BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyebaran agama Islam di pulau Jawa segera diikuti dengan berkembangnya kepustakaan Islam, baik yang tersurat dalam bahasa dan huruf
Arab, atau yang telah digubah dalam bahasa Melayu. Berkembangnya kepustakaan
agama Islam,
ternyata dengan
cepat mempengaruhi
perkembangan tradisi dan kepustakaan Jawa. Pada masa Demak berkuasa, pengaruh kepustakaan Islam menimbulkan
jenis kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa yang oleh Simuh disebut kepustakaan Islam kejawen. Kepustakaan Islam kejawen ini
lebih berkembang kemudian pada masa kerajaan Mataram, terutama dalam pemerintahan Sultan Agung.
Masa keemasan Sultan Agung rupanya bukan hanya terlihat dalam kekuatan
militernya yang
mampu menundukkan
pemberontakan- pemberontakan di wilayah pesisir yang didukung golongan santri, melainkan
juga berperan dalam perkembangan sosial-budaya.
1
Perbedaan antara masyarakat pesantren yang mempergunakan
perhitungan tahun Hijriyah, dengan masyarakat kejawen yang umumnya tetap berpegang pada tahun Saka, menimbulkan masalah sosial yang cukup rumit.
Untuk kokohnya sendi kerajaan perlu ada kompromi dari kedua sistem perhitungan tahun tersebut.
1
Simuh, Mistik Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita Jakarta: UI Press, 2008, h. 11.
Pada tahun 1633 Masehi, Sultan Agung berhasil menyusun dan mengumumkan berlakunya sistem perhitungan tahun yang baru bagi seluruh
kerajaan Mataram, yakni perhitungan tahun Jawa, yang hampir secara keseluruhan menyesuaikan dengan tahun Hijriyah, berdasarkan atas perjalanan
bulan. Namun awal perhitungann Jawa ini tetap pada tahun satu Saka, yaitu tahun 78 Masehi.
2
Bagi masyarakat pesantren, tidak ada masalah untuk menerima perhitungan tahun Jawa yang dibuat oleh Sultan Agung, karena tahun Jawa
disesuaikan dengan tahun Hijriyah yang berdasarkan atas peredaran bulan, dan begitu juga nama-nama hari dan bulan mempergunakan nama-nama yang
terdapat dalam pesantren. Sebaliknya bagi masyarakat kejawen, perubahan dari tahun Saka yang berdasarkan atas peredaran matahari ke tahun Jawa yang
berdasarkan peredaran bulan, sebenarnya menghadapi persoalan yang cukup rumit. Namun persoalan ini dapat diatasi, karena awal perhitungan tahun Saka
tetap dipertahankan. Dengan cara demikian, Sultan Agung berhasil menyeragamkan perhitungan tahun di antara masyarakat pesantren dengan
masyarakat kejawen pada umumnya. Kesatuan perhitungan tahun sangat penting bagi penulisan Serat, Babad, dan pelaksanaan tradisi kejawen. Di
samping itu, pembaharuan perhitungan juga merupakan sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan proses Islamisasi tradisi dan kebudayaan
Jawa, yang telah berlangsung semenjak berdirinya kerajaan Jawa-Islam Demak.
3
2
Simuh, Mistik Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, h. 12.
3
Ibid., h. 13.
Konversi dari kerajaan Hindu-Buddha ke Islam menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa yang disebut
primbon, serat dan suluk. Dalam hal ini Simuh menamakannya dengan Kepustakaan Islam Kejawen
. Berdirinya kerajaan Mataram ternyata lebih menyuburkan perkembangan kepustakaan Islam kejawen.
Primbon sebenarnya dikenal di berbagai suku di Nusantara, tetapi tampaknya lebih menggejala pada masyarakat Jawa, Bali, dan Lombok.
4
Bahkan Alfani Daud menemukan tradisi perhitungan waktu primbon pada masyarakat Islam Banjar.
5
Ajaran dalam primbon, erat kaitannya dengan waktu. Sehingga ketika di Jawa terjadi konversi dari tahun Saka yang menggunakan perhitungan
matahari menjadi tahun Jawa yang menggunakan perhitungan peredaran bulan memunculkan konsekuensi yang sangat tinggi bagi perhitungan primbon yang
menjadi pegangan masyarakat Jawa. Dalam masyarakat Jawa, waktu adalah tatanan yang berada di luar
semua hal, termasuk manusia dan peristiwa-peristiwa. Terdapat suatu waktu yang asali dan primordial, dan semua peristiwa berakar dalam waktu asali itu,
serta mendapatkan identitas dan mutunya di sana. Semua peristiwa alami dikuasai oleh takdir, dan semua peristiwa manusiawi harus menyesuaikan diri
dengan keteraturan yang telah ditetapkan. Arti waktu bagi seseorang dapat berbeda dengan arti waktu bagi yang lain. Setiap orang memperoleh ketentuan
waktunya sendiri-sendiri, bagi seseorang merupakan waktu yang baik, bagi
4
Jacob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia Jakarta: Qalam, 2002, h. 81.
5
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar Jakarta: Rajawali Press, 1997, h. 366.
yang lain tidak baik. Waktu itu bukan linear, tetapi siklis, teratur dalam periodisitas-periodisitas
.
6
Selain itu masyarakat Jawa memandang semua penghuni kosmos memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Seluruh kosmos besar ini semuanya
memiliki tempatnya sendiri-sendiri yang saling berhubungan dan saling melengkapi. Ruang geografis sangat dipentingkan, dengan tempatnya yang
relatif. Tempat konkret itu menentukan kedudukan seseorang, juga tempatnya dalam kosmos ini.
7
Takdir atau nasib manusia ditentukan oleh kedudukan waktu pada saat manusia hadir di dunia ruang. Maka pemahaman tentang
waktu ini memegang peranan kunci dalam memahami tempat manusia di dunia.
Setiap benda dan peristiwa di dunia ini sering tergantung dalam ketertiban agung ruang absolut. Bumi ini juga tergantung dalam tata tertib
rotasi bulan dan matahari. Matahari dan bulan tergantung pada tata tertib jalannya bintang-bintang. Dan bintang-bintang seluruh semesta tergantung
pada ruang absolut.
8
Tidak bisa dipungkiri bahwa kemunculan primbon merupakan sintesa dari kebudayaan Jawa kuno yang telah mapan dengan kebudayaan Islam yang
datang kemudian. Sultan Agung Mataram merupakan tokoh yang sangat berperan penting dalam mensinteSakan kedua kebudayaan tersebut. Ia
mengubah perhitungan tahun Saka Jawa kuno yang menggunakan perhitungan
6
Jacob Soemarjo, Arkeologi Budaya Indonesia, h. 85.
7
Ibid., h. 86.
8
Ibid., h. 88.
matahari syamsiyah dengan perhitungan bulan qamariyah dan memulai angka tahunnya dengan tahun Saka.
9
Dengan demikian perhitungan tahun yang digunakan adalah menggunakan perhitungan bulan seperti halnya tahun Hijriyah, namun
memulai angka tahunnya dengan perhitungan tahun Saka, sehingga muncullah perhitungan Jawa dengan menetapkan hari-hari pasaran seperti Pon, Wage,
Pahing , Kliwon, dan Legi. Perhitungan waktu yang digunakan primbon yang
banyak ditulis pada masa Mataram Islam merupakan buah karya dari pemikiran Sultan Agung.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah