Sekilas tentang Agama Konghucu di Indonesia

Sebelum dibahas tentang problematika agama Konghucu dalam pencatatan perkawinan, maka di sini terlebih dahulu dikemukakan latar belakang Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang beragama Konghucu di Indonesia.

1. Sekilas tentang Agama Konghucu di Indonesia

Berdasarkan wawancara dengan Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia MATAKIN, bahwa Agama Konghucu yang dulu disebut Ru Jiao atau agama bagi umat yang lembut hati yang terbimbing atau terpelajar adalah bimbingan hidup karunia Tian Tuhan yang Maha Esa yang diturunkan lewat Nabi dan Para Suci purba yang digenapkan,disempurnakan dengan ajaran Nabi Khongzi. 53 Ajaran Konghucu berdasarkan ajaran dan bimbingan pada keyakinan dan kepercayaannya kepada Thian,Tuhan Yang Maha Esa,dan FirmanNya yang harus dengan Satya dilaksanakan dalam hidupnya, melaksanakan ajaran Konghucu sebagai tata nilai etika moral tanpa disadari Keyakinan, Kepercayaan dan iman kepada Tian, itu dinamai “melupakan pokok” atau” kehilangan akar” ajaran Nabi Khongzi menggenapkan dan menyempurnakan Ru Jiao atau agama Konghucu didalam membimbing umatnya beriman kepada Tuhan. 54 Ru Jiao Agama Konghucu masuk ke bumi Nusantara bersama masuknya perantau Tiongkok yang mengarungi Samudra yang berdagang dan singgah serta menetap di beberapa kepulauan Indonesia maka dari masa kemasa, Ru Jiao tumbuh 53 Wawancara dengan Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia Matakin Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan. 54 Wawancara dengan Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia Matakin Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan. dan berkembang dan berdiri pula lembaga-lembaga agama Konghucu Ru Jiao, ini seperti rumah abu untuk menghormati arwah-arwah leluhur dan kelenteng-kelenteng Miao yang dapat dilihat di seluruh penjuru tanah air. Seperti kelenteng Thian Ho Kiong di Makassar yang didirikan pada tahun 1688, Kelenteng Ban Hing Kiong di Manado didirikan pada tahun 1819 , beserta rumah abu Kong Tik Su didirikan pada tahun 1839. 55 Pada tahun 1729 di Jakarta telah berdiri Shu Yuan, semacam Sekolah yang memberikan pendidikan tentang Ru Jiao. Nama sekolahnya bernama Ming Chen Shu Yuan yang artinya Taman Kitab. Pada tahun 1886 di Jakarta diterbitkan Kitab Hikayat Konghucu yang disusun oleh Lie Kim Hok 1853-1912. Pada tahun 1900 di Sukabumi diterbitkan Kitab Dan Xue, dan Zhong yang diterjemahkan oleh Tan Ging Ting. Kemudian di Solo pada tahun 1918, umat Ru mendirikan Kong Jiao Hui Majelis Agama Konghucu, demikian juga di Bandung, Semarang, Ujung Pandang, Malang, dll. Pada tahun 1923 diselenggarakan Kongres di Jogjakarta dan dibentuk Kong Jiao Tjong Hui Majelis pusat agama Konghucu. 56 Pada tahun 1940 di Surabaya juga diselenggarakan konferensi Kong Jiao Hui.pada tahun 1954 di Solo diselenggarakan Konferensi antar Tokoh-tokoh Agama Konghucu selanjutnya pada tanggal 15-16 April 1955 diselenggarakan Konferensi di 55 Wawancara dengan Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia Matakin Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan. 56 Wawancara dengan Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia Matakin Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan. Solo dalam Konferensi ini terbentuklah lembaga tertinggi Agama Konghucu di Indonesia atau Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia MATAKIN. 57 Menteri Dalam Negeri RI, dalam suratnya tertanggal 24 Febuari 2006 No. 470336sj perihal pelayanan Administrasi Kependudukan penganut Agama Konghucu, di dalam surat ini disebutkan antara lain: a. Masih berlakunya Undang-Undang Nomor 1PNPS1965, Khususnya dalam penjelasan agama-agama yang dpeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam,Kristen, Katholik, Buddha, Hindu dan Konghucu. b. Selanjutnya berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat 1 yang mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masmg-masing agamanya dan kepercayaannya. dalam hal ini Departemen Agama memperlakukan perkawinan para penganut agama Konghucu yang dipimpin oleh pendeta Konghucu adalah sah. c. Pelayanan admmistrasi kependudukan dapat mencatumkan istilah Agama Konghucu dalam KTP dan dokumen administrasi kependudukan lainnya. 58 Proses perkawinan secara agama Konghucu, umat yang bersangkutan wajib di Ligwan menjadi penganut Konghucu dengan prosesi doa, kemudian kedua mempelai menyatakan hendak menyelenggarakan pernikahan secara agama Konghucu, 57 Wawancara dengan Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia Matakin Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan. 58 Wawancara dengan Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia Matakin Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan. selanjutnya rohaniawan Konghucu akan melayani umatnya dengan memimpm upacara sembhayang pernikahan tersebut dihadapan saksi-saksi. 59 Kemudian dengan diterbitnya peraturan Menteri Pendidikan RI Nomor 47 dan 48 tentang Mata Pelajaran Agama Konghucu, sehingga ajaran tersebut sudah boleh dilaksanakan oleh guru-guru agama Konghucu disekolah sekolah Nasional maupun Swasta. Tempat ibadah agama Konghucu terdiri dari Lithang, Kelenteng dan Bio Miao bk Tik Tjeng Sin Sin BengShen MingRoh SuciMalaikat sesuai dengan apa yang dipaparkan dalam kitab Lixi. 60 Aliran dalam agama Ru JiaoKonghucu pada dasarnya terbagi dua yaitu Li Xue dengan Tokoh utamanya Zhu Xi dan Sin Xue dengan tokoh utamanya Wang Yang Ming . Di Indonesia umat Konghucu terdiri dari dua kelompok besar, yaitu umat yang belajar kitab dan mengikuti tata agama serta umat tradisional yang mendapat pengajaran berdasarkan tradisi turun temurun dalam bentuk cerita dan persembhayang. Secara prodik umat Konghucu melakukan ibadah pada tanggal 1 dan 15 Imlek atau juga bisa di malam hari sebelum tanggal 1 dan 15 Imlek di tempat ibadah, biasanya dilakukan dengan bersembahyang kepada Ti KongTian dengan menghadap ke langit lalu dilanjutkan dengan sembhayang kepada Shen MingSin BengKonco Leluhur. Ibah di rumah didahulu dengan sembhayang kepada Ti Kong 59 Wawancara dengan Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia Matakin Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan. 60 Wawancara dengan Bapak Rudi, SE., Sekretaris Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia Matakin Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan. Tian KungTian lalu dilanjutkan dengan sembhayang kepada leluhur konco di meja abuhio lo, di beberapa daerah juga dilakukan kebaktian pada hari Minggu. 61 2. Problematika Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang beragama Konghucu dalam Pencatatan Perkawinan Keberadaan agama Konghucu adalah sebagai agama ini telah menjadi bahasan bagi umat agama Konghucu yang ada di Indonesia. Pembahasan atas bantahan kebenarannya disini adalah Surat Kepala Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan kepada Menteri Agama RI Nomor: BDBA.01.24532002 tentang Kajian Konghucu. Oleh karena itu untuk lebih jelasnya problematika pengakuan agama Konghucu tersebut dapat dilihat dari isi Surat Kepala Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan kepada Menteri Agama RI Nomor: BDBA.01.24532002 tentang Kajian Konghucu antara lain: a. Undang-Undang Nomor 1PNPS1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan DanAtau Penodaan Agama Dalam laporan penelitian studi tentang Aplikasi Undang-Undang Nomor 1PNPS1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan DanAtau Penodaan Agama, dan Penjelasannya, antara lain dinyatakan bahwa masih belum jelasnya status Konghucu disebabkan masih simpang siurnya penafsiran terhadap undang-undang tersebut, khususnya pada Penjelasan Pasal 1 yang berbunyi: Agama yang dipeluk oleh Penduduk Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu Confusius ini alinea l. Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah 61 Wawancara dengan Bapak Rudi, SE., Sekretaris Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia Matakin Medan, tanggal 22 Nopember 2009, di Medan. perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam agama ini adalah agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia, maka mereka mendapat jaminan seperti yang dinyatakan oleh Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 mereka juga mendapat bantuan dan perlindungan, ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, seperti: Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Thaoisme dilarang di Indonesia. Mereka juga memperoleh jaminan Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak mengganggu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lainnya ini alinea 3. Bagi umat Konghucu, undang-undang tersebut dijadikan sebagai dasar yuridis formal bahwa Konghucu diakui Negara sebagai agama. Sedangkan bagi pemerintah, Undang-Undang Nomor 1PNPS1965 tersebut bukan merupakan pengakuan Negara terhadap eksistensi sesuatu agama, tetapi merupakan peraturan mengenai tindak pidana terhadap penyalahgunaan danatau penodaan agama. Bagi umat Konghucu, undang-undang tersebut dijadikan sebagai dasar yuridis formal bahwa Konghucu diakui Negara sebagai agama. Karena pada jaman dahulu di sebuah negeri ada peraturan bahwa orang yang melintas perbatasan dengan menunggang kuda akan dikenai biaya masuk. Lalu ada seorang yang bernama Kongsun Lung karena tidak mau membayar biaya masuk lalu berdebat dengan penjaga perbatasan dan mengatakan bahwa “saya naik kuda putih dan kuda putih bukanlah kuda“. Kini di Indonesia, telah dilakukan sebuah penelitian oleh Ketua Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan yang mengembangkan dalil “Agama yang dipeluk tapi bukan agama“ ini pasti teori filosofis yang rumit sekali dan setara dengan dalil ”kuda putih bukan kuda”. 62 Undang-Undang Nomor 1PNPS1965 telah menyatakan agama yang dipeluk oleh Penduduk Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu Confusius, berarti Konghucu adalah salah satu agama yang dipeluk penduduk Indonesia. Kemudian pada alinea ke 2 disebutkan bahwa karena 6 macam agama ini adalah agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia. Ini lebih jelas lagi bahwa disebutkan ada 6 macam agama. Sanggahan kedua, dalam isi Undang-Undang PPNS Nomor 1 Tahun l965, baik secara tersirat maupun tersurat jelas dikatakan bahwa Konghucu adalah agama yang dipeluk penduduk Indonesia. Agama itu bukan aliran kepercayaan dan lagi bukankah undang-undang ini juga suatu bentuk produk hukum yang sah yuridis formal. Jadi kalimat bagi umat Konghucu, undang-undang tersebut dijadikan sebagai dasar yuridis formal bahwa Konghucu diakui Negara sebagai agama. Umat agama Konghucu adalah konsistensi pemerintah dalam mengakui produk hukum yang mereka buat sendiri. Ini demi terjaminnya kepastian hukum karena negara Indonesia adalah negara hukum Balitbang menyebutkan: Sedangkan bagi pemerintah, Undang-Undang Nomor 1PNPS1965 tersebut bukan merupakan pengakuan Negara terhadap 62 Henry Irawan, Op. Cit., hal. 2 eksistensi sesuatu agama, tetapi merupakan peraturan mengenai tindak pidana terhadap penyalahgunaan danatau penodaan agama. Sehingga ada kesan Pemerintah plin-plan seperti halnya Ketua Balitbang Depag yang mengeluarkan dalil ‘Agama yang dipeluk tapi bukan agama”. 63 Undang-Undang Nomor 1PNPS1965 dalam produk jaman Presiden Ir. Soekarno dan beliau diganti, tidak ada penyangkalan terhadap eksistensi agama Konghucu. Kalimat Undang-Undang Nomor 1PNPS1965 tersebut bukan merupakan pengakuan Negara terhadap eksistensi sesuatu agama. Padahal yang membuat adalah Pemerintah RI, bukan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia MATAKIN, atau badan-badan lain bisa menghasilkan produk hukum dengan mengatasnamakan Undang-Undang PNPS. Jadi jelas bahwa undang-undang ini adalah produk pemerintah dan disana disebutkan bahwa agama yang dipeluk oleh Penduduk Indonesia ialah... Konghucu”, dipertegas denqan kalimat ”hal ini dapat dibuktikan.... Kalimat-kalimat ini mengakui eksistensi keberadaan dari agama Konghucu di Indonesia sehingga bisa dipeluk oleh penduduknya. Jika agama ini tidak eksis berarti tidak mungkin ada yang memeluknya. Bantahan dari umat Konghucu termasuk dari MATAKIN juga merupakan bukti nyata bahwa agama Konghucu dan pemeluknya itu memang ada eksis. Sehingga sangat tidak beralasan kalau Balitbang Depag mengingkari keberadaan Konghucu adalah agama. 63 Ibid., hal. 2. b. Presiden RI dalam Sidang Kabinet tanggal 27 Januari 1979 Presiden Republik Indonesia dalam sidang kabinet tanggal 27 Januari 1979 mengintruksikan: 1 Aliran Konghucu bukanlah agama 2 Aliran Konghucu dapat terus dipeluk oleh penganutnya apabila tidak bertentangan dengan Pancasila dan tidak bertentangan dengan usaha-usaha Pemerintah dalam mempersatukan bangsa. Ketentuan Instruksi Presiden di atas telah bertentangan dengan Undang- Undang Nomor 1PNPS1965. c. Keputusan Presiden Nomor: 6 Tahun 2000 tentanq Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tanun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Lahirnya Keputusan Presiden ini menimbulkan pandangan dan pendapat khususnya warga keturunan Tionghoa melalui MATAKIN bahwa dengan lahirnya Keputusan Presiden tersebut, Konghucu diakui sebagai agama dan berdasarkan Undang-Undang Hak Azasi Manusia, mereka menuntut pengembalian hak-hak sipil umat Konghucu yaitu: 1 Pelaksanaan perkawinan secara Konghucu 2 Pencantuman agama Konghucu pada kolom agama di KTP 3 Pemberian pelajaran agama Konghucu di sekolah-sekolah bagi murid-murid yang beragama Konghucu. 4 Menuntut suatu unit kerja di lingkungan Departemen Agama. Bagi pemerintah, lahirnya Keputusan Presiden tersebut tidak dapat dijadikan pedoman atau dasar yuridis formal bahwa Konghucu diakui sebagai agama, sebab Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, yang dicabut tersebut sedikitpun tidak menyinggung keberadaan Konghucu sebagai agama, tetapi isi atau substansi Instruksi Presiden tersebut menyatakan bahwa, perayaanpesta agama dan adat istiadat Tionghoa untuk tidak dilakukan menyolok di depan umum. Dengan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, maka perayaanpesta agama dan adat istiadat Tionghoa sudah tidak ada pembatasan lagi dalam arti bisa dilakukan secara terbuka. Demikian pula penetapan Imlek sebagai Hari Libur Nasional bukan berarti pengakuan Konghuchu sebagai agama, karena penetapan suatu hari libur tidak selalu berhubungan dengan hari besar keagamaan. Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, memang tidak menyinggung keberadaan Konghucu sebagai agama. Kemudian adanya tuntutan umat agama Konghucu pencantuman Agama Konghucu dalam KTP karena Undang-Undang PPNS Nomor 1 Tahun l965 tidak pernah dicabut, artinya undang-undang itu tetap berlaku. Bantahan sebelumnya yang diuraikan di atas secara logika mementahkan semua kesimpulan Balitbang Depag yang menyebutkan Konghucu bukan agama kecuali Balitbang mengeluarkan bantahan baru atau tetap bersikeras mematerikan dalil agama yang dipeluk bukan agama. Jadi selama Undang- Undang Nomor Nomor 1PNPS1965 belum dicabut, maka agama Konghucu sebagai salah satu dari 6 agama yang eksistensinya di Indonesia diakui dalam undang-undang tersebut, berhak untuk mendapatkan pelayanan yang sama dengan 5 agama yang lain sesuai Undang-Undang Dasar l945. 64 Perbedaan penafsiran Keputusan Presiden ini telah diduga sebelumnya, sehingga Departemen Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor SJB.VIIHN.002202000 tanggal 24 Januari 2000 yang isinya menyatakan bahwa lahirnya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 jangan sampai dipersepsikan atau dianggap sebagai pengakuan pemerintah terhadap agama Konghucu. Surat Edaran Nomor SJB.VIIJ-IM.002202000 tanggal 24 Januari 2000 yang isinya menyatakan bahwa lahirnya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 jangan sampai dipersepsikan atau dianggap sebagai pengakuan pemerintah terhadap agama Konghucu. Ini benar karena pengakuan Konghucu sebagai agama tidak berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, melainkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1PNPS1965 dan undang-undang ini tidak pernah dicabut. Terlihat dari uraian di atas, masih terdapat perbedaan penafsiran peraturan perundangan yang berkaitan dengan Konghucu, sehingga diperlukan sikap tegas pemerintah mengenai hal ini misalnya dengan menindaklanjuti Perintah Presiden dalam Sidang Kabinet tanggal 27 Januani 1979 yang menyatakan aliran Konghucu 64 Ibid., hal. 3 bukanlah agama, dan aliran Konghucu dapat terus dipeluk oleh penganutnya apabila tidak bertentangan dengan Pancasila dan tidak bertentangan dengan usaha-usaha Pemerintah dalam mempersatukan bangsa.Sehingga Perintah Perintah dalam Sidang Kabinet tanggal 27 Januari 1979 tersebut telah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1PNPS1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan DanAtau Penodaan Agama, yang telah secara tegas mencatumkan adanya 6 agama, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Di samping itu untuk bidang pendidikan atau mata pelajaran di sekolah, maka Departemen Pendidikan Nasional mengakui keberadaan agama Konghucu dengan Surat Edaran Nomor 52883A5.1HK2008 tanggal 5 September 2008 tentang Penyampaian Salinan Praturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 48 Tahun 2008, yang ditujukan kepada Ketua Komisi X DPR RI, dan instansi terkait dengan pendidikan, menyatakan dengan telah ditetapkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 48 Tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran Agama Konghucu, dengan hormat bersama ini kami sampaikan salinan peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersebut, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Jadi telah ada pengakuan dari Pemerintah dalam bidang pendidikan untuk dimasukkan mata pelajaran agama Khonghuzu sebagai kurikulum di sekolah.

BAB III AKIBAT HUKUM PERKAWINAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA

KETURUNAN TIONGHOA YANG TIDAK DICATATKAN A. Pencatatan Perkawinan Sebagai Syarat Sah Perkawinan Undang-Undang Perkawinan secara eksplisit melalui Pasal 2 ayat 1 menentukan: perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan yang sudah jelas ini bahkan diperjelas oleh ketentuan di dalam Penjelasan yang bunyinya, dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kecercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945; yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Kemudian Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan menentukan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku, namun di dalam penjelasan tidak dijelaskan lebih lanjut tentang perdaftaran ini. Selanjutnya setahun kemudian yaitu pada tahun 1975, diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Perkawinan tersebut. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, menentukan tentang lembaga Pencatatan Perkawinan yang berbeda bagi yang beragama Islam dan non- Islam, yaitu bagi yang beragama Islam pencatatan perkawinannya dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama. Sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Percatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai percatatan perkawinan. Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ini, menentukan, dengan adanya ketentuan tersebut dalam Pasal ini, maka pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk dan Kantor Catatan Sipil atau InstansiPejabat yang membantunya. Jadi kedua lembaga itu, berfungsi hanya mencatatkan perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah. Harus diakui ketentuan yang mengatur tentang sah dan pencatatan perkawinan kurang jelas, sehingga dalam praktik seringkali menimbulkan berbagai interpretasi, yang menyebabkan kepastian hukum menjadi taruhannya. Terdapat beberapa masalah tentang penentuan sahnya perkawinan yang membawa implikasi pada pencatatannya, yaitu tentang kapan waktu sahnya perkawinan itu diakui. Apakah waktu perkawinan itu dilangsungkan secara sah menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu? Ataukah pada waktu pencatatan? Masalah ini tentunya tidak ada, apabila waktu pelangsungan perkawinan dan waktu pencatatan perkawinan dilakukan pada hari yang sama. Menjadi masalah apabila terdapat perbedaan waktu antara pelangsungan perkawinan yang dilakukan dengan tatacara masing-masing hukum agamanya dan kepercataannya itu, dengan waktu pencatatan perkawinan. 65 Mereka yang melangsungkan perkawinan menurut tatacara Agama Islam, hampir semuanya dilakukan oleh Kadi yang juga Pegawai dari Kantor Urusan Agama 65 Wila Chandrawila, “Syarat Sah dan Pencatatan Perkawinan”, http:mail- archive.comkeluarga_sejahterayahoogroups.cominfo.html., hal. 2. KUA, yang kemudian akan mencatatkan perkawinan yang dilangsungkannya di Buku Daftar Pencatatan Perkawinan dan selanjutnya dikeluarkanlah buku nikah dan tercantum hari, tanggal dan tahun waktu perkawinan dilangsungkan, dalam arti tidak ada perbedaan antara waktu pelangsungan perkawinan dan waktu pencatatan. Namun, bagi mereka yang bukan pemeluk Agama Islam, tentunya dapat saja terjadi perbedaan waktu antara pelangsungan perkawinan dan pecatatan perkawinan, karena dilakukan oleh dua lembaga yang berbeda, meskipun banyak yang dilakukan berbarengan, tetapi tidak kurang banyaknya yang dilakukan pada waktu yang berbeda. Justru karena dilakukan di dua lembaga yang berbeda, cenderung terdapat perbedaan waktu antara pelangsungan perkawinan di lembaga agama dan kepercayaan dengan lembaga pencatatan perkawinan. Apabila perbedaan waktu antara pelangsungan dan pencatatan hanya beberapa hari saja, tentunya pun tidak menimbulkan perbedaan yang besar, namun apabila perbedaannya sangat besar, bahkan ada yang bertahun-tahun, maka akan menimbulkan masalah. Terhadap anak-anak yang lahir dari pasangan yang telah melangsungkan perkawinan secara sah menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu tetapi belum dicatatkan, tidak menjadi masalah, sebab begitu bapak dan ibu dari anak-anak itu mencatatkan perkawinan, maka anak-anak yang dilahirkan menjadi anak yang disahkan dan mempunyai kedudukan yang sama dengan anak sah. Akan timbul masalah apabila di dalam perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah itu tetapi belum dicatatkan, telah terbentuk harta bersama, ketentuan dari Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan menentukan: harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Kalau perkawinan itu diakui sah pada waktu pencatatan, maka perkawinan yang belum dicatat itu dianggap tidak sah secara hukum. Tetapi Pasal 2 ayat 1, menentukan sahnya perkawinan pada waktu dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu. 66 Ketentuan ini membawa implikasi bahwa sahnya perkawinan pada waktu dilangsungkan menurut tatacara masing-masing hukum agama dan kepercayaannya itu. Memang Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan menentukan: tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertanyaannya apa fungsi dari pencatatan perkawinan? Kalau ditelusuri Penjelasan Umum dari Undang-Undang Perkawinan, yaitu poin 4 b ayat 2, ditentukan: Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa- peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. 67 Menafsirkan ketentuan di atas, maka perkawinan adalah suatu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang seperti kelahiran dan kematian, dalam arti waktu perkawinan yang sah itulah waktu yang penting untuk dicatatkan, bukan waktu kapan dicatatkan itu menjadi penting untuk diakui sebagai waktu dilangsungkannya perkawinan, sebab waktu pencatatan adalah hanya bersifat adminstratif. Penafsiran di atas adalah analog dengan pencatatan kelahiran dan kematian, bukan waktu pencatatan kelahiran dan kematian yang dipakai sebagai waktu 66 Ibid., hal. 3. 67 Ibid., hal. 3. terjadinya kelahiran dan kematian, tetapi waktu kapan dilahirkan dan kapan waktu kematian berlangsung, yang dipakai sebagai waktu lahir dan waktu mati. Jadi berdasarkan dengan persamaan dengan kelahiran dan kematian, demikian pula dengan perkawinan, kapan waktu sahnya perkawinan dilangsungkan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itulah yang harus diakui sebagai waktu kawin, bukan kapan waktu perkawinan yang sah itu dicatatkan. 68 Selanjutnya bagaimana Pencatatan Perkawinan yang dicatatkan di Kantor Catatan Sipil? Merujuk pada Kutipan Akta Perkawinan yang dikeluarkan oleh Badan Kependudukan dan Kantor Catatan Sipil dh Kantor Catatan Sipil Kota Bandung tertulis: Dari daftar perkawinan LN. di Bandung ternyata bahwa di Bandung pada tanggal 22 September 1999 telah dilangsungkan perkawinan antara X dan Y, Pemberkatan Perkawinan dari Gereja Z Bandung tanggal 30 Mei 1999. Apa arti dari isi cuplikan di atas? Perkawinan dilangsungkan di Kantor Pencatat Perkawinan pada tanggal 22 September 1999. Jelas Akta Perkawinan ini, merujuk pada peraturan lama di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah dinyatakan tidak berlaku lagi, yakni kewenangan Kantor Catatan Sipil cq Pegawai Kantor Catatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan. Letak kerancuannya ada pada Badan Kependudukan dan Kantor Catatan Sipil, yang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mempunyai wewenang untuk melangsungkan perkawinan, tetapi hanya mencatatkan perkawinan yang telah dilakukan secara sah menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya 68 Ibid., hal. 3 itu. Seharusnya di dalam Akta Perkawinan, dituliskan: Dari daftar perkawinan LN. di Bandung ternyata bahwa di Bandung pada tanggal 30 Mei 1999 telah dilangsungkan perkawinan antara X dan Y, Pemberkatan Perkawinan dari Gereja Z Bandung tanggal 30 Mei 1999. 69 Dalam arti, hanya terdapat 1 buah tanggal, bulan dan tahun 30 Mei 1999, bukan 2 buah tanggal, bulan dan tahun 30 Mei 1999 dan 22 September 1999, yaitu tanggal, bulan dan tahun pemberkatan 30 Mei 1999. Hari, tanggal dan tahun pencatatan bukanlah hari, tanggal dan tahun sahnya perkawinan. Sebaiknya Departemen Dalam Negeri cq Badan Kependudukan dan Kantor Catatan Sipil mau belajar dari kerancuan ini dan kembali kepada fungsinya semula yaitu hanya mencatatkan perkawinan, dan tidak merujuk kepada peraturan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yaitu mempunyai kewenangan untuk melangsungkan perkawinan. Sekali lagi ditekankan di sini, Badan Kependudukan dan Kantor Catatan Sipil menurut Undang-Undang Perkawinan tidak mempunyai kewenangan untuk melangsungkan perkawinan, yang mempunyai kewenangan untuk melangsungkan perkawinan adalah lembaga agamanya dan kepercayaannya itu, kewenangan Badan Kependudukan dan Kantor Catatan Sipil hanya mencatatkan perkawinan yang telah dilakukan secara masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Perubahan harus dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri selekasnya, sebab mempunyai arti yang sangat penting, selain akan sangat membantu terbentuknya kepastian hukum dan pada gilirannya akan mengurangi terjadinya perselisihan di 69 Ibid., hal. 4. dalam masyarakat, sehingga supremasi hukum yang dicita-citakan menjadi kenyataan, juga bukan hanya masyarakat yang dibuat bingung, birokrat dan penegak hukum pun dibuat menjadi bingung. Karena dalam hal pencatatan perkawinan, tidak ada formulir yang diubah, yang perlu dilakukan pengetikan tanggal, bulan dan tahun konsisten hanya 1 buah tanggal yaitu tanggal pelangsungan perkawinan, tidak dua buah tanggal.

B. Tanggung Jawab Suami Isteri dalam Perkawinan Tionghoa

Suami dan isteri selain bertanggung jawab atas hubungan hukum di antaranya, maka sebagai orangtua juga mempunyai tanggung jawab dalam merawat membesarkan, mendidik dan mencukupi segala kebutuhan dari anak-anaknya, baik dari segi materil maupun moril. Demikian juga halnya dengan tanggung jawab orangtua terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan. Secara umum, mengenai tanggung jawab orangtua ini sama dengan tanggung jawab orangtua sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Perkawinan. Yang membedakan antara perkawinan yang dicatatkan dengan yang tidak dicatatkan dalam hal tanggung jawab orangtua terhadap anak-anak adalah bahwa dalam perkawinan yang dicatatkan, segala sesuatunya diatur secara tertutis dalam Undang-Undang Perkawinan, sedangkan dalam perkawinan yang tidak dicatatkan, tidak diatur secara tertulis dalam suatu bentuk peraturan yang baku. Dalam hal tanggung jawab orangtua yang diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan dilanggar atau tidak dipenuhi, maka tentu saja akan menimbulkan sanksi hukum terhadap orangtua yang melanggar atau tidak memenuhinya, baik itu berupa sanksi pidana maupun sanksi perdata dengan dicabutnya sebahagian maupun keseluruhan hak kekuasaan orangtua karena dipandang tidak mampu untuk merawat anak-anaknya melalui keputusan pengadilan dan untuk melindungi serta menjamin kepentingan atas hak anak-anak tersebut, maka anak-anak tersebut diletakkan di bawah perwalian, yang biasanya ditunjuk anggota keluarga terdekat dari anak-anak tersebut. Sedangkan dalam suatu perkawinan yang tidak dicatatkan, karena tanggung jawab orangtua tidak ada diatur secara tertulis, maka sebagai akibat yang timbul dalam hal lalainya pelaksanaan tanggung jawab orangtua terhadap anak-anaknya adalah sanksi sosial yang berupa cercaan, hinaan serta dipandang rendah dari keluarga, kerabat keluarga, maupun dari masyarakat sekitarnya, yang mana sanksi sosial kadang-kadang lebih kejam daripada sanksi hukum. Tanggung jawab orangtua terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan, pada dasarnya dalam praktek sama dengan yang diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan. Pelaksanaan tanggung jawab orangtua baik yang tidak dicatatkan maupun yang dicatatkan tergantung kepada pribadi dan moral masing- masing orangtua dan bukan tergantung kepada peraturan tertulis yang mengatur tanggung jawab itu. Dengan kata lain, pertanggungjawaban moral dari orangtua yang memegang peranan paling penting. Kalau memang pada dasarnya moral orangtua kurang baik, maka tanggung jawab sebagai orangtua tidak dapat dilaksanakan dengan baik walaupun telah diatur dengan berbagai peraturan hukum yang tertulis. Demikian juga sebaliknya, apabila moral orangtua baik, walaupun tidak ada peraturan tertulis yang mengatur, maka tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban sebagai orangtua akan mampu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Setiap orangtua pada dasarnya menghendaki anak-anaknya hidup serba berkecukupan dan layak, baik dari segi materil maupun moril. Orangtua rela bekerja keras demi untuk menghidupi dan membahagiakan keluarga. Orangtua pasti berkehendaki agar kelak kehidupan anak-anaknya lebih baik dari kehidupan mereka sekarang. Orangtua pasti akan bangga melihat anak-anaknya dapat menjadi orang yang berguna dan sukses di kemudian hari. Demikian juga halnya dengan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Masyarakat etnis Tionghoa dikenal sebagai pekerja keras. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan ekonomi keluarga serta meningkatkan taraf hidup keluarganya. Oleh karena itu, masyarakat etnis Tionghoa yang telah berkeluarga harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk keluarga dan anak-anak mereka. Mereka akan berusaha dengan kerja semaksimal mungkin demi kemajuan anak-anak di kemudian hari. Mereka beranggapan bahwa kehidupan anak-anak harus jauh lebih baik dari mereka di kemudian hari. Sukses atau tidaknya kehidupan anak-anak merupakan tanggung jawab mereka. Masyarakat etnis Tionghoa akan berusaha agar kelak ada yang dapat diwariskan untuk anak-anak pada saat mereka meninggal dunia kelak, sehingga pada saat itu, anak-anaknya tidak akan mengalami kesulitan dari segi ekonomi. Warisan yang paling umum adalah usaha di bidang ekonomi, yang diharapkan usaha ini dapat dilanjutkan oleh anak-anak mereka. Jadi, yang menjadi kebanggaan masyarakat etnis Tionghoa, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat adalah keberhasilan mereka dalam membesarkan dan mendidik anak-anak mereka menjadi orang-orang yang berhasil dengan kemampuan dan usaha mereka sendiri. Tanggung jawab orangtua sudah dimulai pada saat seorang anak masih di dalam kandungan ibunya. Orangtua wajib untuk merawat dan menjaga bayi yang masih berada di dalam kandungan ibunya dengan sebaik-baiknya, termasuk orangtua wajib untuk menjaga kesehatan dan gizi dari anak di dalam kandungan sampai dengan saat anak tersebut dilahirkan dengan selamat. Tanggung jawab orangtua setelah anak lahir adalah dengan merawat, mengasuh, membesarkan, memberi pendidikan yang cukup serta memberi kehidupan yang layak kepada anak-anaknya. Hal ini berarti setiap orangtua berkewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan sandang, pangan, papan dan pendidikan anak-anaknya, baik pendidikan formil maupun moril. Pada umumnya, tanggung jawab paling utama dari orangtua dalam membesarkan anak-anak adalah membentuk karakter anak-anak, serta mengajarkan mereka adat, pantangan serta larangan dari tradisi masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri. Tanggung jawab orangtua ini dipikul bersama antara seorang ayah dan seorang ibu, karena berhasil atau tidaknya orangtua mendidik anak-anaknya menjadi tanggung jawab orangtua. Biasanya hubungan antara seorang ayah dengan seorang anak dalam keluarga masyarakat etnis Tionghoa tidak sedekat hubungan antara seorang ibu dengan anaknya. Anak-anak yang nakal akan dihukum dan dipukul apabila kurang ajar dengan orangtua. Memukul anak-anak disifatkan sebagai bahagian daripada kasih sayang sorang ayah yang bertujuan untuk membentuk pribadi murni anak. Seorang ibu berperan sebagai ibu rumah tangga. Seorang ibu lebih cendrung menjadi tempat anak untuk mencurahkan perasaan mereka. Seorang ibu mempunyai kewajiban untuk mengajarkan sopan-santun, adat, pantangan serta larangan kepada anak perempuannya supaya tidak luput dari kodratnya sebagai seorang wanita kelak. Anak perempuan diajarkan mengurus rumah tangga sebagai persiapan untuk berumah tangga kelak. Anak perempuan mendapat perhatian istimewa dari seorang ibu dan tidak dibenarkan untuk keluar rumah sesuka hati. Anak laki-laki mempunyai kebebasan yang Iebih. Seorang ayah memberikan perhatian lebih kepada anak laki- laki karena mereka bakal mewarisi nama keluarga atau marga dan harta pusaka keluarga. Orangtua pada masyarakat etnis Tionghoa mempunyai pandangan yang agak kolot dalam hal penjagaan anak. Semenjak bayi, anak-anak dijaga dengan baik dan diikuti berbagai adat, pantangan serta larangan. Anak bayl perlu dijaga supaya tidak sering terkejut karena dikhawatirkan akan berpengaruh kepada mental dan pertumbuhan si anak. Apabila anak sudah mulai agak besar, diajarkan adat, seperti sopan santun di meja makan, cara bertutur memanggil anggota keluarga yang lebih tua untuk makan. Setelah selesai makan, anak-anak juga diajarkan meminta izin kepada semua orang. Sewaktu makan, anak-anak tidak dibenarkan berbicara karena nasi yang mungkin terhambur keluar dan mengotori lauk-pauk. Anak-anak dilarang menggoyangkan kaki semasa duduk. Perbuatan ini tidak baik dilakukan karena dianggap dapat membuang rejeki atau mensia-siakan rejeki yang ada. Sebelum keluar rumah, anak-anak diwajibkan untuk permisi kepada orangtuanya. Begitu juga sebaliknya apabila pulang ke rumah, semua anggota keluarga perlu ditegur dengan sopan, agar diketahui bahwa mereka telah berada di rumah. Adat yang tidak membenarkan anak perempuan bergaul dengan anak laki-laki masih berlaku sampai saat ini. Terlebih lagi apabila anak perempuan mulai meningkat remaja. Anak-anak diberi pengawasan yang ketat oleh orangtua untuk memastikan nilai-nilai hidup yang baik bisa dipraktekkan apabila telah dewasa kelak. Keluarga akan mendapat malu apabila anak menyela semasa orangtua berbicara. Keluarga akan dianggap tidak tahu mengajar anak, kurang ajar dan tidak sopan. Tradisi penjagaan anak-anak yang ketat melahirkan penghormatan dan ketaatan kepada orangtua. Beban dan tanggung jawab untuk memenuhi segala kebutuhan sandang, pangan, papan dan pendidikan untuk keluarga sepenuhnya dipikul oleh seorang ayah. Sebagai seorang kepala rumah tangga, seorang ayah bertanggung jawab penuh untuk mencari nafkah menghidupi keluarganya. Namun kadangkala, demi meningkatkan taraf hidup keluarga, seorang isteri juga turut bekerja dan ikut membantu menafkahi keluarga. Seorang ibu bertanggung jawab untuk mengatur. rumah tangga dengan sebaik-baiknya, termasuk juga dalam mendidik anak-anaknya, karena pada umumnya, seorang ibu lebih banyak mempunyai waktu bersama dengan anak- anaknya. Pada dasarnya, beban dan tanggung jawab orangtua terhadap anak-anaknya menjadi tanggung jawab ayah dan ibu secara bersama, karena apabila gagal, maka kedua orangtua akan menanggung aib secara bersama pula. Selain pendidikan moral, orangtua juga bertanggung jawab untuk menyekolahkan anak-anak. Biasanya orangtua akan menyekolahkan anak-anak mereka sesuai dengan keinginan anak-anak mereka berdasarkan kemampuan mereka. Terkadang malah mereka rela untuk membanting tulang siang malam dan makan seadanya demi pendidikan anak-anak mereka, harapan kehidupan anak-anak mereka kelak akan lebih baik dari mereka. Untuk anak-anak yang masih di bawah umur dan belum melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orangtua mereka, selama orangtua mereka cakap bertindak secara hukum dan tidak dalam pengampuan curatele. Tanggung jawab orangtua terhadap kebutuhan anak-anaknya adalah dari mereka lahir sampal dengan mereka dewasa dan pada akhirnya menikah dan mempunyai keluarga sendiri. Selama anak-anak dipandang belum mampu untuk berdiri sendiri, orangtua merasa tetap bertanggung jawab agar anaknya bisa mandiri. Orangtua tetap membantu secara materil maupun moril untuk anak-anak mereka selama mereka memandang anak- anak belum mampu dan mereka mempunyai kemampuan untuk itu, baik dari segi materil maupun moril. Akibat yang timbul dari orangtua yang tidak mampu untuk mengurus, mengasuh, menafkahi dan membesarkan anak-anaknya, maka pengurusan dan kekuasaan anak tersebut akan jatuh ke tangan keluarga dari orangtuanya, baik keluarga dari suami maupun keluarga isteri yang merasa mampu dan bersedia untuk menerima tanggung jawab tersebut. Hal ini biasanya dilaksanakan berdasarkan hasil musyawarah antara orangtua dengan keluarga mereka, baik dari keluarga suami maupun keluarga isteri. Namun kekuasaan sebagai orangtua tidak dicabut secara hukum dan mereka tetap menjadi orangtua dari anak-anak mereka. Artinya secara kewarisan anak tersebut tetap sebagai ahli waris dari orangtua kandungnya karena dalam hal ini tidak terjadi pengangkatan anak adopsi. 70 Setiap orangtua menghendaki pada saat mereka meninggal dunia kelak, maka ada harta yang dapat mereka wariskan kepada anak-anaknya, sehingga anak-anak mereka kelak dapat meneruskan usahanya maupun mempunyai modal untuk membuka usahanya dan dapat meningkatkan taraf hidup mereka kearah yang lebih baik lagi. Berhasil atau tidaknya anak-anak mereka kelak sudah sepenuhnya tergantung kepada diri mereka sendiri.

C. Akibat Hukum Perkawinan Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan

Tionghoa Yang Tidak Dicatatkan Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, suatu perkawinan yang telah dilangsungkan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing harus dicatatkan ke Kantor Catatan Sipil bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa yang beragama selain agama Islam. Dengan tidak dilakukannya pencatatan perkawinan memberikan 70 Bagi etnis Tionghoa tunduk pada Staatsblad 1917 No.129 yang menyatakan anak angkat akan putus hubungan kewarisan kepada orang tua kandungnya, dan terjadi hubungan kewarisan dengan orang tua angkatnya, sehingga anak angkat menjadi ahli waris orang tua angkatnya, dengan pembatasan anak angkat tersebut hanya menjadi ahli waris dari bagian yang tidak diwasiatkan. Hal ini berbeda dalam hukum Islam, dimana anak angkat sesuai Pasal 209 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam KHI tidak melepas nasab dari orang tua kandungnya, maka anak angkat dalam Islam tidak mewaris dari orang tua angkatnya dan sebaliknya, akan tetapi anak angkat mendapatkan wasiat wajibah yang tidak boleh lebih dari 13 bagian dari orang tua angkatnya. akibat hukum terhadap suami isteri dan anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan tersebut. Adapun akibat hukum tidak tercatatnya perkawinan dapat dijelaskan berikut ini:

1. Sahnya Perkawinan Suami Isteri itu harus ditentukan oleh Hakim