Alat Pengumpul Data Analisis Data

4. Alat Pengumpul Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat penelitian: a. Studi Dokumentasi. Untuk memperoleh data sekunder perlu dilakukan studi dokumentasi yaitu dengan cara mempelajari peraturan-peraturan, teori dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. b. Wawancara Untuk memperoleh data primer dilakukan wawancara dengan narasumber yang telah ditentukan dengan mempergunakan pedoman wawancara.

5. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan nara sumber hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini. Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. 26 Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini. 26 Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Univeristas Airlangga, Surabaya, hal. 2. Prosedur Deduktif yakni bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus. Pada prosedur ini kebenaran pangkal merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik self evident yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi.

BAB II PROBLEMATIKA PENCATATAN PERKAWINAN WARGA NEGARA

INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA A. Perkawinan Menurut Hukum Adat Tionghoa 1. Sistem Kekeluargaan Di Indonesia Di Indonesia tidak terdapat satu sifat kekeluargaan, melainkan di pelbagai daerah ada pelbagai sifat kekeluargaan, yang dapat dimasukkan dalam tiga macam golongan, yaitu: 1 Sifat Kebapakan patrilinial; 2 Sifat Keibuan matrilinial; 3 Sifat Kebapak-Ibuan parental. 27 Dalam sistem kekeluargaan yang besifat kebapakan, seorang isteri oleh karena perkawinannya adalah dilepaskan dari hubungan kekeluargaan dengan orangtuanya, nenek moyangnya, saudara kandungnya dan keluarga Iainnya. Sejak perkawinannya, seorang isteri masuk ke lingkungan keluarga suaminya dan menjadi anggota keluarga dan keluarga suaminya. Demikian juga anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut, kecuali dalam hal seorang anak perempuan yang sudah kawin. Ciri yang paling utama dari perkawinan yang bersifat kebapakan ini adalah perkawinan dengan jujuran, dimana seorang isteri dibeli oleh keluarga suaminya dengan adanya sejumlah uang pembayaran kepada keluarga isteri sebagai harga 27 Wirjono Podjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Vorkink-Van Hoeve, Bandung, 1968, hal. 15. pembelian. Di daerah Tapanuli dinamakan jujuran atau parunjuk atau tuhor, boli. Di tanah Gayo dinamakan onjok. Sedangkan sistem kekeluargaan keibuan di Indonesia hanya terdapat di satu daerah saja, yaitu di Minang Kabau. Dalam sistem kekeluargaan keibuan ini, setelah perkawinan dilaksanakan, maka seorang suami tinggal di rumah keluarga isterinya atau keluarga isterinya. Suami tidak menjadi anggota keluarga dari si isteri, namun anak-anak yang lahir dalam perkawinan tersebut dianggap kepunyaan dari ibunya dan seorang ayah tidak mempunyai kekuasaan apa-apa terhadap anak-anaknya. 28 Kekayaan yang dipergunakan untuk keperluan rumah tangga suami isteri dan anak-anaknya, biasanya diambil dari milik keluarga isteri dan milik ini dikuasai oleh seseorang yang dinamakan mamak kepala waris, yaitu anak laki-laki paling tua dari keluarga isteri. Sistem kekeluargaan Kebapak-Ibuan adalah yang paling banyak terdapat di seluruh wilayah Indonesia, yaitu antara lain di seluruh Jawa, Madura, Sumatera Selatan, Riau, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Ternate dan Lombok. Dalam sistem kekeluargaan ini pada hakekatnya tiada perbedaan antara seorang suami dan seorang isteri perihal kedudukannya dalam keluarga masing-masing, dimana sebagai akibat perkawinan, seorang suami menjadi anggota keluarga dari isteri dan seorang isteri menjadi anggota keluarga dari suami, sedang dalam kekeluargaan orangtuanya, mereka masing-masing juga mempunyai dua kekeluargaan, yaitu dari ayahnya dan 28 Ibid., hal. 15-16. juga dari ibunya. Begitu juga seterusnya untuk anak-anak dan keturunannya, tiada perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan, antara cucu laki-laki dengan cucu perempuan. 29 Dalam sistem kekeluargaan kebapak-ibuan ini juga tidak dikenal adanya pengertian pembelian isteri oleh suami atau keluarga suaminya sebagaimana yang terdapat dalam sistem kekeluarga Iainnya. Dalam sistem kekeluargaaan ini, pada permulaan perkawinan, seorang suami memberi atau menyanggupi akan memberi sejumlah uang kepada seorang isteri, maka uang tersebut bukan merupakan suatu harga pembelian, melainkan uang untuk keperluan rumah tangga dari suami isteri atau uang penghibahan semata. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, uang tersebut dinamakan tukon pembelian, tetapi arti dari pembelian disini bukan uang untuk membeli si isteri, tetapi uang untuk membeli barang-barang keperluan rumah tangga suami isteri pada permulaan perkawinan. Sering juga uang yang demikian disebut dengan istilah sri-kawin atau mas kawin, yang mana istilah ini menunjukkan pada pengertian mahar sebagaimana yang diatur dalam hukum Islam. 30 Pada hakekatnya, pada suatu perkawinan dalam kekeluargaan yang bersifat kebapak-ibuan, suami isteri, selama perkawinan berlangsung, mempunyai kedudukan yang sama, baik mengenai harta benda masing-masing, harta benda milik bersama, maupun mengenai pergaulan hidup di antara mereka. 29 Ibid., hal. 16. 30 Lihat, Jamaluddin, Hukum Perkawinan Dalam Pendekatan Normatif, Pustaka Bangsa Press, 2009, hal. 44. menyatakan sebagai persyaratan selanjutnya yang harus dipenuhi untuk sahnya sebuah perkawinan dalam syariat Islam adalah mahar dalam perkawinan.

2. Pengertian dan Tujuan Perkawinan dalam Adat Tionghoa