2. Pengertian dan Tujuan Perkawinan dalam Adat Tionghoa
Hukum adat Tionghoa merupakan kebiasaan adat-istiadat yang dilaksanakan oleh masyarakat Tionghoa secara turun temurun dan berulang-ulang dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Hukum adat Tionghoa tidak terkodifikasi sebagaimana peraturan- peraturan hukum yang ada di Indonesia, yang mana berarti hukum adat Tionghoa itu
tidak tertulis dan diundangkan, namun hanya hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Tionghoa itu sendiri. Bertahan atau tidaknya sebahagian
maupun keseluruhan dari kebiasaan dan adat-istiadat Tionghoa tergantung kepada masyarakat etnis Tionghoa itu apakah masih sesuai atau tidaknya suatu adat-istiadat
tersebut diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
K. Ginarti B mengemukakan, masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat patrilinial yang terdiri atas margaIsuku yang tidak terikat secara
geometris dan teritorial, yang selanjutnya telah menjadi satu dengan suku-suku lain di Indonesia. Mereka kebanyakan masih membawa dan mempercayai adat leluhurnya.
31
Sistem kekeluargaan yang dianut dalam hukum adat Tionghoa adalah sistem kekeluargaan patrilinial, yang menentukan garis keturunan dari pihak laki-laki yang
memegang peranan yang sangat penting dalam suatu keluarga. Dalam hal ini berarti, anak-anak laki-laki merupakan anak yang diistimewakan, bukan dalam hal
perlakuannya, tetapi memang dalam posisi dan kedudukan yang istimewa dalam keluarga, karena merupakan penerus marga atau nama keluarga. Sedangkan anak
31
K. Ginarti B, “Adat Pernikahan”, Majalah Jelajah Vol.3, Tahun 1999, tanggal 20 Desember 1999, hal 12.
perempuan kedudukannya lebih rendah dan dipandang bukan sebagai penerus marga atau nama keluarga. Anggapan ini timbul karena pada saat anak perempuan tersebut
dewasa dan pada akhirnya menikah, maka anak perempuan tersebut sudah keluar dari Iingkungan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga dari suaminya dan
anak-anak yang lahir kelak juga akan mengikuti dan meneruskan marga atau nama keluarga dari sang suami. Ini merupakan sistem kekeluargaan yang berlaku sampai
sekarang. Di dalam hukum adat Tionghoa tidak ada memberikan pengertian secara
gamblang mengenai defenisi dari perkawinan. Namun dalam adat Tionghoa itu sendiri perkawinan merupakan suatu sarana bagi seorang laki-laki dan seorang wanita
untuk hidup bersama dan mendapatkan keturunan yang pada akhirnya akan meneruskan marga dari si ayah. Jadi ada atau tidaknya anak laki-laki yang lahir dari
suatu perkawinan pada masyarakat etnis Tionghoa sangat menentukan sekali diteruskan atau tidaknya marga atau nama keluarga dan si ayah, karena hanya anak
laki-laki yang meneruskan marga atau nama keluarga dari ayahnya, sedangkan anak perempuan tidak dapat meneruskan marga atau nama keluarga dari ayahnya, karena
pada saat anak perempuan besar dan menikah kelak, maka anak perempuan akan masuk ke dalam Iingkungan dan menjadi anggota keluarga dari suaminya dan anak-
anak yang lahir akan meneruskan marga atau nama keluarga suaminya. Selanjutnya menurut K. Ginarti B:
Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan bersumber kepada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi
melindungi keluarga. Upacara pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam
di semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi menurut tempat diadakannya, yaitu disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut
dan pengaruh adat Iainnya pada masa lampau.
32
Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut hukum adat Tionghoa, perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita
untuk hidup bersama dalam membina rumah tangga dan mendapatkan keturunan untuk meneruskan nama keluarga atau marga dari ayahnya.
3. Syarat-syarat Perkawinan Menurut Hukum Adat Tionghoa