isteri dan anak-anaknya.
33
Ibid., hal. 12.
Dari hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa adapun syarat-syarat perkawinan menurut hukum adat Tionghoa adalah sebagai berikut:
a. Adanya kesepakatan dari calon mempelai pria dan calon mempelai wanita. Mengenai
kesepakatan dari kedua mempelai dalam hukum adat Tionghoa hanya
berlaku apabila hubungan antara kedua calon mempelai disetujui oleh keluarga masing-masing. Dalam hukum adat Tionghoa, kesepakatan dari kedua calon
mempelai bukan merupakan hal yang mutlak. Seorang ayah sebagai kepala keluarga dan kepala rumah tangga sekaligus sebagai pemegang keputusan
tertinggi yang memegang peranan paling penting. b. Adanya persetujuan dari orangtua kedua calon mempelai.
Persetujuan dari
orangtua kedua calon mempelai merupakan faktor yang paling penting dan menentukan. Kadang kala, persetujuan dari orangtua dapat
mengenyampingkan kesepakatan dari kedua calon mempelai. Hal ini timbul karena sebagai anak yang berbakti kepada orangtua dan supaya tidak dianggap
sebagai anak durhaka, maka seorang anak wajib untuk menuruti kata dan permintaan dari orangtua, walaupun terkadang permintaan dari orangtua tersebut
sangat bertentangan dengan kemauan dan anak. Dalam hal salah satu orangtua dari calon mempelai telah meninggal dunia, maka
ijin diberikan oleh orangtua calon mempelai yang masih hidup. Sedangkan dalam hal kedua orangtua dari calon mempelai telah meninggal dunia, maka ijin
diberikan oleh anak laki-laki tertua yang telah menikah. Dalam hal anak laki-laki tertua tidak ada, maka yang memberikan ijin adalah saudara laki-laki tertua
kandung dari ayah calon mempelai. Kalau tidak ada, maka ijin diberikan oleh
saudara laki-laki kandung yang lebih muda dari ayah calon mempelai, kalau tidak ada juga, maka ijin diberikan oleh saudara laki-laki kandung dari ibu.
c. Seorang calon mempelai pria harus mapan dari segi ekonomi maupun fisik dan mental untuk menghidupi keluarga.
Menurut Aan Wan Seng: Tiada satu batasan had umur yang sesuai untuk seseorang itu untuk kawin.
Semuanya bergantung kepada kesediaan dan kesanggupan individu untuk hidup berkeluarga. Keseluruhannya, orang-orang Cina kawin pada umur yang
agak lewat karena terpaksa mengumpulkan sejumlah uang yang banyak untuk mengadakan kenduri kawin. Perkawinan orang Cina dikatakan adalah yang
termahal untuk menunjukkan status dan kedudukan yang tinggi. Di samping itu, upacara perkawinan dibuat secara besar-besaran untuk “memberi muka”
kepada ibu bapa kedua belah pihak. Orang Cina mempunyai suatu kebiasaan untuk bersaing menunjukkan ego masing-masing melalui pemaparan
kemewahan dan kekayaan. Mengikut adat orang Cina, perkawinan anak lelaki sulung perlu dibuat dengan sebaik mungkin. Jika tidak, ini akan memalukan
dan merendahkan keluarga serta mendatangkan umpat keji kata-kata hinaan daripada saudara-mara.
34
Dalam hal ini, mapan atau tidaknya seorang calon mempelai pria itu dipandang oleh keluarga calon mempelai wanita dari kehidupan sehari-sehari. Mapan secara
ekonomi mempunyai anti bahwa calon mempelai pria sudah bekerja atau memiliki penghasilan yang tetap, sehingga mampu membiayai dan mencukupi
kebutuhan calon mempelai wanita. Mapan secara fisik dan mental mempunyai arti bahwa calon mempelai pria mempunyai fisik yang kuat, sehat akal dan
pikirannya, sehingga mampu menjaga dan melindungi keluarganya, serta dapat meneruskan keturunan.
34
Aan Wan Seng, Adat dan Pantang Larang Orang Cina, Penerbit Fajar Bakti Sdn.Bhd, Kuala Lumpur, Malaysia, 1994, hal. 31.
d. Calon mempelai wanita sehat jasmani dan rohani. Calon mempelai wanita sehat jasmani dan rohani, ini merupakan persyaratan yang
penting, selain sehat secara rohani, calon mempelai wanita juga harus sehat secara fisik, terutama dalam kemampuan untuk memberikan keturunananak, karena
sebagaimana maksud dan tujuan dari perkawinan menurut hukum adat Tionghoa, salah satunya adalah untuk mendapatkan keturunananak, terutama anak laki-laki
agar dapat meneruskan marga atau nama keluarga dari ayahnya. Kemandulan dari isteri akan dapat dijadikan alasan yang sah dari suami untuk menceraikan
isterinya. e. Berperangai dan bertingkah laku baik.
Hal ini dipandang dari kehidupan sehari-hari dari kedua calon mempelai, termasuk di dalamnya apa pekerjaannya, bagaimana sikap dan perlakuannya
terhadap orangtua dan keluarganya. Semakin baik pandangan calon mertua terhadap sikap dan perangai calon mempelai, maka semakin mudah mendapatkan
persetujuan atau restu dari calon mertua. Syarat-syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa masih sangat
sederhana dan hanya terfokus kepada cara pandang dan kebiasaan-kebiasaan serta adat-istiadat dari suatu suku danatau keluarga. Jadi tidak ada syarat-syarat
perkawinan yang tertulis dan terkodifikasi dalam bentuk peraturan maupun undang- undang, namun hanya bersifat mengatur hal-hal umum saja. Tidak ada akibat dan
sanksi hukum yang timbul apabila syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas tidak dipenuhi atau dilaksanakan oleh para pihak yang melaksanakan perkawinan, tetapi
hanya berupa sanksi sosial, baik yang datang dari keluarga maupun masyarakat.
4. Prosedur Pelaksanaan Perkawinan