Perhitungan Jawa yang digunakan dalam primbon baru ditetapkan oleh Sultan Agung setelah melihat dua masyarakat yang hidup di Jawa, yang oleh
Clifford Geertz disebut, Santri dan Abangan.
15
Rupanya Sultan Agung hendak mendamaikan masyarakat Santri yang menggunakan perhitungan Hijriyah
bulan dan masyarakat Abangan yang menggunakan perhitungan tahun Saka matahari. Ia kemudian menetapkan perhitungan Jawa dengan menggunakan
perhitungan bulan, diambil dari kalender Hijriyah, namun dimulai dari tahun Saka
saat itu serta menggunakan nama-nama pasaran Jawa Pon, Wage, Pahing
, Kliwon dan Legi,.
16
Perhitungan inilah yang digunakan dalam primbon.
B. Lintasan Sinkretisme Jawa
1. Sinkretisme Hindu Jawa Semenjak awal Masehi, tradisi kebudayaan Jawa yang telah mapan
mulai menyerap pengaruh agama dan unsur-unsur kebudayaan Hindu- Buddha. Dari pelacakan sejarah bisa disimpulkan bahwa datangnya
pengaruh Hindu-Buddha melalui lapisan atas. Yakni melalui penggubahan para cendekiawan Jawa yang mengenal bahasa Sansekerta dan dapat
membaca kepustakaan Hindu, terutama karya-karya sastra keagamaan Mahabarata
dan Ramayana. Oleh karena itu, J.W.M. Bakker dalam bukunya Agama Asli Indonesia menyimpulkan bahwa agama Hindu dan
Buddha tidak diterima secara utuh di Jawa. Akan tetapi melalui proses Jawanisasi
. Selain itu, pengaruh Hindu dan Buddha hanya mengakar pada
15
Clifford Geertz, Santri, Priyai, Abangan Yogyakarta: Ganesha, 1981, h. 102.
16
Simuh, Mistik Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, h. 11.
lapisan atas masyarakat Jawa. Sedangkan lapisan bawah di pedesaan umumnya tetap dikuasai alam pikiran dan tradisi animisme-dinamisme.
17
Yang menarik, pengaruh Hindu ini bisa dimanfaatkan oleh lapisan cendekiawan Jawa untuk menciptakan kebudayaan tulisan. Sehingga
muncullah berbagai macam karya sesudah cendekiawan Jawa menggubah tulisan Hindu menjadi huruf Jawa yang terkenal sebagai abjad
“hanacaraka”. Masyarakat Jawa juga meminjam perhitungan tahun Saka menjadi alat mencatat peristiwa-peristiwa sejarah mereka. Dengan
demikian, pengaruh Hindu meningkatkan taraf kebudayaan Jawa dari tradisi lisan menjadi tradisi tulisan. Selain itu, pengaruh Hindu juga memunculkan
lapisan cendekiawan Jawa yang makin lama kekuasaannya makin luas, sehingga lapisan ini menjelma menjadi lapisan para priyai Jawa.
Berkaitan dengan meluasnya kekuasaan lapisan priyai, maka muncullah kerajaan-kerajaan Jawa-Hindu baik di Jawa Tengah Mataram
kuno, Jawa Barat dan kemudian Jawa Timur yang puncak kebesarannya pada masa Majapahit. Maka sebagai hasil pengolahan unsur-unsur
Hinduisme yang terutama dikelola oleh para priyai Jawa beserta sastrawan dan budayawannya, tradisi kehidupan dan kebudayaan Jawa tersusun dua
lapis, yakni lapisan atas priyai dan lapisan bawah di pedesaan.
18
Masyarakat petani pedesaan yang merupakan mayoritas dan yang menjadi lapisan bawah tetap pada tradisi religi animisme-dinamisme, di
mana pengaruh Hindu-Buddha hanya menjamah bagian luarnya. Adapun kehidupan kepercayaan dan tradisi kehidupannya tetap dijiwai religi
17
Rahmat Subagja, Agama Asli Indonesia Jakarta: Sinar Harapan, 1981, h. 43.
18
Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa Jakarta: Rajawali Pers, 2005, h. 54.
aslinya. Sebaliknya, lapisan priyai yang mengembangkan kebudayaan istana sangat dipengaruhi filsafat ajaran Hindu-Buddha dan menjelma
menjadi kebudayaan yang halus dan tinggi. Tradisi kehidupan masyarakat pedesaan masih tetap mengandalkan kebudayaan lisan, sebaliknya, tradisi
kehidupan masyarakat istana telah beralih ke kebudayaan tulisan.
19
Meskipun kehidupan lapisan para priyai tidak melepaskan tradisi animisme-dinamisme
asli, atau bahkan diganti dengan Hinduisme, namun perbedaan antara lapisan wong cilik desa dengan peradaban lapisan priyai
yang lebih halus dan tinggi cukup mencolok. Dalam perkembangan kehidupan masyarakat dan kebudayaan Jawa
yang makin dijiwai oleh sikap dan faham feodalisme, maka lapisan masyarakat dan kebudayaan priyai yang halus merupakan tipe ideal bagi
masyarakat pada umumnya. Sehingga sikap hidup orang pedesaan pada umumnya berusaha meniru gaya hidup priyai.
Bisa disimpulkan bahwa taraf peradaban seseorang diukur dari seberapa jauh ia sanggup meniru tata cara dan gaya priyaisme ini. Simuh
menyebut model masyarakat seperti ini sebagai “Negara Teater”. Di mana masyarakat pedesaan mengkiblat gaya kehidupan istana seperti para
penonton memusatkan perhatian pada tingkah laku pemain drama yang sedang berkiprah di atas panggung. Itulah puncak kebesaran kerajaan
Majapahit yang kemudian harus dihadapi para penyebar agama baru, yaitu Islam.
19
Simuh, “Warisan Tradisi Kejawen,” Kumpulan Makalah Seminar Jakarta: LIPI, 1979, h. 13.
Adanya dua lapisan sosial dengan dua tipe budaya yang tingkat perbedaannya cukup menonjol, langsung atau tidak pasti akan mewarnai
corak interaksi antara agama dan kebudayan Islam dengan tradisi kejawen.
20
2. Sinkretisme Jawa-Islam Berdirinya kesultanan Demak yang merupakan kekuasaan Islam,
meskipun tidak berumur panjang, tetapi mempunyai arti yang sangat penting bagi penyebaran agama dan kebudayaan Islam. Begitu pentingnya
kedudukan kesultanan Demak, sehingga sastrawan Jawa yang menciptakan Serat
dan Babad menjadikannya sebagai titik tolak zaman peralihan. Yaitu peralihan dari zaman Hindu-Buddha ke zaman Islam.
Dari hasil penelitian sejarah, diperkirakan bahwa agama Islam menyebar ke Indonesia, khususnya di Jawa, melalui jaringan perdagangan
dan pengembaraan ulama-ulama Sufi yang merupapkan juru dakwah sesudah kekhalifahan Baghdad runtuh pada tahun 1258 M. Sangat mungkin
guru-guru Thariqat mengembara sambil berdagang dan menyiarkan agama. Hal ini dikuatkan dengan corak pemikiran Islam Nusantara yang sejak
semula amat diwarnai ajaran Sufisme tasawuf.
21
Setidaknya sejak abad ke-13 M, Islam menjadi kekuatan baru di Nusantara dengan munculnya kesultanan Samudera Pasai di Aceh yang
beragama Islam. Namun baru pada abad ke-16 M kekuatan politik Islam baru menonjol dengan berdirinya kesultanan Demak. Demikian pula
pengaruh pemikiran keagamaan yang menonjol muncul pada abad ke-16 M.
20
Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia, h. 54.
21
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Bandung: Mizan, 1999, h. 13.
Di Jawa muncul naskah-naskah yang memuat ajaran-ajaran ke- Islaman, terutama Tasawuf dengan ditemukannya naskah berabjad Jawa
yang disebut sebagai het boek van bonang. Demikian pula di Aceh, pada abad ke-16 M mulai muncul naskah-naskah Melayu yang berisi ajaran ke-
Islaman yang terutama hasil karya empat tokoh ulama sufi Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Al Raniri dan Abdul Rauf Sinkel.
Lambat laun, agama Islam menyebar dan diterima masyarakat, terutama masyarakat pesisir Jawa yang tidak terlalu terkena pengaruh
Hindu. Oleh karena itu daerah pesisir merupakan ladang yang paling subur bagi penyebaran agama baru Islam, karena di daerah tersebut sangat tipis
menerima pengaruh Hindu-Buddha. Setelah itu maka segera muncul sistem pendidikan dan pengajaran agama, walaupun sederhana, namun cukup
teratur yang kemudian terkenal dengan sebutan pesantren. Nama santri sendiri merupakan warisan dari kosa-kata Hinduisme,
namun isinya adalah Islam. Maka penyebaran agama Islam merupakan kekuatan peradaban baru yang mulai mengakar di sepanjang pesisir pulau
Jawa sebagai basis kekuatannya, dan secara perlahan memasuki pedalaman yang didominasi pengaruh Hindu-Buddha dan kepercayaan Jawa asli. Islam
yang menyebar pesat pada akhirnya memudarkan kekuasaan Majapahit yang merupakan benteng terakhir bagi kerajaan Jawa-Hindu, dan kemudian
runtuh pada tahun 1518 M.
22
Runtuhnya kekuasaan Majapahit disusul dengan berdirinya kerajaan Demak yang merupakan pewaris tradisi Majapahit. Beralihnya kekuasaan
22
Simuh, “Warisan Tradisi Hindu Kejawen,” h. 13.
secara damai ke tangan kesultanan Demak tidak berarti melenyapkan peradaban Istana Majapahit, melainkan terjadinya proses Islamisasi secara
perlahan terhadap peradaban Istana Jawa-Hindu tersebut.
23
Dengan peralihan kekuasaan dari Kerajaan Hindu-Jawa pedalaman ke kerajaan Islam pesisir, yang kemudian diikuti konversi agama dari Hindu-
Buddha ke Islam, artinya dalam pemerintahan zaman feodal dengan konsep “Negara Teater”, maka agama masyarakat Jawa berkiblat pada agama
rajanya. Sehingga masyarakat Jawa banyak memeluk Islam, meskipun hanya sekedar mengucapkan syahadat tanpa dibarengi dengan kewajiban
syari’at . Dari sini mulailah adanya dua varian dalam kalangan umat Islam
Jawa, yakni Santri dan Abangan.
24
Ciri yang membedakan antara dua varian di atas hanyalah pada taraf keislaman mereka. Santri adalah yang telah menyadari dan mentaati rukun
Islam yang lima. Ukuran kesadarannya adalah ketaatan menjalankan Shalat lima waktu yang merupakan tiang agama. Adapun varian Abangan belum
aktif melakukan shalat lima waktu secara sadar, namun dengan pengakuan dan penerimaan dua kalimah syahadat, berarti mereka sudah Islam.
Menurut Purbatjaraka, peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Demak menyebabkan para Priyai dan Cendekiawan Jawa yang kehidupannya
bergantung pada istana, akhirnya harus mendekati sastrawan dan budayawan Jawa dengan tokoh-tokoh pesantren pendukung kesultanan
Demak. Bahkan banyak pula para cendekiawan dan para priyai Jawa yang
23
H.J. De Graaf dan Pegeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa Jakarta: Grafiti Pers, 1986, h. 3.
24
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyai, dalam Masyarakat Jawa Jakarta: Pustaka Jaya, 1981, h. 78.
kemudian berguru pada para penyebar Islam yang dikenal dengan sebutan Wali.
Sebuah contoh, dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa Jaka Tingkir dari daerah pedalaman pergi ke Demak. Akhirnya Jaka Tingkir
diambil menantu Sultan Demak. Jaka Tingkir merupakan priyai kejawen yang kemudian berguru pada Sunan Kudus, seorang wali yang disucikan
masyarakat Jawa. Di dalam pesantren Kudus ini, Jaka Tingkir menjadi teman seperguruan Arya Panangsang, seorang pemuka masyarakat Santri
dari Jipang.
25
Proses mengalirnya para priyai Jawa ke Demak diikuti dengan pertemuan kebudayaan istana dengan kebudayaan pesantren. Menurut
Purbatjaraka, hal ini menyebabkan munculnya kitab-kitab Jawa yang memuat hal-hal keIslaman. Memang semenjak berdirinya kesultanan
Demak pada abad ke-16 M, mulai nampak terjadinya akulturasi kebudayaan Jawa-Hindu dengan kebudayaan pesantren.
Dalam hal ini yang paling berperan adalah para sastrawan dan budayawan yang bertujuan memperkaya dan meningkatkan warisan budaya
istana masa lalu. Simuh menyebut proses ini sebagai Islamisasi warisan
budaya istana , bukan Jawanisasi Islam. Hal ini berdasarkan empat
pertimbangan.
26
25
W.L. Olthof penyusun, Babad Tanah Jawi Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647 Yogyakarta: Narasi, 2007, h. 47.
26
Simuh, “Kajian Keislaman dalam Pandangan Kejawen,” Kumpulan Makalah Seminar LIPI, 1979, h. 5.
Pertama, warisan budaya istana yang sangat halus dan adi luhung
pada zaman Islam hanya bisa dipertahankan dan dimasyarakatkan apabila dipadukan dengan unsur Islam.
Kedua, para pujangga dan sastrawan Jawa sangat memerlukan bahan
untuk berkarya. Sedangkan hubungan dengan Hinduisme telah terputus pada masa kekuasaan Islam. Satu-satunya sumber yang mendampingi kitab-
kitab kuno hanya kitab-kitab pesantren, baik dari naskah melayu, Jawa Pegon, atau Arab. Selain itu, para pujangga dan sastrawan Jawa tahu betul
bahwa dalam lingkungan pesantren terdapat sumber-sumber konsep ketuhanan, etika dan falsafah kebatinan yang kaya. Hal itu menguatkan
pengkajian para sastrawan dalam memperkaya khazanah budaya Jawa. Ketiga,
pertimbangan stabilitas sosial budaya dan politik. Adanya dua lingkungan budaya, yakni pesantren dan kejawen perlu dijembatani agar
terjalin saling pengertian dan menghindarkan atau mengeliminasi konflik- konflik yang mungkin terjadi. Salah satu contoh yang jelas adalah usaha
Sultan Agung untuk menggabungkan perhitungan kalender Saka dengan Hijriyah.
Keempat, pihak istana sendiri sebagai pendukung dan pelindung
agama, tentu merasa perlu mengulurkan tangan untuk menyemarakkan siar Islam. Maka semenjak Sultan Demak, muncullah upacara keagamaan yang
disebut Sekaten, Grebeg Maulud dan sebagainya.
27
Pertimbangan-pertimbangan inilah yang memungkinkan proses akuturasi sehingga membagi Islam Jawa menjadi dua varian. Di dalam
27
Simuh, “Kajian Keislaman dalam Pandangan Kejawen,” h. 7.
kebudayaan pesantren, unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dipandang tidak bertentangan dengan syari’at Islam diinkulturasikan untuk mendukung
kebudayaan Islam. Proses pengolahan unsur-unsur lama ke dalam Islam inipun mengalami
keberagaman pula. Bagi para santri di daerah-daerah pedesaan, di mana unsur tarikat sangat dominan, mereka lebih bersikap akomodatif dengan
tradisi animisme-dinamisme warisan budaya lama. Maka perbedaan antara yang telah nyantri dengan yang masih abangan hanya dalam taraf kesadaran
menjalankan Shalat lima waktu. Istilah santri itu sendiri adalah contoh konkret dari proses inkulturasi
warisan budaya lama. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa akulturasi bersifat evolutif, tidak serta merta berubah. Akar lama yang positif untuk
mendukung suasana baru tidak akan tercabut sama sekali. Adapun dalam kalangan Islam kejawen, yang terjadi sebaliknya, yaitu
unsur-unsur Islam yang diserap dan diinkulturasikan dalam kebudayaan Jawa. Sehingga warna Islamnya juga mengalami keberagaman. Dalam
masyarakat pedesaan di mana sistem religi animisme-dinamisme menguasai cara hidup mereka. Pengaruh Islam berjalan secara alamiah melalui
pergaulan dan dakwah. Dengan demikian, unsur-unsur Islam merembes dan diinkulturasikan dalam tradisi budaya pedesaan.
Sebagaimana dalam kebudayaan pesantren dalam menyerap dan menginkulturasikan unsur-unsur kejawen terdapat sikap selektif, demikian
pula dalam budaya istana kejawen. Dalam masyarakat pesantren hasil-hasil seni dan budaya, baik yang bercorak ke-Hinduan ataupun yang
bertentangan dengan sufisme, hingga kini menurut Simuh belum dapat diterima.
28
Proses sinkretisme dari Hindu-Buddha dengan kebudayaan asli Jawa hingga terjadi akulturasi dengan Islam yang datang kemudian,
memunculkan para intelektual yang tidak hanya bercorak ketuhanan dan etika seperti Suluk, tetapi juga memunculkan filsafat kosmologi Jawa
seperti primbon yang baru muncul pada masa Mataram.
C. Muncul dan Berkembangnya Primbon