BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan suatu periode terjadinya perubahan yang besar pada fisik, emosional, intelektual, akademik, sosial dan spiritual Williams, 2001. Bagi
sebagian remaja, perubahan dalam peran sosial diartikan sebagai menjadi pacarpasangan bagi individu tertentu. Hubungan berpacaran antara pria dan wanita
ini menjadi bertambah penting seiring dengan bertambahnya usia Bihler, 1986. Diantara beberapa perubahan yang terjadi pada diri remaja tersebut, ada topik yang
menjadi sumber dari masalah-masalah yang ada dalam hidup remaja yaitu hubungan romantis dengan lawan jenis Furman, 2002. Hubungan romantis ini sering juga
disebut dengan pacaran atau dating. Pacaran dimulai pada masa remaja. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih
menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis Hurlock, 1999.
Menurut Tucker 2004 pacaran dimulai dari berkenalan, berteman dan kemudian pacaran. Pacaran atau dating didefinisikan sebagai interaksi yang ‘saling’
dyadic, termasuk didalamnya adalah mengadakan pertemuan untuk berinteraksi dan
melakukan aktivitas bersama dengan keinginan secara eksplisit atau implisit untuk meneruskan hubungan setelah terdapat kesepakatan tentang status hubungan mereka
saat ini Straus, 2004. Tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pacar disebut dengan dating violence.
Beberapa dekade terakhir, kekerasan dalam pacaran atau dating violence telah menjadi persoalan kesehatan masyarakat. Bukti-bukti menyatakan bahwa dating
violence diantara pelajar lebih meluas dari pada sebelumnya, dan memiliki konsekuensi perkembangan yang serius. Meskipun secara terbatas dikonsepkan
sebagai kekuatan fisik, dating violence sekarang lebih luas dikenal sebagai sebuah kontinum dari abuse dimana mulai dari kekerasan emosional dan verbal sampai pada
perkosaan dan pembunuhan Hickman et al, 2004. Menurut Sugarman Hotaling dalam Krahe, 2001 dating violence adalah
tindakan atau ancaman untuk melakukan kekerasan, yang dilakukan salah seorang anggota dalam hubungan dating ke anggota lainnya. Selain itu, menurut The National
Clearinghouse on Family Violence and Dating Violence 2006, dating violence adalah serangan seksual, fisik, maupun emosional yang dilakukan kepada pasangan,
sewaktu berpacaran. Peneliti di The University of Michigan Sexual Assault Prevention and Awareness Center Burandt, Wickliffe, Scott, Handeyside, Nimeh
Cope dalam Murray, 2007 mendefiniskan dating violence sebagai tindakan yang disengaja intentional, yang dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan
paksaan fisik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan power dan kontrol control terhadap pasangan dating-nya. Lebih lanjut dikatakan bahwa perilaku ini
tidak dilakukan atas paksaan orang lain, sang pelaku lah yang memutuskan untuk
melakukan perilaku ini atau tidak, perilaku ini ditujukan agar sang korban tetap bergantung atau terikat dengan pasangannya.
The Centers for Disease Control 2000 melaporkan bahwa rata-rata prevalensi dari dating violence pada pelajar SMA dan mahasiswa adalah 22 dan
32. Silverman et al 2002 menganalisis data dari Massachusetts Youth Risk Behavior Survey dan menaksir bahwa 1 dari 5 orang remaja mempunyai pengalaman
dating violence. Youth Risk Behavior Surveillance dalam Siagian, 2009 menyebutkan bahwa 9 remaja diperkosa oleh pacarnya. Selanjutnya Cram
Seymour dalam Siagian, 2009 menemukan bahwa sebanyak 77 dari remaja putri dan 67 dari remaja putra mendapatkan pemaksaan secara seksual, termasuk
diantaranya ciuman yang tidak dinginkan, pelukan, kontak kelamin, hubungan seksual yang tidak diinginkan dan 37 remaja mendapatkan video telanjang atau
semi telanjang dari pacar mereka. Survey yang dilakukan di Amerika menemukan bahwa 1 dari 10 siswa
sekolah menengah akhir mendapatkan pukulan dan tamparan dari pacar mereka Family Prevention Fund, 2009. Laporan tentang kekerasan pada remaja di Amerika
adalah lebih dari 8 miliar remaja putri per tahun menderita akibat kekerasan yang dilakukan oleh pasangan mereka Murray, 2007. Berdasarkan Federal Bureau of
Investigation’s 1993-1999 Supplementary Homicide Reports, 10 dari semua remaja putri usia 12 sampai 15 tahun dan 22 dari semua remaja putri usia 16 sampai
19 tahun, dibunuh oleh pacar mereka dalam Siagian, 2009.
Varia 2006 menyebutkan bahwa 21 remaja memiliki pacar yang membatasi mereka untuk bertemu dengan keluarga dan teman-teman mereka, 64
memiliki pacar yang cemburuan dan ingin tahu segalanya tentang pasangannya setiap waktu. Sebuah lembaga pencegahan terjadinya kekerasan di Amerika Family
Prevention Fund dalam Siagian, 2009 menemukan bahwa terdapat 26 remaja putri yang mendapatkan ancaman dari pacar mereka, satu dari empat remaja
mengatakan bahwa dirinya mendapatkan hinaan dan direndahkan melalui telepon dan pesan singkat di telepon seluler. Zwicker dalam America Bar Assocciation, 2006,
menyebutkan bahwa 39 dari remaja putri mengaku berpacaran dengan orang yang selalu mengontrol dan mengatur mereka setiap waktu.
Di Indonesia, menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, terdapat satu dari lima remaja yang mengalami kekerasan seksual, kesimpulan ini
didasarkan pada survey terhadap 300 remaja Rahmawati, 2008. Lebih lanjut, Kota Medan sendiri sebagai kota metropolitan dengan angka kenakalan remaja tertinggi
bersama-sama dengan DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Sulawesi Selatan,
dan Pontianak, ditemukan bahwa terdapat 800 kasus kekerasan di Medan, dan 30
dilakukan oleh pacar Siagian, 2009. Berdasarkan data dari National Longitudinal Study, Halpern et al 2001 menemukan bahwa 32 dari remaja kelas 7-12
melaporkan bahwa mempunyai pengalaman beberapa bentuk kekerasan dalam hubungan dating-nya.
Menurut Murray 2007 bentuk-bentuk dating violence terdiri atas 3, yaitu 1 kekerasan emosional dan verbal, 2 kekerasan seksual, 3 kekerasan fisik.
Kekerasan emosional dan verbal adalah ancaman yang dilakukan pasangan terhadap pacarnya dengan perkataan maupun mimik wajah.
Misalnya adalah mengatakan pacarnya gendut, jelek, malas, bodoh, tidak ada seorangpun yang menginginkan
pacarnya, mau muntah melihat pacarnya, menunjukkan wajah yang kecewa tanpa mengatakan alasan mengapa ia marah atau kecewa dengan pacarnya,
m
engatakan sesuatu mengenai organ tubuh pribadi pacarnya kepada pacarnya di depan teman-
temannya, atau mempermalukan pacarnya di depan teman-temannya. Kekerasan seksual adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak
seksual sedangkan pacar mereka tidak menghendakinya Murray, 2007. Melakukan hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau dengan kata lain disebut dengan
pemerkosaan, mencium pasangannya tanpa persetujuan pasangannya, hal ini bisa terjadi di area publik atau di tempat yang tersembunyi, sentuhan yang dilakukan tanpa
persetujuan pasangannya, sentuhan ini kerap kali terjadi di bagian dada, bokong dan yang lainnya. Pria lebih sering melakukan tipe kekerasan ini dibandingkan wanita
Hamby, Sugarman, Boney-McCoy, dalam Heatrich O`Learry, 2007. Kekerasan fisik adalah perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secara fisik
Murray, 2007. Tipe kekerasan ini dapat dilihat dan diidentifikasi. Perilaku ini diantaranya adalah memukul, menampar, menggigit, mendorong ke dinding dan
mencakar baik dengan menggunakan tangan maupun dengan menggunakan alat. Wanita juga melakukan kekerasan tipe ini dengan pasangannya akan tetapi
konsekuensi fisik yang dihasilkan tidak begitu berbahaya seperti yang dilakukan pria
terhadap wanita Cantos, Neidig, O’Leary, 1994; Cascardi, Langhinrichsen, Vivian, 1992; Stets Straus, dalam Heatrich O`Learry, 2007.
World Report On Violence And Health 1999 mengindikasikan salah satu faktor yang menyebabkan dating violence diantaranya adalah sejarah kekerasan
dalam keluarga dimana orangtua yang seharusnya melindungi anaknya dari segala bentuk kekerasan justru menjadi abuser terhadap anaknya sendiri. Orangtua yang
sering melakukan kekerasan pada anaknya disebabkan banyak faktor yaitu pernahnya mengalami perlakuan abnormal pada masa kecilnya, dipenuhi rasa frustasi,
kemarahan dari masa kecilnya sehingga pelampiasannya pada anak-anaknya, keluarga yang tidak harmonis, dan perekonomian yang tidak mendukung.
Dampaknya pada anak, anak akan mengalami berbagai penyimpangan kepribadian seperti menjadi pendiam, agresif, mudah marah, dan konsep dirinya negatif
Herlinawati, 2007. Sebanyak 80 kekerasan yang menimpa anak-anak dilakukan oleh keluarga
mereka, 10 terjadi di lingkungan pendidikan, dan sisanya orang tak dikenal Solihin, 2004. Setiap bulannya terdapat 30 kasus kekerasan yang diadukan oleh
korbannya kepada lembaga konseling Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Sebanyak 60 merupakan korban kekerasan ringan, berupa kekerasan verbal atau
caci maki, sedangkan 40 sisanya mengalami kekerasan fisik hingga seksual. Menurut surat kabar harian Kompas, Kamis 23 Mei 2002, kekerasan domestik atau
kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga menduduki porsi terbesar dalam
kasus kekerasan yang menimpa anak-anak pada rentang usia 3-6 tahun Solihin, 2004.
Tindakan-tindakan di atas dapat dikategorikan sebagai child abuse atau perlakuan kejam terhadap anak-anak. Bosoeki 1999 menyatakan child abuse adalah
istilah untuk anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun yang mendapatkan gangguan dari orangtua atau pengasuhnya yang merugikan anak secara fisik dan mental serta
perkembangannya. Papalia 2004 menyatakan bahwa child maltreatment atau lebih
dikenal dengan child abuse merupakan tindakan yang disengaja dan membahayakan anak baik yang dilakukan oleh orangtua atau orang lain. Terdapat 4 bentuk child
abuse yang terdiri atas kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual, dan pengabaian.
Kekerasan fisik yaitu kekerasan yang menyebabkan luka-luka diseluruh tubuh melalui pukulan, gigitan, tendangan, dan pembakaran Tower, 2003. Kekerasan
seksual yaitu aktivitas seksual yang melibatkan anak dan orang lain. Kekerasan emosional meliputi tindakan kekerasan atau pengabaian yang menyebabkan
gangguan perilaku, kognitif, emotional, atau mental Papalia, 2004. Garbarino, dan kolega dalam Tower, 2003 memisahkan kekerasan emosional dalam dua bagian,
yaitu kekerasan emosionalpsikologis meliputi serangan verbal atau emotional, ancaman membahayakan, atau kurungan tertutup dan pengabaian
emosionalpsikologis meliputi pengasuhan yang tidak cukup, kurang kasih sayang, menolak memberikan perawatan yang cukup, atau dengan sengaja memberikan
perilaku maladaptive seperti kejahatan atau penggunaan obat-obatan. Depanfilis dan
koleganya dalam Tower, 2003 menyebutkan bahwa pengabaian sebagai tindakan kelalaian yang dibagi menjadi tiga kategori, yakni pengabaian secara fisik,
pengabaian pendidikan dan pengabaian secara emosional Child abuse berdampak secara fisik, kognitif, emosional, dan sosial pada anak
Papalia, 2004. Dubowitz dalam Papalia, 2004 menyatakan bahwa anak-anak yang diabaikan tidak tumbuh dengan baik dan sering memiliki masalah kesehatan. Dalam
Hetherington dan Parke 1999, Cichetti dan Toth mengemukakan bahwa jika anak korban kekerasan tidak meninggal, mereka akan menderita disfungsi otak, kerusakan
neuromotor, kerusakan fisik, terhambat dalam pertumbuhan, dan retardasi mental. Kekerasan dapat menurunkan perkembangan intelektual dan menyebabkan masalah
psikososial. Pada anak yang telah bersekolah, tidak hanya menunjukkan masalah dalam hubungan antara teman sebaya, guru, dan pengasuh, namun juga masalah
akademik dan self esteem yang rendah, menunjukkan masalah perilaku, dan menjadi depresi serta menyendiri. Selain itu, anak tak jarang mengalami tekanan psikologis
seperti takut, stres, bahkan trauma yang akan dibawa hingga individu menjadi dewasa.
Dutton dalam Rosenbaum Leisring, 2003 menemukan bahwa mengalami kekerasan fisik dan pengabaian dari orangtua selama masa kanak-kanak memprediksi
simptom-simptom trauma kronis pada perilaku saat dewasa. Anak-anak menderita Post Traumatic Stress Disorder karena seringkali menyaksikan kekerasan dalam
rumah tangga ataupun mengalami penyiksaan fisik Silva dkk, dalam Davidson, 2004. Berdasakan penelitian pada sejumlah rumah tangga yang memiliki
pengalaman kekerasan dalam rumah tangga tiap tahun Strauss, Gelles Steinmetz, 1980, Carlson memperkirakan bahwa sekurang-kurangnya 3,3 juta anak tiap
tahunnya berisiko terhadap pemaparan dari kekerasan antara orangtua. Anak-anak yang hidup dalam kekerasan dalam rumah tangga meningkatkan
resiko terhadap pemaparan dari kejadian traumatik, pengabaian, korban kekerasan secara langsung, dan kehilangan salah satu dari orangtua mereka. Semuanya
memberikan dampak negatif terhadap anak dan mempengaruhi kebahagiaan, keamanan, dan stabilitas mereka Carlson, 2000; Edleson, 1999; Rossman, 2001.
Masalah pada masa kanak-kanak yang berhubungan dengan pemaparan terhadap kekerasan dalam rumah tangga dibagi dalam 3 kategori utama, yaitu: 1 Masalah
perilaku, sosial, dan emosional, yaitu tingkat agresi yang lebih tinggi, kemarahan, permusuhan, perilaku menentang, dan tidak patuh; ketakutan, kecemasan, menarik
diri dan depresi; hubungan dengan teman sebaya, saudara kandung, dan hubungan sosial yang buruk; dan self esteem yang rendah. 2 Masalah kognitif, yaitu fungsi
kognitif yang rendah, prestasi sekolah yang buruk, kemampuan menyelesaikan masalah yang terbatas. 3 Masalah dalam jangka panjang, yaitu tingkat depresi dan
symptom trauma yang tinggi pada masa dewasa, melakukan kekerasan dalam hubungan pada masa dewasanya dating violence.
Kehidupan masa kecil sangat berpengaruh terhadap sikap mental dan moral anak ketika dewasa nanti. Stucke 2008 menunjukkan bahwa pengalaman traumatis
selama masa kanak-kanak dapat mempengaruhi individu sewaktu dewasa seperti kecanduan obat-obatan dan masalah dalam membina hubungan, sakit jantung hingga
sakit jiwa mental illness, dan meninggal lebih awal. Lebih parahnya, Heyman dan Slep 2002 dalam penelitiannya menyatakan bahwa kekerasan menjadi seperti
lingkaran atau disebut cycle of violence. Hasil penelitian tersebut menunjukkan wanita dan pria yang mengalami kekerasan atau menyaksikan kekerasan yang
dilakukan orangtua mereka semasa kecil akan beresiko melakukan kekerasan saat dewasa terhadap anak ataupun pasangan mereka. Tambahan lagi, walaupun tidak
menjadi korban kekerasan, Rosenbaum dan O’Leary dalam Rosenbaum Leisring, 2003 menyatakan bahwa adanya kekerasan antar orangtua meskipun tidak
melihatnya langsung, dapat menimbulkan sekumpulan masalah emosional dan perilaku pada anak dan meningkatkan resiko melakukan memukul, khususnya laki-
laki, dalam hubungan intim mereka saat dewasa atau melakukan kekerasan dalam pacaran.
Semua tindakan kekerasan kepada anak-anak direkam dalam bawah sadar mereka dan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya.
Orangtua mempengaruhi anak-anak remaja mereka dalam berbagai cara cf. Collins, Marcoby, Steinberg, Hetherington, Bornstein, 2000, termasuk agresi Sheridon,
1995. Gelles dan Straus memberikan fakta bahwa orangtua yang berperilaku agresif akan mendorong anaknya berperilaku agresif cf. Gelles Straus, 1988; Straus,
Gelles, Steinmetz, 1980. Intergeneration hypothesis menjelaskan bahwa anak- anak mungkin menjadi kasar pada masa remajanya karena mereka mengalami abuse
pada masa kanak-kanaknya atau karena mereka melihat kekerasan antara orangtua. Banyak sekali bukti yang menunjukkan hubungan antara perilaku orangtua dengan
kepribadian anak dikemudian hari. Rata-rata abuser dalam masa kecilnya sering mendapatkan atau melihat perlakuan kasar dari ayahnya, baik pada dirinya,
saudaranya, atau pada ibunya. Secara logika dia membenci perilaku ayahnya, akan tetapi secara tidak sadar perilaku itu terinternalisasi dan muncul pada saat dia
menghadapi konflik. Berdasarkan uraian diatas maka akan dilakukan penelitian untuk melihat bagaimana gambaran perilaku dating violence pada remaja yang
pernah yang mengalami child abuse.
B. Rumusan Masalah