Asas-Asas Hukum Perkawinan Problematika Pencatatan Perkawinan Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa

Mengingat peranan yang dimiliki dalam hidup bersama itu sangat penting bagi tegak dan sejahteranya masyarakat, maka negara membutuhkan tata tertib dan kaidah-kaidah yang mengatur mengenai hidup bersama ini. “Peraturan-peraturan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan yaitu hidup bersama dari seorang laki-laki dan perempuan yang memenuhi syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut.” 45 Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama sekali tidak memberikan definisi tentang arti perkawinan. Pasal ini hanya menyebut bahwa “Perkawinan hanya ditinjau dari segi hubungannya dengan hukum sipil.” 46 Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi “Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata” 47 . “Perkawinan adalah persatuan seorang laki-laki dan perempuan secara hukum untuk hidup bersama, hidup bersama ini dimaksudkan untuk berlangsung selama- lamanya.” 48

2. Asas-Asas Hukum Perkawinan

Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974, ditentukan asas- asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan zaman. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut : a. Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan materil; b. Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap 45 Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hal 7 46 M Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading; Medan, 1975, hal 12 47 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal 4 48 Ali Afandi, Hukum waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian,Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal 95 perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dengan surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam pencatatan; c. Menganut asas monogami. Hanya apabila yang dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama orang tersebut mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal ini dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila memenuhi persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan; d. Menganut prinsip bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir kepada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah perkawinan antara suami isteri yang masih berada dibawah umur. Selain itu perkawinan juga mempunyai hubungan permasalahan dengan kependudukan, ternyata dengan batas umur yang lebih rendah dari seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang tinggi. Berhubung dengan itu, maka Undang- Undang ini menentukan batas umur kawin bagi pria ialah 19 tahun dan wanita adalah 16 tahun; e. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Harus dengan alasan tertentu serta dilakukan di depan pengadilan; f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kedudukan pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri. 49

3. Syarat-Syarat Perkawinan