bertentangan dengan sufisme, hingga kini menurut Simuh belum dapat diterima.
28
Proses sinkretisme dari Hindu-Buddha dengan kebudayaan asli Jawa hingga terjadi akulturasi dengan Islam yang datang kemudian,
memunculkan para intelektual yang tidak hanya bercorak ketuhanan dan etika seperti Suluk, tetapi juga memunculkan filsafat kosmologi Jawa
seperti primbon yang baru muncul pada masa Mataram.
C. Muncul dan Berkembangnya Primbon
Suatu hal yang mesti diketengahkan di sini adalah pertumbuhan dan perkembangan sastra dan kepustakaan Islam kejawen. Kepustakaan Islam
Kejawen mulai berkembang subur pada abad ke-17 hingga abad ke-19 M.
Yakni sesudah beralihnya pusat kesultanan ke daerah pedalaman dalam masa kekuasaan Pajang pada pertengahan abad ke-16 M dan kemudian disusul
dengan berdirinya kesultanan Mataram.
29
Kesultanan Pajang berdiri setelah Sultan Hadiwijaya Jaka Tingkir sebagai menantu Demak menjadi penguasa setelah menang perang dengan
Arya Panangsang, Adipati Jipang, yang sama-sama merasa pewaris kerajaan Demak setelah terbunuhnya Susuhunan Prawata pada tahun 1549 M.
30
Sultan Hadiwijaya memilih Pajang di daerah pedalaman sebagai pusat kerajaan karena ia berasal dari pedalaman, yakni keturunan Pengging. Selain
itu, sebagian besar pendukungnya berada di pedalaman. Berbeda dengan Jipang yang banyak mendapat dukungan dari daerah pesisir. Namun
28
Simuh, “Kajian Keislaman dalam Pandangan Kejawen,” h. 8.
29
Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 436.
30
H.J. De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam, h. 41.
kesultanan Pajang tidak berlangsung lama dan digantikan kesultanan Mataram di bawah kepemimpinan Panembahan Senapati Sutawijaya sejak tahun 1578
Masehi. Dalam
kesultanan Mataram
ini, amat
diraSakan perlunya
mempertemukan tradisi kejawen dengan unsur-unsur kebudayaan pesantren atau pesisiran bagi terciptanya stabilitas sosial politik dan kebudayaan, yang
oleh H.J. De Graaf dinyatakan sebagai puncak kebesaran dan kekuasaan Mataram.
31
Semenjak masa kesultanan Demak, Pesantren merupakan satu-satunya sistem pendidikan yang cukup teratur sesudah sistem pendidikan Mandala
pada masa Hindu tergusur. Sultan Mataram sendiri belum sempat mendirikan sistem pendidikan secara teratur. Karena bukan merupakan kebutuhan yang
mendesak. Sehingga pada masa itu hingga pertengahan abad ke-19 M, para Priyai Jawa, terutama calon sastrawan dan pujangga kenamaan seperti
Yasadhipura, Ranggawarsita, Mangkunegara IV dan lainnya secara khusus pada masa mudanya dikirim ke pesantren.
Pesantren merupakan pendidikan dengan kitab-kitab agama dan sastra yang melimpah. Pengaruh sastra pesantren dan melayu yang juga telah
diislamkan menumbuhkan sastra pesisiran yang membentang sepanjang daerah-daerah pesisir pulau Jawa dan Madura. Karya-karya sastra tersebut
merupakan sumber utama dalam mengembangkan dan memperkaya sastra Jawa Kraton pada masa Mataram.
31
Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram Jakarta: Grafiti Pers, 1986, h. 13.
Setelah Sultan Agung berhasil menundukan bupati-bupati pesisiran dari daerah pesantren yang tidak tunduk dan tidak mau mengakui kekuasaan
Mataram, maka hampir seluruh Jawa berada di bawah kekuasaan Mataram. Persoalan yang sejak lama harus diatasi adalah stabilitas sosial, politik dan
budaya. Sejak masa kesultanan Pajang, persoalan yang sangat rumit adalah
menghadapi perlawanan bupati-bupati pesisir yang mendapat dukungan masyarakat pesantren dan legitimasi para wali. Masalah ini tidak hanya diatasi
dengan menggunakan kekuatan senjata saja.
32
Sebagai raja yang bijaksana dan mempunyai wawasan sosial budaya yang luas, Sultan Agung segera mempelopori langkah pembaruan sosial
budaya. Pada mulanya ia menggunakan politik integrasi dengan pernikahan. Hal ini nampak dengan mengawinkan bupati Cakraningrat I, penguasa daerah
Madura dengan saudara perempuan Sultan sendiri. Demikian pula dengan perkawinan Pangeran Pekik, bupati Surabaya dengan putri Pandan Sari,
saudaranya yang lain. Hal ini diikuti dengan upaya pendekatan kultural, yakni pengislaman warisan kultur Jawa.
Nampaknya Sultan Agung juga menyadari benar bahwa di Jawa terdapat dua kekuatan yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan
sejarah masyarakat Jawa pada umumnya. Yakni masyarakat pesantren dengan budaya barunya, dan masyarakat kejawen yang masih terikat ketat warisan
budaya lama yang ber-intikan mistik Hindu-Buddha. Jurang perbedaan ini tercermin dalam cara mereka mempergunakan perhitungan tahun. Masyarakat
32
Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 438.
pesantren berpegang pada kalender Hijriyah atas dasar perjalanan bulan lunarqamariyah, sedangkan masyarakat kejawen menggunakan tahun Saka
atas dasar pergerakan matahari solarsyamsiyah. Sultan Agung berusaha menciptakan keselarasan dan stabilitas sosial-
politik bagi kebesaran kerajaan Mataram. Maka ditempuhlah politik Islamisasi perhitungan tahun Saka yang dirubahnya jadi perhitungan tahun Jawa yang
disesuaikan dengan Hijriyah yang menggunakan perhitungan bulan. Penciptaan tahun Jawa yang mulai diberlakukan sejak tahun 1633 M
merupakan bentuk perpaduan antara perhitungan Hijriyah dan Saka. Karena secara keseluruhan menyesuaikan dengan tahun Hijriyah, baik mengenai
bilangan dan nama-nama hari setiap minggunya ataupun nama-namanya. Namun awal perhitungan tahunnya tetap mempertahankan tahun Saka, yaitu
bermula dari tahun 78 Masehi sebagai tahun pertama. Dengan demikian angka tahun karya-karya kejawen sebelum tahun 1633 Masehi tidak perlu dirubah
dan disesuaikan.
33
Selain itu hari-hari kejawen disertakan dengan dan dipadukan dengan hari-hari Hijriyah menjadi hari pasaran, seperti Senin Pahing, Selasa Pon dan
sebagainya. Maka perubahan itu tidak menimbulkan kegoncangan bagi berlakunya tradisi dan ilmu kejawen. Oleh karena itu sistem perhitungan tahun
Jawa ciptaan Sultan Agung ini cukup memuaskan kedua belah pihak, bisa diterima dalam masyarakat pesantren dan kejawen tanpa menimbulkan
kesulitan dan kegoncangan. Jadi sebenarnya tahun Jawa ini cukup unik, karena merupakan perpaduan antara tahun Hindu, Jawa dan Islam.
33
Simuh, “Kajian Keislaman dalam Pandangan Kejawen,” h. 8.
Pergantian hitungan kalender Saka matahari ke hitungan Hijriyah bulan yang melahirkan kalender Jawa, mempunyai peranan yang sangat
besar bagi munculnya penulisan primbon. Karena memang, dasar penulisan primbon adalah perhitungan Qamariyah bulan. Sehingga wajar jika dalam
beberapa hal menggunakan saduran kata-kata bulan Arab seperti Safar, Dulka’dah dan lainnya. Selain itu jelas terlihat dalam nama-nama Penget
Palintangan yang rupanya menyadur nama-nama buruj zodiak dalam bahasa
Arab, saperti Kamluon, Sur, dan lain sebagainya.
34
Perbandingan Palintangan Primbon dengan Buruj Ilmu Hikmah
+ ,
- .
1 2
3
2 4 5
. 1
+ 6
7 1
8 1
- .
1 1
1 5
7 +
9 .
Dari sini dapat disimpulkan bahwa primbon belum muncul pada masa Hindu-Buddha. Bahkan jangka ramalan Jayabaya baru dituliskan
Ranggawarsita pada masa Mataram Islam. Sehingga bisa dipastikan
Harya Tjakraningrat, Attasadhur Adammakna, Solo: Buana Raya, 1994, h. 163
munculnya primbon karena adanya pengaruh dari sufisme Persia, seperti perhitungan dalam tradisi ilmu hikmah ataupun ilmu falaq.
Hal ini dikuatkan dengan kentalnya konsep makrokosmos alam semesta dan mikrokosmos manusia yang dalam bahasa Jawa disebut jagat
gedhe dan jagat cilik, terdapat dalam ilmu hikmah dengan sebutan ‘alam al
‘ulya dan ‘alam al adna.
35
Sehingga gerak makrokosmos mempengaruhi nasib mikrokosmos
. Selain itu keduanya mempunyai kemiripan dalam menempatkan huruf.
Di mana huruf, baik abjad Jawa ataupun Hijaiyah, bukanlah tanpa makna. Setiap huruf mempunyai nilai numeriknya sendiri yang disebut neptu. Dalam
primbon, jelas tersirat bahwa nama seseorang mempengaruhi watak dan semua yang dilakukannya. Sehingga dalam mencari jodoh, seseorang harus
menghitung neptu pasangan laki-laki dan perempuan dengan rumusan tertentu.
36
Pada mulanya, primbon hanyalah catatan-catatan pribadi yang diwariskan turun temurun di lingkungan keluarga, terutama di kalangan
masyarakat Jawa. Namun pada awal abad ke-20 primbon mulai dicetak dan diedarkan secara bebas. Primbon cetakan tertua berangka tahun 1906 Masehi,
diterbitkan oleh De Bliksem dengan ketebalan 36 halaman. Namun primbon tersebut belum tersusun secara sistematis.
35
Ade Faizal, Tradisi Ilmu Hikmah, Dari Sufisme Persia Hingga Kyai Nusantara Jakarta: Lemlit UIN, 2009, h. 5.
36
Harya Tjakraningrat, Betaljemur Adammakna Solo: Buana Raya, 1994, h. 12.
Di Perpustakaan Nasional terdapat banyak jenis primbon seperti Kitab Ta’bir
, Primbon Padhukunan Pal-Palan, Mantra Siwastra Raja, Lontarak Bola
dan lain-lain.
37
Primbon yang ditulis lebih sistematis terbit pada tahun 1930-an. Selanjutnya primbon bukan lagi sekedar catatan keluarga, tetapi justru sudah
menjadi petunjuk praktis dalam kehidupan. Seri Primbon Betaljemur Adammakna
terbitan Yogyakarta misalnya, disusun secara berseri dengan Attasadhur Adammakna
dan Lukmanakim Adammakna dalam dua bahasa, Jawa dan Indonesia.
38
37
Behrend, Primbon, h. 2.
38
Bambang Harsrinuksmo, Primbon Jakarta: Ensiklopedi Nasional Indonesia, 2001, Vol. 13, h. 395.
BAB III KONSEP RUANG DAN WAKTU DALAM PRIMBON