4. Prosedur Pelaksanaan Perkawinan
Pesta dan upacara pernikahan merupakan saat peralihan sepanjang kehidupan manusia yang sifatnya universal. OIeh karena itu, upacara perkawinan selalu ada
pada hampir setiap kebudayaan. Demikian pula halnya dengan adat pernikahan orang Tionghoa.
35
Perkawinan orang Tionghoa terpaksa melalui beberapa peringkat yang melibatkan enam proses. Adat Tionghoa meletakkan peraturan dimulai dengan
merisik, meminang, bertunang, menghantar tanda, memberikan mas kawin dan mengadakan kenduri makan.
36
Secara lebih mendetail, dalam hal melaksanakan perkawinan menurut adat- istiadat Tionghoa di Indonesia, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dari
tahap awal sampai dengan selesai, sehingga suatu perkawinan itu dipandang sah menurut adat-istiadat Tionghoa. Adapun prosedur-prosedur yang pada umumnya
dilaksanakan oleh masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia, khususnya di Kota Medan dalam melaksanakan suatu perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Tho Chin melamar
Rancangan mengatur upacara perkawinan perlu dibuat dengan teliti dan memerlukan waktu yang lama, termasuk melihat hari yang sesuai. Keluarga kedua
belah pihak dimaklumi niat untuk kawin oleh anak-anak mereka. Selepas persetujuan
35
K. Ginarti B, Op.Cit., hal.13.
36
Aan Wan Seng,, Op. Cit., hal. 31.
diperoleh, barulah diatur pertemuan di antara keluarga sebelah pihak wanita dengan keluarga pihak lelaki.
37
Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka Tho Chin ini dapat diartikan dengan melamar. “Selepas kedua-dua belah pihak berpuas hati dengan latar
belakang masing-masing, ibu bapa pengantin lelaki akan menghantar wakil untuk meminang. Wakil pihak lelaki dipilih dari kalangan emak saudaranya sendiri atau
saudara-mara tua yang terdekat. Wakil ini mesti seorang perempuan”.
38
Hal di atas merupakan tahap pelamaran, dimana setelah ada kecocokan dari calon mempelai pria dan wanita, maka orangtua dan atau pihak keluarga dari calon
mempelai pria akan mengutus seorang, biasanya seorang wanita, baik itu saudara atau sanak famili perempuan dari keluarga calon mempelai pria yang bertindak sebagai
perantara untuk mendatangi keluarga dari pihak calon mempelai perempuan untuk menyampaikan maksud dan tujuan untuk melamar anak perempuan mereka sebagai
menantu. Dalam tahap ini, keluarga calon mempelai pria melalui perantarautusan untuk menyampaikan maksud dari keluarga calon mempelai pria dan sekaligus juga
meminta persetujuan dari ketuarga calon mempelai wanita mengenai rencana pelaksanaan pernikahan anak-anak mereka. Pembicaraan antara kedua keluarga calon
mempelai hanya sebatas adanya persetujuan dan kata sepakat untuk melaksanakan perkawinan antara kedua calon mempelai, namun belum ada tanggal pasti tentang
kapan perkawinan akan dilaksanakan.
37
Ibid., hal. 31.
38
Ibid., hal. 33.
Setelah lamaran dari keluarga calon mempelai pria diterima dan disetujui oleh keluarga calon mempelai wanita, maka kemudian dicari hari, bulan dan tahun yang
baik untuk melaksanakan perkawinan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak sesuai dengan kepercayaan menurut adat-istiadat keluarga mereka masing-masing.
Masyarakat Tionghoa percaya bahwa dalam setiap melaksanakan suatu upacara, harus dilihat hari dan bulannya. Apabila jam, hari dan bulan
pernikahan kurang tepat akan dapat akibat yang buruk terhadap pernikahan mereka. Biasanya semua serba muda, yaitu jam sebelum matahari tegak luas,
hari tergantung perhitungan bulan Tionghoa dan bulan baik adalah bulan naikmenjelang purnama.
39
Penentuan hari pelaksanaan perkawinan menurut adat-istiadat Tionghoa sangat menentukan sekali terhadap kelanggengan perkawinan yang akan
dilaksanakan tersebut. Perkawinan yang dilaksanakan pada jam, hari dan bulan yang tepat, maka akan membawa pengaruh yang baik terhadap perkawinan tersebut di
kemudian hari, baik kelanggengan rumah tangga, rezeki dan anak-anak yang lahir kelak. Demikian juga sebaliknya, perkawinan yang dilaksanakan di jam, hari dan
bulan yang kurang atau tidak baik, maka akan membawa pengaruh buruk terhadap kelanggengan rumah tangga, rezeki dan anak-anak yang akan dilahirkan kelak.
Penentuan jam, hari dan bulan perkawinan ditentukan berdasarkan hari, bulan dan tahun lahir serta shio zodiak Cina dari kedua belah calon mempelai. Sampal saat ini,
hal penentuan jam, hari dan tanggal pelaksanaan perkawinan ini masih tetap dipraktekkan oleh hampir seluruh masyarakat etnis Tionghoa di seluruh dunia, karena
walaupun bersifat tahayul dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, namun masyarakat etnis Tionghoa sangat menyakini adat-istiadat ini dan takut untuk
39
Ibid., hal. 33.
menerima resiko yang tidak baik atau buruk di kemudian hari yang kemungkinan akan timbul apabila adat-istiadat ini tidak diikuti atau dilanggar.
Dalam tahap ini juga dapat diikuti dengan acara teng hun, yang apabila diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai pertunangan, dimana untuk mendukung
kepastian dan keseriusan dari maksud pelamaran tersebut di atas, juga sebagai sarana untuk mengikat secara moral batin antara calon mempelai pria dan calon mempelai
wanita beserta juga dengan keluarga kedua belah pihak. Acara teng hun ini sebagai salah satu sarana untuk menunjukkan kesiapan dan keseriusan dari kedua calon
mempelai serta dilaksanakan dengan acara tukar cincin yang melambangkan ikatan batin antara calon mempelai pria dengan calon mempelai wanita dengan disaksikan
oleh keluarga dari kedua calon mempelai. Namun acara ini bukan merupakan suatu keharusan dan tidak menjadi faktor penentu sah atau tidaknya suatu perkawinan.
Secara psikologis, acara teng hun biasanya dilaksanakan oleh calon mempelai pria atau diminta dilaksanakan oleh keluarga calon mempelai wanita dalam hal
rencana pernikahan masih lama dilaksanakan, misalnya 1 tahun atau 2 tahun lagi, atau karena calon mempelai pria atau calon mempelai wanita harus berpergian ke
tempat yang jauh, baik untuk pendidikan, pekerjaan maupun keperluan lainnya, namun ada kekhawatiran dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita
atau demikian juga sebaliknya selama kurun waktu tersebut, hati calon mempelai pria maupun calon mempelai wanita berubah kepada orang lain. Acara teng hun ini
bertujuan tidak hanya mengikat calon kedua mempelai saja, tetapi juga mengikat keluarga dari kedua calon mempelai. Tentu saja atas ikatan yang dilaksanakan ini
menimbulkan suatu pertanggungjawaban moral yang mengikat kedua calon mempelai maupun seluruh keluarga calon kedua mempelai.
b. Sang Jit pertemuan kedua orang tua dan keluarga dari kedua calon mempelai
Setelah acara tho chin selesai, maka kedua keluarga menyepakati satu waktu yang telah ditentukan untuk melaksanakan sang jit. Acara sang jit merupakan satu
acara pertemuan kedua orangtua dan keluarga dari kedua calon mempelai dan biasanya kedua calon mempelai tidak hadir dalam pembicaraan tersebut. Dalam acara
ini, kedua belah orangtua dan keluarga menetapkan tanggal dan hari pasti perkawinan, baik di pihak keluarga calon mempelai wanita maupun di pihak calon
mempelai pria. Selain itu juga dibicarakan tentang permintaan dari pihak keluarga wanita dalam hal jumlah pia atau kue yang biasanya dibagikan oleh pihak keluarga
wanita sekaligus juga dalam membagi undangan kepada para sanak keluarga, sahabat dan handai tolan. Hal ini khusus dilaksanakan dalam pembagian undangan untuk
resepsi perkawinan di keluarga calon mempelai wanita. Selain itu juga ditentukan permintaan-permintaan lain dari pihak keluarga calon mempelai wanita jumlah
undangan, barang-barang hantaran yang harus dibawa dan hal-hal lainnya yang dianggap perlu.
c Ta Pia pemberian hantaran atau mas kawin
Pada masa dahulu, hantaran dan mas kawin diberikan dalam bentuk dua helai kulit rusa dan kain sutera. Adat penghantaran ini diamalkan di Negeri Cina karena
kedua-dua bendabarangan itu mahal dan sukar diperoleh. Keadaan ini berbeda
dengan orang-orang Tionghoa di Malaysia yang telah mengubah sesuai adat lama ini mengikuti perubahan dan kemajuan yang dikecap oleh mereka.
40
Demikian juga dengan adat Tionghoa hantaran yang dilaksanakan oleh warganegara keturunan Tionghoa yang ada di Indonesia pada umumnya, khususnya
di Kota Medan, yang kesemuanya telah disesuaikan dengan perkembangan jaman dan kebutuhan saat ini. Acara ta pia merupakan tahap akhir sebelum dilaksanakannya
resepsi pernikahan, baik di pihak keluarga wanita maupun pihak keluarga pria. Dalam bahasa Indonesia, ta pia ini dapat diartikan sebagai pemberian uang hantaran dari
pihak keluarga pria kepada pihak keluarga wanita. Acara ta pia ini merupakan acara pemenuhan permintaan atau syarat pihak keluarga perempuan sebagaimana yang
diajukan dalam acara sang jit, seperti jumlah undangan dan pia atau kue yang diminta. Selain itu juga, pihak keluarga pria membawa samsu, sepasang ekor ayam,
kaki babi dan kue sebagai persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam adat- istiadat Tionghoa. Pihak keluarga pria juga menyediakan pheng kim, yang terdiri dari
leng bu lui pengganti uang susu ibu, ci moy lui pengganti uang saudari dan lau pin lui pengganti biaya cuci popok, yang mana mengenai besar jumlahnya tergantung
kepada keikhlasan hati dari pihak keluarga pria. Hal ini merupakan ganti rugi dari pihak keluarga calon mempelai pria atas jasa orangtuanya melahirkan, menyusui,
serta membesarkan calon mempelai wanita. Hal ini juga mempunyai makna untuk memutus hubungan keluarga dari calon mempelai wanita dengan keluarganya.
Hal tersebut di atas berfungsi sebagai uang pembelian atas calon mempelai wanita kepada keluarganya, sebagaimana sama halnya dengan uang tukur dalam
40
Ibid., hal. 36.
masyarakat Karo atau uang jujur, karena seperti yang diketahui bahwa masyarakat Tionghoa menganut sistem kekeluargaan patrilinial, yaitu suatu sistem kekeluargaan
yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki. Jadi dapat disimpulkan bahwa sejumlah uang sebagaimana tersebut di atas secara tidak langsung sebagai uang
pengganti atas calon mempelai wanita, dimana apabila perkawinan telah dilaksanakan, maka calon mempelai wanita akan masuk menjadi anggota keluarga
dari calon mempelai pria. Selain itu, pihak keluarga calon mempelai pria juga mempersiapkan 2 dua
buah cincin, masing-masing untuk calon mempelai pria dan calon mempelai wanita. Hal ini dilakukan pada saat acara ta pia, kedua calon mempelai belum melaksanakan
teng hun pertunangan. Proses ta pia ini ditutup dengan jamuan kepada pihak keluarga pria oleh
pihak keluarga wanita. Dalam hal ini, sebagai balasan atas antaran yang diberikan oleh pihak keluarga pria, maka pihak keluarga wanita menyerahkan markisa, bakpau
dan sepasang ayam kepada pihak keluarga calon mempelai pria.
d. Lau Thia resepsi pernikahan dari pihak keluarga wanita
Dalam bahasa Indonesia, lau thia dapat diartikan sebagai acara resepsi pernikahan yang diadakan oleh pihak keluarga wanita. Keunikan dan lau thia ini
adalah, pihak keluarga dari calon mempelai pria tidak diundang untuk hadir, karena menurut adat-istiadat Tionghoa, pihak keluarga calon mempelai pria dilarang untuk
hadir dalam acara lau thia karena dianggap pantang dan dapat menimbulkan akibat- akibat yang tidak baik terhadap perkawinan tersebut.
Jadi dalam lau thia ini, hanya calon mempelal pria saja yang hadir dan mendampingi calon mempelai wanita dan keluarganya sampai acara lau thia ini
selesai. Setelah acara lau thia selesai, maka calon mempelai pria kembali ke rumah dan calon mempelai wanita juga kembali ke rumah orangtuanya.
e. Phang Te persembahan minum teh
Phang Te merupakan salah satu acara yang paling penting dalam adat perkawinan adat-istiadat Tionghoa, yang mana kedua calon mempelai
mempersembahkan teh sebagai rasa hormat kepada orang yang lebih tua dan juga memohon doa restu dari keluarga. Dalam bahasa Indonesia, phang te dapat diartikan
sebagai persembahan minum teh. phang te hanya dapat diberikan kepada mereka yang telah berkeluarga. Artinya walaupun usia jauh lebih tua dari kedua calon
mempelai, namun apabila belum menikah, maka tetap tidak dibolehkan untuk phang te.
Dalam hal ini, phang te harus terlebih dahulu dilaksanakan oleh pihak keluarga calon mempelai pria. Dalam hal ini, calon mempelai pria menjemput calon
mempelai wanita menuju ke kediaman keluarga calon mempelai pria. Kemudian kedua calon mempelai sembahyang di depan altar Thi Kong Dewa Langit dan Te Cu
Ia Kong Dewa Bumi dan yang terakhir menyembahyangi letuhur dari keluarga calon mempelai pria yang sudah terlebih dahulu meninggal dunia seraya memohon
doa restu agar perkawinan yang dilaksanakan bisa langgeng dan mendapatkan keturunan yang baik.
Setelah acara sembahyang ini selesai, dilanjutkan dengan acara Phang Te, dimulai dengan kakek nenek dari calon mempelai pria, kedua orangtua dari calon
mempelai pria, diikuti oleh saudara-saudara kandung calon mempelai pria, saudara- saudara kandung dari pihak ayah calon mempelai pria, saudara-saudara kandung dari
pihak ibu calon mempelai pria, dan ditutup dengan sanak keluarga dari calon mempelai pria. Biasanya sebagai imbalan atas minum teh kehormatan, maka keluarga
yang diberikan teh tersebut masing-masing biasanya memberikan hadiah atau cindera mata, baik berupa angpao yang berisi sejumlah uang, maupun kalung, giwang, cincin,
gelang tangan atau gelang kaki emas. Pemberian hadiah atau cinderamata ini juga berfungsi sebagai ucapan selamat sekaligus sebagai hadiah dari perkawinan mereka.
f. Tul Sam Ciao membawa pulang calon mempelai wanita
Tul Sam Ciao merupakan suatu acara membawa pulang calon mempelai wanita ke rumahnya untuk yang terakhir kalinya dengan status sebagai anak dari
kedua orangtuanya. Hal ini biasanya dilaksanakan setelah selesai acara phang te di pihak keluarga calon mempelai pria. Setelah selesai acara phang te di keluarga calon
mempelai pria, maka kedua mempelai kembali ke rumah orangtua calon mempelai wanita. Kemudian kedua calon mempelai menyembahyangi altar “Thi Kong” Dewa
Langit dan “Te Cu Ia Kong” Dewa Bumi serta menyembahyangi leluhur-leluhur dari keluarga calon mempelai wanita yang sudah terlebih dahulu meninggal dunia
seraya memohon doa restu dan diberikan kesehatan dan rejeki serta keturunan yang baik. Setelah selesai acara sembahyang, dilanjutkan dengan acara phang te kepada
orangtua serta seluruh sanak keluarga dari pihak keluarga calon mempelai wanita.
Setelah acara phang te selesai, maka dilakukan pembagian hadiah kepada adik-adik dan keponakan-kepeonakan dari pihak keluarga calon mempelai wanita. Dengan
selesainya pembagian hadiah, maka sudah saatnya bagi calon mempelai pria untuk membawa pulang calon mempelai wanita ke rumahnya. Tiba saat perpisahan calon
mempelai wanita kepada kedua orangtuanya dan melanjutkan hidup sebagai isteri dan menantu keluarga lain dan tidak tinggal serumah lagi dengan orangtuanya.
g. Chia Ciak resepsi pernikahan dari pihak keluarga pria
Chia Ciak ini merupakan acara puncak dari pelaksanaan perkawinan menurut adat-istiadat Tionghoa. Chia ciak merupakan acara resepsi perkawinan yang
dilaksanakan oleh pihak keluarga dari calon mempelai pria. Bedanya dengan lau thia, dalam acara ini, pihak keluarga calon mempelai wanita juga turut diundang dalam
meja tersendiri lain daripada meja para undangan lainnya. lstilah dalam bahasa hokkien adalah Ciak Chin Ke Che Em, yang kalau diartikan dalam bahasa Indonesia
berarti jamuan makan antara para besan. Di meja yang disediakan secara khusus itu dalam satu meja duduk kedua calon mempelai, orangtua dari calon mempelai pria,
orangtua dari calon mempelai wanita, kakek dan nenek dari kedua mempelai, kalau masih ada, kalau tidak ada, maka digantikan oleh saudara kandung dari kakek atau
nenek dari kedua mempelai, dan kalau memang tidak ada, digantikan oleh saudara- saudara kandung dari orangtua kedua calon mempelai. Di meja khusus lainnya
ditempati oleh paman, bibi dan saudara-saudara kandung dari kedua calon mempelai. Dengan berakhirnya acara chia ciak ini, maka sah sudah kedua mempelai hidup
serumah sebagai suami isteri.
h. Pencatatan perkawinan oleh Pejabat perkawinan dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia Matakin
Pada dasarnya setelah resepsi perkawinan, maka telah terjadi pencatatan perkawinan yang dilakukan secara adat Tionghoa tersebut pada Majelis Tinggi
Agama Konghucu Indonesia Matakin setempat, karena pada salah satu prosesi pada perkawinan itu, maka pasangan pengantin melakukan sembahyang pengantin di
hadapan pendeta sebagai pejabat dari Matakin untuk pengakuan tentang agama Konghucu, dan selesai acara maka apabila pejabatpengurus Matakin yang berwenang
untuk mengeluarkan surat perkawinan secara tertulis berada di tempat acara maka dapat segera dikeluarkan surat perkawinan itu. Hal ini dapat dilakukan karena
sebelumnya memang calon pengantin telah melaporkan tentang akan melaksanakan perkawinan tersebut sehingga secara administrasi identitas calon pengantin sudah ada
atau dicatat pada Majelis Matakin.
41
5. Akibat Hukum Perkawinan dalam adat Tionghoa